Share

Bab 7 : Senyum-Senyum Sendiri

"Sean! Apa lagi yang kamu lakukan?!"

Satya yang sedang telpon segera mengakhiri sambungan telponnya. Buru-buru ia masuk dan mendapati Qinan berada di lantai sedang memegangi lututnya sambil meringis kesakitan. Tatapan tajamnya langsung tertuju pada Sean yang sedang berdiri di samping Qinan.

"Bukan Om. Ini bukan salah Sean, aku cuma mau ke kamar mandi tapi ternyata kakiku sakit banget. Sshh," segera Qinan mencari alasan. Padahal ia sendiri kesal bukan main karena tendangan Sean benar-benar membuat lututnya terasa bengkok.

"Jangan bohong. Aku denger sendiri kamu teriakan nama Sean tadi," ucap Satya. Ia melihat ke arah Qinan dan Sean secara bergantian.

"Oh, itu. Ehm, aku jatuh dan yang ada Sean. Jadi aku reflek panggil nama Sean. Mau minta tolong, tapi ya Sean mana kuat menopang tubuhku yang besar ini, Sean kan hanya bocah 6 tahun," kilah Qinan sambil berdiri dibantu oleh Satya.

"Benar begitu, Sean?"

"Apa perlu Sean jawab, padahal Tante itu sudah menjelaskannya sendiri?" Sean memutar bola matanya malas.

"Papa hanya memastikan Sean. Selama ini kamu kan selalu buat masalah sama Tante Qinan. Lagipula apa susahnya jawab iya, kalau memang itu benar."

"Huh, Papa selalu aja nyalahin Sean. Su'udzon sama Sean, bela aja terus Tante itu," ketus Sean. Ia kemudian melengos pergi ke luar kamar. Menuju Pak Devan yang baru saja masuk ke kamar rawat inap Qinan. "Pak Devan, Sean lapar. Ayo cari makan, Sean males sama dua orang itu,"

Pak Devan menatap Satya meminta persetujuan. Satya meresponnya dengan menganggukan kepala. Lalu keduanya pergi meninggalkan ruangan, menyisakan Satya yang hanya berdua dengan Qinan.

Selepas kepergian Sean, Qinan terbitkan senyum kecil di bibirnya. Dalam hatinya ia memuji betapa cerdas otak bocah nakal itu. Juga aktingnya yang patut diacungi jempol. Terlebih saat Sean sempat menunjukan ponselnya pada Qinan sebelum benar-benar keluar ruangan. Qinan jadi tak sabar untuk mengecek gawainya, apa kiranya yang dimaksud Sean itu.

"Kenapa senyum-senyum sendiri?!" tanya Satya yang menangkap lengkungan kecil di bibir Qinan.

Qinan beralih menatap Satya. Oh, jadi tadi Satya memeperhatikannya ya? Buktinya Satya tau kalau Qinan senyum. Semoga saja senyumnya tadi terlihat manis oleh Satya. Aamiin.

"Aku? Ini bukan senyum, tapi meringis nahan sakit." Qinan tak bakat bohong pasalnya. Jadi ya asal jawab saja, meski mungkin agak tak nyambung jatuhnya.

"Om," panggil Qinan sebelum Satya bertanya lebih jauh perihal ia yang senyum-senyum sendiri dan jawabannya yang tak nyambung tadi.

"Apa?"

"Qinan kebelet pipis,"

"Terus?"

Qinan hela nafasnya panjang. "Bantuin ke kamar mandi Om, susah buat jalan," sambung Qinan lagi dengan tatapan memelas.

"Ha?" Satya membeo dibuatnya. Pasalnya hal itu tak masuk dalam kamusnya. Sama sekali tidak. Apa-apaan Qinan itu minta diantarkan ke kamar mandi.

"Ayo buruan Om. Udah di ujung ini," rengek Qinan sambil memegangi bawah perutnya.

"Hish. Iya iya," Satya akhirnya mengalah dan mulai memapah Qinan berjalan menuju kamar mandi.

"Makasih Om. Om tolong tutup pintunya dan pegangin dari luar,"

"Iya iya. Diturutin lama-lama nglunjak ya?" gerutu Satya sambil meraih handle pintu dan menutupnya dari luar.

"Yang bener nutupnya Om!" teriak Qinan dari dalam kamar mandi.

"Iya."

"Jangan dulu pergi sebelum aku selesai."

"Iya!" Lama-lama bertambah ketusnya Satya itu mendengar Qinan yang memdadak cerewet. Mana kenapa harus bertambah sakit di kaki Qinan itu. Yang bukan tak mungkin itu akan menyebabkan Qinan belum boleh pulang malam ini. Padahal Satya sudah menyusun rencana matang untuk bertemu Sofiana malam ini, dengan Sean juga.

Dan itu nyaris terancam gagal.

"Om,"

"APALAGIII??!!!"

"Udah Om, bantuin keluarnya."

°°°

Satya duduk dengan gelisah, pasalnya sudah satu jam tapi Sean belum juga kembali. Di telpon berkali-kali juga tak di angkat oleh bocah itu. Terkahir Satya telpon pak Devan, katanya Sean hanya akan kembali jika Satya yang menjemputnya dan meminta maaf padanya.

"Udahlah Om, temui Sean. Minta maaf sama dia. Bagaimanapun Om juga salah, tanpa mendengar alasan Sean tapi langsung marah-marah sama dia. Terus pake ditambahin asal tuduh sama Sean soal aku yang jatuh tadi. Ya pantes aja Sean marah sama Om, apalagi selama ini Om nggak pernah bersikap kaya gitu sama Sean," ucap Qinan panjang lebar. Ia sedari tadi duduk bersandar pada brankar, sedang Satya di sampingnya.

Satya memutar bola matanya malas. Setelah sekian lama, Qinan sepertinya kembali ke setelan pabriknya. Cerewet! Padahal selama hampir 4 bulan ditawan di rumahnya, sebagai istri versi budak, Qinan itu manutan sekali. Dan irit bicara, membuat Satya sejuk telinganya.

Tapi hari ini? Baru sebentar bersamanya saja, kupingnya terasa panas karena bibir kecil Qinan selalu saja menyuarakan banyak kata.

Dari tadi Qinan terus berbicara soal Sean, Sean dan Sean. Padahal Qinan sebagai pihak yang selalu terdzolimi kalau kata Satya. Tapi selalu saja Qinan membelanya. Seolah kenakalan Sean adalah hal yang sangat wajar, dan tak perlu di permasalahkan. Justru sibuk menyalahkan Satya, karena perilaku menyimpang Sean adalah hasil kurangnya perhatian orangtuanya.

"Om, sana. Ini udah hampir sore," bujuk Qinan lagi.

"Aku nggak salah. Ngapain harus minta maaf," jawab Satya, kekeh dengan persepsinya. Tapi anehnya, biar begitu tubuhnya tetap bergerak bangun.

"Segala maksa anaknya suruh belajar minta maaf sama ucapin makasih. Sendirinya aja suruh minta maaf aja nggak mau," gerutu Qinan sambil membetulkan posisi duduknya.

"Kamu ngomongin aku?" Satya menghentikan langkahnya, lalu menolehkan kepalanya ke belakang. Qinan hanya mengedikkan bahunya sambil melengkungkan bibirnya ke bawah.

"Nggak usah cerewet dan banyak protes deh. Aku nggak suka."

"Emangnya kalau aku kalem dan penurut, Om bakal suka?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status