Share

Rayuan Gombal

Malam pertama di rumah Nessa.

"Kamu!" Rizal berujar sambil memalingkan wajah ke samping. Raut kecewa jelas terpancar dari wajahnya. 

"Maaf Mas, aku memang sudah pernah menikah sebelumnya," ucap Nessa sambil mengenakan pakaian kembali, usai melewatkan malam pengantin mereka.

"Kenapa kamu enggak pernah bilang, sih?" nada bicara Rizal mulai tinggi, karena tidak sesuai harapan dan perkiraannya. Nessa ternyata bukan seorang gadis ting-ting lagi. 

"Kok marah, sih Mas? Kan kamu sendiri enggak pernah tanya! Iya. Aku dulu emang sudah pernah menikah," terang Nessa sambil berkilah.  Iamenyandarkan kepalanya manja di bahu Rizal yang masih menatap tembok kamar.

Rizal mengusap wajah setelah terdiam sejenak. Nessa benar juga. Selama ini dia tidak pernah bertanya tentang masa lalu Nessa. 

"Anak? Apa kamu sudah punya anak juga?" Rizal berpaling dan menatap Nessa dalam-dalam.  Ada rasa was-was dalam hatinya. Jika Nessa memiliki anak, bukankah itu akan menjadi beban dalam hidup mereka berdua lagi?

"Sudahlah, Mas! Enggak usah di permasalahkan. Aku belum senpat memiliki anak dari pernikahan pertamaku. Ini memang pernikahanku yang kedua. Tapi ... bukankah kamu juga hanya menjadikan aku wanita keduamu?" Nessa mengusap dagu Rizal mesra. 

Rizal terdiam sejenak, menikmati belaian lembut istri keduanya.  Nessa benar juga. Tak mengapalah, toh rasanya sama saja. Rugi besar bila ia meninggalkan Nessa hanya karena dia bukan gadis. Rizal melirik perhiasan yang menempel di anggota tubuh Nessa. Barang mahal masa mau ditinggalkan begitu saja. Rugi juga kalau dipikir-pikir, meskipun dibeli dengan uang Lily. Rizal menyunggingkan senyum manis, sambil mengusap pucuk kepala Nessa yang masih bersandar di bahunya.

"Aku cuma bercanda ... sayaaang! Ya enggak masalah, lah! Tapi ...." wajah Rizal berubah murung.

"Tapi apa, Mas?" tanya Nessa terlihat senang sekali, karena Rizal ternyata tak keberatan setelah mengetahui statusnya. 

"Tapi Nes, kalau nanti tinggal serumah, kamu jangan kaget!" Rizal mengusap wajah resah. 

"Kaget kenapa, Mas?" Nessa menarik kepala dari bahu suaminya.

"Begini Nes ...."

Rizal menarik napas panjang, sebelum melanjutkan ucapannya.

"Lily--Kakak Madumu  itu orangnya lumayan keras kepala. Kamu tahu, selama menikah tidak pernah sama sekali ia memberikan uang pada ibu," ucap Rizal sambil menundukkan wajah.

Nessa mengernyitkan dahi. "Kenapa bisa begitu, Mas? Bukankah selama ini kamu bilang, semua yang berhubungan dengan kedua anakmu ditangani oleh Ibu? Tega sekali dia melakukan itu?" 

"Yaa ... begitulah! Ia hanya perduli pada kebutuhan dirinya sendiri saja," Rizal mengendikkan bahu, seolah-olah menyerah untuk memperbaiki sikap Lily.

"Kamu tenang aja, Sayang! Aku akan membantu sedikit kebutuhan kita nanti. Yang penting ... kamu janji, harus lebih memperhatikan aku daripada dia," pinta Nessa manja. Dalam hati kecilnya terbersit rasa senang. Mendengar penuturan dan keluhan Rizal, Nessa merasa yakin cepat atau lambat, pasti ia akan memenangkan hati Rizal dan mertuanya. Bila suami dan mertuanya sudah berhasil ia taklukkan, maka Lily bukanlah batu sandungan yang besar untuk disingkirkan dalam rumah tangganya bersama Rizal. 

"Tentu saja, Sayaaang! Jangan risau kalau soal itu. Kamu lebih segala-galanya di banding dia. Kamu lebih cantik. Lebih baik dalam segala hal. Anggap aja, dia sampingan!" ucap Rizal sambil meraih kepala Nessa dan menyandarkan ke dada bidangnya kembali. 

"Apalagi ...."

Rizal menjeda ucapannya sejenak, membuat Nessa tak sabar. Dengan wajah sumringah ia mendongakkan wajah. 

"Apalagi apa, Mas?"

"Apalagi kamu mau berbagi dan membeli kebutuhan di dapur. Kamu enggak akan jadi yang kedua. Kamu akan jadi yang pertama. Di sini," Rizal menunjuk ke bagian pertengahan dadanya, membuat wajah Nessa langsung memancarkan rona bahagia. Bibirnya bahkan tak berhenti menyunggingkan senyuman.

"Itu soal gampang, Mas! Aku tidak akan bertingkah seperti Lily. Ibumu 'kan ibuku juga," balas Nessa tak bisa menyembunyikan perasaannya yang sedang berbunga-bunga.

Nessa memeluk Rizal, yang menyeringaikan senyum kepuasan di balik kepalanya. Rizal puas, karena Nessa pun kini mulai masuk dalam perangkapnya.

"Yees! Ini yang aku mau! Sekali mendayung, dua pulau terlampaui," sorak Rizal dalam hati sambil mengelus rambut hitam milik Nessa, lalu kembali meminta hak seorang suami untuk yang kedua kalinya. 

***

Sementara Rizal tengah asik dengan wanita keduanya, di sebuah kamar seorang Wanita yang merasa dihianati tanpa alasan yang masuk akal tak kuasa membendung air matanya yang terus luruh saat menatap kedua putranya telah tertidur lelap. Ada rasa sakit yang teramat sangat mendera batinnya. Berulang kali ia menepuk dadanya yang terasa sesak. 

Lily tahu, Rizal tak pantas ditangisi. Namun munafik rasanya jika ia tidak sakit hati, membayangkan suami yang selama ini selalu berada di sampingnya kini sedang sekamar dengan wanita lain. Lily meremas rambutnya saat membayangkan apa yang sedang mereka lakukan di sana. Tak henti-hentinya ia beristighfar untuk menenangkan dirinya sendiri. 

Setelah agak tenang,  Lily mengusap kepala kedua anaknya bergantian. Setelah itu Lily melangkah pelan-pelan keluar kamar untuk melihat situasi di dapur. Sudah lumayan bersih. Ia cukup senang untuk itu.

Setelah memastikan situasi di dapur aman, Lily berjalan untuk melihat situasi di kamar mertua. Ia harus memastikan, bahwa Bu Erna juga sudah mengunci diri di dalamnya.

Untuk Arjuna Lily merasa tak perlu menengok lagi. Beruang kutub yang satu itu jika sedang berada di rumah, sudah pasti betah mengurung diri di kamar. Tak seorang pun dari mereka tahu apa yang dilakukan oleh manusia dingin tersebut. Lily beranggapan, dia berhibernasi.

Setelah dirasa semuanya aman, Lily beranjak keluar menuju teras rumah. Tujuannya tak lain adalah untuk duduk di ayunan besi. Setelah itu ia mengeluarkan ponsel untuk mencari nama Romy, kakak satu-satunya yang ia miliki saat ini.

Tak lama setelah memencet tombol panggilan, nada sambung terdengar, dan di angkat.

"Assalamu'alaikum, Kak Romy," sapa Lily terlebih dahulu dengan suara agak parau karena sedari tadi kebanyakan menangis. 

"Walaikumsallam ...." Suara berat Romi seketika membuat wajah Lily cerah. 

"Maaf Kak, mengganggu malam-malam!"

"Enggak apa-apa Ly, ada apa? Bagaimana kabarmu? Kenapa suaramu enggak seperti biasanya? Apa kamu sedang sakit?" Romy langsung memberondong Lily dengan serentet pertanyaan. 

Lily terdiam sejenak mendengar kekhawatiran kakaknya. Ia bisa berbohong pada mereka yang menyakitinya, tapi untuk berbohong dengan kakak sekaligus seperti orang tua baginya, Lily tak mampu. Mendengar pertanyaan Kakaknya Lily mendadak terisak kembali di ayunan.

"Ada apa, Ly? Apa kamu baik-baik aja?" terdengar suara Romy semakin khawatir dari seberang sana.

Lily menarik napas panjang dan mengatur perasaannya sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Romy. Tangannya kemudian mengusap pipi yang masih basah.

"A-ku ... aku ... baik-baik saja, Kak. Hanya ... nasibku saja yang kurang baik," jawab Lily pelan dan lirih.

"Kenapa Ly, kamu ada masalah apa? Cerita!" suara Romy terdengar benar-benar cemas. Lily dapat merasakan itu dari tekanan suara Romy. 

Lily menceritakan semua yang terjadi dengan nada dan suara pelan. Sesekali ucapannya terjeda, karena airmatanya terus mengalir bebas, dan kadang membuat kerongkongannya seperti tersumbat.

"Kalau begitu, kenapa kamu masih bertahan di situ Lily! Pulang saja ke rumah Kakak. Besok kakak akan menjemputmu!" terdengar suara Romy begitu geram setelah Lily selesai bercerita. Gemelatuk gigi Romy terdengar jelas pertanda emosi. Kakak mana yang rela adik satu-satunya disakiti? Masih lekat dalam ingatan Lily saat Romi menghajar anak berandalan yang berani membuatnya menangis dulu. Entah apa yang akan dilakukannya pada Rizal bila besok ia benar-benar akan datang. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
sedih..lily akhirnya menangis juga
goodnovel comment avatar
Astri Foreveryoung
Harusnya pergi saja ,ngapain bertahan,,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status