تسجيل الدخول“Davin!”
"Yes, Mom.." Davin mengusap rambutnya yang basah dengan handuk, pria itu menatap sang ibu dengan kerutan di keningnya. "Kenapa belum turun? Yang lain sudah menunggu." "Mommy tau sendiri kan, aku tidak bisa sarapan, aku tidak terbiasa. Duluan saja.." jawab Davin dengan wajah datarnya, memang Davin ini jarang sekali sarapan apalagi dengan makanan berat. Paling hanya buah, susu atau yoghurt. Paling sereal atau granola, itu sudah cukup untuknya di pagi hari. Maka dari itu, badannya terbentuk sempurna. "Kamu bertemu dengan Ara?" "Ara? Siapa itu?" "Maid baru yang semalam berjaga, kamu pasti bertemu dengannya tadi malam." "Oh, namanya Ara?" "Hmm.." "Aku sudah menyuruhnya turun, apa dia tidak kembali ke ruang makan?" Tanya Davin lagi. Lucyana menggelengkan kepalanya, dia tidak bertemu Ara, atau berpapasan dengan gadis itu. "Ya sudah, nanti sarapan yaa. Mommy mau ke kantor dulu sama Daddy." Ucap Lucyana. Davin hanya mengiyakan, jawaban singkat dan meyakinkan. Selepas kepergian Lucy, pria itu menutup pintu dan ternyata, Ara masih ada disana. Di dalam kamar Davin, gadis itu diam membisu di belakang pintu yang tadi sempat terbuka. "Kenapa?" "Tidak, Tuan muda." Jawab Ara, suaranya bergetar tak karuan. Dia merasa gugup dan takut secara bersamaan. "Pergi, siapkan makanan untukku." "B-baik, Tuan muda." Ara bersiap melangkah, tapi tangannya dicekal Davin, membuatnya menoleh. Pria dengan paras tampan bak dewa Yunani itu tersenyum nakal padanya. "Ada apa, Tuan muda?" "Tidak." Davin melepaskan tangannya dari tangan mungil Ara dan membiarkan gadis itu pergi meninggalkan kamar Davin, meninggalkan pria yang kini merutuki kelakuannya sendiri. "Astaga, kenapa bisa sampai lepas kendali begini?" "F*ck, ini pasti efek minuman yang ku minum semalam." Gumamnya sambil menepuk kepalanya sendiri. Jujur, yang tadi itu hanya refleks. Niat hati ingin memberi sedikit pelajaran pada Ara, sedikit bermain-main dengannya, tapi ujung-ujungnya dia yang kehilangan kendali setelah merasakan ranum Ara yang kenyal dan terasa manis. "Ckk.." Davin berdecak, dia pergi ke kamar mandi. Tidak bohong, dia benar-benar masih ingin beristirahat, semalam dia tidak segera tidur karena harus mengabari sang kekasih. Tapi pagi ini, dia malah mencium maidnya? Konyol. Di dapur, Ara baru saja kembali. Ada Sintia disana, menatapnya datar seperti biasa, berbeda dengan Ratna yang segera menghampiri keponakannya saat melihatnya kembali setelah hampir setengah jam tak kunjung kembali setelah mendapat perintah dari Nyonya Lucy. "Kamu baik-baik saja?" "Iya, kenapa memangnya?" "Kok lama?" Tanya Sintia lagi, nada suaranya agak sedikit ketus. "I-itu, tadi.. a-anu.." "Kenapa? Bicara yang benar, Ara." Kali ini, Ratna yang bertanya dengan serius. "Tadi aku nyasar, hehe." Jawab Ara yang membuat Ratna menghela nafas. "Astaga, Ara.." Setelahnya, Ratna pun berpamitan untuk mengerjakan kembali pekerjaannya, meninggalkan Sintia dan Ara di dapur. "Mau kemana, kak?" Tanya Ara pelan. "Belanja. Kau disini, Tuan muda belum sarapan." "Ya." Jawabnya singkat. Ara menghela nafasnya pelan, sejak kedatangannya kemarin, Sintia terlihat tak bersahabat. Tersisa Ara sendirian di ruangan itu, dia merasa bosan karena hanya sendirian, akhirnya dia memutuskan untuk menata ulang beberapa perabotan agar lebih mudah dijangkau. "Ehemm.." Ara menoleh, ternyata itu Davin. Pria itu menatapnya datar, namun Ara masih memasang senyum kecil, tapi pandangannya tetap tertunduk. "Mau sarapan sekarang, Tuan muda?" "Ya." Jawabnya singkat. Jujur, Ara masih merasa malu, sangat malu. Begitu melihat Davin, otaknya berkelana entah kemana dan jangan salahkan dirinya, ini semua karena ulah Davin yang mencemari otaknya. "Kau bisa buat pancake?" Tanya Davin dengan wajah datar. "Bisa, Tuan muda. Mau dibuatkan pancake apa?" "Buah." "Baik, Tuan muda. Ditunggu sebentar, mau dibuatkan teh atau kopi?" "Kopi hitam tanpa gula." "Baik." Ara membuat kopi sesuai permintaan Davin, lalu meletakkannya di depan Davin yang terlihat sibuk dengan ponselnya. Ara membuat adonan pancake secepat yang dia bisa. Dia tidak tahu kalau Davin tidak terbiasa makan makanan berat sebagai menu sarapannya, tak ada yang memberitahunya juga. Ara buru-buru membuatnya, sampai tak menyadari kalau gerak-geriknya itu diperhatikan oleh Davin sejak tadi. Matanya menatap tajam ke arah gadis yang kini tengah sibuk membolak-balik pancake di atas teflon anti lengket. "Selamat makan, Tuan muda. Maaf membuat anda menunggu.." Ara berdiri kikuk disamping Davin, matanya tertunduk, membuat pria itu menghela nafasnya. "Duduk." "M-maaf?" "Duduk. Temani saya sarapan." Ucap Davin. Ara terkejut, tapi kemudian dia duduk di samping Davin begitu melihat tatapan tak bersahabat pria itu. Dia memang tampan, tapi tatapannya mematikan. "Kuliah jurusan?" "Tata boga." "Pantas saja." gumamnya pelan. Dia menyuapkan pancake buatan Ara ke mulutnya, meskipun dibuat secara terburu-buru, tapi rasanya enak, tidak terlalu manis dan pancakenya lembut. "Anda mengatakan sesuatu?" "Tidak." jawabnya singkat, Ara hanya mengangguk pelan, lalu duduk menunggu anak majikannya ini makan. Jangan tanya bagaimana jantungnya berdetak saat ini, cepat sekali dan itu membuat wajahnya memerah, tak nyaman sekali rasanya. "Saya sarapan berbeda lima belas menit dari keluarga, menunya roti atau pancake." "Baik, Tuan muda. Maaf, saya baru bekerja disini, tidak ada yang memberitahu saya tentang itu." "Ya, it's okay." Jawabnya singkat, dalam sekejap sepiring pancake itu habis tak bersisa. Pria itu menarik selembar tisu, membersihkan mulutnya lalu melirik Ara yang sigap berdiri, menarik pelan piring kotor di depannya dan segera mencucinya. Ara fokus mencuci piring dan beberapa peralatan kotor yang baru saja dipakainya beberapa saat yang lalu. Tiba-tiba, sepasang tangan mengurungnya. Ara menoleh dan ternyata, itu Davin. Pria itu mengungkungnya dari belakang. "Tuan muda.." "Hmm, apa?" "Jangan begini, gak enak kalau dilihat orang lain." "Lalu?" "Saya tidak mau kehilangan pekerjaan ini, Tuan muda." Ara berkata dengan lirih, pekerjaan ini adalah satu-satunya harapan terakhirnya untuk memenuhi semua kebutuhannya, biaya kuliah dan biaya pengobatan sang ibu di rumah sakit. "Kau aman. Selagi tidak ketahuan." jawab Davin enteng, sebelah tangannya melingkar di perut rata Ara, membuat tubuhnya gemetaran. "Lemah. Baru dipeluk begitu sudah gemetaran?" Tanya Davin dengan nada menggoda, dia terkekeh saat melihat wajah Ara memucat. Ara diam. Hanya diam. Mulutnya terkunci, tubuhnya membeku. Saat pria itu membalik tubuhnya, Ara hanya menatap wajah tampan itu dengan polos, membuat Davin tersenyum nakal. Tangannya meraih dagu Ara, membuatnya sedikit mendongak ke arahnya. Davin mendekatkan wajahnya, memiring untuk mencium bibir Ara, tapi.. "Ara.." terdengar suara dari arah luar, membuat Davin berdecak kesal, lalu menjauh. Pria itu duduk di kursi lalu menyesap kopi hitamnya pelan. Ara menghela nafasnya lega. Anggap saja, gadis itu penyelamatnya hari ini. ... Saat makan malam, Ara tidak ikut menyajikan makanan, dia masih sibuk di belakang, memanggang lava cake. Di meja makan, ada lima orang malam ini. Ada dua tamu yang datang, sepasang suami istri, mungkin. Karena keduanya tampak mesra. "Ara, sudah selesai?" "Sudah, kak." "Ngapain senyam-senyum kayak gitu? Naksir sama bapak yaa?" Tuduh Sintia, membuat Ara mengernyitkan keningnya. "Lho, maksud kamu apa sih?" "Udahlah, Sintia. Kamu ini gak ada habisnya cari masalah, diem jangan banyak ulah." Sintia melengos lalu meninggalkan dapur. Tapi, saat mendengar suara Davin, dia segera kembali ke dapur dan memasang wajah semanis mungkin. "Minggir, biar aku yang layanin tuan muda." Ucap Sintia mendorong pelan pundak Ara agar menjauh. Sintia senyum-senyum sambil mendekat ke arah meja makan. "Dih.." "Gatel memang, ayo ke belakang. Biarin dia yang urus Tuan muda." Ara dan satu maid lain pun meninggalkan Sintia yang mungkin sedang menjalankan aksi capernya di depan tuan muda. "Maaf, Tuan muda. Mau makan malam sekarang?" "Kemana Ara?" Bukan jawaban yang di dapatkan Sintia, tapi pertanyaan balik yang membuat kepalanya terasa memanas seketika."Yang bohong akan terlihat takut, tapi sebaliknya, yang jujur akan terlihat tenang, Mom." "Ya, Mommy juga berpikir begitu. Ya sudahlah, Mommy cek cctv dulu.""T-tapi, Nyonya.." Sintia gelagapan, berusaha menghalangi langkah Lucy untuk mengecek cctv. Tapi Ara, masih menundukkan kepalanya. "Kalau gak ngerasa, lawan. Jangan diam-diam aja.""Iya, Tuan muda.""Saya tidak suka perempuan lemah. Ingat itu." Davin pergi meninggalkan dapur setelah mengatakan hal itu. Yang sebenarnya terjadi, kemarin malam Sintia mencuci cangkir kesukaan Lucyana tapi naasnya cangkir itu terjatuh dan pecah berhamburan. Dia tahu cangkir itu berharga, mahal pula harganya. Alhasil, dia berpikir untuk menjebak Ara tapi Davin malah datang dan membuat rencananya gagal total. Tadi pagi, memang Ara yang membuang sisa pecahan itu tapi hanya serpihan kecil, dia tidak tahu menahu itu cangkir atau apa, Sintia yang memintanya membersihkan area itu. Entah apa yang teradi, Ara diminta Davin untuk tenang saja karena Lucyana
Ara sudah terlihat aktif di dapur semenjak kejadian kemarin, mengerjakan pekerjaannya seperti biasa, tanpa terganggu dengan tatapan sinis dari Sintia yang selalu mengintimidasinya. Sejak tadi, gadis itu terus berdekatan dengannya.Mungkin, ingin memastikan Ara tidak dekat-dekat dengan Davin.Namun, nasib tak selalunya mulus, bukan? Davin kembali meminta Ara untuk melayaninya seperti kemarin.Ara sempat melirik Sintia, gadis itu melengos dengan wajah kesal. Ara menghela nafasnya pelan lalu mulai menyajikan sarapan untuk Davin. Kebetulan, pagi ini Davin pergi berolahraga, dia baru kembali setelah keluar pagi-pagi sekali untuk jogging. Rambutnya masih setengah basah, sedikit acak-acakan tapi tidak mengurangi kadar ketampanannya, justru malah terlihat semakin tampan. "Maaf, Tuan muda.." Ara meletakkan piring berisi menu sarapan Davin pagi ini. Pria itu mengangkat sebelah alisnya, lalu mendongak menatap wajah Ara. "Kenapa begini?""Maaf?""Aku tidak biasa sarapan begini, Ara." Jawabnya,
"Ada di belakang, Tuan muda. Dia sedang—""Panggil dia kemari.""Tapi, Tuan mu—" perkataan Sintia terpotong saat Davin menatapnya tajam. Akhirnya, tak ada pilihan lain, Sintia pun pergi memanggil Ara. "Ara!""Iya, kenapa?""Ke dapur sana.""Ngapain? Kerjaanku udah selesai.""Ditanyain Tuan muda." Jawabnya ketus, membuat Ara mengernyitkan keningnya. "Cepet sana, Tuan muda tidak suka menunggu." Ucap maid yang duduk di dekatnya, sambil menyenggol pelan sikutnya. Ara menghela nafasnya pelan, lalu beranjak dari duduknya, melewati Sintia yang kelihatan bete kuadrat. Ara menghembuskan nafasnya sedikit kasar, lalu berjalan mendekati meja makan, dimana ada Davin yang telah menunggu disana. "Permisi, Tuan muda. Anda memanggil saya?""Hmm, siapkan makan malam untukku.""Baik, sebentar.." Ara mengambilkan makan malam untuk Davin. Sejujurnya, dia masih merasa takut pada Davin, apalagi setelah kejadian tadi pagi. "Teh chamomile.""Baik, Tuan." Ara kembali ke belakang saat mendengar perminta
“Davin!”"Yes, Mom.." Davin mengusap rambutnya yang basah dengan handuk, pria itu menatap sang ibu dengan kerutan di keningnya. "Kenapa belum turun? Yang lain sudah menunggu.""Mommy tau sendiri kan, aku tidak bisa sarapan, aku tidak terbiasa. Duluan saja.." jawab Davin dengan wajah datarnya, memang Davin ini jarang sekali sarapan apalagi dengan makanan berat. Paling hanya buah, susu atau yoghurt. Paling sereal atau granola, itu sudah cukup untuknya di pagi hari. Maka dari itu, badannya terbentuk sempurna. "Kamu bertemu dengan Ara?""Ara? Siapa itu?""Maid baru yang semalam berjaga, kamu pasti bertemu dengannya tadi malam.""Oh, namanya Ara?""Hmm..""Aku sudah menyuruhnya turun, apa dia tidak kembali ke ruang makan?" Tanya Davin lagi. Lucyana menggelengkan kepalanya, dia tidak bertemu Ara, atau berpapasan dengan gadis itu."Ya sudah, nanti sarapan yaa. Mommy mau ke kantor dulu sama Daddy." Ucap Lucyana. Davin hanya mengiyakan, jawaban singkat dan meyakinkan. Selepas kepergian Lucy,
"Maaf, Tuan muda." Ara membantu membawakan barang bawaan tuan muda yang baru saja datang itu dengan perlahan. Pria itu hanya memberi celah dan membiarkan gadis itu membawakan barang bawaannya. Hanya satu koper, tak ada lagi. Ara terlihat canggung, begitu pria itu masuk, buru-buru dia menutup pintu dan menguncinya. Kemudian mengikuti langkah tegap pria tampan dengan kacamata transparan itu, demi apapun dia adalah orang tampan pertama yang pernah dilihatnya seumur hidup. Jemian Ardavin Suseno, putra sulung keluarga Suseno. Usianya 29 tahun, dia pria yang cerdas, tampan, memiliki banyak sekali kemampuan, tak heran dia dipercaya untuk memegang perusahaan sang ayah. Kemarin, pria itu harus pergi kunjungan ke luar negeri selama dua bulan penuh karena ada permasalahan dengan cabang perusahaan disana, sekaligus mencari relasi baru untuk bisnisnya. Davin duduk di sofa, melonggarkan dasi yang mengikat ketat lehernya, menyugar rambutnya pelan lalu mengacaknya. Pemandangan itu tak luput dari
"Tolong..""Tolong, Pak. Ibu jatuh di kamar mandi.." ucapnya dengan derai air mata, dia tak bisa menahan rasa khawatir dan paniknya, dia takut. Beberapa orang masuk ke dalam rumah sederhana itu dan akhirnya membawa Ratih ke klinik terdekat. Namun, sepertinya benturan di kepala membuat Ratih kritis. Ara shock, dia menjerit histeris. Mau tak mau, Ratih harus dirujuk ke rumah sakit agar mendapatkan penanganan yang lebih intensif. Tangisannya terdengar pilu, dia menangis di ruang tunggu, bajunya bergetar menahan tangisan. Sampai akhirnya, pundaknya di tepuk pelan. Ara mendongak, dia mendapati Ratna ada disana. "Bibi, Ibu bi.." "Iya, bibi tahu.." Ratna memeluk tubuh lemah itu, mengusap punggungnya, menenangkan gadis yang tengah berduka dengan keadaan sang ibu saat ini."Bi, kalau ibu gak ada, Ara sama siapa?""Jangan bicara seperti itu, Ibumu pasti sembuh, Ara. Doakan dia agar bisa melewati semuanya." "Bi, di rumah itu ada lowongan jadi maid nggak?" tanya Ara pelan. “Ara bingung haru







