Share

Bab 3 : Sof?

"I-Ini rumah Om?" tanya Qinan. Ia menatap takjub pada bangunan rumah lantai 3 beserta beberapa mobil berbaris rapi di garasi. Halamannya juga luas dan terdapat air mancur sebagai pusatnya.

"Tutup mulutmu atau nanti semua lalat akan masuk," Satya berucap tanpa ekspresi.

"Kekagumanmu akan bertambah-tambah nanti saat masuk. Jadi jangan perlihatkan semuanya di sini!" sambungnya lagi.

'Ck, sombong juga kalau sudah masuk kandangnya,' batin Qinan.

Benar kata Satya, begitu manapakan kaki dalam hunian itu, decak kagum tak bisa Qinan sembunyikan dari wajahnya. Mimpi apa Qinan semalam, sampai ia begitu beruntung hari ini, bertubi-tubi keberuntungannya. Sudah beres soal ayahnya saja Qinan lebih dari bersyukur. Lebih-lebih kini ia dalam waktu singkat sudah menjadi istri seorang rupawan dan hartawan macam Satya. Istri sah pula. Bukankah ini lebih dari ekspetasinya.

Dan, jika ini mimpi Qinan berharap agar tidak bangun saja. Terlalu sayang untuk dilewatkan. Ataukah mungkin ini adalah penawar dari getir dan pahit hidupnya akhir-akhir ini. Apapun itu, yang pasti Qinan bersyukur. Berjuta-juta syukur ia panjatkan pada Tuhan.

Qinan lirik sekilas wajah Satya yang kini berjalan beriringan dengannya menaiki tangga. Qinan ulas senyum kecil, sangat tipis. Dilihat dari sisi mana umur 35 tahunnya, Qinan tak tau. Kalau boleh jujur, tak ada sama sekali, orangnya jelas masih tampan begitu kok.

"Udah senyum-senyumnya?" tanya Satya menginterupsi lamunan Qinan.

Ah, memalukan sekali memang ketahuan sedang curi-curi pandang lalu senyum-senyum sendiri. Memangnya sejak kapan Qinan jadi norak seperti ini? Lagipula tak ingatkah jika Qinan sendiri sudah punya pacar yang sedang uring-urungan karena tak kunjung diberi kabar. Lalu Qinan? Justru sibuk terlena dengan kehidupan barunya yang berbalik 180 derajat.

"E-Eh,"

"Jangan berpikir terlalu jauh. Pernikahan ini tak seperti yang kamu bayangkan," jelas Satya sambil membuka pintu kamar. Kamar yang tentu saja besar, lebih besar dari rumah Qinan yang hanya muat menampung 30 orang.

"Siapkan air hangat. Aku sangat gerah dan ingin segera mandi."

"Ya?" Qinan kerutkan keningnya. Ia bahkan baru satu langkah menginjakkan kaki di kamar itu, dan satu perintah langsung melayang dari bibir Satya, yang benar saja?

"Kamu pikir saya memberimu 700 juta untuk berleha-leha?" tanyanya skeptis.

Iya, iya Qinan tau jawabannya, tapi tak langsung begini juga kan? Begitu pikir Qinan.

"Heii ... Bangun baby, tidurmu terlalu miring!" kata Satya lagi diakhiri senyum mengejek.

"Lihat ini. Aku sangat tidak suka berantakan, biarpun aku sendiri yang melakukannya."

Bagaimana sih maksudnya? Satu perintah saja belum dilaksanakan sudah diimbuhi lagi. Dan apa-apaan itu? Seenak jidatnya saja Satya membuka satu persatu bajunya, melempar sembarang ke segala sisi.

Apa laki-laki itu sungguh tak malu? Sepertinya tidak, terbukti kini Satya justru berjalan ke arah Qinan dengan busana yang hampir tanggal semua. Tidak, tidak! Kalau begini Qinan saja yang malu. Dengan secepat kilat Qinan tutup wajahnya dengan satu tangan, sedang tangan satunya lagi memunguti semua pakaian yang berceceran tadi, memasukannya ke keranjang. Lalu lanjut ke kamar mandi menyiapkan air hangat.

"Jangan lupa beri aroma terapi, saya cukup penat hari ini."

"Iya." Teriak Qinan dari dalam kamar mandi. Tiga menit Qinan sudah keluar lagi. "Sudah Om."

"Hm. Bagus. Kamu boleh istirahat sekarang, itu kamarmu, tidurlah kalau bisa." Mata Qinan berbinar terang mendengarnya. "Trimakasih Om,"

Namun sia-sia, baru saja hendak merebah sebuah teriakan terpaksa memaksanya harus bangun dengan segera. "Cepat ambilkan handuk, atau aku akan keluar tanpa memakai apa-apa!"

"Sekalian juga ambilkan baju ganti yang warna hitam. Jangan sampai salah warna! Ingat yang hitam!"

'Iya iya, apa begini tugasku ke depannya. Melayani yang dia maksud adalah seperti ini? Lagipula apa maksudnya jangan sampai salah warna, lihat ini ... Bajunya saja hanya ada satu warna. Huh,' gerutu Qinan sendiri dalam hati.

°°°

Setelah selesai semua keperluan yang berkaitan dengan Satya. Kini Qinan merebahkan diri di kamar, yang kata Satya adalah-kamarnya. Baru 3 jam saja rasanya sudah tak karuan raga Qinan, melayani versi Satya memang tak dapat diragukan lagi. Plus-plus jatuhnya. Dalam artian segala macam dikerjakan termasuk hal kecil menggaruk badan yang gatal, juga mengambilkan minum padahal di sampingnya.

"Siapa yang menyuruhmu tidur di sini?" Pertanyaan itu melayang saat Qinan baru saja menyentuh kasur. Qinan lihat Satya memicingkan matanya karena tak suka. Laki-laki itu baru saja kembali dari ruang kerjanya.

"Bukannya ini kamarku kan? Apa aku tak boleh tidur di sini?"

"Tentu boleh baby. Tapi tidak sekarang, okke. Malam ini jatahku tidur, dan kamu temani Sean di kamarnya. Sepuluh menit lagi dia akan bangun. Turuti semua keinginannya, asal jangan biarkan dia keluar kamar. Jangan ganggu saya kecuali ada yang benar-benar urgent!"

Satya membuka connecting door yang menghubungkan kamarnya dengan kamar Sean lalu segera menutupnya lagi setelah Qinan masuk. Kedatangan Qinan mengusik ketenangan tidur bocah lelaki berumur 6 tahun yang bernama Sean itu. Ia segera bangun dan langsung menangkap sosok Qinan yang masih mematung.

"Kau sudah bangun Sayang?" tanya Qinan selembut mungkin.

"Berapa Papa menggajimu?!"

Qinan menautkan alisnya. Sebuah pertanyaan menohok langsung keluar dari mulut bocah 6 tahun yang baru bangun tidur. "Apa yang kamu bicarakan Sean?"

"Katakan saja! Sepuluh juta? Tiga puluh atau bahkan lima puluh juta?" tanyanya lagi dengan tatapan yang menikam. Kelakuannya sama persis seperti ayahnya.

"700 juta," Jawab Qinan dengan tegas. Perihal Sean yang badung sudah Satya singgung selama di mobil. Jadi Qinan memang harus siap mental menghadapi kelakuan Sean, dan poin yang harus di ingat adalah dia tak boleh kabur atau dia beserta keluarganya akan mendekam di penjara karena dianggap tidak bisa melunasi hutangnya pada Satya.

"Hahaha ... Papa semakin gila saja. Memangnya dengan uang sebanyak itu bisa membuat orang lain akan betah bersamaku. Huh, tidak akan! Aku akan membuat orang itu pergi dengan segera!" gumam Sean sambil berjalan gontai ke kamar mandi.

"Tan.. tanteeee tolong Seaan! Cepaat!" teriak Sean dari kamar mandi. Qinan pun gegas menyusulnya karena khawatir terjadi apa-apa dengan Sean.

"Iya Sean. Tung-"

Jeddet

"Auh ... Akh!" Qinan meringis kesakitan dalam posisi terlentang karena terpeleset lantai kamar mandi yang begitu licin. Sementara Sean keluar dengan terbahak-bahak menertawai nasib buruk Qinan yang sesuai rencananya. Belum selesai sampai di situ saat Qinan bangun dengan tertatih, ia kembali dikejutkan Sean yang melempar seekor katak tepat mengenai pundaknya.

"Aaaaaa ... Seaaaan tolong buang ini Sean, Tante mohon. Kamu boleh kasih binatang lain, tapi jangan binatang ini Sean ... Hih, Tante geli sekali." Qinan bergidik geli, dan terus melompat kegelian karena katak itu tak juga lompat dari pundaknya, sementara Sean justru puas menertawai Qinan sampai memegangi perutnya.

Semakin lama kelakuan Sean semakin menjadi, membuat Qinan sampai jengah sendiri dan ingin menyerah. Dari mulai memungut sampah yang dibuang sembarangan, dikerjai dengan diberi jus semangka yang diberi cabe, sampai dilempar segala mainan yang mengenai perut hingga kepala. Baret dan benjol di beberapa bagian. Belum lagi semua mainan yang Sean berantakkan membuatnya ingin berteriak sekencang-kencangnya.

Bodo amatlah sekarang, Qinan harus tetap menjaga kewarasannya karena sudah dipastikan ini tak berlangsung hanya sehari dua hari, melainkan berhari-hari. Qinan putuskan untuk tidur saja meski Sean masih terus melemparinya mainan.

Drrt drrt

Ponsel Qinan bergetar, menunjukan notifikasi pesan dari sang adik, Rian. Samar-samar ia buka pesan itu, karena matanya terpejam sejak tadi.

[Operasi Ayah sudah selesai tadi malam jam 11 Kak, Alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar. Sekarang Ayah sedang dirawat di ruang pemulihan. Kemungkinan beberapa jam lagi baru sadar.]

[Send a picture.]

Seulas senyum terbit dari bibir Qinan yang kini berwarna hitam. Ia lega, setidaknya tanggungjawab terhadap ayah sudah Qinan penuhi. 'Sekarang waktunya aku memenuhi tanggungjawabku terhadap Satya'. Ia lantas bangkit dengan semangat baru.

"Sean, kamu pandai melukis ternyata." Qinan melihat pantulan dirinya di cermin yang sudah tak berupa. Selama tidur tadi wajahnya dijadikan kanvas untuk melukis oleh Sean. Dibuat layaknya badut wajahnya. Qinan tersenyum lebar hingga menampilan barisan giginya.

"Bagaimana Sean, apa sudah mirip? Ehm, sebentar-sebentar ... Bagaimana kalau bagian sini diberi tompel hitam yang besar dan merah di bagian sini. Sepertinya akan lebih bagus Sean." Qinan menunjuk bagian pipi juga matanya untuk di gambari lagi oleh Sean. Qinan mendekat, merendahkan badannya agar sejajar dengan Sean dan menunjukan ekspresi siap di perongi lagi wajahnya, biar puas sampai terpingkal-pingkal sekalian anak nakal itu. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Sean melangkah mundur dengan wajah yang masam.

"Tante nggak asik. Tante nggak suka marah-marah. Sean maunya Tante marah-marah terus pergi dari kamar Sean secepatnya!" gerutu Sean sambil berlalu dan meringkuk di bawah selimut. Tak sampai lama terdengar dengkuran halus dari bocah usil itu, Qinan sendiri hanya geleng-geleng kepala tapi juga merasa lega karena dengan Sean tidur artinya tugasnya selesai.

Qinan langkahkan kakinya ke kamar, saat ia sedang memposisikan diri untuk tidur tangannya ditarik hingga ia terjerembap ke atas tubuh Satya.

"Aku mencintaimu ... Aku dan Sean membutuhkanmu ... Kembalilah Sof ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status