“Ooom!” teriak Azada.
“Iya.”
“Ayok ke Timezone.”
“Boleh.”
“Aidan sama Abrisam mau ikut gak?”
“Ikut,” jawab keduanya kompak.
“Siap-siap sana!”
“Oke.”
Azmi menuju abah dan uminya yang sedang duduk sambil menonton TV. Rupanya kepulangan si bungsu membuat kondisi Abah Ilyas semakin membaik.
“Kamu bawa mbak-mbak khadamah saja, Mi.”
“Iya Umi, lagian gak bisa aku handel mereka bertiga sendirian.”
“Hehehe. Habis kamu selalu kalah sama mereka,” timpal abahnya.
“Heran aku, gimana caranya Mas Azzam sama Mbak Caca ngurus ketiganya kalau pergi-pergi tanpa khadamah atau kang ndalem? Ditambah ada Quila lagi.”
“Mereka, kan orang tuanya, ya mereka harus bisa menaklukan anak-anaknya dong. Kalau gak bisa, nanti bagaimana mereka mengarahkan keluarga mereka?” jawab abah bijak.
“Iya sih, Bah. Itu duo perusuh aja cuma manut sama abah dan uminya. Sama ....”
“Abrisam,” jawab abah dan umi kompak.
“Iya. Duh itu si Abri emang pantes jadi kakak. Soalnya aura wibawanya keliatan banget.”
“Amin. Insya Allah mereka bakalan jadi anak baik semua yah walau agak ....”
“Nakal ya, Um.”
“Iya. Tapi persis Azzam sih waktu kecil sampai remaja. Hahaha,” kenang umi.
“Hah? Beneran, Um?” Azmi gak percaya.
“Beneran. Masmu itu sewaktu kecil pecicilan, gak mau diem, tukang bikin rusuh, jenis kenakalan biasa lah sebagai santri. Masih tergolong wajar. Untung kebantu sama otaknya yang encer. Mirip kamu juga, ‘kan?” ledek Umi Aisyah pada Azmi.
“Hehehe. Sekarang Azmi udah tobat, Um.”
“Harus! Udah gede juga. Bentar lagi jadi ayah kalau punya anak sendiri.”
“Amin. Segera ya Umi.”
“Amin.”
Lalu terdengarlah tawa ketiganya berbarengan dengan kedatangan Desi dan Jenar.
“Pripun, Gus? Katanya manggil kami?” tanya Desi.
“Temeni saya menjaga Aslan triplet main ke Timezone.”
“Nggih, Gus,” sahut Desi antusias sedangkan Jenar bingung.
Timezone itu apa ya?
***
Ketiga Aslan sudah berlarian di sekitar Rita Super Mall diikuti Azmi. Desi sudah senyam senyum gaje dari tadi. Sedangkan Jenar? Dia bingung sekaligus malu. Dia belum pernah ngemall. Tempat terjauh yang ia kunjungi selama di Wonosobo adalah pasar.
“Je, salah bukan ke arah situ tapi ke arah sini!” teriak Desi saat temannya malah berjalan ke arah yang salah.
“Oh. Iya maaf,” jawab Jenar kikuk.
“Santai aja Je, bersikaplah seolah-olah kamu udah biasa ke sini.”
“Tapi aku gak pernah main ke tempat kayak gini, Des,” bisik Jenar.
“Makanya dibiasain mulai sekarang. Apalagi kamu sekarang jadi pengasuh keluarga Aslan.”
“Iya.”
Mereka mengitari lantai bawah dengan penuh antusias. Kalau dulu Azmi yang suka memanfaatkan masnya sekarang gantian Azmi yang dimanfaatin oleh ketiga keponakannya.
“Ckckck. Tombok ini om gantengnya. Padahal dulu aku sendirian minta jatah sama Mas Azam, eh ini aku malah dibales langsung sama tiga orang.” Meski kedengaran mengomel aslinya Azmi senang-senang saja membelikan berbagai barang untuk keponakannya. Bahkan dia membeli beberapa baju cantik, bando, dan kerudung untuk Quila.
“Om ... ayok ke Timezone!” teriak Azada yang sudah tidak sabar.
Azada, Aidan, dan Abrisam langsung menaiki eskalator menuju lantai atas. Karena letak permainan anak berada di lantai atas. Jenar melongo. Dia menarik tangan Desi.
“Kenapa sih?” tanya Desi.
“Aku takut. Ada tangga yang gak jalan gak sih?”
“Astagfirullah, jangan bercanda kamu!” bisik Desi.
“Tapi beneran aku takut loh. Aku nunggu di bawah saja ya.” Jenar nampak ketakutan.
“Wis ayuh melu aku. Cekelan tanganku.” (Sudah ayok ikut aku. Pegangan tanganku)
Jenar melingkarkan tangannya pada lengan kiri Desi. Kakinya kebingungan mau naik ke eskalator dengan cara bagaimana. Berulangkali kaki satunya sudah naik tapi kaki satunya bergetar gak bisa diangkat. Jadi gagal deh. Duh muka Jenar sudah memerah karena takut dan malu. Desi sendiri bingung antara mau ketawa tapi merasa kasihan juga. Ya ampun, Jenar ini ya lugu ya ndeso alias katrok.
Azmi yang menyadari para khadamahnya belum juga naik menoleh ke arah mereka. Azmi tidak bisa menahan kekehannya. Astaga! Dia segera memberi kode pada Aslan.
“Tuh, Mbak Jenar dibantu naik Zad.”
“Hah? Oh ... oke Om. Ayok Dan, kita bantu.”
“Oke.”
Azada dan Aidan turun kembali kemudian mereka menggenggam tangan Jenar kiri dan kanan.
“Ikutan aba-aba Zada ya Mbak, nanti di hitungan ketiga kaki kanan angkat dan taroh di sana. Lalu kaki kirinya ditaruh setelahnya.” Azada menunjuk eskalator.
“1 ... 2 ... 3 angkat. Hap.”
Meski dengan agak canggung, Jenar akhirnya bisa menaiki eskalator. Desi mengikuti dibelakangnya sambil terus menahan tawa. Saat akan turun, Jenar hampir saja keserimpet gamisnya karena malah lompat. Untung gak jatuh. Kalau jatuh malu, kan jadinya.
Azmi sendiri hanya bisa geleng-geleng kepala. Ternyata masih ada ya gadis lugu dan ndeso kayak Jenar. Rumahnya pelosok banget apa gimana nih?
***
Ketiga Aslan langsung ke area Timezone dan bermain di sana. Jenar dan Desi mengamati ketiganya. Sementara Azmi sibuk mengecek usahanya lewat ponsel.
Jenar menatap takjub ke sekelilingnya. Dia sungguh merasa gumun dengan semua hal yang baru pertama kali dilihat dan dialaminya.
“Jangan kelihatan gumun gitu Je, kesannya ndeso alias katrok tahu.”
“Tapi aku memang gumun, soalnya ini baru pertama kalinya Des. Di tempatnya aku gak ada kayak ginian.”
“Melosok banget apa rumahmu?”
“Iya. Orang di kelilingi kali alias sungai.”
“Owh gitu.”
Mereka melanjutkan mengobrol hal lain sambil terus mengawasi para gus kecil.
“Om ... laper!” teriak Azada setelah satu jam bermain.
“Oke. Ayok kita makan.”
Mereka menuju ke area foodcourt dan lagi-lagi Jenar merasa panas dingin karena harus naik eskalator lagi. Ya Allah.
Aidan dan Azada sudah siap berada di kanan kiri Jenar. Mereka memberikan uluran tangannya sambil tersenyum. Jenar menunduk pasrah. Ya Allah, malunya. Udah Ndeso, katrok lagi. Pokoknya double malunya.
“Memangnya Mbak Jenar gak pernah ke mall?” tanya Azada.
“Mboten Gus, di tempatnya mbak gak ada mall. Adanya pasar sama kali. Wadas lintang, kan terkenal banyak kali.”
“Benarkah? Wah kapan-kapan kita harus ke sana,” ucap Aidan dengan semangat.
“Ngapain Gus? Orang adanya cuma kali gak ada mall kayak di sini.” Jenar mengernyit melihat gusnya tampak bersemangat.
“Justru kita bosen sama mall, Mbak. Kita pengin main jauh berpetualang dan berbaur dengan alam. Gimana Mas?” tanya Aidan pada Abrisam.
“Beres. Liburan nanti kita minta Abah ngijinin kita jalan-jalan ke Wonosobo sekalian ke Dieng.”
“Oke.” Kompak Aidan dan Azada.
“Hah?!” Jenar semakin melongo dengan ketiga gus kecilnya.
“Bapaknya suka naik gunung Mbak, ibunya pramuka sejati. Jadi ya jangan heran mereka suka banget berpetualang dengan alam,” terang Gus Azmi.
“Oh begitu. Nanti Mbak Jeje ajak mancing ya Gus.”
“Mbak Jeje bisa mancing?” tanya Azmi.
“Hehehe. Bisa Gus. Gampang pokoknya.”
“Beneran?”
“Beneran Gus Azmi.”
“Okeh. Yang penting sekarang kita makan dulu.”
“Hah? Boleh Jeje nunggu di sana saja, Gus?” pinta Jeje dengan wajah memelas.
Dan hanya ditertawakan oleh Azmi yang langsung menaiki eskalator. Sementara kedua tangan Jenar sudah digandeng oleh duo gusnya. Dan hap! Akhirnya, Jeje bisa naik eskalator juga walaupun lagi-lagi dia hampir jatuh karena keserimpet gamisnya. Hahaha.
*****
“Gus.”“Eh. Ning Hafsah.”“Iya saya.”“Ada apa, Ning?”“Mau ambil foto, Gus.”“Oh. Saya duluan ya.”“Eh. Gus tunggu!”Azmi membalikkan badannya namun matanya tak memandang Hafsah.“Iya.”“Ehm ... saya ... saya ... saya ....”“Bos.”“Iya.”“Semua sudah siap.”“Oke. Maaf Ning, saya duluan.”Azmi langsung menuju studio foto. Ada sebuah butik yang meminta bantuannya untuk memfoto hasil rancangannya untuk desain kemeja dan jas laki-laki.Ning Hafsah sendiri mendesah, ingin sekali mengatakan kalau dia suka sama Gus Azmi dan ingin melakukan ta’aruf dengannya. Namun lidahnya kelu. Dia dan Kakaknya Gus Zainal sudah mencoba menggagalkan pertemuan antara dirinya dan Gus Iqbal. Sayang Gus Iqbal menolak, akhirnya pertemuan i
“Abah sudah kelihatan lebih sehat,” ucap Azmi sambil memijit Abahnya.“Alhamdulillah. Semoga masih sehat terus sampai lihat kamu nikah.”“Amin, Bah.”Azmi melanjutkan kembali memijat sang abah. Mereka tengah bersantai di gazebo belakang rumah sementara Aslan triplet sedang belajar gerakan tinju dengan sang abah singa.“Ckckck. Itu Mas Azzam ngapain coba, masih pada kecil udah diajarin tinju.”“Hehehe. Mas kamu justru sedang melatih kesabaran dan mengolah emosi mereka, Mi. Kamu tahu sendiri mereka itu cenderung anak hiperaktif dan penuh rasa ingin tahu. Makanya dari kecil sudah harus diarahkan dan diolah emosinya,” terang Abah Ilyas.“Hehehe. Sama kayak Mas Azzam ya, Bah.”“Iya, begitulah abah mendidik mas kamu.”“Tapi kok sama Azmi beda, Bah?”“Soalnya kamu lebih lembut orangnya, sensitif alias perasa, fisikmu w
“Wow ... its wonderful!” teriak Azada.“Do you like it, Gus?”“I like it, Mbak Je. Mas, Idan ayok kita berenang.”“Wokeh.” Ketiga Aslan langsung menuju ke sungai dekat rumah Jenar. Mereka sedang liburan di rumah Jenar ceritanya. Sudah dua hari dua malam mereka menginap di rumah Jenar bersama Desi.“Gila, pantesan kamu katrok ya Je pas pertama aku lihat kamu. Lah rumahmu masih kampung kayak gini,” celetuk Desi.“Kan aku udah bilang, di kampungku gak ada mall adanya kali sama pasar.”“Ho’oh, ra kuat aku nek kon urip neng kene.”(gak kuat aku kalau disuruh hidup disini).Jenar hanya tertawa, lalu mengawasi ketiga gusnya yang sedang bermain di sungai. Bahkan sesekali mereka saling menciprati lawan.Azmi baru saja sampai, dia memutuskan menengok ketiga keponakannya. Azmi ditemani Kang Rozak,
Azmi tengah fokus mengerjakan beberapa desain background untuk keperluan studionya. Fokusnya teralihkan saat ada suara ketukan pintu.“Masuk.”“Permisi Bos, ada tamu,” kata salah satu pegawainya.“Suruh masuk aja.”“Baik, Bos.”Tak lama kemudian munculah sosok Zainal dengan adiknya Hafsah. Azmi mendesah, kenapa dua orang itu senang sekali mengganggunya?“Assalamu’alaikum Azmi, gimana kabarnya?”“Wa’alaikumsalam, baik Zai. Kamu gimana kabarnya?” Azmi mencoba berbasa basi.“Alhamdulillah baik nih. Oh iya, sebulan lagi aku mau nikah sama Ning Ulya. Kamu kenal, ‘kan?”“Gak. Cuma sekedar tahu. Ning Asal Jember, ‘kan?”“Betul, kita mau minta tolong kamu buat motoin kita berdua bisa, ‘kan?”“Bisa kalau cuma kamu yang minta foto. Tapi untuk istrimu nanti aku minta
“Kenapa kamu?”“Aku gagal ta’aruf Mi.”“Oh.”“Hanya oh saja, ya ampun Azmi. Kamu tuh gak ngerti rasanya. Seseorang yang selama dua tahun ini kamu harapkan dan kamu ingin lebih mengenal dia, malah ternyata gagal karena dia sudah dilamar sama orang lain. Nyesek tahu. Rasanya itu ... sakit.”Azmi memilih menikmati bakso uratnya dengan lahap dan hanya mendengarkan keluhan sahabatnya Gus Amar. Gus asal Jember yang sedang main ke Purwokerto.“Kamu gak bakalan paham Azmi. Kamu, kan ....” Amar menghentikan kalimatnya lalu nyengir dengan perasaan bersalah.“Kamu itu baru ta’aruf Mar. Aku ini loh tujuh tahun dikasih harapan sama Yasmin.”“Hehehe. Sorry Mi, lupa.”Azmi hanya meliriknya dan melanjutkan makan bahkan dia memesan semangkok bakso lagi.“Azmi.”“Hem
Jenar duduk dengan gelisah. Dari tadi dia terus menunduk dan meremas ujung jilbabnya. Sesekali dia melirik ke ruang tamu yang terhalang tirai. Para sahabatnya menemaninya dan berusaha menenangkannya.“Grogi ya Je?” tanya Desi.“Iya.”“Kan aku bilang juga apa? Kamu bisa jadi kandidat istri Gus Azmi. Tuh kan, beneran. Hihihi.”“Iya, temen kita yang Ndeso bin Katrok akhirnya bikin Guse jatuh hati,” tambah Afi.Terdengarlah tawa ketiganya yang langsung terdiam ketika mendapat deheman dari Caca. Sementara di ruang tamu, Keluarga besar Al Hikam terdiri dari Abah Ilyas, Azzam, Azmi dan beberapa anggota yang lain tengah rembugan dengan keluarga Jenar.“Jadi Pak, kedatangan kami k esini untuk melamar putri Bapak, Jenar untuk menjadi istri putra bungsu saya. Bagaimana Pak? Bapak kersa mboten sama anak saya ini buat jadi mantu.”Karmin dan Minah terharu. Mereka yang ha
“Wow ... tempatnya indah ya, Mas?”“Iya. Kamu suka?”“Suka sekali. Mas Azmi kok kepikiran ke sini sih?”“Gara-gara Mas Azzam sama Mbak Caca pernah honeymoon ke sini. Makanya aku juga pengin ke sini sama istriku nanti.”“Oh iya, kok Mbak Caca sama Mas Azzam mau honeymoon malah bawa Mas Azmi sih?”“Hahaha.”Azmi lalu menceritakan bagaimana dulu ia dan Nada mengikuti kemana pun acara bulan madu Azzam sama Caca.“Ya Allah Mas. Mas Azmi sama Mbak Nada bener-bener ya.”“Hehehe. Makanya aku seneng kita gak direcoki sama Aslan bersaudara jadi aku bisa seneng-seneng sama kamu.”Azmi langsung memutar-mutar kerudung Jenar yang menjuntai. Binar matanya terlihat begitu mendamba. Jenar yang paham arti tatapan suaminya hanya menunduk malu. Azmi tertawa dibuatnya kemudian mencubit pipi sang istri.“Ish
“Tolong cabai setan sekilo, merah setengah, hijau panjang setengah, bawang putih sama merahnya masing-masing sekilo.”“Baik, Mbak.”Jenar sedang berbelanja di pasar untuk membeli beberapa keperluan dapur. Sudah tiga hari mereka liburan di Wonosobo. Besok, mereka harus kembali ke Purwokerto.“Dek, beli kerupuk udang dong?” pinta Azmi.“Nggih, Mas.”Setelah membayar, Azmi dan Jenar segera pergi dan menuju ke bagian yang lain. Jenar tersenyum melihat tingkah suaminya yang tanpa canggung membawa barang belanjaan.“Beli apa lagi, Dek?”“Udah gak ada, Mas?”“Beliin gula, teh, kopi, terigu dan lain-lain buat Bapak sama Simbok udah?”Jenar hanya menggeleng.“Ya udah. Yuk beliin.”“Tapi, Mas …?”“Gak tapi-tapian. Kan yang beliin anak sama mantunya.”“Jej