Share

Bab 6 Terluka

"Tapi nggak di sini juga kan Om? Bisa kan Om bilangnya di rumah, nanti. Ini Rumah Sakit, Om."

Jujur saja, Qinan memang sempat salah terka. Tapi sebisa mungkin ia tutupi dengan seolah-olah tak baper akan perhatian kecil Satya. Qinan itu kenapa juga lemah begini jika dihadapkan dengan Satya. Perhatian sekecil itu saja sudah membuat Qinan merasa spesial.

"Aku tau! Tak usah mengajariku!"

Satya tarik nafasnya dalam-dalam, selaan dari Qinan membuatnya lupa akan banyak hal yang ingin ia sampaikan pada Sean.

Sekali lagi Satya ingin tegaskan, ini bukan karena ia merasa khawatir atau menaruh perhatian lebih pada Qinan. Ini semua murni karena Satya ingin mendidik Sean menjadi lelaki yang sesungguhnya, bertanggung jawab dan gentle. Tidak seperti Sean yang di hadapannya saat ini. Bocah pembuat ulah, tempramen dan semaunya. Padahal jika Satya ingat-ingat, Sean dulunya tak begitu.

Satya turunkan badannya menjadi setengah berdiri, hingga tingginya selaras dengan Sean kini. Satya tatap dalam diam kedua manik mata Sean yang masih menyorotkan emosinya. Anak itu masih marah? Tidak, tatapannya kini menyiratkan kekecewaan.

"Papa memarahiku hanya karena dia? Apa dia sekarang lebih penting daripada Sean? Apa Papa lebih sayang Tante itu dari pada Sean?!" Pertanyaan beruntun Sean haturkan untuk papanya. Bukan sekedar luapan kecewanya, juga sebagai pancingan untuk mengetahui sejauh mana kemungkinan rencananya dengan Qinan akan berhasil.

Satya mengerutkan dahinya. "Kamu ngomong apa Sean? Sean tetap nomor satu di hati Papa. Tak akan tergantikan oleh siapapun. Dan selamanya begitu. Justru karena itu Papa begini, Papa ingin kamu jadi laki-laki yang hebat. Yang kuat, berani dan bertanggungjawab."

Satya menjeda sebentar ucapannya. "Dengarkan Papa Nak," Satya rengkuh bahu kecil Sean. Satya ulas senyum sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya. "Sean anak Papa, Papa tau kamu aslinya nggak begini. Kamu anak baik, ceria dan sayang sama orang-orang di sekitarmu. Tapi Papa nggak tau kenapa kamu jadi begini akhir-akhir ini, semakin hari kamu kamu semakin suka membuat ulah dan memancing orang lain untuk marah. Kenapa Sean? Kenapa kamu begini sekarang?" lirih Satya mengucapkan itu. Benar tulus pertanyaan itu keluar dari hati Satya, sehingga bisa sampai pada hati Sean juga.

Sean sendiri hanya diam ditanyai seperti itu oleh papanya. Emosinya ikut surut bersamaan dengan teduhnya tatapan yang Satya beri.

"Kamu kangen Mama?"

Deg!

Sean langsung mendongakkan kepalanya pada Satya. Marah dan kecewa itu kembali menguap secara bersamaan, menuju satu titik penggambaran yaitu mata. Sean yang sedang hancur dan berusaha mengenyahkan bayang kelakuan sang Mama pun jadi teringat kembali akan hal itu. Sudut matanya berembun tak tertahan lagi. Tapi bibirnya kelu untuk bisa bicara.

Hanya mata berkacanya yang berbicara akan semua perasaannya. Yang sayangnya, pasti akan membuat Satya salah terka. Pasti Satya akan mengira Sean begitu karena saking rindunya dengan mamanya. Ya, walaupun tak sepenuhnya salah, tapi percayalah airmata yang mengamuk di mata Sean kini bukan wujud dari kerinduan Sean, tapi lebih pada kecewa yang terlalu dalam.

"Kalau itu penyebabnya, Sean nggak perlu khawatir. Papa akan cari Mama sampai ketemu dan Papa bawa pulang secepatnya, ya?!"

Sungguh, demi apapun. Bukan itu yang Sean harapkan. Bukan itu yang Sean pinta untuk sekarang. Ia belum siap bertemu mamanya itu, Tuhan.

Rasanya Sean ingin teriakan hal itu di depan papanya, tapi tak mungkin juga. Kecewanya bertambah-tambah ketika teringat jika papanya yang begitu mencintai dan setia pada mamanya itu juga ikut dikhianati. Sama sepertinya. Sean melengos menyembunyikan ekspresinya yang sudah tak bisa lagi ia kondisikan.

Drrt drrt drrrt

Satya hendak melanjutkan kalimatnya, tapi panggilan itu menginterupsinya. Seutas senyum terbit sebelum Satya akhirnya mengangkat telfon itu dan berjalan keluar kamar. "Sean, tunggu di sini ya. Papa angkat telponnya sebentar."

Melihat gelagat aneh papanya, Sean gegas membuntutinya. Terlihat papa Sean itu bicara dengan penuh kelembutan. Sudah Sean tebak Papanya itu bicara dengan siapa. Tentu Sofiana, mamanya

"Itu juga yang ingin aku bicarakan. Sean, aku yakin dia sangat merindukanmu. Dia sangat membutuhkanmu sekarang."

"Sudah kubilang tak usah pikirkan mereka. Lagipula mereka masih ada di luar negri. Mereka tak akan tau,"

"Sudahlah Sayang, yang terpenting adalah Sean. Aku ingin kamu kembali dan fokus merawatnya. Yaa, dan aku juga," ujar Satya sambil terkikik kecil.

"Bukan sekarang, nanti Sayang. Aku urus berkas kepulangan Qinan dulu, setelah itu aku akan jemput kamu dan kita berkumpul bersama lagi. Aku sudah tak ingin lagi menundanya."

Sean tarik nafasnya dalam-dalam. Lalu buru-buru masuk lagi ke kamar inap Qinan. Tatapan Sean langsung tertuju pada Qinan yang sedang berdiri berusaha berjalan menuju kamar mandi. Sean segera hadang langkah Qinan dengan tatapannya yang begitu tegang.

"Ada apa Sean, mau bantuin Tante?"

"Sean belum siap ketemu Mama. Sean belum mau ketemu Mama," racau anak itu di depan Qinan.

"Maksud Sean?" tanya Qinan dengan dahi berkerut.

Satya kembali menarik nafas dalam, dan panjang. "Maafkan Sean tante, ini satu-satunya cara agar Sean tak ketemu Mama malam ini,"

Qinan masih tak paham maksud bocah itu. Terlebih saat Sean mencipta jarak dengan mundur beberapa langkah dari hadapan Qinan. Agak jauh sampai Sean mentok ke tembok. Setelahnya Sean maju dengan agak berlari dan mengangkat kakinya begitu sampai di depan Qinan.

Dakh!

"Aaaaa ... Seaaaan? Llututku ya ampun sssh,"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status