Sejenak ia mematung di kamar. Seolah ada tali besar yang mengikat kaki, sehingga Lily merasa berat untuk melangkah keluar. Lily meraih kursi dan duduk menatap dirinya sendiri di depan cermin dengan nanar. Lily baru berkedip, saat keringat dingin meluncur turun melewati alis dan kelopak matanya. Lily mengigit bibirnya pelan. Tangan kanan mengepal, sedangkan tangan kiri meremas baju bagian depan.
"Ayo Lily si keledai. Jangan nangis. Air matamu terlalu murah, jika kamu tumpahkan untuk manusia-manusia sampah seperti mereka. Kuat ... kuat ... kuat!" Lily memejamkan mata, bersugesti di dalam hati.
Ia merasa kuat, setiap menginggat penghinaan mertuanya. Baginya, hinaan dan cemoohan dari Bu Erna dan Rizal adalah cambuk penyemangat yang terus memaksanya untuk lebih tegar. Ia semangat ingin membuktikan pada mereka bahwa dia lebih baik juga semangat untuk membuktikan, bahwa mereka sesungguhnya lebih rendah daripada dirinya, yang mereka sejajarkan dengan seekor keledai.
Cepat-cepat tangannya meraih tisu. Mengelap keringat dan air mata yang sempat menetes meskipun tidak terlalu banyak. Setelah itu, Lily meraih bedak dan memoles kembali spoon di pipi, untuk mempertebal bedak di bagian wajah yang sempat luntur.
Setelah itu ia melangkah keluar, hatinya sudah tenang dan sangat siap untuk menyambut wanita kedua suaminya.
Lily memasang senyum, ketika melihat Rizal turun dari mobil terlebih dahulu, kemudian ia bergegas membuka pintu satunya. Nessa langsung turun. Kedua pengantin baru tersebut nelangkah mendekat.
"Lily, kenalin ini Nessa. Nessa, kenalin ini Lily," ucap Rizal sebelum masuk pada Lily yang berdiri menyambut mereka di depan pintu.
Nessa mengulurkan tangan, yang di sambut dengan cepat oleh Lily. Saat berjabat tangan pandangan keduanya bersirobok. Nessa memandang Lily dengan tatapan pongah. Banggakah dia menjadi wanita kedua? Mungkin. Mungkin saja dia bangga karena berhasil membuat seorang Rizal bertekuk lutut, hingga rela membagi jiwa dan raganya dari seorang Lily.
Sebaliknya , Lily memandang Nessa dengan tatapan iba. Ya! Dia iba melihat seorang Nessa yang cantik, hanya mampu mendapatkan suami yang masih berstatus sebagai suami orang. Bagi Lily, menikah dengan suami orang, adalah harga diri terendah dari seorang wanita.
"Selamat datang Nessa," terdengar suara ramah Bu Erna dari belakang, menyambut kedatangan anak kesayangam dan menantu barunya. Bu Erna langsung mempersilahkan Rizal dan Nessa masuk. Lily memberikan jalan pada mereka, yang langsung duduk di ruang tamu.
"Maaf ya, ibu tadi sibuk di dapur. Ibu masak yang spesial buat menyambut kalian. Istrimu yang satu itu, Zal! Malas. Banget. Kerjaannya hanya mengurung diri di kamar, tiduran saja. Selama kamu di sana dia memilih beli terus makanan. Sok kebanyakan duit. Nanti kalau sudah habis, baru tahu rasa," adu Bu Erna pada Rizal dengan nada berapi-api. Lily tersenyum dalam hati mendengar aduan mertuanya. Memang itu yang dia inginkan.
"Udahlah Bu, masa Nessa baru datang ibu langsung ngomel-ngomel," sergah Rizal sambil mengempas tubuhnya di kursi tamu yang empuk.
"Ah, iya. Maaf ya Nes. Ibu jadi terbawa emosi. Lily! Bantu mereka membawa tas ke kamar," perintah Bu Erna mendadak hilang lemah-lembut bila berbicara pada Lily.
Lily mengangguk patuh sambil berusaha tersenyum. Ia meraih tas yang mungkin berisi pakaian Nessa, dan berjalan terlebih dahulu. Rizal yang semula duduk, kembali berdiri lalu melangkah mengikuti Lily. Di belakang Rizal, Nessa pun berjalan mengikuti meskipun tanpa diajak oleh Rizal. Kedua tangannya tak mau melepas baju Rizal.
Lily berbelok ke kamar lama mereka dan langsung meletakkan tas Nessa di dalamnya. Rizal langsung melepas tangan Nessa secara paksa dan mengejar Lily.
"Loh, kok kesini Ly? Emang kita mau tidur berti ...."
Rizal tak jadi melanjutkan ucapannya, saat melihat kamar mereka sudah kosong. Hanya tersisa satu lemari miliknya saja di dalam.
"Loh, kemana lemarimu Ly? Kamu pindah kemana?" Wajah Rizal mulai terlihat panik.
Nessa yang tidak mengerti soal tata letak kamar mereka sebelumnya hanya diam menyimak. Tapi dalam hatunya mulai muncul rasa tak suka, melihat keperdulian Rizal pada Lily. Menurutnya itu berlebihan.
"Kamu tenang aja, Mas. Aku enggak kemana-mana. Masih di dalam rumah ini. Aku kan masih istrimu," jawab Lily datar sambil terus berusaha menyunggingkan senyum.
Wajah tegang Rizal perlahan mengendor. Tadi ia sempat berpikir Lily sudah mengungsikan barang-barangnya keluar rumah, kemudian ia menyusul pergi juga.
"Ooh, pasti kamu pindah ke kamar, yang lama enggak kepake ya?" tebak Rizal sambil mendekat dan melingkarkan tangab di pundak Lily. Wajah Nessa berubah memerah. Hatinya mulai panas melihat pemandangan yang disuguhkan oleh madu dan suaminya.
"Jangan khawatirkan aku, Mas. Kamar ino sekarang sepenuhnya milil kalian berdua," jawab Lily lembut sambil menurunkan tangan Rizal perlahan. Tak lupa ia sunggingkan senyum manis pada Nessa yang nampak gusar.
Rizal tersenyum, kemudian berbalik keluar untuk memastikan bahwa dugaannya benar. Sementara itu, Nessa yang semula kepanasan, mulai tenang mendengar ucapan Lily. Bukankah itu artinya Lily memberikan kamar utama mereka untuknya? Ia tersenyum puas memandang ke sekeliling kamar yang akan ia tempati. Lily menatap Nessa yang nampak terpesona dengan kamar peninggalannya. Dengan langkah ringan ia mendekat pada Nessa yang sudah duduk di tepi ranjang.
"Terima kasih sudah memberikan aku kamar utamamu," ucap Nessa sumringah dengan pandangan masih teredar ke sekeliling kamar. Lily tersenyum sinis mendengar ucapan Nessa.
"Dengan senang hati. Oh, ya maaf. Aku lupa ngucapin selamat atas pernikahan kalian saat datang tadi. Selamat ya Nessa. Selamat menempuh hidup baru, dan bersenang-senanglah dengan suami bekasku di kamar bekasku ini," ucap Lily sambil berbisik di telinga Nessa.
Mendengar ucapan Lily, senyum yang tadi merekah di mulut Nessa mendadak lenyap. Wajahnya kembali memerah mendengar ucapan Lily. Ia merasa Lily menghinanya.
Sementara itu, sambil tersenyum mengejek Lily langsung melangkah keluar, menuju kamarnya bersama anak-anak.
Belum sampai di pintu kamar anak-anainya, Lily mendengar langkah Rizal yang berjalan tergesa-gesa di belakang.
"Ly, kamu pindah ke sini? Sama anak-anak?"
Rizal menyerobot masuk duluan. Lalu duduk di tepi ranjang. Matanya melotot melihat lemari pakaian dan meja hisa milik Lily sudah tertata rapi di kamar anak-anak mereka.
"Ada masalah, Mas?" tanya Lily menatap Rizal santai. Rizal menggaruk-garuk kepala.
"Tapi kan, Ly ... dibelakang masih ada kamar kosong. Kenapa kamu harus ke sini pindahnya?" protes Rizal.
"Di sana terlalu kotor, Mas. Aku malas bersihin. Emang kenapa? Emang enggak boleh, ya? Kalau aku mau tidur sama anak-anakku?" Lily menatap Rizal tajam.
Rizal langsung berdiri sambil mengusap tengkuk.
"Iyaaaah ... enggak masalah sih. Cuma ... kalau aku kangen sama kamu, gimana Dek? Kalau aku lagi kepengen sama kamu, gimana?" Rizal mendekat dan ingin memeluk Lily dari belakang.
Lily berbalik dan langsung mendorong Rizal keluar kamar dan menutup pintu cepat-cepat. Sungguh saat ini, untuk bersentuhan saja ia merasa jijik dengan suaminya. Apalagi untuk melayani.
"Ly! Kamu kok gitu? Kamu juga istriku loh! Aku berhak mengaturmu dan kamu juga tetap harus melayani aku kapan saja," seru Rizal tanpa tahu malu dari luar sambil mengetuk pintu yang sudah terkunci berulang kali.
"Atur dan urus saja istri barumu di sana, Mas!" Jawab Lily nyaring, lalu beranjak untuk merebahkan tubuh di pembaringan dan menutup telinganya dengan bantal.
Di luar kamar, terpaksa Rizal kembali ke kamar lamanya dengan perasaan geram, karena Lily mulai berani membantah kemauannya.
"Waduh!" Rizal garuk-garuk kepala."Ta-pi, saya bukan suaminya, Mbak," tolak Rizal."Oh, Maaf! Suaminya kemana?""Suaminya di tempat kerja. Hapenya ketinggalan, tapi, nanti ada ibu saya datang dampingin," jelas Rizal. Perawat akhirnya mengerti. Rizal kembali menelpon ibunya yang tak kunjung tiba. Tapi tak di angkat-angkat. Beberapa saat kemudian, wajah Rizal berubah cerah saat Bu Erna sudah tiba di pintu ruang bersalin.Rizal segera membawa Ayezha menjauh, dan Bu Erna langsung masuk dan mendekat pada Lily, yang mulai mengejan. Ia langsung memegang tangan Lily dan menyapu bulir keringat yang menempel di dahinya."Oooeeek ... oeeeek ...."Karena ini pengalaman ke empat kalinya Lily melahirkan, tak perlu waktu lama mengejan, terdengar suara tangis bayi. Lily langsung terkulai lemas. Bayi yang sangat mungil karena lahir di bulan ke tujuh itu diangkat oleh perawat untuk dibersihkan. Bu Erna sendiri, membantu membersihkan anggota
Rizal mengangkat wajahnya pelan-pelan mengikuti arah ekor mata Lily, melirik-lirik pada pasien yang mengisi di satu bagian ruangan mereka."Iya. Kayaknya iya!" jawab Rizal setengah berbisik juga.Mereka semua penasaran apa yang terjadi dengan Nessa. Kenapa yang menjaganya bukan ayah atau ibunya. Kenapa dia didampingi oleh dua orang asing yang sebaya dengan mereka? Nessa sendiri begitu menatap mereka dengan tatapan kosong. Seolah mereka tidak pernah saling mengenal.Rizal jadi penasaran. Arjuna pun mendukungnya untuk mendekat. Nampaknya ia juga sangat penasaran. Begitu wanita yang ikut menjaga Nessa tadi keluar, Rizal mewakili mereka semua mendekat."Permisi Pak. Dia Nessa kan?""Iya," jawab lelaki tadi singkat sambil menoleh."Dia sakit apa? Perempuan yang tadi disini siapanya? Ibu sama Bapaknya kemana?" Rizal memberondong lelaki tersebut dengan pertanyaan beruntun."Oh, tadi itu istri saya. Orang tuanya Nessa meninggal sa
Arjuna mandi secepat kilat. Rengekan Ayezha memanggil-manggil dari luar memaksanya buru-buru untuk menyelesaikan mandinya.Baru keluar dari kamar mandi, Ayezha sudah menunggunya di pintu. Alhasil, masih menggunakan handuk ia mengangkat dan membawa Ayezha duduk di pangkuannya."Papa pakai baju dulu ya, sama mama dulu ya?" bujuk Arjuna. Ayezha menggeleng, ia malah berpegangan erat di leher Arjuna.Arjuna memandang istri dan anaknya bergantian dengan gemas. Lily tertawa senang melihat wajah Arjuna yang lucu, menghadapi tingkahnya dan Ayezha. Tiba-tiba ponsel Arjuna berdering. Panggilan dari Bu Erna."Assalamu'alaikum Bu ....""Wa'alaikumsallam, Juna. Ibu mau ngabarin, istrinya Rizal sudah melahirkan," ucap Bu Erna langsung."Alhamdulillah, ini di mana sekarang, Bu?""Masih di rumah sakit," jawab Bu Erna."Oh, Ya Bu! Sebentar kami ke sana ya, Bu ... mau dibawakan apa?" suara Arjuna terdengar bersemangat."E
"Ngomong apa sih, Mas? Iya. Sejak ketemu Rizal tadi, hatiku berubah. Berubah makin saayaaang sama suamiku yang luar biasa dan baik hati ini. Peduli sama adeknya yang dulu cuma bisa nyusahin dia aja," jawab Lily manja membuat Arjuna tersenyum bahagia."Bagaimanapun, dia adekku. Dalam tubuh kami ada aliran darah yang sama kan? Walaupun beda ibu? Seburuk-buruknya Rizal, sifat baiknya yang kuacungi jempol itu sayang sama ibu. Coba kamu ingat, pernah enggak Rizal berbicara kasar sama ibu? Enggak pernah kan? Meskipun dulu dia berlebihan sampai ngabaikan istrinya karena patuh sama ibu. Tapi kalau dulu dia enggak begitu, bisa jadi yang duduk di sampingku hari ini bukan kamu. Iyakan?"Arjuna bertanya sambil melirik pada Lily yang mengangguk sambil memandangnya penuh cinta. Kekagumannya atas kebijakan Arjuna bertambah besar."Ternyata memang semua ada sisi baik dan hikmahnya ya," gumam Lily begitu Arjuna mulai menjalankan kendaraan mereka."
Sesaat kemudian Rizal seperti tersadar akan sesuatu, lalu melangkahkan kaki masuk ke dapur untuk mengangkat menu makanan keluar.Lily merasa bersalah melihat tatapan Rizal. Arjuna memperhatikan perubahan raut wajah Lily, seperti gelisah. Ia menarik Lily menjauh sebentar."Kamu merasa bersalah, ya?" tanya Arjuna. Lily hanya diam. Ia sendiri tak tahu kenapa ia harus merasa bersalah."Minta maaflah pada Rizal. Atas kebohonganmu selama jadi istrinya dulu. Bagaimanapun, yang namanya bohong apalagi saat itu dia berstatus suamimu, tetaplah dosa," ucap Arjuna lembut. Lily hanya diam. Ia ragu dan takut. Lily masih saja berpikir, Rizal masih sama seperti yang dulu."Ly! Euumm, boleh aku ngomong sebentar?" tiba-tiba Rizal muncul dari belakang.Arjuna langsung masuk meninggalkan Lily dan Rizal yang duduk di kursi pel Keduanya duduk berhadapan. Jantung Lily berdegup kencang. Ia berpikir pasti Rizal akan menanyakan soal kebohongannya.
"Mas, kenapa sih aku enggak boleh ke ruko lagi? Mbak Fi juga kayaknya takut banget aku ke sana? Kenapa?" Lily mencoba kembali memancing pembicaraan setelah penolakan Mbak Fi sebulan yang lalu."Enggak apa-apa. kan aku sudah bilang, alasannya. Aku pengen kamu cepat hamil. Enggak perlu capek-capek lagi," Arjuna bersikukuh dengan alasan lamanya."Yaelah! kalo ke sana kan nengok doang, gak ngapa-ngapain! Gak capek. Gak ngaruh, Mas!" protes Lily."Pokoknya enggak boleh!""Kalau aku sudah hamil, baru boleh berarti ya?" tanya Lily. Arjuna diam, nampak masih enggan mengiyakan. Lily jadi makin penasaran melihat tingkah laku suaminya."Maaaas! Kalau sudah hamil, jangan kurung aku lagi, ya!" Lily mulai merengek."Heeeeeemmm. Hamil aja dulu!" Arjuna akhirnya mulai tak tega mendengar rengekan Lily."Bener, Mas?" Lily berbalik menatap suaminya. Arjuna hanya menaikkan alis sebagai jawaban."Mas. Liat deh!" Lily mengambil ses