تسجيل الدخول"Maaf, Tuan muda." Ara membantu membawakan barang bawaan tuan muda yang baru saja datang itu dengan perlahan. Pria itu hanya memberi celah dan membiarkan gadis itu membawakan barang bawaannya. Hanya satu koper, tak ada lagi.
Ara terlihat canggung, begitu pria itu masuk, buru-buru dia menutup pintu dan menguncinya. Kemudian mengikuti langkah tegap pria tampan dengan kacamata transparan itu, demi apapun dia adalah orang tampan pertama yang pernah dilihatnya seumur hidup. Jemian Ardavin Suseno, putra sulung keluarga Suseno. Usianya 29 tahun, dia pria yang cerdas, tampan, memiliki banyak sekali kemampuan, tak heran dia dipercaya untuk memegang perusahaan sang ayah. Kemarin, pria itu harus pergi kunjungan ke luar negeri selama dua bulan penuh karena ada permasalahan dengan cabang perusahaan disana, sekaligus mencari relasi baru untuk bisnisnya. Davin duduk di sofa, melonggarkan dasi yang mengikat ketat lehernya, menyugar rambutnya pelan lalu mengacaknya. Pemandangan itu tak luput dari pandangan Ara, dia menelan ludahnya kepayahan, tapi kemudian dia kembali menundukkan pandangannya saat tak sengaja tatapannya bertemu dengan tuan muda di rumah ini. "Kau sedang apa?" "E-eemm, tuan muda ingin sesuatu? Biar saya buatkan." "Teh manis hangat." "Maaf, tadi Nyonya mengatakan agar saya mengingatkan anda untuk makan." "Siapkan saja." "Baik, Tuan muda." Ara bergegas pergi ke ruang makan, jujur saja seragam maidnya itu sudah berganti dengan piyama berwarna merah maroon. Tidak seksi, tapi warnanya memang terang sekali. Tidak ada niatan apapun, hanya saja rasanya tak nyaman kalau semalaman mengenakan seragam maid. Pria itu beranjak dari duduknya, lalu menyusul langkah maid muda yang menyambutnya tadi. Cukup cantik dan seksi untuk ukuran seorang maid, bagi Davin. Entah darimana sang ibu mendapatkan maid secantik itu. Davin berdehem, membuat Ara menoleh. Dia pun segera menyajikan makanannya di atas meja, lengkap dengan teh hangat pesanan pria tampan itu. "Siapa namamu?" "Arabella, Tuan muda. Anda bisa memanggil saya Ara atau Bella." "Hmm, usia?" "23 tahun." "Masih kuliah?" "Masih." "Semester?" "Lima." Jawabnya singkat sambil menghidangkan makanan yang baru saja selesai di hangatkan. Ardavin melihat tangan mungil yang terlihat cekatan menyajikan makanan di depannya. "Baru semester lima?" "Iya, Tuan muda. Saya berhenti tiga tahun setelah lulus SMA, baru lanjut kuliah." Ara tersenyum kecil, meskipun dia tak peduli Davin menatapnya dengan datar, tapi poin utamanya adalah, harus tetap ramah. "Sejak kapan bekerja disini?" "Baru hari ini, Tuan muda. Gantiin maid yang keluar.." jelasnya lebih rinci, Davin hanya mengangguk pelan. "Kenapa mau jadi maid?" "A-anu, Tuan muda." Alis pria itu terangkat sebelah, tatapannya tajam, membuat Ara keringat dingin rasanya. "Saya membutuhkan uang untuk biaya pengobatan Ibu saya, Tuan muda." Jawab Ara pelan. Davin tidak bereaksi apapun, pula tak berniat bertanya lebih banyak lagi, hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan makannya dan segera beristirahat, tubuhnya lelah setelah menempuh perjalanan jauh. "Aku selesai." "Baik, Tuan muda. Selamat beristirahat.." Ara tersenyum kecil, saat Davin meninggalkan ruang makan, dia segera membereskan meja dan meletakkan kembali lauknya ke dalam kulkas. Keesokan paginya, Ara terbangun lebih pagi, membersihkan tubuhnya lebih dulu lalu mengenakan seragam maid. Tak lupa dengan stockingnya karena rok maidnya sedikit kependekan untuknya. Semuanya sibuk dengan tugasnya masing-masing, Ratna juga sibuk beberes di bagian depan, mengepel lantai sampai menyiram tanaman di depan. Sarapan dimulai, tapi pagi ini masih bertiga, sedangkan Davin belum terlihat. Mungkin, dia masih tidur karena pulang larut malam. "Ara.." "Saya, Nyonya." "Panggil Davin, suruh dia sarapan." "E-eemm, a-anu.." "Kenapa?" "Maaf, Nyonya. Saya tidak tahu kamarnya yang mana.." "Lantai atas, kamar sebelah kanan." Ucap Lucy, setelah mendapatkan perintah itu, Ara pun segera pergi untuk memanggil Davin. Perlahan, dia menaiki satu persatu anak tangga, lalu celingukan mencari kamar Davin. Dia menemukannya, mengetuk pintunya perlahan tapi tak ada jawaban apapun dari dalam. "Tuan muda.." tak ada sahutan apapun dari dalam sana. Hening, mungkin tuan muda masih tertidur. Takut. Tapi, Ara tetap menjalankan perintah dari Nyonya Lucy, perlahan dia mengetuk kembali pintu kamar itu dan terbuka, Davin menatap wajah cantik Ara dengan wajah bantalnya, kentara betul kalau dia baru saja bangun. "Apa?" Jujur saja, kepalanya masih terasa berputar. Efek minuman beralkohol yang ditenggaknya semalam masih tersisa. "M-maaf, Tuan muda. Saya diminta Nyonya untuk mengajak anda sarapan." "Ckk, tegakan kepalamu!" Davin kembali berkata dengan tegas, membuatnya terkejut. Ara mendongakkan kepalanya, tatapan mereka bertemu. Mata bulat itu terlihat polos. "Kau mengganggu tidurku." "Maaf, Tuan." "Itu ada konsekuensinya." Davin menarik tangan Ara masuk ke dalam kamarnya dan menutupnya dengan cepat. Davin mendorong Ara hingga punggungnya membentur dinding, gadis itu meringis merasakan sakit di punggungnya. "A-awwsshhh, sa-kit.." lirihnya, namun itu bukanlah bahaya yang sesungguhnya. Bahaya yang sebenarnya ada di depannya, Davin. Pria itu menatapnya dengan tatapan tajam. Pelan namun kuat, tangannya mencengkeram dagu Ara, hingga mata itu bertemu dengan tatapannya yang tajam. "Tu-an.." Ara menatap Davin dengan takut-takut, tapi pria itu hanya menyeringai, bagai singa yang siap menerkam mangsanya. "Kau tahu konsekuensi membangunkanku, bukan?" "T-tidak, Tuan muda. Maaf, saya hanya menjalankan tugas dari Nyonya Lucy." Alisnya terangkat satu begitu mendengar jawaban Ara. "Aku lupa, kau maid baru." Davin mendekatkan wajahnya, hingga Ara bisa merasakan hembusan nafas hangat beraroma mint. Ara membeku, tubuhnya menegang seketika. Jujur saja, dia tak pernah berada sedekat ini dengan seseorang. Ini pertama kalinya, dia tak bisa mundur atau pergi kemanapun, kedua tangan kekar itu mengungkung dirinya. "Bisa tolong lepaskan? Saya tidak enak dengan Nyonya.." "Silahkan. Kalau kau bisa keluar dari ruangan ini." Davin tersenyum, senyum nakal yang jahat, Ara gelagapan sendiri, dia takut sekali. "Tuan mud—" belum saja gadis itu menyelesaikan ucapannya, pria itu telah membungkam mulutnya dengan ciuman. Ara meronta, tapi tenaganya tak sebanding dengan tenaga Davin. Pria itu menciumnya dengan rakus, menyatukan kedua tangannya di atas kepala dan kembali mencium bibir Ara dengan liar. Davin tersenyum, sebelah tangannya menekan tengkuk Ara hingga ciuman itu semakin dalam. Ara masih berusaha meronta, namun reaksi yang diperlihatkan tubuhnya justru sebaliknya. Beberapa menit setelahnya, Davin menyudahi aksi tak senonohnya, mencium maid baru tanpa izin. Harusnya itu bisa dilaporkan dengan pasal pelecehan, tapi Ara tidak seberani itu untuk melakukannya. Tangan pria itu terjulur, mengusap lembut bibir Ara yang memerah, terdapat sedikit luka di bagian tengah bibirnya. Pantas saja, rasanya sedikit amis tadi, ternyata dari luka itu tadi. Davin gemas, Ara terus meronta tadi, dia menggigit bibir itu sampai terluka seperti itu. Kedua mata bulat itu berkaca-kaca, sekali berkedip saja air mata itu pasti tumpah. "Sakit?" "S-sedikit." "Anda lancang sekali." "Kau yang mengganggu tidurku, jadi siapa yang lancang, hmm?" "Tapi kan.." Cup. Sekali lagi, Davin malah mencuri kecupan kecil di bibir merah dan ranum itu, lalu tersenyum menyeringai, membuat Ara membulatkan kedua matanya. "Davin!”"Yang bohong akan terlihat takut, tapi sebaliknya, yang jujur akan terlihat tenang, Mom." "Ya, Mommy juga berpikir begitu. Ya sudahlah, Mommy cek cctv dulu.""T-tapi, Nyonya.." Sintia gelagapan, berusaha menghalangi langkah Lucy untuk mengecek cctv. Tapi Ara, masih menundukkan kepalanya. "Kalau gak ngerasa, lawan. Jangan diam-diam aja.""Iya, Tuan muda.""Saya tidak suka perempuan lemah. Ingat itu." Davin pergi meninggalkan dapur setelah mengatakan hal itu. Yang sebenarnya terjadi, kemarin malam Sintia mencuci cangkir kesukaan Lucyana tapi naasnya cangkir itu terjatuh dan pecah berhamburan. Dia tahu cangkir itu berharga, mahal pula harganya. Alhasil, dia berpikir untuk menjebak Ara tapi Davin malah datang dan membuat rencananya gagal total. Tadi pagi, memang Ara yang membuang sisa pecahan itu tapi hanya serpihan kecil, dia tidak tahu menahu itu cangkir atau apa, Sintia yang memintanya membersihkan area itu. Entah apa yang teradi, Ara diminta Davin untuk tenang saja karena Lucyana
Ara sudah terlihat aktif di dapur semenjak kejadian kemarin, mengerjakan pekerjaannya seperti biasa, tanpa terganggu dengan tatapan sinis dari Sintia yang selalu mengintimidasinya. Sejak tadi, gadis itu terus berdekatan dengannya.Mungkin, ingin memastikan Ara tidak dekat-dekat dengan Davin.Namun, nasib tak selalunya mulus, bukan? Davin kembali meminta Ara untuk melayaninya seperti kemarin.Ara sempat melirik Sintia, gadis itu melengos dengan wajah kesal. Ara menghela nafasnya pelan lalu mulai menyajikan sarapan untuk Davin. Kebetulan, pagi ini Davin pergi berolahraga, dia baru kembali setelah keluar pagi-pagi sekali untuk jogging. Rambutnya masih setengah basah, sedikit acak-acakan tapi tidak mengurangi kadar ketampanannya, justru malah terlihat semakin tampan. "Maaf, Tuan muda.." Ara meletakkan piring berisi menu sarapan Davin pagi ini. Pria itu mengangkat sebelah alisnya, lalu mendongak menatap wajah Ara. "Kenapa begini?""Maaf?""Aku tidak biasa sarapan begini, Ara." Jawabnya,
"Ada di belakang, Tuan muda. Dia sedang—""Panggil dia kemari.""Tapi, Tuan mu—" perkataan Sintia terpotong saat Davin menatapnya tajam. Akhirnya, tak ada pilihan lain, Sintia pun pergi memanggil Ara. "Ara!""Iya, kenapa?""Ke dapur sana.""Ngapain? Kerjaanku udah selesai.""Ditanyain Tuan muda." Jawabnya ketus, membuat Ara mengernyitkan keningnya. "Cepet sana, Tuan muda tidak suka menunggu." Ucap maid yang duduk di dekatnya, sambil menyenggol pelan sikutnya. Ara menghela nafasnya pelan, lalu beranjak dari duduknya, melewati Sintia yang kelihatan bete kuadrat. Ara menghembuskan nafasnya sedikit kasar, lalu berjalan mendekati meja makan, dimana ada Davin yang telah menunggu disana. "Permisi, Tuan muda. Anda memanggil saya?""Hmm, siapkan makan malam untukku.""Baik, sebentar.." Ara mengambilkan makan malam untuk Davin. Sejujurnya, dia masih merasa takut pada Davin, apalagi setelah kejadian tadi pagi. "Teh chamomile.""Baik, Tuan." Ara kembali ke belakang saat mendengar perminta
“Davin!”"Yes, Mom.." Davin mengusap rambutnya yang basah dengan handuk, pria itu menatap sang ibu dengan kerutan di keningnya. "Kenapa belum turun? Yang lain sudah menunggu.""Mommy tau sendiri kan, aku tidak bisa sarapan, aku tidak terbiasa. Duluan saja.." jawab Davin dengan wajah datarnya, memang Davin ini jarang sekali sarapan apalagi dengan makanan berat. Paling hanya buah, susu atau yoghurt. Paling sereal atau granola, itu sudah cukup untuknya di pagi hari. Maka dari itu, badannya terbentuk sempurna. "Kamu bertemu dengan Ara?""Ara? Siapa itu?""Maid baru yang semalam berjaga, kamu pasti bertemu dengannya tadi malam.""Oh, namanya Ara?""Hmm..""Aku sudah menyuruhnya turun, apa dia tidak kembali ke ruang makan?" Tanya Davin lagi. Lucyana menggelengkan kepalanya, dia tidak bertemu Ara, atau berpapasan dengan gadis itu."Ya sudah, nanti sarapan yaa. Mommy mau ke kantor dulu sama Daddy." Ucap Lucyana. Davin hanya mengiyakan, jawaban singkat dan meyakinkan. Selepas kepergian Lucy,
"Maaf, Tuan muda." Ara membantu membawakan barang bawaan tuan muda yang baru saja datang itu dengan perlahan. Pria itu hanya memberi celah dan membiarkan gadis itu membawakan barang bawaannya. Hanya satu koper, tak ada lagi. Ara terlihat canggung, begitu pria itu masuk, buru-buru dia menutup pintu dan menguncinya. Kemudian mengikuti langkah tegap pria tampan dengan kacamata transparan itu, demi apapun dia adalah orang tampan pertama yang pernah dilihatnya seumur hidup. Jemian Ardavin Suseno, putra sulung keluarga Suseno. Usianya 29 tahun, dia pria yang cerdas, tampan, memiliki banyak sekali kemampuan, tak heran dia dipercaya untuk memegang perusahaan sang ayah. Kemarin, pria itu harus pergi kunjungan ke luar negeri selama dua bulan penuh karena ada permasalahan dengan cabang perusahaan disana, sekaligus mencari relasi baru untuk bisnisnya. Davin duduk di sofa, melonggarkan dasi yang mengikat ketat lehernya, menyugar rambutnya pelan lalu mengacaknya. Pemandangan itu tak luput dari
"Tolong..""Tolong, Pak. Ibu jatuh di kamar mandi.." ucapnya dengan derai air mata, dia tak bisa menahan rasa khawatir dan paniknya, dia takut. Beberapa orang masuk ke dalam rumah sederhana itu dan akhirnya membawa Ratih ke klinik terdekat. Namun, sepertinya benturan di kepala membuat Ratih kritis. Ara shock, dia menjerit histeris. Mau tak mau, Ratih harus dirujuk ke rumah sakit agar mendapatkan penanganan yang lebih intensif. Tangisannya terdengar pilu, dia menangis di ruang tunggu, bajunya bergetar menahan tangisan. Sampai akhirnya, pundaknya di tepuk pelan. Ara mendongak, dia mendapati Ratna ada disana. "Bibi, Ibu bi.." "Iya, bibi tahu.." Ratna memeluk tubuh lemah itu, mengusap punggungnya, menenangkan gadis yang tengah berduka dengan keadaan sang ibu saat ini."Bi, kalau ibu gak ada, Ara sama siapa?""Jangan bicara seperti itu, Ibumu pasti sembuh, Ara. Doakan dia agar bisa melewati semuanya." "Bi, di rumah itu ada lowongan jadi maid nggak?" tanya Ara pelan. “Ara bingung haru







