Share

6. Surat Menyurat

“Gus.”

“Eh. Ning Hafsah.”

“Iya saya.”

“Ada apa, Ning?”

“Mau ambil foto, Gus.”

“Oh. Saya duluan ya.”

“Eh. Gus tunggu!”

Azmi membalikkan badannya namun matanya tak memandang Hafsah.

“Iya.”

“Ehm ... saya ... saya ... saya ....”

“Bos.”

“Iya.”

“Semua sudah siap.”

“Oke. Maaf Ning, saya duluan.”

Azmi langsung menuju studio foto. Ada sebuah butik yang meminta bantuannya untuk memfoto hasil rancangannya untuk desain kemeja dan jas laki-laki.

Ning Hafsah sendiri mendesah, ingin sekali mengatakan kalau dia suka sama Gus Azmi dan ingin melakukan ta’aruf dengannya. Namun lidahnya kelu. Dia dan Kakaknya Gus Zainal sudah mencoba menggagalkan pertemuan antara dirinya dan Gus Iqbal. Sayang Gus Iqbal menolak, akhirnya pertemuan itu berlangsung dua hari yang lalu dan Gus Iqbal telah mengkhitbah dirinya.

Namun dengan tegas Hafsah menolak. Hal itu membuat hubungan antara dirinya dan kedua orang tuanya renggang karena baik abi maupun uminya sudah suka dengan Gus Iqbal. Sedangkan Ning Hafsah sendiri semakin yakin dengan Gus Azmi. Karena mau tak mau dari segi rupa, Gus Azmi menang banyak. Tapi bukan berarti Gus Iqbal kurang menarik.

“Loh Ning, belum selesai fotonya?”

“Oh eh ... sudah Mas Alfin. Ini mau diambil.”

“Oh ... saya duluan Ning.”

“Eh ... Mas tunggu!”

“Iya Ning gimana?”

“Ehm ... Gus Azmi masih lama gak ya?”

“Biasanya sampai satu jam, Ning. Ada yang bisa saya bantu?”

“Tolong serahkan ini untuk Gus Azmi.”

Ning Hafsah menyerahkan sebuah surat dan ditaruh di meja. Kemudian Alfin mengambilnya.

“Tolong ya, Mas.”

“Iya Ning gak masalah.”

“Makasih. Saya duluan Mas. Assalamu’alaikum.”

“W*’alaikumussalam.”

***

“Bos.”

“Gimana Fin?”

“Ada titipan dari Ning Hafsah. Kayaknya surat cinta loh Bos. Hihihi.”

“Ada-ada aja kamu. Kalau tagihan utang gimana?”

“Ya dilunasi lah Bos.”

“Hahaha. Aku masuk dulu Fin.”

“Oke Bos.”

Azmi masuk ke ruangannya dan segera membuka amplop surat dan membaca isinya.

Assalamualaikum wr. wb.

Mohon maaf Gus jika apa yang akan saya sampaikan mungkin mengganggu njenengan. Tolong jangan berpikir bahwa saya adalah wanita yang tak tahu malu.

Saya hanya sedang berusaha memperjuangkan masa depan saya. Terutama dalam hal memilih pasangan hidup. Dan hati saya memilih njenengan.

Saya harap rasa yang saya miliki untuk njenengan bersambut Gus. Walau itu membutuhkan waktu. Karena saya tahu, njenengan belum bisa melupakan orang yang pernah njenengan perjuangkan selama tujuh tahun.

Beri saya kepastian Gus, apakah saya harus menunggu atau tidak? Tapi jika saya boleh memilih saya akan menunggu sampai njenengan siap untuk menerima saya.

Dari saya yang begitu mengagumi Gus Azmi Daffa Al Kaivan.

Ning Hafsah Khoerunnisa.

Azmi mendesah. Ya ampun ada-ada saja. Baiklah sepertinya dia harus menjadi Kaivan generasi ketiga yang hobby nolak cewek. Azmi segera menyambar pulpen, kertas beserta amplop dan mulai menuliskan jawabannya.

***

“Ning Hafsah.”

“Iya Mas Alfin.”

“Ada yang bisa saya bantu?”

“Ehm ... mau beli figura,” alibinya.

Alfin tersenyum, jelas wanita dihadapannya lagi nyari si bos. Soalnya pandangan Ning Hafsah ke mana-mana seperti tengah mencari sesuatu atau seseorang.

“Bos pergi, Ning.”

“Oh ... i-iya.”

“Dan Bos nitip ini untuk Ning Hafsah.”

“Benarkah?” Ning Hafsah terlihat sumringah saat menerima sepucuk surat dari Gus Azmi.

Saat sudah berada di dalam kamarnya, Ning Hafsah segera membuka surat dari Gus Azmi. Namun isinya membuat Ning Hafsah merasa kecewa sekaligus malu. Dia sudah pede kalau Gus Azmi akan memberinya kesempatan. Ternyata tidak. Berulangkali dia membaca surat balasan dari Gus Azmi dan ternyata isinya sama saja. Demikian bunyi suratnya :

Terima kasih atas suratnya Ning. Tapi mohon maaf jangan menungguku, karena saya tak bisa menjanjikan apapun pada njenengan.

Luruh sudah air mata Ning Hafsah.

“Kenapa Gus? Apa njenengan masih menunggu dia?” ucap Ning Hafsah sambil sesenggukan.

“Enggak Gus, saya akan berusaha menunggu njenengan. Akan saya pastikan hati njenengan akan beralih ke saya,” tekad Ning Hafsah.

***

“Gimana, Dek?” tanya Azzam sambil ndusel ke ketek sang istri.

Ck. Maaasss, gak usah pake ndusel-ndusel kenapa sih?”

“Habis mas kangen manja-manja sama kamu. Setiap hari kamu dimonopoli sama empat singa kecil. Jatahnya mas kapan?”

“Ya Allah, Mas, maaf ya. Mau gimana lagi.”

“Makanya mumpung anak-anak lagi pada pergi, mas mau manja-manja ke kamu.”

Azzam menggelitiki perut istrinya dengan hidungnya. Caca cuma bisa kegelian dan tertawa.

“Mas ... hahaha. Mas ... hihihi ... geli tahu!”

Ck. Udah punya buntut empat masih gelian. Duh kayak perawan aja deh.” Azzam masih mengusili istrinya.

“Maaasss ....”

“Ekhem ... ekhem ....”

Caca dan Azzam menoleh ke arah si pengganggu. Caca hanya bisa tersenyum malu ke arah Azmi sedangkan Azzam cuek dan malah semakin ndusel ke ketek Caca.

“Ya Allah, kirimkanlah bidadari duniaku. Dekatkanlah dia padaku agar kejombloanku hilang berganti status jadi kawin.”

“Hehehe. Maaf ya Mi. Khilaf,” sahut Caca.

“Itu mah bukan khilaf Mbak, tapi sengaja. Mas Azzam juga. Gak berperikejombloan sama adek sendiri.”

“Dih. Orang statusku udah kawin. Udah jadi bapak empat anak ngapain harus mikirin perikejombloan. Rugi ya. Rugi waktu sama rugi tenaga,” sindir Azzam.

“Nyindir-nyindir. Iya Azmi bucin. Tapi, kan gara-gara Mas sama Abah juga. Dari kecil diajarin jadi bucin,” gerutu Azmi.

“Udah gak usah sewot gitu. Mas kamu cuma bercanda,” hibur Caca.

“Gak bercanda itu Mbak Ca. Sengaja tuh.”

“Hehehe. Udah daripada kamu galau. Ikut yuk hari minggu,” ajak Azzam.

“Kemana?”

“Kebumen.”

“Males. Di sini ajalah.”

“Aslan Triplet mau tak ajak semua loh. Kamu gak bakalan kangen sama mereka? Kita mau di sana semingguan.”

“Gak lah. Di sini aja.”

“Yakin?”

“Yakin Mas.”

“Ya sudah.”

Lalu Azmi fokus dengan HP-nya sedangkan Azzam dan Caca sibuk menyeleksi daftar guru yang akan mengikuti seleksi calon guru baru di SMK dan SMA Al-Hikam tentu dengan posisi saling merapat bahkan tangan Azzam masih memeluk tubuh sang istri dengan erat.

“Emangnya butuh guru apa saja Mas?” Mau tak mau Azmi ikutan kepo, apalagi melihat perdebatan antara Caca dan Azzam yang terlihat seru sekali.

“Otomotif buat SMK soalnya kelasnya nambah, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia buat SMA.”

“Perasaan yang SMA sering ganti?”

“Ya mau gimana lagi? Kan yang di SMA-nya kebanyakan ustazah, kalau single terus nikah dapat orang jauh jelas dibawa pergi sama suaminya,” jelas Azzam.

“Untung Mbak Caca gak kecantol orang jauh ya Mbak. Jadi tetep di sini. Coba nyangkut yang lain. Bisa jadi bujang tua masku. Hahaha.”

Azzam melempar Azmi dengan balpoin yang ia pegang.

“Itu karena Caca memang jodohnya mas gantengmu ini. Ya, ‘kan Dek?” ucap Azzam sambil mengedip nakal.

“Iya Mas. Gus singa garangku yang garangnya gak ketulungan.”

“Tapi cinta, ‘kan?” tanya Azzam sambil menyeringai jahil.

“Iyalah.”

“Apa buktinya?”

“Noh ... empat singa kecil,” sahut Caca.

“Hahaha. Nambah satu lagi yok.”

Caca memelototkan matanya sedangkan Azzam tertawa terbahak-bahak. Azmi sendiri merasa ngenes. Ck. Begini rupanya nasib jomblo ya? Bisanya cuma gigit roti lihat keuwuan pasutri. Azmi memilih memakan biskuit milik Quila yang tergeletak di meja. Sabar ya Azmi, besok kalau udah punya yang halal balas tuh mas garangmu.

***

“Gus.”

“Eh ... Ning Hafsah. Njenengan di sini?”

“Iya Gus. Saya mau microteaching sebagai pengajar di sini,” jawabnya dengan semringah.

“Oh.”

“Mari Gus, saya masuk dulu. Doakan saya nggih Gus. Semoga diterima.”

“Oh ... nggih.

Azmi memilih segera keluar dari kelas. Ya Allah sepertinya Azmi akan menjadi generasi Kaivan jilid ketiga. Baiklah, biarlah dia berusaha tapi Azmi akan seperti mas dan abahnya kalau memang gak ada rasa tak akan pernah mau dipaksa.

Saat dirinya sampai di halaman rumah, tampaklah gadis ayu yang tengah menimang-nimang keponakannya dengan sayang. Entah kenapa hati Azmi tergetar melihat bagaimana mbak khadamah ndeso itu begitu telaten dan keibuan. Senyum simpul Azmi berikan dan si gadis ayu pun membalas.

“Baru pulang Gus?”

“Iya.”

Azmi melangkah menuju teras rumah.

“Sepi. Abah sama Umi ke mana?” lanjut Azmi.

Sowan ke rumah Bu Nyai Laila, Gus?”

“Oh iya. Nanti malam, kan haulnya Mas Fatur. Ya sudah aku masuk dulu ya.”

Nggih Gus.”

Jenar menoleh ke arah gusnya yang sudah berlalu ke dalam. Senyum merekah di bibir Jenar. Ada yang bilang butuh waktu lama untuk move on. Tapi aneh, padahal dia baru tiga bulan di sini tapi nama Arif seperti sudah hilang dari hatinya. Apa mungkin secepat ini? Lalu kenapa bisa secepat ini? Apa mungkin rasa yang Jenar rasa dulu hanya kekaguman yang disalahartikan oleh Jenar sebagai cinta? Entahlah, Jenar tidak bisa menjawabnya.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status