Share

Bab 5 : Khawatirkah?

"Ck, belum apa-apa sudah sombong. Buktikan saja kalau memang bisa!" tantang Sean. Bocah itu memicingkan matanya, lalu melenggang menuju kursi tunggu. Lagaknya sudah seperti pria dewasa saja bocah itu.

"Yak?! Kamu menantangku bocah kecil?!" Qinan jadi ikut tersulut emosinya dikatai begitu oleh Sean. Tapi tak dalam arti sebenarnya, Qinan tau Sean hanya sedang menyalakan semangatnya saja.

"Tidak. Aku tau kamu tidak akan bisa. Kamu itu payah dalam segala hal." Sean menaruh ranselnya di lalu duduk menyender sambil bersedekap. "Tapi ya, coba saja. Aku hanya ingin melihatnya."

"Itu sama aja, dasar anaknya Satya," gerutu Qinan.

"Ya. Aku memang anaknya suamimu," balas Sean. Padahal jika Qinan lihat, mata anak itu memejam. Tapi masih sempat-sempatnya membalas ucapan Qinan tadi.

"Ck, bicara dan bertingkahlah seperti bocah 6 tahun, Sean. Kamu ini lebih mirip kakek-kakek kalau terus seperti itu,"

"Kamu akan melihat Sean yang sesungguhnya kalau bisa membuktikan ucapanmu yang tadi," ucap Sean lagi. Masih sambil memejam. Dasar anak itu.

Qinan hanya menggelengkan kepalanya, tak ingin menimpali lagi ucapan Sean. Ia biarkan bocah itu tenang dalam pejaman matanya. Walau Qinan tau, di dalam tempurung kepala bocah lelaki itu-pasti tak akan bisa tenang. Ia sedang bertarung dengan jiwanya sendiri, atas asumsinya yang ditampar kenyataan. Bahwa seperti tadi, mamanya tak sebaik yang ia kira.

Qinan pernah ada di posisi Sean, dan Qinan jatuh. Sejatuh-jatuhnya. Padahal saat itu Qinan sudah beranjak dewasa. Lalu ini apa? Bahkan Sean masih 6 tahun, dan harus mengetahui bahwa ibunya sendiri, yang selalu ia puji bak dewi dengan kasih sayang tak bertepi. Nyatanya rela meninggalkannya demi kesenangannya sendiri. Tega!

Qinan iba. Ingin ia rengkuh bahu kecil itu, agar meringsek dalam peluknya. Ia puk puk dan ia bisikkan di telinganya bahwa ia punya luka yang sama. Merangkul dan saling menguatkan. Tapi mustahil! Sean itu agaknya jelmaan dari hero satria baja hitam, pantang baginya menuang luka pada sembarang jiwa.

Bocah itu harga dirinya terlalu tinggi untuk takaran anak TK.

"Bagaimana keadaanmu, apa kamu baik-baik saja?" Suara bariton yang amat Qinan kenali itu membuncah lamunannya.

Qinan tengok ke samping, dimana sumber suara berasal. Betul, laki-laki itu-Satya, ia telah berdiri tepat di sampingnya. Nafasnya nampak terengah, entah sebab apa.

Satya lantas mengulurkan tangannya pada dahi Qinan yang terdapat perban kecil di sana. "Apa sakit?" tanyanya, dengan jemarinya yang masih bertahan di sana. Qinan ijin tatap Satya, kalau Qinan tidak salah terka. Itu wajah khawatir kan?

"Nggak apa-apa. Cuma luka kecil," jawab Qinan tanpa mengalihkan pandangannya.

Memang sejak kapan Qinan jadi seperti ini? Lancang sekali matanya menatap pria, dengan enggan mengakhiri lebih dulu tatapannya. Agak memalukan, tapi Qinan tak akan berjanji bahwa itu yang terakhir. Qinan yakin akan melakukannya lagi entah lusa, esok, atau bahkan nanti. Tak apa, toh suami sendiri.

Apa ya definisi dari semua itu. Dibilang cinta sepertinya terlalu dini. Tapi yang pasti dari kejadian malam itu, Qinan memang harus mengakui, bahwa perasaannya terhadap Satya sudah tak bisa dianggap biasa. Dan, mengetahui fakta bahwa Sofiana berkhianat atas cinta Satya yang begitu besar dan tulus itu, rasanya Qinan ikut sakit. Sesak sekali dalam dadanya.

Itu sebabnya Qinan putuskan untuk bertahan, apapun yang terjadi nanti. Selama Satya tak memintanya untuk pergi, ia akan selalu ada di sampingnya. Meski dengan resiko, ia akan menelan pahit dan bertambah sakit.

"Kalau nggak sakit kenapa belum boleh pulang? Pakai diinfus segala?! Apanya lagi yang sakit?!" tanyanya lagi. Tapi kali ini agak ketus, tak seperti tadi saat awal datang.

"Nggak ad- ah ... auw!" Qinan mendesis saat Satya langsung saja menyibak dengan kasar selimut yang menutupi kakinya. Dan itu mengenai luka di lutut Qinan. "Ssh ... pelan-pelan Om,"

"Tadi bilangnya nggak sakit. Sok kuat!" cibir Satya. Satya dan Sean sama saja. Bicaranya selalu begitu, singkat, padat dan tak enak di dengar.

"Bener kamu begini karena Sean?" Satya kembali mendekat. Dengan tatapan elangnya ia menuntut jawab.

"Bukan. Ini bukan karena Sean." Bahkan Qinan sendiri tak tau persis bagaimana kejadiannya. Ia hanya melihat Sean hampir tertabrak mobil dan dia menyeretnya. Setelahnya ia kesusahan mengingatnya. Buram semua.

"Mana Sean?" Satya mengedar pandangannya dan melihat Sean sedang duduk bersandar sambil tidur di bangku tunggu. Tak mengindahkan tutur Qinan, Satya langsung berjalan menuju Sean. Marah aura yang ia bawa.

"Sampai kapan kamu akan terus begini, Sean?!" tanya Satya. Tatapannya menyorotnya tajam pada Sean yang Satya yakin anak itu hanya pura-pura tidur.

"Papa tau kamu nggak suka sama Tante Qinan, tapi bukan berarti kamu bisa bertindak semaunya. Kamu lihat akibat ulahmu Tante Qinan sampai masuk Rumah Sakit." Satya nampak menghela nafasnya karena Sean belum juga membuka matanya. "Papa tau kamu nggak tidur, Sean! Jawab Papa!" Satya menaikkan nada bicaranya.

Mendengar itu Sean akhirnya membuka matanya. Melirikkan kedua matanya dengan malas pada sang papa yang tengah menginterogasinya. "Papa denger sendiri kan tadi Tante Qinan bilang apa? Ini bukan salah Sean, salah dia sendiri yang nggak bisa hati-hati." Sean akhiri kalimatnya dengan melihat ke arah Qinan sambil mendengus kesal.

"Salahnya? Salah Tante Qinan kamu bilang? Dia begitu karena berusaha menyelamatkanmu dari mobil yang akan menabrakmu, dan kamu bilang itu salahnya?!"

"Sean bukan anak kecil Pa. Kalaupun tante itu tidak menyelamatkan Sean, Sean akan tetap selamat dan baik-baik aja. Tante itu aja yang lebay," jawal Sean. Semakin Satya menyudutkannya semakin Sean ingin mendebat ucapan papanya.

"Cukup Sean. Papa nggak suka kamu kaya gini, setidaknya ucapkan terimakasih pada Tante Qinan karena telah menyelamatkanmu. Juga minta maaf telah membuatnya luka begitu,"

"Cih, Nggak mau! Sean nggak salah, buat apa minta maaf." Sean kembali menyilangkan tangannya di dada.

Penolakan Sean membuat Satya kian emosi. Ia merasa gagal mendidik putranya sendiri sehingga perilaku Sean semakin hari semakin membangkang. Padahal sebisa mungkin ia sudah selalu tanamkan attitude baik pada putra kesayangannya itu. Tapi seolah semuanya tak ada yang masuk ke kepala Sean, apalagi diindahkan dalam kesehariannya.

"Sean! Cepat lakukan!"

"Sean nggak mau! Tante begitu bukan salah Sean. Sean nggak pernah minta Tante itu melakukannya!" Sean bangkit dari duduknya. Tatapan Satya Sean balas dengan tatapan yang sama. Tanpa ada takut sama sekali.

"SEAN!"

"Om, udah. Itu memang bukan sepenuhnya salah Sean. Aku juga nggak hati-hati makannya bisa begini," sela Qinan. Baru kali ini Qinan melihat Satya semarah ini pada Sean. Padahal jelas, bukan hanya kali ini Sean menyelakainya, mengerjainya. Tapi apa ini? Satya begitu marah, apa mungkin hanya sebab Qinan kecelakaan?

Khawatirkah Satya? Atau mungkin ada sebab lain?

"Diam kamu! Aku begini bukan karena sedang membelamu. Aku sedang mendidik anak lelakiku supaya dia bisa bersikap lebih baik. Tidak semaunya seperti ini!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status