Seorang gadis tengah merenungi nasibnya. Hari ini seseorang yang begitu di kaguminya sejak usia 15 tahun akan melangsungkan pernikahan dengan anak seorang kyai. Padahal, seminggu yang lalu sang lelaki telah meminangnya di hadapan kedua orang tuanya dan sang kakak. Pun sang ibu dari si lelaki menyetujuinya.
Hanya berselang seminggu, dari acara tembung sang lelaki ternyata sang lelaki malah menikahi ning-nya atas perintah almarhum sang guru. Sungguh miris. Dia kalah karena si gadis hanyalah orang biasa, anak seorang petani. Bahkan dirinya hanya bisa mengenyam pendidikan sampai MA saja. Sangat jauh dibandingkan calon sang lelaki. Sudah bergelar ning, sarjana lagi. Hidup terkadang serumit dan semiris ini.
"Nduk."
"Iya mbok. Sebentar."
Jenar Ayu Kumalasari namanya. Asli Wonosobo daerah Wadas Lintang tepatnya.
Ceklek.
"Pripun mbok."
"Boleh mbok masuk."
"Silakan mbok."
Mereka pun duduk berjejeran di tepi ranjang. Si mbok mengelus kepala sang putri yang tertutup kerudung dengan penuh kasih.
"Sudah. Dia memang bukan jodohmu. Harusnya kamu bersyukur gak sama dia. Sejak dulu Arif itu anak emaknya. Lihat khan? Bilang setuju kamu jadi menantunya eh... Malah mau menikahkan sang anak sama putri kyai Mustofa. Tanpa rembugan tanpa omongan sedikitpun sama kita. Insya Allah kamu akan di kasih jodoh yang terbaik untuk kamu. Dan lebih baik dari Arif. Insya Allah."
"Amin mbok." ucap Jenar lalu menampilkan senyum tulusnya.
"Nah gitu dong. Ini baru anaknya simbok."
Jenar masih sesenggukan, mau tak mau perkataan ibunya memang benar. Dia harus melupakan dan melepaskan Arif istilahnya move on.
"Wis tho nduk, ra usah nangis wae. Sudah cukup air matamu keluar. Buktikan sama Arif kalau kamu cewek yang kuat. Kayak bapak sama simbok itu loh, tetap membantu di rumah tetangga kita. Harusnya kalau mereka punya malu gak mungkin minta tolong sama kita. Buktikan kamu itu gadis kuat." Cakra kakak lelakinya, menyemangati Jenar untuk tetap tabah.
Luar biasa, mungkin dibanding Jenar. Cakra adalah orang yang paling terluka, karena sahabatnya yang ia percaya malah menghancurkan hati adik dan keluarganya. Namun, Cakra walau suka mbanyol, dia sangatlah dewasa.
"Eh... Denger. Kamu masih muda, baru 20 tahun. Mending kamu ngaji lagi aja. Gak usah ngaji lagi di pondok kyai Mustofa toh pak kyainya udah gak ada. Dia cuma punya satu putri ning Alifah. Yang gantiin beliau paling Arif, gak bakalan maju tuh pondok kalau yang megang Arif. Bukannya mas lagi dendam sama dia, tapi Arif itu orangnya gak bisa tegas. Buktinya sama kamu itu loh. Mancla mencle."
Jenar tertawa melihat ekspresi kakaknya saat menghujat sang sahabat.
"Percaya sama mas, kamu justru harus bersyukur gak berjodoh sama orang mancla mencle kayak dia. Nanti mas akan ngantar kamu ke Al-Hikam Purwokerto. Disana pondoknya bagus, udah ada universitasnya juga. Ada banyak beasiswa untuk santri yang berprestasi kayak kamu. Udah ya jangan nangis."
"Iya mas... Jeje gak bakalan nangis lagi kok."
"Bagus. Sekarang siap-siap tunjukkin siapa diri kamu."
"Iya mas."
Jenar tersenyum cantik memperlihatkan lesung pipi di pipi kanannya yang semakin menambah kecantikannya. Duh, dasar Arif goblok bisik hati Cakra. Dia telah membuang batu permata yang masih tertutup demi sebuah emas yang kelihatan mentereng padahal belum tentu mas asli 24 karat mungkin 22 karat. Astagfirullah, maafkan Cakra. Rupanya dendam dan benci ini masih ada.
****
Akad pernikahan antara ning Alifah dan Arif dilangsungkan di rumah Arif atas permintaan ibunya Arif karena Arif putra tunggalnya. Sedangkan pondok Al-Huda sendiri akan mengadakan resepsi seminggu kemudian.
Bu Tuti senang sekali putranya dipilih menjadi mantu almarhum kyai Mustofa. Dia sungguh tak peduli dengan tanggapan miring warga sekitar, pun dengan perasaan Jenar. Dia menyukai Jenar, namun kalau harus memilih dia lebih memilih ning Alifah yang jelas statusnya lebih baik daripada Jenar.
Dia pun bersikap cuek meminta bantuan bu Minah dan suaminya pak Karmin agar mau membantu di rumahnya. Biarlah, toh mereka juga mau.
Setelah akad nikah langsung dilanjutkan resepsi. Mau tak mau hampir semua orang mengagumi pasangan pengantin yang sangat serasi. Yang satu ganteng sedangkan yang satunya cantik. Namun kedatangan Cakra dan Jenar sedikit membuat suasana menjadi sedikit kaku.
Apalagi wajah bu Tuti dan Arif. Arif menatap nanar pujaan hatinya. Cantik walaupun hanya memakai gamis sederhana namun Jenar memang selalu cantik. Rasa bersalah di hatinya sungguh kian terasa saat melihat Jenar nampak baik-baik saja. Padahal Arif tahu hatinya terluka, hal itu pun karena ulahnya. Bodoh, kenapa dia harus mengiyakan permintaan gurunya dengan menyakiti banyak orang. Jenar, Cakra, dan Jafar, sahabat karibnya di pondok. Padahal dia tahu Jafar mencintai ning Alifah. Jafar langsung boyong mengetahui Arif akan menikahi gadis yang dicintainya. Bahkan teman satu kamarnya mendiamkannya hingga kini. Beberapa memilih pindah pondok. Sementara bu Tuti mengakui Jenar sangat cantik sekali dan baik, ada sudut hatinya yang merasa bersalah karena menyia-nyiakan gadis sebaik dia.
"Arif selamat ya." Cakra mengucapnya dengan senyum manis namun tatapan tajamnya mengintimidasi Arif .
"Makasih." jawab Arif sambil menunduk. Tak ada pelukan ala sahabat lagi diantara mereka. Yang ada hanya canggung dan perasaan bersalah Arif serta perasaan tersakiti di hati Cakra.
"Selamat ya mas Arif juga ning Alifah semoga samawa." ucap Jenar dengan senyum merekah.
"Terima kasih ya Jenar. Oh iya, aku mau minta tolong sama Jenar. Jenar nanti bantu saya ngajar TPQ ya. Soalnya Jenar disukai anak-anak."
"Ngapunten Ning saya mau melanjutkan ngaji sama mondok."
"Yah... Apa gak bisa ditunda Je."
"Gak bisa ning, menuntut ilmu itu kewajiban apalagi membahagiakan orang tua dan kakak. Saya rela kerja jauh di Kalimantan itu demi adik saya biar sekolah tinggi ning, biar jadi wanita yang berpendidikan biar gak di rendahkan terus sama orang." celetuk Cakra, walau diucapkan dengan tenang terlihat sekali menyindir Arif dan sang Ibu.
"Harus itu mas Cakra. Ya sudah nanti saya cari alumni yang lain saja."
"Pangapunten ning. Mari saya duluan, karena masih banyak yang antri."
Jenar dan sang kakak turun dari pelaminan. Jenar berkumpul dengan teman pondoknya. Sesekali dia tersenyum mendengar guyonan para sahabat.
Arif sesekali melirik Jenar, sudut hatinya sangat tak rela kehilangan Jenar. Apalagi sejak tadi beberapa teman satu pondok maupun luar pondoknya banyak yang melirik ke arah Jenar.
Mungkin Alifah adalah ratu dalam acara ini. Namun, Jenar adalah sang artis yang keberadaannya menjadi magnet bagi sekelilingnya.
Tingkah Arif tak lepas dadi pengamatan sang istri. Sudut hatinya terluka menyadari jika hati sang suami ternyata bukan untuknya. Ah lebih tepatnya belum. Sebenarnya dialah yang meminta sang abah agar menikahkan dirinya dengan Arif jadi dia akan berusaha membuat Arif jatuh cinta padanya.
****
"Ning tidur saja duluan, saya akan menemui tamu dulu."
"Mas tunggu, kita sudah menikah. Alangkah baiknya mas Arif memanggil saya dengan nama atau dek saja. Kesannya kok aneh ya."
"Maaf ning, saya belum terbiasa. Saya keluar dulu."
Ambyar.... Runtuh sudah air mata Alifah melihat penolakan sang suami. Malam pertama yang begitu diidam-idamkannya sepertinya akan berlalu begitu saja.
"Duh gusti, pangapunten bah. Alifah ndak manut sama abah. Padahal abah kepengin saya sama Jafar, tapi Alifah ngeyel pengin nikah sama Arif. Maaf bah... Maaf. Alifah nyesel ndak manut sama abah."
Malam berlalu begitu saja. Kedua pasangan pengantin baru bahkan tak tidur seranjang, Alifah tidur di kamar Arif sedangkan Arif entah tidur dimana.
"Ning." sapa bu Tuti ramah.
"Alifah saja bu. Khan saya menantu ibu."
"Ah... Ndak patut, orang ning anak junjungan saya. Sudah sini ning makan. Arif mana?"
"Mas Arif... Mas Arif ..."
"Wonten nopo bu?"
"Eh.. Arif. Kamu dari mana?"
"Mushola bu."
"Oh... Ya sudah sini makan."
Arif duduk di dekat Alifah. Alifah meladeni sang suami dengan telaten. Di depan sang ibu baik Arif dan Alifah menampilkan kemesraan pasangan pengantin baru. Padahal aslinya hambar.
****
"Mas... "
"Iya."
"Ehm ..." Jenar bingung mau memulai dari mana.
"Tenang mas gak akan bilang ke siapapun kalau kamu di Purwokerto. Mas akan bilang kamu di Kediri."
"Makasih mas."
Hening.
"Dek... Yang betah-betah ya disana syukur kamu dapat jodoh disana."
"Dapat gus ya mas."
"Amin..."
"Hahahaha." baik Jenar maupun Cakra tertawa, menertawakan omongan Jenar yang terlalu menghalu. Padahal omongan terkadang menjadi doa yang akan diijabah oleh Allah S.W.T.
Seorang lelaki berusia 27 tahun tengah memandang lalu lintas kota Jogja dari balik kaca ruang kerjanya. Matanya menerawang tak fokus karena pikirannya tengah berjalan kemana-mana.Sebuah dering ponsel memecah lamunannya. Kemudian dia mengangkatnya setelah melihat siapa yang menelepon."Assalamu'alaikum mas.""Wa'alaikumsalam, Mi. Kamu apa kabar?""Baik mas. Mas sekeluarga gimana?""Baik. Tapi kondisi abah belum ada kemajuan Mi."Gus Azmi menghembuskan nafasnya pelan."Azmi tinggal menyelesaikan satu masalah lagi mas. Setelah itu Azmi akan pulang.""Azmi.""Iya mas.""Kamu tahu empat hal yang bisa menjadi patokan memilih istri."Azmi menghembuskan nafasnya lagi."Tahu mas.""Coba sebutkan.""Nikahilah wanita karena 4 perkara yaitu 1. Harta,
Jenar tengah memandang gerbang pesantren Al-Hikam, kakaknya sedang bertanya kepada satpam yang sedang bertugas di posnya. Karena bus yang mereka tumpangi sempat mogok lama sehingga mereka baru sampai di Al-Hikam pukul 8 malam. Sepertinya sedang ada pengajian rutinan.Jenar menarik nafasnya dalam-dalam. Entah apa yang dirasakan oleh separuh hatinya. Kenapa Jenar bilang separuh? Karena separuhnya lagi sedang terluka akibat dititipkan kepada Arif. Lelaki yang Jenar anggap bisa menjaga separuh hatinya justru malah menjadi si pemberi luka. Jadi saat ini Jenar hidup hanya dengan separuh hati saja.Jenar menatap gerbang bertuliskan Al-Hikam dengan penuh minat.Tin... Tin...Tin.Jenar tersentak dan otomatis minggir ke arah kanan. Seorang pemuda melongok melalui kaca mobil."Mbaknya mau mondok?"Tampan... Bisik hati Jenar."Mbak...mbak..." teriak Azmi.
Azmi tengah bermain bola dengan ketiga Aslan. Mumpung minggu ceritanya sedangkan Azzam dan Caca sedang menghadiri undangan pengajian. Quila sendiri tengah di asuh oleh Jenar."Jurus tendangan tanpa bayangan. Hiyaa." Seru Azada."Jurus jaring laba-laba menangkap mangsa. Hap." Azmi menangkap bola yang ditendang oleh Azada."Yah.... Gagal maning." keluh Azada. Ini sudah kelima kalinya dia gagal memasukkan bola."Hehehe. Ayok katanya mau kayak Ronaldo atau Messi.""Gantian. Minggir." Aidan yang paling jago olahraga diantara ketiganya langsung ancang-ancang dengan seringai dinginnya mirip sang abah.1.....2....3 tendang...."Yeah... Gol... Gol... Gol.... "Astaga Azmi benar-benar terkecoh. Beneran deh emang Aidan paling jago olahraga diantara ketiganya mirip mas Azzam plus sikap dinginnya. Eh ... tapi mbak Caca juga untuk ukuran cewek jago olah
“Ooom!” teriak Azada.“Iya.”“Ayok ke Timezone.”“Boleh.”“Aidan sama Abrisam mau ikut gak?”“Ikut,” jawab keduanya kompak.“Siap-siap sana!”“Oke.”Azmi menuju abah dan uminya yang sedang duduk sambil menonton TV. Rupanya kepulangan si bungsu membuat kondisi Abah Ilyas semakin membaik.“Kamu bawa mbak-mbak khadamah saja, Mi.”“Iya Umi, lagian gak bisa aku handel mereka bertiga sendirian.”“Hehehe. Habis kamu selalu kalah sama mereka,” timpal abahnya.“Heran aku, gimana caranya Mas Azzam sama Mbak Caca ngurus ketiganya kalau pergi-pergi tanpa khadamah atau kang ndalem? Ditambah ada Quila lagi.”“Mereka, kan orang tuanya, ya mereka harus bisa menaklukan anak-anaknya dong. Kalau gak bisa, nanti bagaimana mereka mengarahkan keluarga mereka?
“Gus.”“Eh. Ning Hafsah.”“Iya saya.”“Ada apa, Ning?”“Mau ambil foto, Gus.”“Oh. Saya duluan ya.”“Eh. Gus tunggu!”Azmi membalikkan badannya namun matanya tak memandang Hafsah.“Iya.”“Ehm ... saya ... saya ... saya ....”“Bos.”“Iya.”“Semua sudah siap.”“Oke. Maaf Ning, saya duluan.”Azmi langsung menuju studio foto. Ada sebuah butik yang meminta bantuannya untuk memfoto hasil rancangannya untuk desain kemeja dan jas laki-laki.Ning Hafsah sendiri mendesah, ingin sekali mengatakan kalau dia suka sama Gus Azmi dan ingin melakukan ta’aruf dengannya. Namun lidahnya kelu. Dia dan Kakaknya Gus Zainal sudah mencoba menggagalkan pertemuan antara dirinya dan Gus Iqbal. Sayang Gus Iqbal menolak, akhirnya pertemuan i
“Abah sudah kelihatan lebih sehat,” ucap Azmi sambil memijit Abahnya.“Alhamdulillah. Semoga masih sehat terus sampai lihat kamu nikah.”“Amin, Bah.”Azmi melanjutkan kembali memijat sang abah. Mereka tengah bersantai di gazebo belakang rumah sementara Aslan triplet sedang belajar gerakan tinju dengan sang abah singa.“Ckckck. Itu Mas Azzam ngapain coba, masih pada kecil udah diajarin tinju.”“Hehehe. Mas kamu justru sedang melatih kesabaran dan mengolah emosi mereka, Mi. Kamu tahu sendiri mereka itu cenderung anak hiperaktif dan penuh rasa ingin tahu. Makanya dari kecil sudah harus diarahkan dan diolah emosinya,” terang Abah Ilyas.“Hehehe. Sama kayak Mas Azzam ya, Bah.”“Iya, begitulah abah mendidik mas kamu.”“Tapi kok sama Azmi beda, Bah?”“Soalnya kamu lebih lembut orangnya, sensitif alias perasa, fisikmu w
“Wow ... its wonderful!” teriak Azada.“Do you like it, Gus?”“I like it, Mbak Je. Mas, Idan ayok kita berenang.”“Wokeh.” Ketiga Aslan langsung menuju ke sungai dekat rumah Jenar. Mereka sedang liburan di rumah Jenar ceritanya. Sudah dua hari dua malam mereka menginap di rumah Jenar bersama Desi.“Gila, pantesan kamu katrok ya Je pas pertama aku lihat kamu. Lah rumahmu masih kampung kayak gini,” celetuk Desi.“Kan aku udah bilang, di kampungku gak ada mall adanya kali sama pasar.”“Ho’oh, ra kuat aku nek kon urip neng kene.”(gak kuat aku kalau disuruh hidup disini).Jenar hanya tertawa, lalu mengawasi ketiga gusnya yang sedang bermain di sungai. Bahkan sesekali mereka saling menciprati lawan.Azmi baru saja sampai, dia memutuskan menengok ketiga keponakannya. Azmi ditemani Kang Rozak,
Azmi tengah fokus mengerjakan beberapa desain background untuk keperluan studionya. Fokusnya teralihkan saat ada suara ketukan pintu.“Masuk.”“Permisi Bos, ada tamu,” kata salah satu pegawainya.“Suruh masuk aja.”“Baik, Bos.”Tak lama kemudian munculah sosok Zainal dengan adiknya Hafsah. Azmi mendesah, kenapa dua orang itu senang sekali mengganggunya?“Assalamu’alaikum Azmi, gimana kabarnya?”“Wa’alaikumsalam, baik Zai. Kamu gimana kabarnya?” Azmi mencoba berbasa basi.“Alhamdulillah baik nih. Oh iya, sebulan lagi aku mau nikah sama Ning Ulya. Kamu kenal, ‘kan?”“Gak. Cuma sekedar tahu. Ning Asal Jember, ‘kan?”“Betul, kita mau minta tolong kamu buat motoin kita berdua bisa, ‘kan?”“Bisa kalau cuma kamu yang minta foto. Tapi untuk istrimu nanti aku minta