Home / Romansa / Mahligai Bersamamu / 5. Ndeso Bin Katrok

Share

5. Ndeso Bin Katrok

Author: Bai_Nara
last update Last Updated: 2022-01-14 14:13:23

“Ooom!” teriak Azada.

“Iya.”

“Ayok ke Timezone.”

“Boleh.”

“Aidan sama Abrisam mau ikut gak?”

“Ikut,” jawab keduanya kompak.

“Siap-siap sana!”

“Oke.”

Azmi menuju abah dan uminya yang sedang duduk sambil menonton TV. Rupanya kepulangan si bungsu membuat kondisi Abah Ilyas semakin membaik.

“Kamu bawa mbak-mbak khadamah saja, Mi.”

“Iya Umi, lagian gak bisa aku handel mereka bertiga sendirian.”

“Hehehe. Habis kamu selalu kalah sama mereka,” timpal abahnya.

“Heran aku, gimana caranya Mas Azzam sama Mbak Caca ngurus ketiganya kalau pergi-pergi tanpa khadamah atau kang ndalem? Ditambah ada Quila lagi.”

“Mereka, kan orang tuanya, ya mereka harus bisa menaklukan anak-anaknya dong. Kalau gak bisa, nanti bagaimana mereka mengarahkan keluarga mereka?” jawab abah bijak.

“Iya sih, Bah. Itu duo perusuh aja cuma manut sama abah dan uminya. Sama ....”

“Abrisam,” jawab abah dan umi kompak.

“Iya. Duh itu si Abri emang pantes jadi kakak. Soalnya aura wibawanya keliatan banget.”

“Amin. Insya Allah mereka bakalan jadi anak baik semua yah walau agak ....”

“Nakal ya, Um.”

“Iya. Tapi persis Azzam sih waktu kecil sampai remaja. Hahaha,” kenang umi.

“Hah? Beneran, Um?” Azmi gak percaya.

“Beneran. Masmu itu sewaktu kecil pecicilan, gak mau diem, tukang bikin rusuh, jenis kenakalan biasa lah sebagai santri. Masih tergolong wajar. Untung kebantu sama otaknya yang encer. Mirip kamu juga, ‘kan?” ledek Umi Aisyah pada Azmi.

“Hehehe. Sekarang Azmi udah tobat, Um.”

“Harus! Udah gede juga. Bentar lagi jadi ayah kalau punya anak sendiri.”

“Amin. Segera ya Umi.”

“Amin.”

Lalu terdengarlah tawa ketiganya berbarengan dengan kedatangan Desi dan Jenar.

“Pripun, Gus? Katanya manggil kami?” tanya Desi.

“Temeni saya menjaga Aslan triplet main ke Timezone.”

“Nggih, Gus,” sahut Desi antusias sedangkan Jenar bingung.

Timezone itu apa ya?

***

Ketiga Aslan sudah berlarian di sekitar Rita Super Mall diikuti Azmi. Desi sudah senyam senyum gaje dari tadi. Sedangkan Jenar? Dia bingung sekaligus malu. Dia belum pernah ngemall. Tempat terjauh yang ia kunjungi selama di Wonosobo adalah pasar.

“Je, salah bukan ke arah situ tapi ke arah sini!” teriak Desi saat temannya malah berjalan ke arah yang salah.

“Oh. Iya maaf,” jawab Jenar kikuk.

“Santai aja Je, bersikaplah seolah-olah kamu udah biasa ke sini.”

“Tapi aku gak pernah main ke tempat kayak gini, Des,” bisik Jenar.

“Makanya dibiasain mulai sekarang. Apalagi kamu sekarang jadi pengasuh keluarga Aslan.”

“Iya.”

Mereka mengitari lantai bawah dengan penuh antusias. Kalau dulu Azmi yang suka memanfaatkan masnya sekarang gantian Azmi yang dimanfaatin oleh ketiga keponakannya.

Ckckck. Tombok ini om gantengnya. Padahal dulu aku sendirian minta jatah sama Mas Azam, eh ini aku malah dibales langsung sama tiga orang.” Meski kedengaran mengomel aslinya Azmi senang-senang saja membelikan berbagai barang untuk keponakannya. Bahkan dia membeli beberapa baju cantik, bando, dan kerudung untuk Quila.

“Om ... ayok ke Timezone!” teriak Azada yang sudah tidak sabar.

Azada, Aidan, dan Abrisam langsung menaiki eskalator menuju lantai atas. Karena letak permainan anak berada di lantai atas. Jenar melongo. Dia menarik tangan Desi.

“Kenapa sih?” tanya Desi.

“Aku takut. Ada tangga yang gak jalan gak sih?”

“Astagfirullah, jangan bercanda kamu!” bisik Desi.

“Tapi beneran aku takut loh. Aku nunggu di bawah saja ya.” Jenar nampak ketakutan.

Wis ayuh melu aku. Cekelan tanganku.” (Sudah ayok ikut aku. Pegangan tanganku)

Jenar melingkarkan tangannya pada lengan kiri Desi. Kakinya kebingungan mau naik ke eskalator dengan cara bagaimana. Berulangkali kaki satunya sudah naik tapi kaki satunya bergetar gak bisa diangkat. Jadi gagal deh. Duh muka Jenar sudah memerah karena takut dan malu. Desi sendiri bingung antara mau ketawa tapi merasa kasihan juga. Ya ampun, Jenar ini ya lugu ya ndeso alias katrok.

Azmi yang menyadari para khadamahnya belum juga naik menoleh ke arah mereka. Azmi tidak bisa menahan kekehannya. Astaga! Dia segera memberi kode pada Aslan.

“Tuh, Mbak Jenar dibantu naik Zad.”

“Hah? Oh ... oke Om. Ayok Dan, kita bantu.”

“Oke.”

Azada dan Aidan turun kembali kemudian mereka menggenggam tangan Jenar kiri dan kanan.

“Ikutan aba-aba Zada ya Mbak, nanti di hitungan ketiga kaki kanan angkat dan taroh di sana. Lalu kaki kirinya ditaruh setelahnya.” Azada menunjuk eskalator.

“1 ... 2 ... 3 angkat. Hap.”

Meski dengan agak canggung, Jenar akhirnya bisa menaiki eskalator. Desi mengikuti dibelakangnya sambil terus menahan tawa. Saat akan turun, Jenar hampir saja keserimpet gamisnya karena malah lompat. Untung gak jatuh. Kalau jatuh malu, kan jadinya.

Azmi sendiri hanya bisa geleng-geleng kepala. Ternyata masih ada ya gadis lugu dan ndeso kayak Jenar. Rumahnya pelosok banget apa gimana nih?

***

Ketiga Aslan langsung ke area Timezone dan bermain di sana. Jenar dan Desi mengamati ketiganya. Sementara Azmi sibuk mengecek usahanya lewat ponsel.

Jenar menatap takjub ke sekelilingnya. Dia sungguh merasa gumun dengan semua hal yang baru pertama kali dilihat dan dialaminya.

“Jangan kelihatan gumun gitu Je, kesannya ndeso alias katrok tahu.”

“Tapi aku memang gumun, soalnya ini baru pertama kalinya Des. Di tempatnya aku gak ada kayak ginian.”

“Melosok banget apa rumahmu?”

“Iya. Orang di kelilingi kali alias sungai.”

“Owh gitu.”

Mereka melanjutkan mengobrol hal lain sambil terus mengawasi para gus kecil.

“Om ... laper!” teriak Azada setelah satu jam bermain.

“Oke. Ayok kita makan.”

Mereka menuju ke area foodcourt dan lagi-lagi Jenar merasa panas dingin karena harus naik eskalator lagi. Ya Allah.

Aidan dan Azada sudah siap berada di kanan kiri Jenar. Mereka memberikan uluran tangannya sambil tersenyum. Jenar menunduk pasrah. Ya Allah, malunya. Udah Ndeso, katrok lagi. Pokoknya double malunya.

“Memangnya Mbak Jenar gak pernah ke mall?” tanya Azada.

Mboten Gus, di tempatnya mbak gak ada mall. Adanya pasar sama kali. Wadas lintang, kan terkenal banyak kali.”

“Benarkah? Wah kapan-kapan kita harus ke sana,” ucap Aidan dengan semangat.

“Ngapain Gus? Orang adanya cuma kali gak ada mall kayak di sini.” Jenar mengernyit melihat gusnya tampak bersemangat.

“Justru kita bosen sama mall, Mbak. Kita pengin main jauh berpetualang dan berbaur dengan alam. Gimana Mas?” tanya Aidan pada Abrisam.

“Beres. Liburan nanti kita minta Abah ngijinin kita jalan-jalan ke Wonosobo sekalian ke Dieng.”

“Oke.” Kompak Aidan dan Azada.

“Hah?!” Jenar semakin melongo dengan ketiga gus kecilnya.

“Bapaknya suka naik gunung Mbak, ibunya pramuka sejati. Jadi ya jangan heran mereka suka banget berpetualang dengan alam,” terang Gus Azmi.

“Oh begitu. Nanti Mbak Jeje ajak mancing ya Gus.”

“Mbak Jeje bisa mancing?” tanya Azmi.

“Hehehe. Bisa Gus. Gampang pokoknya.”

“Beneran?”

“Beneran Gus Azmi.”

“Okeh. Yang penting sekarang kita makan dulu.”

“Hah? Boleh Jeje nunggu di sana saja, Gus?” pinta Jeje dengan wajah memelas.

Dan hanya ditertawakan oleh Azmi yang langsung menaiki eskalator. Sementara kedua tangan Jenar sudah digandeng oleh duo gusnya. Dan hap! Akhirnya, Jeje bisa naik eskalator juga walaupun lagi-lagi dia hampir jatuh karena keserimpet gamisnya. Hahaha.

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nury
lucu n gemesin yq
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mahligai Bersamamu   39. Keluarga Bahagia (Sesion 1 Tamat)

    Azmi membuka pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya melongok lebih dahulu kemudian masuk pelan-pelan berusaha meminimalisir suara. Azmi tidak mau Jenar dan putranya, Azka bangun. Karena bisa dipastikan Azka yang kini menginjak usia lima belas bulan pasti bangun jika tahu dia sudah pulang. Dan itu berarti sang istri ikutan bangun. Padahal mungkin Jenar baru saja tertidur.Azmi terkekeh melihat posisi tidur Azka yang sudah menghadap kemana sedangkan Jenar tertidur dengan posisi miring ke arah kiri dengan beberapa kancing daster yang terbuka. Pasti Azka tidur setelah puas minum sedangkan Jenar yang sudah kelelahan tanpa sadar tidur duluan. Dengan pelan Azmi mengancingkan kancing daster Jenar. Soalnya bahaya, ini aja Azmi harus berusaha menahan diri, rasanya ingin menggantikan Azka buat menikmati sumber makanan si bayi. Hahaha. Duh, biarlah dikata omes toh sama istri sendiri.Setelah menaruh tas dan jaket pada tempatnya, Azmi segera mengambil handuk dan baju ganti lalu berjala

  • Mahligai Bersamamu   38. Kyamud Dan Bunyamud

    Seakan memang sudah digariskan oleh sang pencipta, semua urusan tentang pembelian tanah dan bangunan peninggalan Alifah berjalan tanpa hambatan berarti. Setelah semua administrasi selesai, beberapa bagian pondok akhirnya ada yang dicat ulang, direnovasi atau dipugar. Azmi bahkan sengaja membangun beberapa kamar lagi untuk santri putra dan putri. Untuk fasilitas MA-nya, Azmi berusaha melengkapinya juga dengan fasilitas laboratorium MIPA maupun komputer. Azmi bahkan merekrut beberapa pengajar untuk melengkapi kekurangan guru yang ada.“Mas, ini gak papa kan aku pakai uangnya Mas Azzam juga? Habis duitku gak cukup kalau aku sendirian yang jadi donatur.”“Ya nanti ganti kalau sudah ada uangnya,” sahut Azzam.“Gak usah lah ya Mas, kan udah lama juga Azmi gak minta duit sama Mas Azzam jadi sekarang Azmi borong.”Azzam cuma mencebik lalu mengacak kasar rambut adiknya dan dibalas Azmi dengan senyuman manis serta sorot puppy eyes persis

  • Mahligai Bersamamu   37. Keputusan Azmi

    Azmi mengernyit menatap beberapa orang yang mendatangi rumah mertuanya.“Gus.”Beberapa orang yang datang langsung menyalami Azmi bahkan hendak mencium punggung tangan Azmi namun Azmi menolak dan meminta mereka bersalaman secara biasa saja. Karmin mengajak sang menantu dan tamu yang datang duduk di ruang tamu.“Ada apa ini, Sir?” tanya Karmin pada salah seorang dari tamu yang datang.“Ini Pak Karmin, ada pengacara Ning Alifah kemarin datang ke pondok dan bertemu dengan kami para pengurus. Katanya pondok gak ada yang ngasuh karena Ning Alifah belum sempat mewariskan atau menghibahkan pondok sama siapa pun. Jadi menurut pengacara Ning Alifah, akan lebih baik jika pondok dijual pada seseorang yang mau merawat pondok dan meneruskan perjuangan Kyai Mustofa,” terang Yasir salah satu pengurus pondok yang berusia sekitar empat puluhan.Azmi mendengarkan dengan seksama penjelasan Yasir, dalam hatinya tiba-tiba ada desiran hal

  • Mahligai Bersamamu   36. Pemakaman

    Amira dan Murni duduk gelisah sambil sesekali melihat ke arah jam. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun Khalid, Alifah dan Arif belum juga kembali.“Coba dihubungi lagi, Mira.”“Sudah Umi, tapi gak aktif.”“Duh, umi kok punya firasat gak enak ya.”Kedua ibu dan anak masih setia menunggu kabar dari Alifah atau Arif. Hamid yang baru bangun tidur melihat heran tingkah anak dan istrinya. Dia duduk di kursi yang bersebrangan dengan anak dan istrinya yang duduk di kursi panjang.“Abi sakit? Masa seharian tidur terus?”tanya Murni khawatir.“Enggak, oh iya Khalid mana?”“Nah, itu dia. Khalid belum pulang.”Hamid mengernyit. “Memangnya Khalid ke mana?”“Pergi sama Alifah ke Banjar.”Hamid kaget, wajahnya mendadak pias. Hamid langsung berdiri membuat Murni dan Amira menatap bingung tingkah Hamid.Sampai di kam

  • Mahligai Bersamamu   35. Kecelakaan

    Waktu terus berjalan, tak terasa sudah tiga bulan, Alifah dan Arif berada di Al-Huda. Hamid masih tak ada kabar, sementara Amira memilih kembali pulang ke Pemalang dengan ditemani oleh Murni. Khalid tidak mau tinggal bersama Amira. Khalid yang sejak kecil kurang mendapat kasih sayang baik dari Almer maupun Amira, begitu menikmati kasih sayang dari Alifah dan Arif. Khalid kecil merasa nyaman dan merasa dicintai layaknya anak kecil pada umumnya. Bahkan Tuti, ibunya Arif begitu menyayangi Khalid dan menganggapnya sebagai cucu kandung.“Awas! Kena kamu ya!” Alifah sedang bermain dengan Khalid, sejak tadi balita itu tertawa terus sambil berlari.“Cini, Umi. Tangkap Aid. Hahaha.”Arif yang baru datang menatap haru tingkah Alifah dan Khalid. Senyumnya merekah ketika melihat Khalid melambaikan tangan ke arahnya.“Main apa hem? Kayaknya senang sekali.”Arif menangkap Khalid yang berlari ke arahnya. Membopongnya kemudian mengh

  • Mahligai Bersamamu   34. Panggilan Dari Khalid

    Murni menatap sang suami dengan gelisah. Hamid terlihat marah. Murni ingin menegur tapi terlalu takut akan menjadi sasaran kemarahan Hamid. Bukan tanpa sebab Hamid marah. Semua berawal dari banyaknya keluhan para santri akan gaya kepemimpinannya. Belum lagi pemasukan pondok yang kian hari kian menipis. Banyak donatur yang kini enggan memberikan sumbangan pada Al-Huda. Ditambah lagi beberapa harta peninggalan sang Adik yang akhirnya ludes demi pengobatan Alifah. Kini tak ada apa pun yang tersisa. Hanya pondok, pondok yang mulai sepi.“Abi.” Suara pintu diketuk dari luar mengalihkan perhatian suami istri.Murni membuka pintu kamar dan terlihatlah Amira beserta putranya, Khalid.“Kenapa, Mira?”“Itu, Umi, Abi. Alifah sama Mas Arif sudah pulang.”Murni mengangguk, Amira segera berlalu dengan membopong Khalid yang kini berusia tiga tahun. Hamid masih diam saja, kepalanya pusing. Kepulangan Alifah setelah berobat dari Singapura

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status