Beranda / Romansa / Mahligai Bersamamu / 6. Surat Menyurat

Share

6. Surat Menyurat

Penulis: Bai_Nara
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-14 14:14:04

“Gus.”

“Eh. Ning Hafsah.”

“Iya saya.”

“Ada apa, Ning?”

“Mau ambil foto, Gus.”

“Oh. Saya duluan ya.”

“Eh. Gus tunggu!”

Azmi membalikkan badannya namun matanya tak memandang Hafsah.

“Iya.”

“Ehm ... saya ... saya ... saya ....”

“Bos.”

“Iya.”

“Semua sudah siap.”

“Oke. Maaf Ning, saya duluan.”

Azmi langsung menuju studio foto. Ada sebuah butik yang meminta bantuannya untuk memfoto hasil rancangannya untuk desain kemeja dan jas laki-laki.

Ning Hafsah sendiri mendesah, ingin sekali mengatakan kalau dia suka sama Gus Azmi dan ingin melakukan ta’aruf dengannya. Namun lidahnya kelu. Dia dan Kakaknya Gus Zainal sudah mencoba menggagalkan pertemuan antara dirinya dan Gus Iqbal. Sayang Gus Iqbal menolak, akhirnya pertemuan itu berlangsung dua hari yang lalu dan Gus Iqbal telah mengkhitbah dirinya.

Namun dengan tegas Hafsah menolak. Hal itu membuat hubungan antara dirinya dan kedua orang tuanya renggang karena baik abi maupun uminya sudah suka dengan Gus Iqbal. Sedangkan Ning Hafsah sendiri semakin yakin dengan Gus Azmi. Karena mau tak mau dari segi rupa, Gus Azmi menang banyak. Tapi bukan berarti Gus Iqbal kurang menarik.

“Loh Ning, belum selesai fotonya?”

“Oh eh ... sudah Mas Alfin. Ini mau diambil.”

“Oh ... saya duluan Ning.”

“Eh ... Mas tunggu!”

“Iya Ning gimana?”

“Ehm ... Gus Azmi masih lama gak ya?”

“Biasanya sampai satu jam, Ning. Ada yang bisa saya bantu?”

“Tolong serahkan ini untuk Gus Azmi.”

Ning Hafsah menyerahkan sebuah surat dan ditaruh di meja. Kemudian Alfin mengambilnya.

“Tolong ya, Mas.”

“Iya Ning gak masalah.”

“Makasih. Saya duluan Mas. Assalamu’alaikum.”

“W*’alaikumussalam.”

***

“Bos.”

“Gimana Fin?”

“Ada titipan dari Ning Hafsah. Kayaknya surat cinta loh Bos. Hihihi.”

“Ada-ada aja kamu. Kalau tagihan utang gimana?”

“Ya dilunasi lah Bos.”

“Hahaha. Aku masuk dulu Fin.”

“Oke Bos.”

Azmi masuk ke ruangannya dan segera membuka amplop surat dan membaca isinya.

Assalamualaikum wr. wb.

Mohon maaf Gus jika apa yang akan saya sampaikan mungkin mengganggu njenengan. Tolong jangan berpikir bahwa saya adalah wanita yang tak tahu malu.

Saya hanya sedang berusaha memperjuangkan masa depan saya. Terutama dalam hal memilih pasangan hidup. Dan hati saya memilih njenengan.

Saya harap rasa yang saya miliki untuk njenengan bersambut Gus. Walau itu membutuhkan waktu. Karena saya tahu, njenengan belum bisa melupakan orang yang pernah njenengan perjuangkan selama tujuh tahun.

Beri saya kepastian Gus, apakah saya harus menunggu atau tidak? Tapi jika saya boleh memilih saya akan menunggu sampai njenengan siap untuk menerima saya.

Dari saya yang begitu mengagumi Gus Azmi Daffa Al Kaivan.

Ning Hafsah Khoerunnisa.

Azmi mendesah. Ya ampun ada-ada saja. Baiklah sepertinya dia harus menjadi Kaivan generasi ketiga yang hobby nolak cewek. Azmi segera menyambar pulpen, kertas beserta amplop dan mulai menuliskan jawabannya.

***

“Ning Hafsah.”

“Iya Mas Alfin.”

“Ada yang bisa saya bantu?”

“Ehm ... mau beli figura,” alibinya.

Alfin tersenyum, jelas wanita dihadapannya lagi nyari si bos. Soalnya pandangan Ning Hafsah ke mana-mana seperti tengah mencari sesuatu atau seseorang.

“Bos pergi, Ning.”

“Oh ... i-iya.”

“Dan Bos nitip ini untuk Ning Hafsah.”

“Benarkah?” Ning Hafsah terlihat sumringah saat menerima sepucuk surat dari Gus Azmi.

Saat sudah berada di dalam kamarnya, Ning Hafsah segera membuka surat dari Gus Azmi. Namun isinya membuat Ning Hafsah merasa kecewa sekaligus malu. Dia sudah pede kalau Gus Azmi akan memberinya kesempatan. Ternyata tidak. Berulangkali dia membaca surat balasan dari Gus Azmi dan ternyata isinya sama saja. Demikian bunyi suratnya :

Terima kasih atas suratnya Ning. Tapi mohon maaf jangan menungguku, karena saya tak bisa menjanjikan apapun pada njenengan.

Luruh sudah air mata Ning Hafsah.

“Kenapa Gus? Apa njenengan masih menunggu dia?” ucap Ning Hafsah sambil sesenggukan.

“Enggak Gus, saya akan berusaha menunggu njenengan. Akan saya pastikan hati njenengan akan beralih ke saya,” tekad Ning Hafsah.

***

“Gimana, Dek?” tanya Azzam sambil ndusel ke ketek sang istri.

Ck. Maaasss, gak usah pake ndusel-ndusel kenapa sih?”

“Habis mas kangen manja-manja sama kamu. Setiap hari kamu dimonopoli sama empat singa kecil. Jatahnya mas kapan?”

“Ya Allah, Mas, maaf ya. Mau gimana lagi.”

“Makanya mumpung anak-anak lagi pada pergi, mas mau manja-manja ke kamu.”

Azzam menggelitiki perut istrinya dengan hidungnya. Caca cuma bisa kegelian dan tertawa.

“Mas ... hahaha. Mas ... hihihi ... geli tahu!”

Ck. Udah punya buntut empat masih gelian. Duh kayak perawan aja deh.” Azzam masih mengusili istrinya.

“Maaasss ....”

“Ekhem ... ekhem ....”

Caca dan Azzam menoleh ke arah si pengganggu. Caca hanya bisa tersenyum malu ke arah Azmi sedangkan Azzam cuek dan malah semakin ndusel ke ketek Caca.

“Ya Allah, kirimkanlah bidadari duniaku. Dekatkanlah dia padaku agar kejombloanku hilang berganti status jadi kawin.”

“Hehehe. Maaf ya Mi. Khilaf,” sahut Caca.

“Itu mah bukan khilaf Mbak, tapi sengaja. Mas Azzam juga. Gak berperikejombloan sama adek sendiri.”

“Dih. Orang statusku udah kawin. Udah jadi bapak empat anak ngapain harus mikirin perikejombloan. Rugi ya. Rugi waktu sama rugi tenaga,” sindir Azzam.

“Nyindir-nyindir. Iya Azmi bucin. Tapi, kan gara-gara Mas sama Abah juga. Dari kecil diajarin jadi bucin,” gerutu Azmi.

“Udah gak usah sewot gitu. Mas kamu cuma bercanda,” hibur Caca.

“Gak bercanda itu Mbak Ca. Sengaja tuh.”

“Hehehe. Udah daripada kamu galau. Ikut yuk hari minggu,” ajak Azzam.

“Kemana?”

“Kebumen.”

“Males. Di sini ajalah.”

“Aslan Triplet mau tak ajak semua loh. Kamu gak bakalan kangen sama mereka? Kita mau di sana semingguan.”

“Gak lah. Di sini aja.”

“Yakin?”

“Yakin Mas.”

“Ya sudah.”

Lalu Azmi fokus dengan HP-nya sedangkan Azzam dan Caca sibuk menyeleksi daftar guru yang akan mengikuti seleksi calon guru baru di SMK dan SMA Al-Hikam tentu dengan posisi saling merapat bahkan tangan Azzam masih memeluk tubuh sang istri dengan erat.

“Emangnya butuh guru apa saja Mas?” Mau tak mau Azmi ikutan kepo, apalagi melihat perdebatan antara Caca dan Azzam yang terlihat seru sekali.

“Otomotif buat SMK soalnya kelasnya nambah, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia buat SMA.”

“Perasaan yang SMA sering ganti?”

“Ya mau gimana lagi? Kan yang di SMA-nya kebanyakan ustazah, kalau single terus nikah dapat orang jauh jelas dibawa pergi sama suaminya,” jelas Azzam.

“Untung Mbak Caca gak kecantol orang jauh ya Mbak. Jadi tetep di sini. Coba nyangkut yang lain. Bisa jadi bujang tua masku. Hahaha.”

Azzam melempar Azmi dengan balpoin yang ia pegang.

“Itu karena Caca memang jodohnya mas gantengmu ini. Ya, ‘kan Dek?” ucap Azzam sambil mengedip nakal.

“Iya Mas. Gus singa garangku yang garangnya gak ketulungan.”

“Tapi cinta, ‘kan?” tanya Azzam sambil menyeringai jahil.

“Iyalah.”

“Apa buktinya?”

“Noh ... empat singa kecil,” sahut Caca.

“Hahaha. Nambah satu lagi yok.”

Caca memelototkan matanya sedangkan Azzam tertawa terbahak-bahak. Azmi sendiri merasa ngenes. Ck. Begini rupanya nasib jomblo ya? Bisanya cuma gigit roti lihat keuwuan pasutri. Azmi memilih memakan biskuit milik Quila yang tergeletak di meja. Sabar ya Azmi, besok kalau udah punya yang halal balas tuh mas garangmu.

***

“Gus.”

“Eh ... Ning Hafsah. Njenengan di sini?”

“Iya Gus. Saya mau microteaching sebagai pengajar di sini,” jawabnya dengan semringah.

“Oh.”

“Mari Gus, saya masuk dulu. Doakan saya nggih Gus. Semoga diterima.”

“Oh ... nggih.

Azmi memilih segera keluar dari kelas. Ya Allah sepertinya Azmi akan menjadi generasi Kaivan jilid ketiga. Baiklah, biarlah dia berusaha tapi Azmi akan seperti mas dan abahnya kalau memang gak ada rasa tak akan pernah mau dipaksa.

Saat dirinya sampai di halaman rumah, tampaklah gadis ayu yang tengah menimang-nimang keponakannya dengan sayang. Entah kenapa hati Azmi tergetar melihat bagaimana mbak khadamah ndeso itu begitu telaten dan keibuan. Senyum simpul Azmi berikan dan si gadis ayu pun membalas.

“Baru pulang Gus?”

“Iya.”

Azmi melangkah menuju teras rumah.

“Sepi. Abah sama Umi ke mana?” lanjut Azmi.

Sowan ke rumah Bu Nyai Laila, Gus?”

“Oh iya. Nanti malam, kan haulnya Mas Fatur. Ya sudah aku masuk dulu ya.”

Nggih Gus.”

Jenar menoleh ke arah gusnya yang sudah berlalu ke dalam. Senyum merekah di bibir Jenar. Ada yang bilang butuh waktu lama untuk move on. Tapi aneh, padahal dia baru tiga bulan di sini tapi nama Arif seperti sudah hilang dari hatinya. Apa mungkin secepat ini? Lalu kenapa bisa secepat ini? Apa mungkin rasa yang Jenar rasa dulu hanya kekaguman yang disalahartikan oleh Jenar sebagai cinta? Entahlah, Jenar tidak bisa menjawabnya.

*****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mahligai Bersamamu   39. Keluarga Bahagia (Sesion 1 Tamat)

    Azmi membuka pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya melongok lebih dahulu kemudian masuk pelan-pelan berusaha meminimalisir suara. Azmi tidak mau Jenar dan putranya, Azka bangun. Karena bisa dipastikan Azka yang kini menginjak usia lima belas bulan pasti bangun jika tahu dia sudah pulang. Dan itu berarti sang istri ikutan bangun. Padahal mungkin Jenar baru saja tertidur.Azmi terkekeh melihat posisi tidur Azka yang sudah menghadap kemana sedangkan Jenar tertidur dengan posisi miring ke arah kiri dengan beberapa kancing daster yang terbuka. Pasti Azka tidur setelah puas minum sedangkan Jenar yang sudah kelelahan tanpa sadar tidur duluan. Dengan pelan Azmi mengancingkan kancing daster Jenar. Soalnya bahaya, ini aja Azmi harus berusaha menahan diri, rasanya ingin menggantikan Azka buat menikmati sumber makanan si bayi. Hahaha. Duh, biarlah dikata omes toh sama istri sendiri.Setelah menaruh tas dan jaket pada tempatnya, Azmi segera mengambil handuk dan baju ganti lalu berjala

  • Mahligai Bersamamu   38. Kyamud Dan Bunyamud

    Seakan memang sudah digariskan oleh sang pencipta, semua urusan tentang pembelian tanah dan bangunan peninggalan Alifah berjalan tanpa hambatan berarti. Setelah semua administrasi selesai, beberapa bagian pondok akhirnya ada yang dicat ulang, direnovasi atau dipugar. Azmi bahkan sengaja membangun beberapa kamar lagi untuk santri putra dan putri. Untuk fasilitas MA-nya, Azmi berusaha melengkapinya juga dengan fasilitas laboratorium MIPA maupun komputer. Azmi bahkan merekrut beberapa pengajar untuk melengkapi kekurangan guru yang ada.“Mas, ini gak papa kan aku pakai uangnya Mas Azzam juga? Habis duitku gak cukup kalau aku sendirian yang jadi donatur.”“Ya nanti ganti kalau sudah ada uangnya,” sahut Azzam.“Gak usah lah ya Mas, kan udah lama juga Azmi gak minta duit sama Mas Azzam jadi sekarang Azmi borong.”Azzam cuma mencebik lalu mengacak kasar rambut adiknya dan dibalas Azmi dengan senyuman manis serta sorot puppy eyes persis

  • Mahligai Bersamamu   37. Keputusan Azmi

    Azmi mengernyit menatap beberapa orang yang mendatangi rumah mertuanya.“Gus.”Beberapa orang yang datang langsung menyalami Azmi bahkan hendak mencium punggung tangan Azmi namun Azmi menolak dan meminta mereka bersalaman secara biasa saja. Karmin mengajak sang menantu dan tamu yang datang duduk di ruang tamu.“Ada apa ini, Sir?” tanya Karmin pada salah seorang dari tamu yang datang.“Ini Pak Karmin, ada pengacara Ning Alifah kemarin datang ke pondok dan bertemu dengan kami para pengurus. Katanya pondok gak ada yang ngasuh karena Ning Alifah belum sempat mewariskan atau menghibahkan pondok sama siapa pun. Jadi menurut pengacara Ning Alifah, akan lebih baik jika pondok dijual pada seseorang yang mau merawat pondok dan meneruskan perjuangan Kyai Mustofa,” terang Yasir salah satu pengurus pondok yang berusia sekitar empat puluhan.Azmi mendengarkan dengan seksama penjelasan Yasir, dalam hatinya tiba-tiba ada desiran hal

  • Mahligai Bersamamu   36. Pemakaman

    Amira dan Murni duduk gelisah sambil sesekali melihat ke arah jam. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun Khalid, Alifah dan Arif belum juga kembali.“Coba dihubungi lagi, Mira.”“Sudah Umi, tapi gak aktif.”“Duh, umi kok punya firasat gak enak ya.”Kedua ibu dan anak masih setia menunggu kabar dari Alifah atau Arif. Hamid yang baru bangun tidur melihat heran tingkah anak dan istrinya. Dia duduk di kursi yang bersebrangan dengan anak dan istrinya yang duduk di kursi panjang.“Abi sakit? Masa seharian tidur terus?”tanya Murni khawatir.“Enggak, oh iya Khalid mana?”“Nah, itu dia. Khalid belum pulang.”Hamid mengernyit. “Memangnya Khalid ke mana?”“Pergi sama Alifah ke Banjar.”Hamid kaget, wajahnya mendadak pias. Hamid langsung berdiri membuat Murni dan Amira menatap bingung tingkah Hamid.Sampai di kam

  • Mahligai Bersamamu   35. Kecelakaan

    Waktu terus berjalan, tak terasa sudah tiga bulan, Alifah dan Arif berada di Al-Huda. Hamid masih tak ada kabar, sementara Amira memilih kembali pulang ke Pemalang dengan ditemani oleh Murni. Khalid tidak mau tinggal bersama Amira. Khalid yang sejak kecil kurang mendapat kasih sayang baik dari Almer maupun Amira, begitu menikmati kasih sayang dari Alifah dan Arif. Khalid kecil merasa nyaman dan merasa dicintai layaknya anak kecil pada umumnya. Bahkan Tuti, ibunya Arif begitu menyayangi Khalid dan menganggapnya sebagai cucu kandung.“Awas! Kena kamu ya!” Alifah sedang bermain dengan Khalid, sejak tadi balita itu tertawa terus sambil berlari.“Cini, Umi. Tangkap Aid. Hahaha.”Arif yang baru datang menatap haru tingkah Alifah dan Khalid. Senyumnya merekah ketika melihat Khalid melambaikan tangan ke arahnya.“Main apa hem? Kayaknya senang sekali.”Arif menangkap Khalid yang berlari ke arahnya. Membopongnya kemudian mengh

  • Mahligai Bersamamu   34. Panggilan Dari Khalid

    Murni menatap sang suami dengan gelisah. Hamid terlihat marah. Murni ingin menegur tapi terlalu takut akan menjadi sasaran kemarahan Hamid. Bukan tanpa sebab Hamid marah. Semua berawal dari banyaknya keluhan para santri akan gaya kepemimpinannya. Belum lagi pemasukan pondok yang kian hari kian menipis. Banyak donatur yang kini enggan memberikan sumbangan pada Al-Huda. Ditambah lagi beberapa harta peninggalan sang Adik yang akhirnya ludes demi pengobatan Alifah. Kini tak ada apa pun yang tersisa. Hanya pondok, pondok yang mulai sepi.“Abi.” Suara pintu diketuk dari luar mengalihkan perhatian suami istri.Murni membuka pintu kamar dan terlihatlah Amira beserta putranya, Khalid.“Kenapa, Mira?”“Itu, Umi, Abi. Alifah sama Mas Arif sudah pulang.”Murni mengangguk, Amira segera berlalu dengan membopong Khalid yang kini berusia tiga tahun. Hamid masih diam saja, kepalanya pusing. Kepulangan Alifah setelah berobat dari Singapura

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status