Share

Mahligai Bersamamu
Mahligai Bersamamu
Penulis: Bai_Nara

1. Patah Hati

Seorang gadis tengah merenungi nasibnya. Hari ini seseorang yang begitu di kaguminya sejak usia 15 tahun akan melangsungkan pernikahan dengan anak seorang kyai. Padahal, seminggu yang lalu sang lelaki telah meminangnya di hadapan kedua orang tuanya dan sang kakak. Pun sang ibu dari si lelaki menyetujuinya.

Hanya berselang seminggu, dari acara tembung sang lelaki ternyata sang lelaki malah menikahi ning-nya atas perintah almarhum sang guru. Sungguh miris. Dia kalah karena si gadis hanyalah orang biasa, anak seorang petani. Bahkan dirinya hanya bisa mengenyam pendidikan sampai MA saja. Sangat jauh dibandingkan calon sang lelaki. Sudah bergelar ning, sarjana lagi. Hidup terkadang serumit dan semiris ini.

"Nduk."

"Iya mbok. Sebentar."

Jenar Ayu Kumalasari namanya. Asli Wonosobo daerah Wadas Lintang tepatnya.

Ceklek.

"Pripun mbok."

"Boleh mbok masuk."

"Silakan mbok."

Mereka pun duduk berjejeran di tepi ranjang. Si mbok mengelus kepala sang putri yang tertutup kerudung dengan penuh kasih.

"Sudah. Dia memang bukan jodohmu. Harusnya kamu bersyukur gak sama dia. Sejak dulu Arif itu anak emaknya. Lihat khan? Bilang setuju kamu jadi menantunya eh... Malah mau menikahkan sang anak sama putri kyai Mustofa. Tanpa rembugan tanpa omongan sedikitpun sama kita. Insya Allah kamu akan di kasih jodoh yang terbaik untuk kamu. Dan lebih baik dari Arif. Insya Allah."

"Amin mbok." ucap Jenar lalu menampilkan senyum tulusnya.

"Nah gitu dong. Ini baru anaknya simbok."

Jenar masih sesenggukan, mau tak mau perkataan ibunya memang benar. Dia harus melupakan dan melepaskan Arif istilahnya move on.

"Wis tho nduk, ra usah nangis wae. Sudah cukup air matamu keluar. Buktikan sama Arif kalau kamu cewek yang kuat. Kayak bapak sama simbok itu loh, tetap membantu di rumah tetangga kita. Harusnya kalau mereka punya malu gak mungkin minta tolong sama kita. Buktikan kamu itu gadis kuat." Cakra kakak lelakinya, menyemangati Jenar untuk tetap tabah.

Luar biasa, mungkin dibanding Jenar. Cakra adalah orang yang paling terluka, karena sahabatnya yang ia percaya malah menghancurkan hati adik dan keluarganya. Namun, Cakra walau suka mbanyol, dia sangatlah dewasa.

"Eh... Denger. Kamu masih muda, baru 20 tahun. Mending kamu ngaji lagi aja. Gak usah ngaji lagi di pondok kyai Mustofa toh pak kyainya udah gak ada. Dia cuma punya satu putri ning Alifah. Yang gantiin beliau paling Arif, gak bakalan maju tuh pondok kalau yang megang Arif. Bukannya mas lagi dendam sama dia, tapi Arif itu orangnya gak bisa tegas. Buktinya sama kamu itu loh. Mancla mencle."

Jenar tertawa melihat ekspresi kakaknya saat menghujat sang sahabat.

"Percaya sama mas, kamu justru harus bersyukur gak berjodoh sama orang mancla mencle kayak dia. Nanti mas akan ngantar kamu ke Al-Hikam Purwokerto. Disana pondoknya bagus, udah ada universitasnya juga. Ada banyak beasiswa untuk santri yang berprestasi kayak kamu. Udah ya jangan nangis."

"Iya mas... Jeje gak bakalan nangis lagi kok."

"Bagus. Sekarang siap-siap tunjukkin siapa diri kamu."

"Iya mas."

Jenar tersenyum cantik memperlihatkan lesung pipi di pipi kanannya yang semakin menambah kecantikannya. Duh, dasar Arif goblok bisik hati Cakra. Dia telah membuang batu permata yang masih tertutup demi sebuah emas yang kelihatan mentereng padahal belum tentu mas asli 24 karat mungkin 22 karat. Astagfirullah, maafkan Cakra. Rupanya dendam dan benci ini masih ada.

****

Akad pernikahan antara ning Alifah dan Arif dilangsungkan di rumah Arif atas permintaan ibunya Arif karena Arif putra tunggalnya. Sedangkan pondok Al-Huda sendiri akan mengadakan resepsi seminggu kemudian.

Bu Tuti senang sekali putranya dipilih menjadi mantu almarhum kyai Mustofa. Dia sungguh tak peduli dengan tanggapan miring warga sekitar, pun dengan perasaan Jenar. Dia menyukai Jenar, namun kalau harus memilih dia lebih memilih ning Alifah yang jelas statusnya lebih baik daripada Jenar.

Dia pun bersikap cuek meminta bantuan bu Minah dan suaminya pak Karmin agar mau membantu di rumahnya. Biarlah, toh mereka juga mau.

Setelah akad nikah langsung dilanjutkan resepsi. Mau tak mau hampir semua orang mengagumi pasangan pengantin yang sangat serasi. Yang satu ganteng sedangkan yang satunya cantik. Namun kedatangan Cakra dan Jenar sedikit membuat suasana menjadi sedikit kaku.

Apalagi wajah bu Tuti dan Arif. Arif menatap nanar pujaan hatinya. Cantik walaupun hanya memakai gamis sederhana namun Jenar memang selalu cantik. Rasa bersalah di hatinya sungguh kian terasa saat melihat Jenar nampak baik-baik saja. Padahal Arif tahu hatinya terluka, hal itu pun karena ulahnya. Bodoh, kenapa dia harus mengiyakan permintaan gurunya dengan menyakiti banyak orang. Jenar, Cakra, dan Jafar, sahabat karibnya di pondok. Padahal dia tahu Jafar mencintai ning Alifah. Jafar langsung boyong mengetahui Arif akan menikahi gadis yang dicintainya. Bahkan teman satu kamarnya mendiamkannya hingga kini. Beberapa memilih pindah pondok. Sementara bu Tuti mengakui Jenar sangat cantik sekali dan baik, ada sudut hatinya yang merasa bersalah karena menyia-nyiakan gadis sebaik dia.

"Arif selamat ya." Cakra mengucapnya dengan senyum manis namun tatapan tajamnya mengintimidasi Arif .

"Makasih." jawab Arif sambil menunduk. Tak ada pelukan ala sahabat lagi diantara mereka. Yang ada hanya canggung dan perasaan bersalah Arif serta perasaan tersakiti di hati Cakra.

"Selamat ya mas Arif juga ning Alifah semoga samawa." ucap Jenar dengan senyum merekah.

"Terima kasih ya Jenar. Oh iya, aku mau minta tolong sama Jenar. Jenar nanti bantu saya ngajar TPQ ya. Soalnya Jenar disukai anak-anak."

"Ngapunten Ning saya mau melanjutkan ngaji sama mondok."

"Yah... Apa gak bisa ditunda Je."

"Gak bisa ning, menuntut ilmu itu kewajiban apalagi membahagiakan orang tua dan kakak. Saya rela kerja jauh di Kalimantan itu demi adik saya biar sekolah tinggi ning, biar jadi wanita yang berpendidikan biar gak di rendahkan terus sama orang." celetuk Cakra, walau diucapkan dengan tenang terlihat sekali menyindir Arif dan sang Ibu.

"Harus itu mas Cakra. Ya sudah nanti saya cari alumni yang lain saja."

"Pangapunten ning. Mari saya duluan, karena masih banyak yang antri."

Jenar dan sang kakak turun dari pelaminan. Jenar berkumpul dengan teman pondoknya. Sesekali dia tersenyum mendengar guyonan para sahabat.

Arif sesekali melirik Jenar, sudut hatinya sangat tak rela kehilangan Jenar. Apalagi sejak tadi beberapa teman satu pondok maupun luar pondoknya banyak yang melirik ke arah Jenar.

Mungkin Alifah adalah ratu dalam acara ini. Namun, Jenar adalah sang artis yang keberadaannya menjadi magnet bagi sekelilingnya.

Tingkah Arif tak lepas dadi pengamatan sang istri. Sudut hatinya terluka menyadari jika hati sang suami ternyata bukan untuknya. Ah lebih tepatnya belum. Sebenarnya dialah yang meminta sang abah agar menikahkan dirinya dengan Arif jadi dia akan berusaha membuat Arif jatuh cinta padanya.

****

"Ning tidur saja duluan, saya akan menemui tamu dulu."

"Mas tunggu, kita sudah menikah. Alangkah baiknya mas Arif memanggil saya dengan nama atau dek saja. Kesannya kok aneh ya."

"Maaf ning, saya belum terbiasa. Saya keluar dulu."

Ambyar.... Runtuh sudah air mata Alifah melihat penolakan sang suami. Malam pertama yang begitu diidam-idamkannya sepertinya akan berlalu begitu saja.

"Duh gusti, pangapunten bah. Alifah ndak manut sama abah. Padahal abah kepengin saya sama Jafar, tapi Alifah ngeyel pengin nikah sama Arif. Maaf bah... Maaf. Alifah nyesel ndak manut sama abah."

Malam berlalu begitu saja. Kedua pasangan pengantin baru bahkan tak tidur seranjang, Alifah tidur di kamar Arif sedangkan Arif entah tidur dimana.

"Ning." sapa bu Tuti ramah.

"Alifah saja bu. Khan saya menantu ibu."

"Ah... Ndak patut, orang ning anak junjungan saya. Sudah sini ning makan. Arif mana?"

"Mas Arif... Mas Arif ..."

"Wonten nopo bu?"

"Eh.. Arif. Kamu dari mana?"

"Mushola bu."

"Oh... Ya sudah sini makan."

Arif duduk di dekat Alifah. Alifah meladeni sang suami dengan telaten. Di depan sang ibu baik Arif dan Alifah menampilkan kemesraan pasangan pengantin baru. Padahal aslinya hambar.

****

"Mas... "

"Iya."

"Ehm ..." Jenar bingung mau memulai dari mana.

"Tenang mas gak akan bilang ke siapapun kalau kamu di Purwokerto. Mas akan bilang kamu di Kediri."

"Makasih mas."

Hening.

"Dek... Yang betah-betah ya disana syukur kamu dapat jodoh disana."

"Dapat gus ya mas."

"Amin..."

"Hahahaha." baik Jenar maupun Cakra tertawa, menertawakan omongan Jenar yang terlalu menghalu. Padahal omongan terkadang menjadi doa yang akan diijabah oleh Allah S.W.T.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status