Home / Romansa / Mahligai Bersamamu / 4. Om Azmi Butuh Istri

Share

4. Om Azmi Butuh Istri

Author: Bai_Nara
last update Huling Na-update: 2022-01-12 09:09:07

Azmi tengah bermain bola dengan ketiga Aslan. Mumpung minggu ceritanya sedangkan Azzam dan Caca sedang menghadiri undangan pengajian. Quila sendiri tengah di asuh oleh Jenar.

"Jurus tendangan tanpa bayangan. Hiyaa." Seru Azada.

"Jurus jaring laba-laba menangkap mangsa. Hap." Azmi menangkap bola yang ditendang oleh Azada.

"Yah.... Gagal maning." keluh Azada. Ini sudah kelima kalinya dia gagal memasukkan bola.

"Hehehe. Ayok katanya mau kayak Ronaldo atau Messi."

"Gantian. Minggir." Aidan yang paling jago olahraga diantara ketiganya langsung ancang-ancang dengan seringai dinginnya mirip sang abah.

1.....2....3 tendang....

"Yeah... Gol... Gol... Gol.... "

Astaga Azmi benar-benar terkecoh. Beneran deh emang Aidan paling jago olahraga diantara ketiganya mirip mas Azzam plus sikap dinginnya. Eh ... tapi mbak Caca juga untuk ukuran cewek jago olahraga. Dia masih ingat pas main bola voli kena smash dari mbak Caca, ya Allah sakitnya luar biasa.

Kalau Abrisam dari segi kejeniusan nurun emak bapaknya. Azada??? Entahlah dia mirip siapa? Dulunya dia pikir mirip mbak Caca tapi mbak Caca khan cuma pecicilan sama juteknya yang gak ketulungan. Kalau ini astaga rajanya pecicilan plus kejahilan plus ketengilan. Hadeh...

Heran dia, bisa-bisanya anak-anak masnya kayak gini. Tapi meski begitu mereka termasuk anak-anak yang cerdas dan masih tahu aturan. Meski duo jahil sering bikin ulah namun mereka akan berhenti jika menganggap kejahilan mereka sudah diluar batas.

"Yah... Gagal nih om ganteng. Oke, ayo Abri giliran kamu."

"Oke om."

Abri menendang bola... Hap berhasil ditangkap. Lalu menendang lagi ... Hap. Berhasil ditangkap lagi. Tendangan ketiga... Gooooollll.

"Yes." sahut Abrisam kalem.

Nah itulah kelebihan si Jenius. Meski kemampuan olahraganya dibawah Aidan namun ahli dalam strategi dan perhitungan. Tendangan pertama dan keduanya hanya taktik untuk mengetahui kelemahan lawan. Abri sudah menduga jika bola akan susah ditangkap omnya jika dia menendang ke sebelah kiri karena kaki Azmi memang sedikit sakit akibat kemarin kejatuhan kardus berisi pigura saat membantu para karyawannya di studio miliknya yang ada di Purwokerto. Azmi punya tiga studio foto, pertama di Jogja, Purwokerto dan Bumiayu. Usaha ini sudah dia rintis semenjak masuk kuliah dengan modal dari masnya.

"Yah... berarti tinggal Azada. Ayok Zada kita mulai lagi."

"Oke."

Setelah menendang lebih dari sepuluh kali akhirnya Azada berhasil memasukkan bola. Inilah kelebihan Azada, dia pantang menyerah. Dia akan selalu menggapai apapun meski jatuh berkali-kali. Dan murah senyum tentu saja.

"Gus.. Minumnya." Jenar membawakan minuman dibantu Fitri.

"Oh makasih mbak." sahut Azmi.

"Mbak Jeje, makan." pinta Azada.

"Gus Zada mau makan? Mbak siapin dulu ya."

"Oke."

"Gus Aidan dan Gus Abri mau juga?"

"Boleh." sahut keduanya.

"Aku gak kamu tawari mbak?"

"Oh... Hehehe. Maaf gus, lupa. Gus Azmi mau makan juga?"

"Boleh."

"Jeje sama Fitri siapin dulu ya gus."

"Oke." sahut keempat gus itu lalu kembali bermain bola.

Di dapur Fitri dan Jenar sibuk menyiapkan makanan. Quila sendiri tengah di asuh oleh Afi dan Desi yang sudah pulang dari kuliah.

"Monggo gus, sudah siap." Jenar memberitahu keempat gusnya.

"Iya mbak. Ayo triplet kita makan dulu."

"Oke." sahut ketiganya kompak.

Ketiganya mencuci tangan dan menuju ruang makan. Keempat gus ini makan dengan lahap.

****

Siangnya Azmi mengajak Aslan Triplet menuju studionya. Kebetulan studio sedang ramai sekali. Ketiga Aslan sudah diamankan di ruangan bermain anak bersama anak-anak yang lain. Azmi sengaja menyediakan arena khusus anak atas pertimbangan sang kakak. Dan ternyata benar. Dengan adanya arena ini, para orang tua jadi fokus bertransaksi tanpa direcoki anak-anaknya. Dan pelayanan berjalan semaksimal mungkin.

Saat tengah sibuk mengecek data keuangan ketiga cabang studionya, pintu ruangan Azmi diketuk.

"Masuk."

"Mas ... Ada yang nyari." Farid salah satu karyawannya masuk sambil membawa beberapa berkas yang diminta oleh Azmi.

Azmi lebih suka dipanggil mas atau bos oleh karyawannya. Baginya kalau di tempat kerja ya artinya kerja. Beda kalau di pondok.

"Siapa Farid?"

"Gus Zainal."

"Owh... Suruh masuk ya Rid."

"Siap bos."

Tak lama kemudian Zainal masuk bersama seorang wanita cantik, ning

Hafsah.

"Azmi."

"Hai Zai, gimana kabar?"

"Baik alhamdulillah."

"Kamu balik kok gak kasih kabar sih sama aku." sambung gus Zainal.

"Hehehe. Baru seminggu aku balik Zai. Maaf sibuk ngurusi ini itu. Gimana ada yang bisa aku bantu."

"Ini adikku mau foto wisuda, katanya pengen foto sendiri di foto studio biar hasilnya bagus."

"Bisa, tenang aja. Nanti aku minta salah satu juru potret terbaikku buat foto adik kamu."

"Kamu aja gimana? Khusus buat adikku, ya."

"Maaf, aku hanya melayani keluarga dan lelaki."

"Ck. Plis ya Mi, adikku pengen banget difoto sama kamu."

"Sori Zai, aku gak bisa."

"Ya gini aja halalin adikku ya, biar nanti dia bisa minta kamu fotoin."

"Hahaha. Gak usah bercanda Zai, Iqbal mau dikemanain. Udah kalau ning Hafsah mau silakan nanti aku minta karyawanku buat motoin tapi kalau gak mau ya sudah."

"Ah.... Gak asik kamu Mi."

"Sorry Zai, prinsip. Hehehe."

"Gimana dek?"

"Ya sudah gak papa mas."

"Beneran?"

"Iya."

"Ya sudah. Oke bolehlah, mau sekarang apa besok?"

"Besok saja mas, kan Hafsah belum bawa toga dan yang lainnya."

"Oke. Kalau gitu aku pamit ya Mi."

"Iya Zai."

Azmi menatap kepergian sahabat mondoknya waktu di Bumiayu. Setelah mereka pergi Azmi segera melanjutkan pekerjaannya.

Sementara di luar studio, tepatnya di dalam sebuah mobil Zainal dan Hafsah tengah ngobrol serius.

"Dek, mas gak setuju cara kamu. Mas tahu kamu suka sama Azmi sejak pertama bertemu, saat kamu ikut acara reuninya mas. Cuma kamu sudah di ta'aruf kan sama Iqbal dan kamu sudah setuju loh."

"Tapi Hafsah gak cinta mas."

"Lalu kenapa kamu mengiyakan, dek? Masa mau kamu batalin. Nanti orang tua kita yang malu."

"Waktu itu gus Azmi masih menunggu calonnya siap, tapi aku denger dari sahabatku di Jogja, gus Azmi memilih mundur karena calonnya mau melanjutkan spesialis."

"Tapi mas gak setuju dengan cara kamu dek. Beneran. Mas takut marwah kamu nanti tercemar belum lagi nama baik abi dan umi."

"Ya bilang aja, Hafsah belum siap dan merasa ragu gitu mas. Bukannya Allah gak suka keragu-raguan?"

"Iya bener. Tapi kamu yakin Azmi bakalan cinta sama kamu?"

"Ini Hafsah lagi berusaha mas. Makanya mas bantu aku dong."

"Mas cuma takut kamu kayak mbak Asyifa sepupu kita. Ingat kan kasusnya dulu. Dia memutuskan tali pertunangan dengan gus Jamal berharap jadi isterinya gus Azzam. Tapi lihat, gus Azzamnya gak dapat, mau balik lagi ke gus Jamal, gus Jamalnya juga gak mau. Akhirnya apa? Dia nikah sama ah... Sudahlah. Gak perlu mas bicarakan."

"Beda lah mas. Makanya Hafsah gak mau kayak mbak Asyifa yang nikah sama mas Dika karena gak ada calon lainnya. Lagian Hafsah baru tahap mau ta'aruf belum lamaran."

"Terserah kamu lah, tapi ingat jaga nama baik loh."

"Beres mas."

Aslinya Zainal agak was-was. Dia paham karakter pria dalam keluarga abah Ilyas. Abinya sendiri adalah saksi bagaimana seorang abah Ilyas mempertahankan umi Aisyah, kakak sepupunya Furqon adalah saksi bagaimana gus Azzam menolak Asyifa dan memperjuangkan ning Caca untuk menjadi istrinya hingga sekarang. Zainal takut, jika Hafsah akan mengalami hal yang sama. Karena sedikit banyak Zainal tahu karakter Azmi pun tak jauh berbeda dengan abah dan kakaknya. Tujuh tahun dia sabar menunggu pujaan hatinya, menandakan kalau dia tipe pria setia. Adapun sekarang dia menyerah pasti karena ada alasan. Meskipun Azmi belum tentu berjodoh dengan wanita yang ditunggunya namun bukan berarti Hafsah juga bisa menjadi penggantinya. Apalagi ketika dia ikut istikharah untuk adiknya hasilnya sungguh tak baik. Dia seperti mendapat petunjuk melalui keyakinan bahwa adiknya tidak berjodoh dengan Azmi. Tapi sayang adiknya walau terlihat kalem dan penurut aslinya keras kepala dan maunya segala yang ia ingin harus terpenuhi.

****

"Hem... Enak. Ini bukan masakan umi atau mbak Caca kayaknya. Siapa yang masak umi?" tanya Azmi.

"Owh... Jenar. Khadamah baru kita."

"Owh... Pinter masak kayak umi sama mbak Caca."

"Iya... Makanya umi seneng ada dia, kalau umi sama mbak Caca lagi repot dia bisa gantiin kita masak. Tapi khadamah yang lain juga pinter masak sih cuma ya.... Sssttt. Jangan keras-keras. Ndak enak umi ngomongnya." bisik umi Aisyah.

"Hehehe. Beres umi. Lagian kayak suami, anak dan cucunya umi rewel urusan makan."

"Bener. Kalian itu kalau masalah makanan paling gampang jadinya gak bisa buat rekomendasi masalah warung makan yang enak."

"Hahahaha. Tapi kita paling suka makanan rumahan umi. Lebih sehat dan enak dengan koki paling cantik sedunianya abah Ilyas dan keluarga singa."

"Hahaha. Eh ngomong-ngomong singa, ketiga singa kecil sama singa cantik umi kok gak kelihatan ini?"

"Kayaknya jalan-jalan umi. Sama mbak Jenar dan khadamah yang lain."

"Oh ya? Padahal triplet paling susah kalau diasuh sama mbak-mbak khadamah. Tumben ini. Ah coba kalau umi punya anak cowok lagi tak jodohkan sama Jenar."

"Umi.... Nyadar um. Udah tua, paling nanti nambahnya cucu. Lagian ngapain nyari anak lagi. Orang ada Azmi juga, lupa kalau Azmi jomblo dan butuh calon istri."

"Hahaha. Beneran kamu mau? Umi jodohin nih."

"Hahaha. Gak lah um, Azmi belum move on kasihan Jenarnya. Takut Azmi jadiin pelampiasan. Biar waktu yang menunjukkan aja. Kalau jodoh gak akan kemana."

"Betul. Kamu harus move on dulu. Insya Allah jodohmu udah disiapkan sama Allah, lagian kamu masih 27. Mas kamu aja nikah pas 29. Jadi kamu masih punya dua tahun lagi biar rekornya kayak mas kamu. Tapi usahakan jangan melebihi rekor abah, 30 tahun baru nikah."

"Hahaha. Kalau abah nikah muda gak ketemu umi dong."

"Iya ya."

Kedua ibu dan anak masih sibuk ngobrol dan sesekali tertawa. Abah Ilyas mengintip dari balik pintu kamarnya.

"Tenang Azmi, abah punya firasat jodoh kamu sebentar lagi datang." ucap abah Ilyas sambil tersenyum lalu memilih kembali untuk beristirahat.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Mbah..." teriak ketiga Aslan.

"Sini duduk makan dulu."

"Siap mbah."

"Ikutan makan yuk!" ajak umi Aisyah kepada keempat khadamah.

"Mboten umi, kami sudah makan kami lanjut ke kamar dulu mau siap-siap ada kuliah jam sembilan nanti."

"Ya sudah."

"Quila tidur Je."

"Nggih umi, ini mau Jeje taruh di kamar."

"Ya sudah bawa ke kamar dulu sana."

"Nggih umi."

Selesai menidurkan Quila. Jenar membantu umi mengurus ketiga cucunya yang sudah lapar habis jalan-jalan pagi. Kebetulan mereka libur karena para gurunya sedang mengawasi pelaksanaan ujian sekolah untuk kelas 6.

"Ayam mbak." pinta Azada.

"Siap gus."

"Udang mbak." kali ini Aidan yang meminta.

"Oke gus."

"Kamu ikutan makan." titah umi Aisyah.

"Mboten umi, Jeje masih kenyang."

"Gak usah malu dan jangan nolak, pokoknya harus ikut." paksa umi Aisyah.

Akhirnya Jenar ikutan makan meski dengan sangat canggung.

"Umi, minta tolong sayur kangkungnya."

Refleks Jeje mendekatkan sayur kangkung ke arah gus Azmi bahkan menuangkannya kedalam piring gus Azmi.

"Makasih mbak."

"Sama-sama gus."

"Widih..... Suit.. Suit..." Azada berteriak jahil.

"Kenapa kamu Zada." tanya Azmi melirik keponakan tengilnya namun masih dengan mengunyah makanan.

"Om sama mbak Jeje, kayak abah sama umi. Kayak simbah berdua juga. Eh bukannya istri tugasnya meladeni suami ya?"

"Iya. Kenapa emangnya?"

"Berarti mbak Jeje istrinya om dong, orang dari tadi dan kemarin dan kemarinnya lagi meladeni om pas makan."

"Uhukk... Uhuk." Azmi tersedak makanannya sedangkan Jeje membulatkan matanya.

"Ngawur."

Akhirnya acara makan kembali tenang.

Saat akan menuju mobilnya, Azmi kelabakan mencari kunci mobilnya.

"Astaga kebiasaan asal naruhmu itu loh Mi." omel umi Aisyah saat membantu putranya mencari kunci dan dibantu Aslan triplet.

"Pripun umi? Umi mau nyari apa?" tanya Jenar yang baru datang dan sedang menitah Quila.

"Ini nyari kunci mobilnya Azmi."

"Coba di ruang tamu umi, kayaknya tadi guse teleponan di sana."

"Oh... iya Azmi lupa."

Gus Azmi langsung ke ruang tamu dan menemukan kuncinya tergeletak di meja sudut sofa.

"Ketemu Azmi?"

"Ketemu Umi." terang gus Azmi sambil menunjukkan kuncinya.

"Hahahaha. Om Azmi butuh istri deh." celetuk Azada.

"Iya salah satunya biar bisa ngingetin betapa pelupanya om kita." sahut Aidan.

"Dan betapa tak bisa nyari apa-apa tanpa bantuan orang lain." kini Abrisam ikut menyahut.

"Hahaha. Tuh Mi, ketiga keponakanmu aja tahu kalau kamu butuh istri. Ya kan mbak Jenar."

"Iya.... Eh... Itu... Anu... Ehm. Saya permisi dulu nggih umi, kayaknya ning Quila pengin keluar rumah."

Jenar langsung keluar dengan salah tingkah, hal itu tidak luput dari perhatian Azmi bahkan Azmi terkekeh melihat keluguan Jenar.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Mahligai Bersamamu   39. Keluarga Bahagia (Sesion 1 Tamat)

    Azmi membuka pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya melongok lebih dahulu kemudian masuk pelan-pelan berusaha meminimalisir suara. Azmi tidak mau Jenar dan putranya, Azka bangun. Karena bisa dipastikan Azka yang kini menginjak usia lima belas bulan pasti bangun jika tahu dia sudah pulang. Dan itu berarti sang istri ikutan bangun. Padahal mungkin Jenar baru saja tertidur.Azmi terkekeh melihat posisi tidur Azka yang sudah menghadap kemana sedangkan Jenar tertidur dengan posisi miring ke arah kiri dengan beberapa kancing daster yang terbuka. Pasti Azka tidur setelah puas minum sedangkan Jenar yang sudah kelelahan tanpa sadar tidur duluan. Dengan pelan Azmi mengancingkan kancing daster Jenar. Soalnya bahaya, ini aja Azmi harus berusaha menahan diri, rasanya ingin menggantikan Azka buat menikmati sumber makanan si bayi. Hahaha. Duh, biarlah dikata omes toh sama istri sendiri.Setelah menaruh tas dan jaket pada tempatnya, Azmi segera mengambil handuk dan baju ganti lalu berjala

  • Mahligai Bersamamu   38. Kyamud Dan Bunyamud

    Seakan memang sudah digariskan oleh sang pencipta, semua urusan tentang pembelian tanah dan bangunan peninggalan Alifah berjalan tanpa hambatan berarti. Setelah semua administrasi selesai, beberapa bagian pondok akhirnya ada yang dicat ulang, direnovasi atau dipugar. Azmi bahkan sengaja membangun beberapa kamar lagi untuk santri putra dan putri. Untuk fasilitas MA-nya, Azmi berusaha melengkapinya juga dengan fasilitas laboratorium MIPA maupun komputer. Azmi bahkan merekrut beberapa pengajar untuk melengkapi kekurangan guru yang ada.“Mas, ini gak papa kan aku pakai uangnya Mas Azzam juga? Habis duitku gak cukup kalau aku sendirian yang jadi donatur.”“Ya nanti ganti kalau sudah ada uangnya,” sahut Azzam.“Gak usah lah ya Mas, kan udah lama juga Azmi gak minta duit sama Mas Azzam jadi sekarang Azmi borong.”Azzam cuma mencebik lalu mengacak kasar rambut adiknya dan dibalas Azmi dengan senyuman manis serta sorot puppy eyes persis

  • Mahligai Bersamamu   37. Keputusan Azmi

    Azmi mengernyit menatap beberapa orang yang mendatangi rumah mertuanya.“Gus.”Beberapa orang yang datang langsung menyalami Azmi bahkan hendak mencium punggung tangan Azmi namun Azmi menolak dan meminta mereka bersalaman secara biasa saja. Karmin mengajak sang menantu dan tamu yang datang duduk di ruang tamu.“Ada apa ini, Sir?” tanya Karmin pada salah seorang dari tamu yang datang.“Ini Pak Karmin, ada pengacara Ning Alifah kemarin datang ke pondok dan bertemu dengan kami para pengurus. Katanya pondok gak ada yang ngasuh karena Ning Alifah belum sempat mewariskan atau menghibahkan pondok sama siapa pun. Jadi menurut pengacara Ning Alifah, akan lebih baik jika pondok dijual pada seseorang yang mau merawat pondok dan meneruskan perjuangan Kyai Mustofa,” terang Yasir salah satu pengurus pondok yang berusia sekitar empat puluhan.Azmi mendengarkan dengan seksama penjelasan Yasir, dalam hatinya tiba-tiba ada desiran hal

  • Mahligai Bersamamu   36. Pemakaman

    Amira dan Murni duduk gelisah sambil sesekali melihat ke arah jam. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun Khalid, Alifah dan Arif belum juga kembali.“Coba dihubungi lagi, Mira.”“Sudah Umi, tapi gak aktif.”“Duh, umi kok punya firasat gak enak ya.”Kedua ibu dan anak masih setia menunggu kabar dari Alifah atau Arif. Hamid yang baru bangun tidur melihat heran tingkah anak dan istrinya. Dia duduk di kursi yang bersebrangan dengan anak dan istrinya yang duduk di kursi panjang.“Abi sakit? Masa seharian tidur terus?”tanya Murni khawatir.“Enggak, oh iya Khalid mana?”“Nah, itu dia. Khalid belum pulang.”Hamid mengernyit. “Memangnya Khalid ke mana?”“Pergi sama Alifah ke Banjar.”Hamid kaget, wajahnya mendadak pias. Hamid langsung berdiri membuat Murni dan Amira menatap bingung tingkah Hamid.Sampai di kam

  • Mahligai Bersamamu   35. Kecelakaan

    Waktu terus berjalan, tak terasa sudah tiga bulan, Alifah dan Arif berada di Al-Huda. Hamid masih tak ada kabar, sementara Amira memilih kembali pulang ke Pemalang dengan ditemani oleh Murni. Khalid tidak mau tinggal bersama Amira. Khalid yang sejak kecil kurang mendapat kasih sayang baik dari Almer maupun Amira, begitu menikmati kasih sayang dari Alifah dan Arif. Khalid kecil merasa nyaman dan merasa dicintai layaknya anak kecil pada umumnya. Bahkan Tuti, ibunya Arif begitu menyayangi Khalid dan menganggapnya sebagai cucu kandung.“Awas! Kena kamu ya!” Alifah sedang bermain dengan Khalid, sejak tadi balita itu tertawa terus sambil berlari.“Cini, Umi. Tangkap Aid. Hahaha.”Arif yang baru datang menatap haru tingkah Alifah dan Khalid. Senyumnya merekah ketika melihat Khalid melambaikan tangan ke arahnya.“Main apa hem? Kayaknya senang sekali.”Arif menangkap Khalid yang berlari ke arahnya. Membopongnya kemudian mengh

  • Mahligai Bersamamu   34. Panggilan Dari Khalid

    Murni menatap sang suami dengan gelisah. Hamid terlihat marah. Murni ingin menegur tapi terlalu takut akan menjadi sasaran kemarahan Hamid. Bukan tanpa sebab Hamid marah. Semua berawal dari banyaknya keluhan para santri akan gaya kepemimpinannya. Belum lagi pemasukan pondok yang kian hari kian menipis. Banyak donatur yang kini enggan memberikan sumbangan pada Al-Huda. Ditambah lagi beberapa harta peninggalan sang Adik yang akhirnya ludes demi pengobatan Alifah. Kini tak ada apa pun yang tersisa. Hanya pondok, pondok yang mulai sepi.“Abi.” Suara pintu diketuk dari luar mengalihkan perhatian suami istri.Murni membuka pintu kamar dan terlihatlah Amira beserta putranya, Khalid.“Kenapa, Mira?”“Itu, Umi, Abi. Alifah sama Mas Arif sudah pulang.”Murni mengangguk, Amira segera berlalu dengan membopong Khalid yang kini berusia tiga tahun. Hamid masih diam saja, kepalanya pusing. Kepulangan Alifah setelah berobat dari Singapura

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status