تسجيل الدخول
"Tolong.."
"Tolong, Pak. Ibu jatuh di kamar mandi.." ucapnya dengan derai air mata, dia tak bisa menahan rasa khawatir dan paniknya, dia takut. Beberapa orang masuk ke dalam rumah sederhana itu dan akhirnya membawa Ratih ke klinik terdekat. Namun, sepertinya benturan di kepala membuat Ratih kritis. Ara shock, dia menjerit histeris. Mau tak mau, Ratih harus dirujuk ke rumah sakit agar mendapatkan penanganan yang lebih intensif. Tangisannya terdengar pilu, dia menangis di ruang tunggu, bajunya bergetar menahan tangisan. Sampai akhirnya, pundaknya di tepuk pelan. Ara mendongak, dia mendapati Ratna ada disana. "Bibi, Ibu bi.." "Iya, bibi tahu.." Ratna memeluk tubuh lemah itu, mengusap punggungnya, menenangkan gadis yang tengah berduka dengan keadaan sang ibu saat ini. "Bi, kalau ibu gak ada, Ara sama siapa?" "Jangan bicara seperti itu, Ibumu pasti sembuh, Ara. Doakan dia agar bisa melewati semuanya." "Bi, di rumah itu ada lowongan jadi maid nggak?" tanya Ara pelan. “Ara bingung harus bagaimana. Ibu sakit, sedangkan Ara masih kuliah. Terus, siapa yang nanti biayain Ibu, sedangkan selama ini, ibu jualan demi Ara aja. Ara harus gimana, Bi!” Melihat Ara yang menangis kebingungan, tanpa pikir panjang, Bibi kemudian menceritakan pekerjaannya di kota. Bekerja menjadi maid? Tak pernah ada dalam bayangannya, tapi untuk saat ini keadaannya sangat mendesak dan seakan tak ada pilihan lain. Lagipula, apa yang salah dengan maid? ... Ini adalah hari pertama Ara menjadi Maid di rumah seorang miliarder kaya dengan anak laki-laki tunggalnya yang sering disebut sebagai Tuan Muda. "Jangan bengong. Ayo masuk.." ajak Ratna, bibi Ara, yang kemudian mereka disambut oleh maid lain di rumah itu. Wanita paruh baya itu memperkenalkan Ara, lalu maid senior memberinya seragam dan langsung memberinya tugas di dapur. Beberapa orang menatapnya kurang bersahabat, tapi tidak ada. Masalah semacam hal ini sudah biasa terjadi di dunia kerja, kan? Ara hanya perlu menguatkan mentalnya. Hari pertama kerja berjalan dengan lancar, penghuni rumah itu makan dengan tenang dan kata maid senior, itu bagus. Minimal, penataan makanan, cara Ara melayani majikannya sudah benar padahal masih baru dalam hal beginian. Ara juga telah diperkenalkan oleh Ratna pada majikan mereka. Rumah ini dihuni oleh beberapa orang, pasangan suami istri dan seorang pria tua yang seringkali dipanggil Tuan besar. Dia terlihat tenang dan tidak bawel seperti biasanya pagi ini, berhubung Ara baru hari pertama bekerja, dia tidak tahu siapa saja majikannya di rumah ini. Tapi, katanya ada satu orang lagi tapi kebetulan saat ini sedang berada di luar negeri. "Ara, ayo istirahat makan siang.." Ratna menarik pelan tangan Ara ke belakang, khusus tempat para maid makan siang. Ratna dan Ara memisahkan diri karena ingin bicara serius dengan Ara. "Ara.." "Iya, Bibi. Kenapa?" "Kinerja mu di hari pertama ini sangat bagus, pertahankan itu yaa?" "Iya, Bi.." dengan senyuman manisnya, Ara menanggapi ucapan sang bibi. "Yang tadi itu majikan utama kamu, yang sudah tua itu mertuanya Ibu, Juragan Patra. Tinggal satu, soalnya istri beliau sudah wafat beberapa tahun yang lalu dan sejak itu, tuan besar sering sakit-sakitan. Mungkin karena faktor usia dan pikiran." "Iya, Bi. Lalu yang dua?" "Ibu Lucyana Suseno, Arman Suseno. Ada satu orang lagi yang tinggal di rumah ini, tapi beliau sedang berada di luar negeri sekarang. Namanya Davin, rencana dia hari ini atau besok pulang.” Tepat jam makan malam, Ara membantu Sintia menghidangkan makanan diatas meja, ketika semuanya telah datang ke ruang makan, mereka siap dengan posisi masing-masing. Ara melayani majikannya dengan telaten, namun tetap dengan pandangan yang menunduk. "Ara.." "Saya, Nyonya.." "Malam nanti kamu yang bertugas kan?" "Maaf, Nyonya. Saya belum tahu.." "Harusnya malam ini tugas piket maid lama, tapi berhubung kamu menggantikannya, jadi kamu yang bertugas malam ini." "Baik, Nyonya." "Kamarnya ada di belakang, malam ini putra saya pulang, mungkin sekitar pukul sebelas atau satu dini hari, bukakan pintu untuknya." Pinta Lucyana. Ara menganggukan kepalanya mengerti dengan perintah yang diberikan Lucy. Malam ini, dia tidur di kamar belakang, khusus kamar untuk maid yang bertugas jaga malam. Setelah menerima perintah, Ara pun mundur ke belakang dan berbincang dengan maid yang kebetulan ada di dapur mengenai tugas barunya. Dia tidak tahu apa yang boleh atau tidak boleh dilakukannya selama berjaga malam. "Kamu boleh tidur kok, tapi yaa gitu harus bukain pintu kalau Tuan muda pulang." "Itu saja?" "Paling siapin makan atau yang lain. Kamu bisa tidur lagi kalau semisal Tuan Muda sudah selesai dengan kebutuhannya." "Oke. Tak ada pantangan apapun, kan?" "Tidak ada, Ara. Hanya itu saja, selamat bertugas yaa. Aku bisa menemanimu sampai jam sepuluh, setelah itu harus kembali ke belakang." "Iya, gapapa. Terima kasih.." Ara tersenyum kecil, secepat itu keduanya akrab, obrolan mereka cukup nyambung juga. Ara sendirian setelah maid tadi pamit ke belakang untuk beristirahat. Mengusir kebosanan, Ara membersihkan dapur dan sesekali melirik jam di pergelangan tangannya, masih pukul sebelas malam tapi belum ada tanda-tanda Tuan muda itu akan datang. Gadis itu pergi ke kamar, karena merasa gerah dia membersihkan diri, rasanya tak nyaman kalau tidur dengan keadaan lengket karena keringat. Namun, saat Ara tengah sibuk mengenakan pakaian, dia mendengar suara mobil dari depan. Dia bergegas pergi ke depan, memutar kunci pintu utama dan membukanya sedikit, sebelum akhirnya dia membuka pintunya lebar setelah yakin kalau itu tuan muda yang ditunggunya. "Siapa kau?" Tanya nya, suaranya berat dan maskulin. Aroma parfumnya tercium samar, wanginya lembut pertanda parfum mahal. Keningnya berkerut saat melihat gadis asing yang membukakannya pintu. "Maid baru, Tuan muda." "Tegakkan kepalamu saat bicara!" Tegasnya, membuat Ara terkejut. Dia mendongak dan tatapan keduanya bertemu. Mata bulat nan polos seperti anak kucing itu bersitatap dengan tatapan tajam bak elang yang siap menerkam mangsanya."Yang bohong akan terlihat takut, tapi sebaliknya, yang jujur akan terlihat tenang, Mom." "Ya, Mommy juga berpikir begitu. Ya sudahlah, Mommy cek cctv dulu.""T-tapi, Nyonya.." Sintia gelagapan, berusaha menghalangi langkah Lucy untuk mengecek cctv. Tapi Ara, masih menundukkan kepalanya. "Kalau gak ngerasa, lawan. Jangan diam-diam aja.""Iya, Tuan muda.""Saya tidak suka perempuan lemah. Ingat itu." Davin pergi meninggalkan dapur setelah mengatakan hal itu. Yang sebenarnya terjadi, kemarin malam Sintia mencuci cangkir kesukaan Lucyana tapi naasnya cangkir itu terjatuh dan pecah berhamburan. Dia tahu cangkir itu berharga, mahal pula harganya. Alhasil, dia berpikir untuk menjebak Ara tapi Davin malah datang dan membuat rencananya gagal total. Tadi pagi, memang Ara yang membuang sisa pecahan itu tapi hanya serpihan kecil, dia tidak tahu menahu itu cangkir atau apa, Sintia yang memintanya membersihkan area itu. Entah apa yang teradi, Ara diminta Davin untuk tenang saja karena Lucyana
Ara sudah terlihat aktif di dapur semenjak kejadian kemarin, mengerjakan pekerjaannya seperti biasa, tanpa terganggu dengan tatapan sinis dari Sintia yang selalu mengintimidasinya. Sejak tadi, gadis itu terus berdekatan dengannya.Mungkin, ingin memastikan Ara tidak dekat-dekat dengan Davin.Namun, nasib tak selalunya mulus, bukan? Davin kembali meminta Ara untuk melayaninya seperti kemarin.Ara sempat melirik Sintia, gadis itu melengos dengan wajah kesal. Ara menghela nafasnya pelan lalu mulai menyajikan sarapan untuk Davin. Kebetulan, pagi ini Davin pergi berolahraga, dia baru kembali setelah keluar pagi-pagi sekali untuk jogging. Rambutnya masih setengah basah, sedikit acak-acakan tapi tidak mengurangi kadar ketampanannya, justru malah terlihat semakin tampan. "Maaf, Tuan muda.." Ara meletakkan piring berisi menu sarapan Davin pagi ini. Pria itu mengangkat sebelah alisnya, lalu mendongak menatap wajah Ara. "Kenapa begini?""Maaf?""Aku tidak biasa sarapan begini, Ara." Jawabnya,
"Ada di belakang, Tuan muda. Dia sedang—""Panggil dia kemari.""Tapi, Tuan mu—" perkataan Sintia terpotong saat Davin menatapnya tajam. Akhirnya, tak ada pilihan lain, Sintia pun pergi memanggil Ara. "Ara!""Iya, kenapa?""Ke dapur sana.""Ngapain? Kerjaanku udah selesai.""Ditanyain Tuan muda." Jawabnya ketus, membuat Ara mengernyitkan keningnya. "Cepet sana, Tuan muda tidak suka menunggu." Ucap maid yang duduk di dekatnya, sambil menyenggol pelan sikutnya. Ara menghela nafasnya pelan, lalu beranjak dari duduknya, melewati Sintia yang kelihatan bete kuadrat. Ara menghembuskan nafasnya sedikit kasar, lalu berjalan mendekati meja makan, dimana ada Davin yang telah menunggu disana. "Permisi, Tuan muda. Anda memanggil saya?""Hmm, siapkan makan malam untukku.""Baik, sebentar.." Ara mengambilkan makan malam untuk Davin. Sejujurnya, dia masih merasa takut pada Davin, apalagi setelah kejadian tadi pagi. "Teh chamomile.""Baik, Tuan." Ara kembali ke belakang saat mendengar perminta
“Davin!”"Yes, Mom.." Davin mengusap rambutnya yang basah dengan handuk, pria itu menatap sang ibu dengan kerutan di keningnya. "Kenapa belum turun? Yang lain sudah menunggu.""Mommy tau sendiri kan, aku tidak bisa sarapan, aku tidak terbiasa. Duluan saja.." jawab Davin dengan wajah datarnya, memang Davin ini jarang sekali sarapan apalagi dengan makanan berat. Paling hanya buah, susu atau yoghurt. Paling sereal atau granola, itu sudah cukup untuknya di pagi hari. Maka dari itu, badannya terbentuk sempurna. "Kamu bertemu dengan Ara?""Ara? Siapa itu?""Maid baru yang semalam berjaga, kamu pasti bertemu dengannya tadi malam.""Oh, namanya Ara?""Hmm..""Aku sudah menyuruhnya turun, apa dia tidak kembali ke ruang makan?" Tanya Davin lagi. Lucyana menggelengkan kepalanya, dia tidak bertemu Ara, atau berpapasan dengan gadis itu."Ya sudah, nanti sarapan yaa. Mommy mau ke kantor dulu sama Daddy." Ucap Lucyana. Davin hanya mengiyakan, jawaban singkat dan meyakinkan. Selepas kepergian Lucy,
"Maaf, Tuan muda." Ara membantu membawakan barang bawaan tuan muda yang baru saja datang itu dengan perlahan. Pria itu hanya memberi celah dan membiarkan gadis itu membawakan barang bawaannya. Hanya satu koper, tak ada lagi. Ara terlihat canggung, begitu pria itu masuk, buru-buru dia menutup pintu dan menguncinya. Kemudian mengikuti langkah tegap pria tampan dengan kacamata transparan itu, demi apapun dia adalah orang tampan pertama yang pernah dilihatnya seumur hidup. Jemian Ardavin Suseno, putra sulung keluarga Suseno. Usianya 29 tahun, dia pria yang cerdas, tampan, memiliki banyak sekali kemampuan, tak heran dia dipercaya untuk memegang perusahaan sang ayah. Kemarin, pria itu harus pergi kunjungan ke luar negeri selama dua bulan penuh karena ada permasalahan dengan cabang perusahaan disana, sekaligus mencari relasi baru untuk bisnisnya. Davin duduk di sofa, melonggarkan dasi yang mengikat ketat lehernya, menyugar rambutnya pelan lalu mengacaknya. Pemandangan itu tak luput dari
"Tolong..""Tolong, Pak. Ibu jatuh di kamar mandi.." ucapnya dengan derai air mata, dia tak bisa menahan rasa khawatir dan paniknya, dia takut. Beberapa orang masuk ke dalam rumah sederhana itu dan akhirnya membawa Ratih ke klinik terdekat. Namun, sepertinya benturan di kepala membuat Ratih kritis. Ara shock, dia menjerit histeris. Mau tak mau, Ratih harus dirujuk ke rumah sakit agar mendapatkan penanganan yang lebih intensif. Tangisannya terdengar pilu, dia menangis di ruang tunggu, bajunya bergetar menahan tangisan. Sampai akhirnya, pundaknya di tepuk pelan. Ara mendongak, dia mendapati Ratna ada disana. "Bibi, Ibu bi.." "Iya, bibi tahu.." Ratna memeluk tubuh lemah itu, mengusap punggungnya, menenangkan gadis yang tengah berduka dengan keadaan sang ibu saat ini."Bi, kalau ibu gak ada, Ara sama siapa?""Jangan bicara seperti itu, Ibumu pasti sembuh, Ara. Doakan dia agar bisa melewati semuanya." "Bi, di rumah itu ada lowongan jadi maid nggak?" tanya Ara pelan. “Ara bingung haru







