Share

Bab 4 : Aku akan menaklukannya

"Tidak! Aku sudah menunggumu sejak lama, mereka biar menjadi urusanku. Kamu tetaplah di situ, jangan kemana-mana! Aku akan menjemputmu sekarang!"

Dengan tergesa-gesa Satya memakai jaketnya, semetara telponnya masih ia apit di telinganya. Terus meyakinkan lawan bicaranya kalau dia akan menemuinya. Qinan memperhatikan hal itu dibalik pintu kamar Sean. Ada wajah tak biasa yang tak pernah Qinan lihat saat bersamanya.

Binar bahagia itu terpancar dari sorot matanya juga bibirnya yang sejak sambungan telpon itu terhubung terus saja melengkungkan senyum.

"Lima belas menit. Ah tidak, tidak. Sepuluh menit lagi aku sampai, tunggu aku, mengerti!"

Satya berlari kecil menuruni anak tangga dengan sesekali bersiul ria. Sementara Qinan, entah mengapa jadi tinggi rasa ingin taunya. Melihat Sean juga sedang tertidur membuatnya berinisiatif membuntuti Satya diam-diam.

"Pak Devan, saya pakai motornya. Jangan bilang siapa-siapa kalau saya pergi." Qinan gegas merebut kontak motor Pak Devan yang baru saja pulang dari warung. Qinan kenakan helmnya lalu langsung melesat sebelum pagar ditutup kembali.

"Ta-Tapi Non-"

"Ini urgent. Soal Satya!" Teriak Qinan sambil berlalu.

Sepertinya memang orang itu amat penting, terbukti dari Satya yang melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Untung saja Qinan bisa mengimbangi walau terseok-seok laju motornya. Tepatnya, Satya berhenti di salah satu cafe ternama. Satya masuk pun dengan terburu, lalu segera menuju seseorang yang tengah menunduk sambil bermain gawai.

Wanita itu tanggap menyadari kedatangan Satya, langsung ia bangkit dan memberikan senyum terbaiknya. Perempuan cantik dengan rambut curly dan dress maroon itu tujuan Satya. Yang membuat Satya begitu bersemangat menemuinya.

"Kemana saja? Kenapa baru kembali? Apa kamu berniat meninggalkanku selamanya, hm?"

Satya langsung saja merengkuh bahu wanita itu seolah memang Satya begitu merindukannya. Wanita itu tersenyum penuh arti. Dilihat dari sisi manapun wanita itu memang cantik. Anggun dan berkelas.

"Apa kamu begitu merindukanku Sayang? Sampai kamu memelukku seerat ini? Aku bisa mati sesak nafas kalau kamu peluk begini terus-terusan,"

Satya lalu melepaskan pelukannya sejenak. "Maaf, salahmu pergi terlalu lama. Kemana saja dua tahun ini? Kenapa tak memberi kabar apapun?"

"Kemana lagi memangnya, aku pergi agar bisa memantaskan diri bersanding denganmu. Aku fokus belajar agar punya gelar, dan tak terus dihina oleh keluargamu."

"Jangan bahas itu. Kita baru saja bertemu."

"Itu fakta Sayang. Aku berjuang untuk setara denganmu agar tak dipandang sebelah mata. Maaf jika membuatmu menunggu lama, tapi lihatkan? Aku tak ingkar janji, aku kembali. Kembali untukmu dan Sean."

Wanita itu, dia kembali tersenyum maut dengan tangannya yang bergelayut di leher Satya. Sedang tangan satunya sudah menari di wajah Satya yang sedang dimabuk rindu. Adegan berikutnya, dengan sedikit menjinjit wanita itu memaksakan diri mempertemukan bibir mereka. Singkat.

Cup!

"Aku sangat merindukanmu." bisiknya tepat di rungu Satya.

Merasa terpancing Satya balas menautkan keduanya hingga wanita itu menabok Satya karena kehabisan nafas. "Kamu masih sama seperti dulu, Sayang. Agresif!" kata wanita itu diikuti kekehan kecil. Sepertinya dua insan itu lupa jika ini adalah tempat umum. Dan lagi, mereka pasti tak tau kalau ditengah keasikan mereka beromantis-romantis ria dalam melepas rindu. Ada sepasang mata dan telinga yang mengintai awas setiap pergerakan mereka.

"Kamu tak sabar menungguku sampai harus menikahi perempuan lain Sat?" wanita itu tertunduk lesu, kecewa dengan pernyataan Satya soal pernikahannya.

"Jangan salah paham. Aku tak mencintainya, setelah kamu kembali aku akan segera menceraikannya."

"Kalau tak mencintainya kenapa sampai menikahinya Sat? Empat bulan kamu bersamanya, pasti kamu sud-."

"Aku tak melakukan apapun dengannya. Hubungan suami istri kita hanya sebatas drama di depan orang karena aku lelah ditanyai soal menikah lalu berujung mereka menjelekkanmu. Di kamar kita hanya sebatas Tuan dan babunya, tak lebih." Satya segera menangkup kedua pipi wanita itu dan menatapnya dalam-dalam.

"Benarkah?"

"Tentu! Mana mungkin aku bisa melakukannya dengan orang lain, saat semua hati dan pikiranku tertawan bersamamu."

"Aku mencintaimu Sofiana, sangat mencintaimu. Dari dulu hingga sekarang, tak ada yang berubah apalagi berkurang sedikitpun!"

Pipi Sofiana bersemu merah mendegar rayuan Satya. Adegan berikutnya Qinan tak mau tau. Meski ia tak mencintai Satya lebih dari dia menyukai paras dan hartanya, nyatanya melihatnya begitu memuja wanita lain rasanya sakit jua. Bahkan apa itu, buku menu di tangannya sampai basah terkena tetesan apa? Menangiskah Qinan?

'Bodoh Qinan, bodoh! Apa yang kamu pikirkan selama ini? Bukannya sudah jelas kalau memang nama wanita itu yang selalu Satya igaukan saat tidur, yang fotonya terpampang besar-besar di kamar rahasianya. Lagipula kenapa juga kamu menangis? Justru dengan kembalinya Sofiana adalah kabar baik untukmu, tugasmu selesai dalam waktu singkat! Dan kamu bisa kembali bebas dari Satya yang arogan juga Sean yang terlampau menyebalkan. Selamat Qinan, selamat!'

'Harusnya kamu senang kan? Tertawalah Qinan, tertawa. Kenapa menangis ...?'

°°°

"Aku berangkat. Kamu baik-baik di rumah," ujar Satya ketika mereka sampai di depan pintu.

"Iya. Sudah, tidak usah dilanjutkan lagi dramanya. Sudah tak ada yang memperhatikan kita," putus Qinan saat melihat Satya hampir mengecup keningnya. Satya edarkan pandang ke sekeliling dan rupanya yang dikatakan Qinan benar adanya. Satya pun bernafas lega, lalu melenggang ke mobil tanpa sepatah katapun lagi.

"Cih, dasar aktor kelas kakap!"

Sejak malam itu, Qinan jadi malas sendiri. Dulu ia begitu menikmati hari-harinya, biar lelah dan membosankan tapi ia menyukainya. Tapi sekarang, semuanya terasa memuakkan bagi Qinan. Hari-harinya berjalan lamban, dan semua perintah baik Satya maupun Sean menyusahkan semua. Berat semua dijalaninya.

Tapi herannya, kenapa juga Satya tak kunjung memberhentikannya? Bahkan masih bersikap seolah-olah tak terjadi apapun. Strategi apa yang kiranya sedang ia susun?

"Pak Devan, hari ini aku ikut jemput Sean ya," kata Qinan saat melewati supirnya. Setidaknya dengan keluar sangkar, Qinan berharap bisa merasakan angin segar yang menyejukkan. Dan memberi amunisi untuk hari-hati berat yang akan ia jalani ke depannya.

Tepat pukul 10 siang Qinan sampai di sekolah Sean. Dia memilih menunggu di dalam mobil, karena jika dia keluar dan menampakan diri, takutnya Sean akan kabur lagi naik taksi seperti tempo dulu. Diam-diam pula kaburnya, membuat Qinan kewalahan mencarinya.

Riuh anak-anak menghambur keluar gerbang. Qinan perhatikan baik-baik wajah Sean agar tak luput dari pengawasannya. Sampai trotoar langkahnya tetap menuju mobil, tapi sedetik kemudian Sean nampak membelokkan arah tujuannya. Bahkan nampak tergesa jalannya sampai akhirnya sedikit berlari.

"Mau kemana bocah itu?" Qinan segera turun mengikuti langkah Sean. "Sean kamu ngap-" ucapan Qinan terpotong karena Sean mengisyaratkan agar Qinan diam dan bersembunyi di belakangnya.

"Jangan kekanakan Dim, kita bisa ketauan." ujar seoarang wanita yang sedang dihimpit di balik tembok, Qinan kenal suaranya.

"Tidak akan. Anakmu kan tidak tau kalau kamu sudah kembali. Sebentar saja, aku hanya ingin memastikan kalau kamu tak ingkar janji."

"Kamu tenang saja, aku akan bergerak cepat sekarang. Karena itu kamu jangan memperlambat kerjaku dengan kamu yang posesif seperti ini."

"Aku hanya tak mau kamu betulan jatuh cinta dengan pria kaku itu. Lalu aku dibuang begitu saja. Awas saja kalau sampai itu terjadi, kamu dan anakmu akan ku gantung hidup-hidup!"

"Iya iya. Sudah jangan bicara seperti itu. Aku selalu mengingatmu, bahkan dua tahun lebih aku memilih bersamamu dari pada dengan mereka kan. Aku rasa itu cukup jadi bukti kalau aku akan selalu kembali padamu."

"Baiklah. Bergeraklah dengan cepat, jangan buatku terlalu lama menunggu."

"Sabarlah Sayang, untuk urusan Satya memang hal yang mudah. Dia begitu mencintaiku jadi dia begitu percaya padaku, apapun yang aku katakan. Tapi soal Sean, dia anak yang sangat cerdas, dia pasti akan mencecarku dengan banyak sekali pertanyaan yang membuatku pusing atas kepergianku."

Sean memundurkan langkahnya dengan bergetar dan airmata yang sudah menggenang penuh di pelupuk. Dia segera berlari tanpa arah, tanpa diketahui oleh Sofiana. Qinan langsung menyusul Sean, ikut berlari. "Sean, tunggu Sean!" teriak Qinan yang menyadari kalau anak nakal itu sedang hancur akibat kelakuan ibunya.

Sean tak hiraukan teriakan Qinan, ia berlari sekonyong-konyong. Susah payah ia bertahan dalam kerinduan yang mendalam dengan ibunya, menepis semua persepsi buruk orang-orang tentang ibunya, sampai ia sendiri rela mengurung diri dan memilih menikmati rindunya dengan menyendiri. Tapi nyatanya apa? Ibunya melakukan semua itu dengan sengaja!

'Jahat! Mama jahat! Mama keterlaluan! Mama tega sama Sean! Sama Papa!'

"Sean, AWAS!"

Braaak!

Bugh!

"T-Tante ...?! Tante, bangun Tante!"

°°°

"Dasar payah! Lama sekali si sadarnya," gerutu Sean saat Qinan membuka mata. Qinan hanya tersenyum kecil, anak itu memang selalu lucu. Marah pun tetap saja lucu. "Kamu baik-baik saja?"

"Kamu yang tertabrak mobil bodoh! Bagaimana si?"

"Bukan itu, soal Mamamu? Kamu tak apa?"

Sean langsung memicingkan matanya. Itu tatapan yang sama seperti saat Qinan tak marah dikerjai habis-habisan oleh Sean. "Apa kamu mencintai Papa?"

"Kenapa bertanya seperti itu?"

"Huh, apa susahnya sih kalau ditanya langsung saja dijawab, bukan malah balik tanya. Dasar orang dewasa menyusahkan!"

Qinan tertawa melihat ekspresi Sean. Dia memang bukan bocah 6 tahun sepertinya. "Kalau iya, kenapa? Apa kamu akan menyuruhku pergi, karena Mamamu telah kembali?"

"Tidak. Tetaplah di sini, aku hanya ingin tau apa kamu bisa mengalahkan Mama."

"Tante tak ingin mengalahkan Mamamu! Tapi untuk soal Papamu-Satya, jangan panggil aku Qinandra Larasati jika aku tak bisa menaklukannya!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status