Share

3. Pertemuan Separuh Hati

Jenar tengah memandang gerbang pesantren Al-Hikam, kakaknya sedang bertanya kepada satpam yang sedang bertugas di posnya. Karena bus yang mereka tumpangi sempat mogok lama sehingga mereka baru sampai di Al-Hikam pukul 8 malam. Sepertinya sedang ada pengajian rutinan.

Jenar menarik nafasnya dalam-dalam. Entah apa yang dirasakan oleh separuh hatinya. Kenapa Jenar bilang separuh? Karena separuhnya lagi sedang terluka akibat dititipkan kepada Arif. Lelaki yang Jenar anggap bisa menjaga separuh hatinya justru malah menjadi si pemberi luka. Jadi saat ini Jenar hidup hanya dengan separuh hati saja.

Jenar menatap gerbang bertuliskan Al-Hikam dengan penuh minat.

Tin... Tin...Tin.

Jenar tersentak dan otomatis minggir ke arah kanan. Seorang pemuda melongok melalui kaca mobil.

"Mbaknya mau mondok?"

Tampan... Bisik hati Jenar.

"Mbak...mbak..." teriak Azmi.

"Eh... Iya mas."

Azmi tersenyum melihat tingkah Jenar. Sebagai lelaki, Azmi terpesona dengan wajah ayu sang gadis. Sekali lihat saja, Azmi tau kalau gadis di depannya sangat lugu.

"Sendirian?"

"Enggak mas, sama kakak saya cuma lagi tanya sama pak satpam disana."

"Oh..."

Cakra datang ke arah mereka.

"Je... Bener ini rumah pengurus pusatnya disini. Ayok kita masuk."

"Mau ke ndalem mas?" tanya Azmi.

"Nggih mas."

"Mari ikut saya sekalian."

"Wah, matur nuwun... Ayok Je ikut masnya. Mumpung ada tumpangan."

Jeje mengangguk dan membuka pintu belakang sedangkan Cakra duduk di samping Azmi. Selama perjalanan baik Azmi dan Cakra nampak ngobrol dengan akrab. Jenar sendiri lebih suka menjadi pendengar.

****

"Assalamualaikum."

"W*'alaikumsalam."

"Om....."

Teriak tiga anak berusia sekitar 9 tahunan ke arah Azmi.

"Keponakanku sayang." Seru Azmi sumringah.

Azmi memeluk dan mencium satu persatu keponakannya.

"Azmiii." pekik umi Aisyah.

"Umiiii. Azmi kangen umi. Mas Azzam, Azmi kangen. Mbak Cacaaaa.... Azmi juga kangen. Acquila, keponakan om yang paling cantik."

Azmi memeluk satu persatu anggota keluarganya kecuali Caca tentu saja. Hahaha.

"Bah..."Azmi menghampiri abah Ilyas yang tengah duduk menyandar pada sofa. Abah Ilyas tersenyum sumringah melihat putra bungsunya.

"Kamu pulang Mi?"

"Nggih bah, Azmi pulang." Azmi mencium tangan abahnya dan memeluknya erat sekali.

"Alhamdulillah." Abah Ilyas menepuk-nepuk punggung putra bungsunya.

Semua keharuan ini tak lepas dari pengamatan Jenar dan Cakra. Jenar bahkan hampir mewek karena melihat keharuan antara anak dan ayahnya. Jenar jadi ingat pada kedua orang tuanya.

"Pripun mas, mbak? Ada yang bisa kami bantu?" tanya Caca ketika menyadari ada tamu yang datang.

"Ini ning, saya mau mengantar adik saya mondok disini.

"Oh... Mas Azzam ada yang mau mondok."

"Oh... Azmi bisa kamu jaga Quila sama Aslan Triplet. Mas sama mbak Caca mau menemui tamu dulu."

"Beres mas."

"Mari." ajak Azzam pada kedua tamunya.

****

"Mbak Jenar nanti tidur di kamar ini ya. Kamar pojok ini jarang ada yang mau pake katanya berhantu. Mbak Jenar takut hantu gak?"

"Mboten ning. Saya takutnya di kasih hati dan di PHP-in doang." sahut Jenar.

"Hahahaha. Gitu yah. Ya udah deh. Tenang aja penghuninya baik selama yang tidur di sini gak bikin ulah."

"Nggih ning."

"Ya sudah saya tinggal ya mbak. Takut dicari sama anak-anak."

"Nggih ning."

"Semoga kerasan ya mbak Jenar. Punya panggilan sayang gak mbak?"

"Jeje ning."

"Wow panggilannya bagus mbak."

"Ya sudah, mbak Jeje istirahat dulu ya. Saya tak pamit." lanjut Caca.

"Monggo ning."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah Caca pergi, Jenar langsung masuk ke kamarnya. Benar kata ning Caca ternyata ada penghuninya. Meski begitu Jenar tahu kalau penghuninya tak akan mengganggu Jenar selama Jenar berkelakuan baik.

Setelah membersihkan diri, Jenar merebahkan dirinya di kasur lantai. Jenar menatap langit kamar. Pikirannya melayang pada kedua orang tuanya dan juga Arif. Ah... Ayolah Je move on. Kamu harus bisa move on. Ingat Arif sudah menjadi suami orang. Karena rasa lelah dan capek hati akhirnya Jeje tertidur juga.

Sementara di kamarnya Azmi tengah melihat ponselnya. Sejak tadi Yasmin menghubunginya. Dari mulai chat hingga ratusan telepon namun sengaja diabaikan oleh Azmi. Percuma. Karena setelah membaca chat Yasmin isinya sama saja. Azmi disuruh menunggu lagi. Dan Azmi sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tak akan menunggu Yasmin lagi. Dia memang tak tahu takdir jodohnya tapi setelah mendapatkan wejangan dari sang abah, Azmi sadar jika selama ini dia terlalu mengedepankan rasa cintanya pada manusia tanpa mengedepankan rasa cintanya kepada Allah.

"Om..." teriak Azada.

"Iya. Kenapa?"

"Zada bobok sini ya?"

"Oke. Sini bobok sama om."

Azada segera merebahkan dirinya di samping Azmi. Dalam waktu tak kurang dari lima menit, keduanya sudah terbuai dalam mimpi.

Azzam seperti biasanya menengok ketiga putranya. Begitu sadar hanya ada Abrisam dan Aidan, dia langsung menuju ke kamar adiknya. Azzam tersenyum melihat adik dan putranya sudah tidur dengan memeluk guling masing-masing. Azzam pun segera masuk ke kamarnya dimana sang istri baru saja menidurkan Acquila Chana Mustika Aslan di box tempat tidurnya. Puterinya baru berumur satu tahun.

"Udah pada tidur mereka mas."

"Udah, Azada malah tidur di kamar Azmi."

"Oh."

Azzam merebahkan tubuhnya dan menepuk bahu kirinya. Caca yang sudah tahu maksud sang suami segera merebahkan diri disamping sang suami dan menjadikan bahu sang suami sebagai bantalnya.

"Hemmm... Selalu senyaman ini." gumam Caca.

"Hemmm. Dan selalu sehangat ini." sahut Azzam.

Mereka saling berpandangan dan tersenyum manis. Selanjutnya jangan tanya lagi, Azzam segera memperpendek jarak wajahnya dengan wajah sang istri. Azzam mengajak Caca mengarungi samudra cinta dengan penuh gelora. Dinginnya malam tak mereka rasakan lagi, justru rasa gerah nan panas akibat keringat yang dihasilkan lewat olahraga malam yang tengah mereka lakukan. Hihihi.

****

Jenar sedang membantu para khadamah memasak makanan untuk keluarga kyai. Jenar sudah berkenalan dengan para khadamah lain yaitu Fitri, Afi, dan Desi. Rupanya mereka seumuran. Mereka bertiga kini menjadi mahasiswi semester empat di universitas Al-Hikam dengan mengambil jurusan PGSD.

"Mbak Jenar bisa tidur nyenyak semalam?" tanya Afi.

"Jenar atau Jeje aja mbak. Bisa. Kenapa?"

"Kamar pojok terkenal angker loh mbak... Eh Je maksudnya." sahut Desi.

"Benarkah?"

"Iya. Terakhir kamar itu lama ditempati sama ning Caca. Tapi setelah ning Caca jadi istrinya gus Azzam. Kamar itu gak ada yang mau menempati lagi. Katanya kalau yang tidur disitu sering di ganggu gitu." kini Fitri yang bersuara.

"Oh ya, benarkah?"

"Iya beneran. Katanya..."

"Ekhem."

Keempat gadis itu segera menoleh ke sumber suara. Mereka langsung kikuk mendapati gus Azmi tengah berada di antara mereka tanpa mereka sadari.

"Maaf ya mbak, cuma mau tanya makanannya udah siap belum. Itu Aslan triplet udah pada minta makan, abah juga harus makan biar bisa minum obat. Oh iya sekalian bisa buatkan saya kopi kalau kalian udah selesai ngrumpinya."

"Nggih gus." ucap keempatnya sambil menunduk.

Setelah gus Azmi pergi, ketiga teman baru Jenar langsung heboh.

"Duh gantengnya."

"Ya Allah, mau aku jadi istrinya gus Azmi. Ternyata benar gus Azmi gantengnya kayak gus Azzam."

"Iya. Lebih muda lagi."

Jenar hanya tersenyum menatap tingkah ketiga sahabat barunya. Dia pernah dengar dari teman-temannya bahwa salah satu kesenangan dalam mondok adalah mengagumi para gus, terutama kalau gusnya tampan. Jenar yang hanya mondok di pondok kecil yang masih berada di lingkungan kampungnya di Wonosobo tidak pernah menemukan gus karena anak kyainya cuma ning Alifah. Mengingat ning Alifah lagi-lagi Jenar teringat akan Arif. Huft... Move on ternyata susah juga.

****

"Kamu yang kerasan disini. Habis ini mas mau balik Kalimantan lagi."

"Iya mas."

"Ngajinya yang bener. Sama bantu-bantu keluarga kyai dengan tawadu ya. Yang ikhlas."

"Nggih mas."

"Jangan nangisan."

"Iya mas."

"Jangan baperan."

"Iya mas."

"Jangan lupa move on."

"Iyaaaa mas Cakra. Udah deh sana pergi."

"Hehehe. Oke. Mas pulang ya. Jangan ...."

"Waalaikumsalam."

"Hahaha. Assalamualaikum."

Jenar menunggu sampai Cakra naik gojeg dan tak terlihat lagi. Setetes air matanya jatuh namun segera ia hapus.

Saat berbalik menuju ndalem secara tidak sengaja dia bertubrukan dengan Azmi yang tengah tergesa-gesa.

"Astaghfirullah." seru keduanya.

"M-maaf gus."

"Eh.. I-iya. Saya yang harusnya minta maaf."

Keduanya tersenyum kikuk hingga niat hati ingin segera pergi dari kecanggungan mereka malah bergerak berlawanan arah. Azmi ke kirinya, Jenar ke kanannya. Sehingga mereka justru bergerak ke sisi yang sama.

Deg.

Mereka otomatis berganti arah namun malah beralih ke sisi yang sama lagi bahkan sampai tiga kali. Hingga akhirnya Azmi bergerak ke samping kiri sedangkan Jenar ke samping kanan. Dan mereka pun melangkah berlawanan arah. Jenar menuju ndalem, Azmi keluar ndalem.

Azmi segera melangkah menuju mobilnya. Dia memegang dadanya. Astaga, baru kali ini dia bersentuhan tak sengaja dengan lawan jenisnya. Dan rasanya entahlah. Sesuatu dalam dadanya berdebar kencang. Huft... Setelah menormalkan detak jantungnya, Azmi segera melajukan mobilnya.

Hal serupa terjadi dengan Jenar. Sesampainya di dapur. Jenar menyandar pada dinding. Dia meraba jantungnya yang sudah jumpalitan.

"Wangi... Khas cowok. Bahkan lebih wangi dari mas Cakra yang parfumnya cuma seharga lima belas ribu."

"Mbak Jeje lagi ngapain?" tanya Caca. Jenar sendiri kaget bukan main.

"Eh... Ning Caca. Anu saya... Saya... Habis teringat sama bapak dan simbok di rumah. Hehehe." ucap Jenar sambil cengar cengir gaje.

"Oh... Bantuin saya ya, jagain Quila. Soalnya saya ada jadwal ngajar di SMA sama di Universitas. Susunya Quila udah ada di kulkas tinggal di angetin aja. Makannya juga udah saya siapin. Biasanya jam 10 saya kasih biskuit kalau enggak buah. Semaunya Quila aja ya mbak."

"Oh.. Nggih ning."

"Ya sudah. Quila-nya sedang bobok di kamar bawah ya. Tenang Aslan triplet sekolahnya sampai sore. Njenengan aman dari gangguan ketiga singa kecilku. Paling saya minta tolong njenengan bantuin umi kalau umi butuh bantuan buat merawat abah."

"Nggih ning."

"Ya sudah. Pergi dulu ya mbak. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Jenar yang mudah akrab dengan anak kecil tak merasa kesulitan dengan Acquila. Bahkan ketika tiga singa kecil pulang dari sekolahnya, Jenar langsung bisa mengendalikan ketiganya. Bahkan si duo perusuh Aidan-Azada pun bertekuk lutut pada Jenar. Mengingat selama ini banyak khadamah yang angkat tangan dalam mengasuh mereka berdua. Kalau Abrisam itu sangat kalem dan mudah dijaga namun sayang Abrisam jarang mau diurusi sama mbak-mbak khadamah. Dia lebih suka mandi dan apa-apa sendiri. Pokoknya mandiri sekali. Sehingga mbak-mbak khadamah cuma bisa gigit jari. Yah... Gagal deh colek-colek gus triplet yang cakepnya kebangetan huhuhu. Cucian deh...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status