"Kakak ... kakak ... jangan! Aku bercerita pada kakak, bukan untuk minta dijemput. Aku mau minta pertimbangan Kak Romy, apa yang harus aku lakukan, untuk menghilangkan jejak uangku, Kak? Aku takut jika Mas Rizal tahu, ia akan meminta uangku," tahan Lily. Niatnya tadi menelpon benar-benar hanya ingin berbagi keluh kesah dan meminta pendapat saja.
Hening sesaat. Mungkin Romy juga sedang berpikir di seberang sana. Sesekali Lily begidik saat angin malam berembus dan menghampiri kulitnya.
"Tapi Ly, aku enggak suka. Kamu pasti tersiksa di sana. Sebaiknya kamu pulang aja. Urus surat ceraimu secepatnya lalu mulailah usaha yang baru di sini," suara Romy terdengar parau, pertanda ia sangat geram.
Romy sungguh tak rela, adik kesayangan satu-satunya, diperlakukan seperti sampah oleh mertua dan suaminya sendiri. Selama ini dia tahu, Lily bukanlah istri yang mau berpangku tangan saja. Adiknya pun punya andil dalam membiayai hidup mereka. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nanti, Lily bertahan saat harus serumah dengan istri baru suaminya.
"Kakak percayalah! Aku bertahan di sini hanya ingin memberi pelajaran, pada mereka yang sudah menyakiti dan menghinaku. Percayalah Kak, aku akan melepaskan Mas Rizal pada waktunya. Tapi bukan sekarang. Jika aku melakukannya sekarang, itu terlalu simpel dan nyaman untuk mereka," Lily berusaha meyakinkan Romy bahwa ia masih bisa bertahan hanya untuk satu tujuan. Tak ada jawaban dari seberang sana, namun Lily tahu bahwa Romy masih menanti kelanjutan ucapannya.
"Aku hanya ingin meminta bantuan Kakak, untuk menyimpan uangku. Atau apabila Kakak ada ide memutarnya untuk membangun usaha yang hasilnya bisa menjadi pemasukan buatku juga buat Kakak, aku mengijinkan! Aku tidak ingin menyimpan uang ini di sini, karena ... aku khawatir Rizal tahu dan meminta uangku kembali," lanjut Lily pelan.
Hening lagi. Nampaknya Romy sedang berpikir keras di sana.
"Ly ... aku percaya sama kamu. Tapi ... untuk menyimpan uangmu kakak takut. Takut terpakai. Aku berpikir ... untuk membangunkanmu sebuah usaha. Tapi sepertinya, kamu harus menjual tanahmu yang satu hektar lagi. Dan kamu harus bersabar, dan terus berdoa. Karena usaha yang akan kamu bangun ini butuh kesabaran. Paling cepat tiga tahun, kamu bisa menikmati hasilnya," suara Romy terdengar berat namun nada bicaranya sudah mulai menurun.
"Terserah kakak, saja. Aku percaya sama Kakak! Besok aku ke bank. Akan ku transfer secepatnya semua uang yang ada di rekeningku ke rekening Kak Romy," ucap Lily lega. Setidaknya besok uang yang ada sudah berpindah tempat. Soal usaha, dia memang sangat percaya pada Romy. Romy dan istrinya selama ini sama-sama menyayanginya. Tak mungkin mereka akan menambah beban penderitaannya.
"Tapi ... untuk menjual tanah satunya, butuh waktu Kak," ucap Lily kurang bersemangat, mengingat sebelumnya dia butuh waktu berbulan-bulan untuk menjual tanahnya.
"Enggak masalah, sambil jalan. Aku khawatir suamimu itu malah nanti memaksamu menjual tanah lagi, dan uangnya dia minta untuk ibu dan istri barunya . Lebih baik kamu jual sekarang dan alihkan ke usaha. Tapi jangan sampai dia tahu. Toh, kamu juga enggak mungkin menggarap tanah seluas itu sendirian. Itu kan, tanah lokasi persawahan. Enggak bisa dijadikan perkebunan," ucap Romy yang paham situasi tanah yang dimiliki adiknya.
"Nanti kalau usahamu sudah ada hasil, kamu akan bisa membeli tanah kembali. Oh ya, jika tanahmu laku dengan harga yang sama seperti satu hektar sebelumnya, masih tersisa separuh. Apa enggak sebaiknya uang sisa tersebut kamu gunakan untuk membuat usahamu di sana? Misal ... menyewa ruko, walaupun kecil-kecilan dulu, jualan apa aja yang kira-kira cocok. Dan yang paling penting, memulai usaha sendiri. Cari yang letaknya strategis!" usul Romy lagi.
Lily terdiam sebentar. Mempertimbangkan usul Romy. Sepertinya ia memang butuh usaha baru di luar rumah. Jika terus-terusan di rumah, Lily takut stok kesabarannya cepat menipis. Salah-salah, targetnya belum tercapai, dia menyerah duluan. Itu tak boleh terjadi!
"Baiklah Kakak ... aku percaya dan aku setuju usul kakak. Sambil menunggu tanah laku lagi, aku akan mencari-cari ruko yang disewakan dengan posisi strategis. Mahal sedikit enggak masalah, asal nyaman buat membuka usaha," ucap Lily sambil mengembangkan senyum senang. Dukungan dari Sang Kakak merupakan secercah harapan dan penguat dalam dirinya hingga ia merasa lebih lega. Lily merasa beruntung memiliki seorang kakak yang begitu perduli padanya.
"Tapi Ly, kamu jangan memaksakan diri, kalau memang enggak kuat, lepasin aja. Kamu masih muda, masa depanmu masih panjang," lagi-lagi suara Romy terdengar begitu cemas.
"Percayalah Kak, aku akan baik-baik saja di sini, aku pasti melepaskannya. Tapi bukan sekarang," ucap Lily diiringi kekehan kecil.
"Baiklah, tapi kalau ada apa-apa, jangan di sembunyikan dan jangan sungkan-sungkan telpon ya. Cerita!"
"Ssiiaap kakak! Ya udah dulu, ya! Takut orang-orang rumah terbangun. Bisa gagal semuanya. Assalamu'alaikum ...." Lily menyudahi obrolan mereka dengan suara ceria.
Setelah Romy menjawab salamnya, Lily menutup telpon kemudian menuju pintu dan membuka pelan-pelan. Dengan langkah lambat, ia memasuki rumah menuju kamar anak-anaknya kembali. Pelahan Lily bisa menepis bayangan Rizal dan istri barunya dan ia pun berhasil terlelap di alam mimpi yang lebih menyenangkan dan mengantarnya menemui pagi.
Keesokan paginya, setelah mengantarkan Hussein dan Abidzar, Lily langsung menuju bank, untuk mengamankan uang dari rekeningnya ke rekening Romy. Kini tugasnya bersisa satu, menghubungi kembali pembeli tanahnya yang dulu, siapa tau masih mau membeli karena posisinya berdampingan.
****
Kediaman Nessa hari kedua setelah menikah."Mas ... aku masih pengen kita berdua di sini aja dulu," ucap Nessa saat Rizal mengatakan, bahwa besok pagi mereka harus kembali ke rumahnya.
"Enggak bisa, Nes! Aku sudah janji sama Lily, di sini hanya tiga hari."
"Tambahlah, Mas! Kalau di sana nanti suasananya beda. Gak berasa pengantin baru lagi."Nessa memonyongkan bibirnya, merajuk.
"Sayaaaang, besok kita ke sana dulu aja, nanti kita cari alasan sama Lily, biar bisa nginap di sini lama-lama ya," rayu Rizal.
"Kamu kangen sama Lily, ya Mas?"
Nessa mencebikkan bibir, tak mampu menyembunyikan kecemburuannya."Eeeh, kangen dia? Enggaklah! Aku kangen sama anak-anak, Nes. Abi dan Husen," bantah Rizal kontan sambil mengusap tengkuk, saat menyebut nama anak-anaknya. Ada rasa bersalah meskipun sedikit, saat ia harus menjual kedua putranya.
"Tuh, kan iya! Kamu pasti kangen Lily. Enggak! Aku enggak mau kamu pulang. Kita di sini aja, sampai semingguan."
Nessa bersikeras. Rizal mulai pusing menghadapi istri barunya."Sepertinya dia lebih susah diatur daripada Lily. Aku harus lebih pintar," batin Rizal.
"Sayaang ... dengar aku baik-baik." Rizal mendekat dan memegang kedua tangan Nessa.
"Aku tetap harus pulang besok, dan kamu harus ikut ...."
"Kenapa harus?"
Nessa masih cemberut.
"Dengar Sayang ... Lily itu orangnya curiga-an. Kalau kita lama-lama berdua di sini, nanti dia malah menuduh kamu, yang melarangku pulang. Aku cuma kasian sama kamu ... ntar di lsalahin lagi sama Lily," Rizal mengacak rambut Nessa yang tak beraturan karena terlihat kesal.
"Katanya, kamu pengen lebih baik daripada Lily. Sekarang waktunya. Kamu perlihatkan pada orang rumah, bahwa kamu terbaik, terutama di depan ibu," lanjutnya.
Nessa terdiam sebentar, meresapi ucapan Rizal. Ada benarnya juga. Jangan sampai dirinya yang belum genap seminggu, menyandang predikat istri kedua, terkesan ingin berkuasa.
"Baiklah, Mas! Tapi janji, nanti kamu harus cari alasan, supaya kita bisa lebih lama kembali ke sini," ucap Nessa akhirnya menyetujui, demi mendapat predikat menantu yang lebih baik di depan Bu Erna juga Lily.
"Iya Sayaang ... aku janji."
Nessa tersenyum senang langsung mengalungkan tangan di leher Rizal.
Sekali lagi Rizal berbangga diri, karena mampu menaklukkan wanita keduanya dengan mudah.
Sesungguhnya alasannya ingin cepat pulang bukanlah Abidzar ataupun Hussein. Ada ketakutan lain yang bersarang dalam dirinya jika ia berlama-lama meninggalkan Lily, dan itu berhubungan dengan Arjuna yang masih betah melajang.
Tapi mendengar janji Nessa, Rizal menjadi lega. Kini ia tinggal mempersiapkan diri, untuk menghadapi hari esok. Karena dia sendiri sejak tadi sudah membayangkan, indahnya hidup bersama dua wanitanya dalam satu atap? Tinggal pilih saja, mau masuk kamar yang mana. Bosan sama yang tua, pindah ke kamar yang muda, dan sebaliknya. Rizal jadi mesem-mesem sendiri membayangkan manisnya hidup yang akan dijalaninya ke depan.
"Rejekinya orang ganteng. Dikasih dua istri penurut semua," gumam Rizal dalam hati memuji kepiawaiannya sendiri dalam urusan menaklukkan wanita.
"Waduh!" Rizal garuk-garuk kepala."Ta-pi, saya bukan suaminya, Mbak," tolak Rizal."Oh, Maaf! Suaminya kemana?""Suaminya di tempat kerja. Hapenya ketinggalan, tapi, nanti ada ibu saya datang dampingin," jelas Rizal. Perawat akhirnya mengerti. Rizal kembali menelpon ibunya yang tak kunjung tiba. Tapi tak di angkat-angkat. Beberapa saat kemudian, wajah Rizal berubah cerah saat Bu Erna sudah tiba di pintu ruang bersalin.Rizal segera membawa Ayezha menjauh, dan Bu Erna langsung masuk dan mendekat pada Lily, yang mulai mengejan. Ia langsung memegang tangan Lily dan menyapu bulir keringat yang menempel di dahinya."Oooeeek ... oeeeek ...."Karena ini pengalaman ke empat kalinya Lily melahirkan, tak perlu waktu lama mengejan, terdengar suara tangis bayi. Lily langsung terkulai lemas. Bayi yang sangat mungil karena lahir di bulan ke tujuh itu diangkat oleh perawat untuk dibersihkan. Bu Erna sendiri, membantu membersihkan anggota
Rizal mengangkat wajahnya pelan-pelan mengikuti arah ekor mata Lily, melirik-lirik pada pasien yang mengisi di satu bagian ruangan mereka."Iya. Kayaknya iya!" jawab Rizal setengah berbisik juga.Mereka semua penasaran apa yang terjadi dengan Nessa. Kenapa yang menjaganya bukan ayah atau ibunya. Kenapa dia didampingi oleh dua orang asing yang sebaya dengan mereka? Nessa sendiri begitu menatap mereka dengan tatapan kosong. Seolah mereka tidak pernah saling mengenal.Rizal jadi penasaran. Arjuna pun mendukungnya untuk mendekat. Nampaknya ia juga sangat penasaran. Begitu wanita yang ikut menjaga Nessa tadi keluar, Rizal mewakili mereka semua mendekat."Permisi Pak. Dia Nessa kan?""Iya," jawab lelaki tadi singkat sambil menoleh."Dia sakit apa? Perempuan yang tadi disini siapanya? Ibu sama Bapaknya kemana?" Rizal memberondong lelaki tersebut dengan pertanyaan beruntun."Oh, tadi itu istri saya. Orang tuanya Nessa meninggal sa
Arjuna mandi secepat kilat. Rengekan Ayezha memanggil-manggil dari luar memaksanya buru-buru untuk menyelesaikan mandinya.Baru keluar dari kamar mandi, Ayezha sudah menunggunya di pintu. Alhasil, masih menggunakan handuk ia mengangkat dan membawa Ayezha duduk di pangkuannya."Papa pakai baju dulu ya, sama mama dulu ya?" bujuk Arjuna. Ayezha menggeleng, ia malah berpegangan erat di leher Arjuna.Arjuna memandang istri dan anaknya bergantian dengan gemas. Lily tertawa senang melihat wajah Arjuna yang lucu, menghadapi tingkahnya dan Ayezha. Tiba-tiba ponsel Arjuna berdering. Panggilan dari Bu Erna."Assalamu'alaikum Bu ....""Wa'alaikumsallam, Juna. Ibu mau ngabarin, istrinya Rizal sudah melahirkan," ucap Bu Erna langsung."Alhamdulillah, ini di mana sekarang, Bu?""Masih di rumah sakit," jawab Bu Erna."Oh, Ya Bu! Sebentar kami ke sana ya, Bu ... mau dibawakan apa?" suara Arjuna terdengar bersemangat."E
"Ngomong apa sih, Mas? Iya. Sejak ketemu Rizal tadi, hatiku berubah. Berubah makin saayaaang sama suamiku yang luar biasa dan baik hati ini. Peduli sama adeknya yang dulu cuma bisa nyusahin dia aja," jawab Lily manja membuat Arjuna tersenyum bahagia."Bagaimanapun, dia adekku. Dalam tubuh kami ada aliran darah yang sama kan? Walaupun beda ibu? Seburuk-buruknya Rizal, sifat baiknya yang kuacungi jempol itu sayang sama ibu. Coba kamu ingat, pernah enggak Rizal berbicara kasar sama ibu? Enggak pernah kan? Meskipun dulu dia berlebihan sampai ngabaikan istrinya karena patuh sama ibu. Tapi kalau dulu dia enggak begitu, bisa jadi yang duduk di sampingku hari ini bukan kamu. Iyakan?"Arjuna bertanya sambil melirik pada Lily yang mengangguk sambil memandangnya penuh cinta. Kekagumannya atas kebijakan Arjuna bertambah besar."Ternyata memang semua ada sisi baik dan hikmahnya ya," gumam Lily begitu Arjuna mulai menjalankan kendaraan mereka."
Sesaat kemudian Rizal seperti tersadar akan sesuatu, lalu melangkahkan kaki masuk ke dapur untuk mengangkat menu makanan keluar.Lily merasa bersalah melihat tatapan Rizal. Arjuna memperhatikan perubahan raut wajah Lily, seperti gelisah. Ia menarik Lily menjauh sebentar."Kamu merasa bersalah, ya?" tanya Arjuna. Lily hanya diam. Ia sendiri tak tahu kenapa ia harus merasa bersalah."Minta maaflah pada Rizal. Atas kebohonganmu selama jadi istrinya dulu. Bagaimanapun, yang namanya bohong apalagi saat itu dia berstatus suamimu, tetaplah dosa," ucap Arjuna lembut. Lily hanya diam. Ia ragu dan takut. Lily masih saja berpikir, Rizal masih sama seperti yang dulu."Ly! Euumm, boleh aku ngomong sebentar?" tiba-tiba Rizal muncul dari belakang.Arjuna langsung masuk meninggalkan Lily dan Rizal yang duduk di kursi pel Keduanya duduk berhadapan. Jantung Lily berdegup kencang. Ia berpikir pasti Rizal akan menanyakan soal kebohongannya.
"Mas, kenapa sih aku enggak boleh ke ruko lagi? Mbak Fi juga kayaknya takut banget aku ke sana? Kenapa?" Lily mencoba kembali memancing pembicaraan setelah penolakan Mbak Fi sebulan yang lalu."Enggak apa-apa. kan aku sudah bilang, alasannya. Aku pengen kamu cepat hamil. Enggak perlu capek-capek lagi," Arjuna bersikukuh dengan alasan lamanya."Yaelah! kalo ke sana kan nengok doang, gak ngapa-ngapain! Gak capek. Gak ngaruh, Mas!" protes Lily."Pokoknya enggak boleh!""Kalau aku sudah hamil, baru boleh berarti ya?" tanya Lily. Arjuna diam, nampak masih enggan mengiyakan. Lily jadi makin penasaran melihat tingkah laku suaminya."Maaaas! Kalau sudah hamil, jangan kurung aku lagi, ya!" Lily mulai merengek."Heeeeeemmm. Hamil aja dulu!" Arjuna akhirnya mulai tak tega mendengar rengekan Lily."Bener, Mas?" Lily berbalik menatap suaminya. Arjuna hanya menaikkan alis sebagai jawaban."Mas. Liat deh!" Lily mengambil ses
Tiga minggu berlalu begitu cepat.Lily bersiap tidur mengenakan piyama lengan panjang. Ia menyusun bantal seperti biasanya. Arjuna masih menggosok gigi di kamar mandi.Setelah semuanya beres, Lily memilih-milih kaset yang sudah hampir semuanya ditonton."Yaaaah!"Suara Lily terdengar kecewa."Kenapa?" tanya Arjuna yang baru keluar dari kamar mandi."Ngadat semua kasetnya! Padahal tinggal ini aja yang belum diputar. Besok kita cari kaset-kaset baru yang banyak, ya!" ucap Lily.Arjuna diam saja, tak menjawab. Lily menuju pembaringan, sambil membuka ponsel ia berbaring. Jari-jarinya langsung berselancar di youtube. Tiba-tiba Arjuna berbaring dan langsung merampas ponsel Lily."Mau ngapain?" ucapnya sambil meletakkan kembali ponsel Lily di dekatnya."Mau cari tontonan. Kan kasetnya rusak, besok kita cari lagi kaset baru, ya?" sahut Lily sambil bertanya."Enggak perlu! Mulai sekarang sebelum
Arjuna menurut saja pada ajakan Lily. Begitupun saat Lily memaksanya duduk sambil menatap wajahnya."Jadi, dulu itu aku melakukan sterill enggak dipotong. Cuma diikat, dan masih bisa dibuka lagi," terang Lily membuat Arjuna sangat terkejut."Emang bisa?" Arjuna menampakkan ketidakpercayaan."Kenapa enggak? Jaman udah semakin canggih. Tubektomi yang kulakukan hanya sebatas menutupi saluran indung telur kanan dan kiri supaya tidak terjadi pembuahan, jadi masih bisa dibuka. Prosedur membuka ikatan itu namanya anastomosis tuba, yaitu menggabungkan bagian saluran indung telur yang masih sehat," terang Lily sambil mengingat ucapan Dokter yang membantunya beberapa tahum silam.Arjuna menatap Lily penuh rasa syukur. Tetapi sesaat kemudian senyumnya meredup. "Tapi, apa enggak ada resiko kalau dibuka lagi ? Kalau membahayakan kamu, sebaiknya enggak usah. Kita sudah punya Husen dan Abi. Aku enggak masalah punya anak tiri aja. Bukankan selama aku ja
Setelah Rizal keluar, Arjuna langsung menutup pintu dan menguncinya. Ia tak ingin Rizal kembali mengusik mereka berdua. Arjuna merasa tak tega, melihat Lily selalu menangis bila berurusan dengan Rizal.Di luar kamar mereka, Rizal serasa tak mampu melangkah. Tulangnya seperti tak mampu menopang tubuh. Rizal bergeser dari pintu kamar Arjuna dan Lily, untuk bersandar di dinding. Ia meremas dadanya yang terasa sakit luar dalam. Berkali-kali ia menyapu matanya yang kabur, karena aliran air mata yang tak mampu dibendung.Rizal baru tahu rasa dan arti sebuah kehilangan, setelah hartanya yang paling berharga kini dalam genggaman orang yang tepat. Dia tak lagi memiliki alasan untuk memintanya kembali.Menyesalkah dia? Sangat! Tapi, kini Rizal sadar. Sesal tinggallah sesal. Mungkin memang sudah tiba waktu dan garis jodohnya dengan Lily terputus, dan tak bisa disambung lagi. Jodoh mereka sudah habis, tak akan bisa ia paksakan untuk bersatu lagi.Bu Erna mengha