Share

Main Mantenan

"Bagaimana saksi? sah?"

"Saah!" jawab beberapa orang yang menghadiri proses akad nikah Nessa dan Rizal.

Nessa tersenyum puas. Ia mencium tangan suaminya takzim. Setelah itu, ia mendekat pada kedua orang tua, lalu pada Bu Erna untuk melakukan hal yang sama. Arjuna sudah sejak tadi beranjak meninggalkan tempat tersebut. Ia memilih pulang setelah akad berlangsung.

Rizal membuka kotak perhiasan berwarna merah tersebut sambil tersenyum. Nessa terlihat juga sangat menanti, perhiasan yang sudah resmi menjadi miliknya  tersebut di pindahkan ke leher, tangan dan jari-jemarinya.

Kalung adalah benda pertama yang di raih Rizal. Dengan gerakan lambat, ia memasangkannya di leher Nessa, yang sedikit menundukkan kepala, memberi selah pada Rizal menyambung kedua ujung kalungnya. Setelah itu, Rizal meraih kedua gelang, lalu memasang di tangan kanan dan kiri Nessa bergantian.

Bu Erna tersenyum puas. Begitu juga kedua orang tua Nessa. Mereka nampak bahagia, melihat tubuh anaknya di penuhi perhiasan dengan ukuran yang membuat mata terbelalak, bagi yabg silau dengan perhiasan.

Yang terakhir dipasangkan adalah cincin. Rizal menyematkan cincin di jari-jari Nessa, yang sejak tadi terulur dan menunggu dengan manja.

Rizal menyunggingkan senyum bahagia juga bangga, karena memperlihatkan kepada orang-orang yang berada di situ, bahwa ia mampu memberikan perhiasan mahal pada istrinya sebagai mas kawin.  Rizal tak sadar, penampilan istrinya malah terlihat norak. Entah bagaimana perasaan mereka nanti, bila mengetahui perhiasannya semua imitasi.

Setelah semuanya beres, mereka berkumpul duduk bersama,  menunggu teman-teman dekat dan kerabat Nessa yang datang silih berganti untuk memberikan ucapan selamat, dan menyantap hidangan yang di sediakan oleh tuan rumah.

****

Matahari mulai merangkak naik, Lily menyapu bulir keringat yang turun membasahi dahi dengan punggung tangan kirinya.

Sebelum menaiki kuda besi miliknya, Lily memeriksa sekali lagi buku tabungan yang baru ia buka. Tanpa ATM, karena ia hanya ingin mengamankan uang penjualan emas miliknya tadi di rekening baru. Nanti akan ia pikir lagi, sebaiknya uang tersebut ia gunakan untuk apa. Lily juga khawatir, jika rekening tersebut terlalu lama ia simpan akan ketahuan oleh Rizal. Salah-salah bisa di kuras habis lagi oleh suami yang tak tahu diri itu.

Walaupun tanpa surat, ia bisa menjual emasnya dengan potongan yang tidak terlalu banyak. Itu karena sewaktu dirinya masih kerja dulu, selalu membeli bahkan melakukan tukar tambah di toko yang sama.

Kalau mau hitung-hitungan, jelas rugi walaupun tidak seberapa. Tapi bagi Lily itu tidak masalah. Urusan meyakinkan Rizal dan Bu Erna saat ini baginya lebih penting.

"Mungkin sebaiknya aku berdiskusi dengan kakak, siapa tahu dia ada ide membuat usaha apa," gumam Lily sambil menyimpan kembali buku rekening ke dalam tas. Lalu ia kembali melajukan kendaraannya menuju rumah.

Lily tidak bisa bersantai. Selama Rizal menikmati kebersamaannya dengan istri muda, banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan sebelum mereka datang.

Lily melirik ke kaca spion, karena sejak tadi merasa seperti diikuti oleh seseorang. Lily menyipitkan mata, memastikan pengelihatannya tidak salah.

"Benar, itu mobil Arjuna. Kenapa dia sudah pulang? Cepat amat," pikir Lily sambil terus memperhatikan kaca spion. Arjuna sendirian. Berarti ibu mertuanya ikut bermalam di sana. Waah!

Lily memperlambat laju sepeda motornya, memberikan kesempatan untuk Arjuna menyelip. Tapi di luar dugaan Lily, Arjuna malah memperlambat laju mobilnya juga, bahkan sampai klaskson orang-orang di belakangnya terdengar bersahut-sahutan.

Akhirnya Lily kembali melajukan kecepatan sepeda motornya seperti biasa. Apabila di jalan yang sepi, Lily kembali mengurangi kecepatan, dengan harapan Arjuna mendahuluinya. Tapi tetap saja, Arjuna seperti betah membuntutinya dari belakang. Lily jadi berpikir Arjuna mematai-matainya, atas suruhan Rizal.

Sampai tiba di rumah pun, Arjuna sengaja berlambat-lambat.

"Ngapain Kak Juna ngikuti aku? Mau mata-matain, ya?" tuduh Lily langsung sambil menurunkan standar sepeda motor.

Seperti biasa, Arjuna meliriknya dingin.

"Apa untungnya mata-matain kamu? Aku hanya hawatir. Khawatir kamu bunuh diri di jalanan, aku juga yang repot," jawabnya datar sambil menutup pintu mobil.

"Aku masih punya iman," sahut Lily sebal.

Arjuna ini benar-benar keterlaluan. Bukannya menaruh empati, malah seperti sengaja meledek. Nampaknya mereka sekeluarga memang terlahir dengan hati yang memiliki kerusakan di bagian masing- masing.

Rizal tidak memiliki harga diri dan wibawa sebagai seorang lelaki. Mertuanya punya lidah yang beracun, setiap keinginannya meluncur begitu mudah tanpa pertimbangan. Arjuna, segala sesuatu yang terjadi di rumahnya, sekali saja ia tak pernah perduli. Jika ada keributan, Arjuna malah memilih pergi. Membela tidak mendukung pun tidak.

Entah apa yang ada di pikirannya. Yang Lily tahu, selama menikah Arjuna seperti tidak menyukainya. Lihat saja, dalam kondisinya seperti saat ini saja, Arjuna masih berbicara dengan nada yang terdengar mengejek.

Enggan menambah keruh suasana hati, Lily masuk mendahului Arjuna. Ia berjalan cepat menuju kamar. Pandangannya memutari seluruh sudut ruangan. Tak ingin hatinya melemah, Lily langsung mengeluarkan sebagian pakaian miliknya dari dalam lemari, kemudian mengangkut barang-barang miliknya sedikit demi sedikit keluar.  Tujuannya adalah kamar anaknya. Abidzar dan Husein.

Masih tersisa sedikit, Lily langsung mendorong lemarinya keluar. Tapi karena ukuran lemarinya tergolong besar, tetap saja Lily kesulitan.

"Kenapa enggak pindah rumah, sekalian?"

Suara dingin Arjuna lagi!

"Ngusir?" Lily menjawab dengan tatapan tajam.

"Daripada ... menyusahkan diri sendiri!"

"Manusia kok gak ada empatinya sama sekali! Pantasan gak laku-laku," gumam Lily dalam hati.

"Dasar! Bujang lapuk!" gerutu 

Lily tanpa sadar.

"Apa?"

Lily hanya diam. Kembali menyibukkan diri, berusaha mendorong lemarinya sedikit demi sedikit, menuju kamar Husein dan Abidzar.

"Minggir!"

Arjuna menggeser Lily, mendorongnya dengan lengan ke samping membuat Lily hampir terjatuh. Setelah itu ia menggantikan mendorong lemari sampai ke kamar keponakannya. Arjuna sudah tahu, Lily akan memindahkannya ke sana, karena sejak tadi ia memperhatikan kesibukan Lily.

Setelah lemari sudah masuk kamar keponakannya, Arjuna kembali keluar tanpa kata-kata.

"Ee ... eh, Kak Juna!"

Arjuna menoleh, menatap Lily yang buru-buru mengejarnya keluar.

"Sa-satu lagi. Minta tolong!" Suara Lily terdengar malu-malu.

"Apalagi?"

"Meja riasku!"

Arjuna tak bertanya lagi, langsung melangkah kembali ke kamar Lily. Arjuna mengamati meja yang lumayan besar. Tidak ada roda seperti lemari tadi.

Lily yang mengikuti dari belakang, paham. Ia menuju sisi satunya sehingga posisi keduanya berhadapan. Tertatih-tatih Lily mengimbangi Arjuna yang posisinya di depan.

"Stop dulu!"

Napas Lily ngos-ngosan.

"Berat! Haduh," lanjutnya sambil mengurut-urut pergelangan tangannya yang terasa sakit.

Arjuna hanya diam, menunggu Lily siap kembali mengangkat meja riasnya. Setelah tiga kali berhenti, akhirnya meja tersebut sampai juga ke kamar Husein dan Abidzar. Lily membungkuk memegang kedua tempurung lututnya, berusaha menstabilkan pernapasan.

"Sebenarnya minggat lebih baik, daripada menyusahkan diri seperti ini!"

Ucapan Arjuna spontan membuat Lily berdiri tegak. Niatnya ingin mengucapkan terima kasih menghilang, berganti dengan keinginan memaki. Namun urung juga, mengingat lemari dan meja riasnya berpindah berkat bantuan Arjuna.

Tak lama Arjuna meninggalkannya, terdengar suara mesin mobil Arjuna menyala lagi. Sepertinya dia mau pergi, Lily merasa lega lalu pelan-pelan mulai membereskan pakaian. Menyusun kembali ke dalam lemari. Hampir satu jam beberes, Lily keluar untuk menjemput kedua putranya. Baru saja ia menstarter sepeda motor, mobil Arjuna sudah muncul. Kedua anaknya juga duduk di depan berdampingan dengan Arjuna.

"Mamaaa!" seru mereka bersamaan saat sudah turun.

Emosi Lily langsung turun ke titik terendah. Melihat kedua jagoannya  di jemput, sementara ia melupakan perkataan dan sikap Arjuna yang dingin bagai es batu.

"Bilang apa sama Paman?"

"Makasiiiih, Pamaaan!" ucap mereka berdua kompak. Walaupun usia Arjuna lebih tua dua tahun dari Rizal, namun karena  belum menikah, Arjuna menolak di panggil 'tua' atau 'julak' seperti panggilan orang Kalimantan pada umumnya terhadap saudara orang tuanya yang lebih tua. Ia lebih suka dipanggil paman.

Arjuna hanya tersenyum kecil. Sangat kecil.

"Hanya kebetulan lewat! Sekalian beli ini," jawabnya tanpa menoleh, mengangkat sebuah kresek dengan empat bungkus makanan.

"Kalau masih ada selera makan, di meja!" ucapnya lagi sambil berlalu.

Astagah!

Antara menawarkan makanan dan mengejek keadaan Lily sekarang. Arjuna benar-benar sukses membuat emosi Lily naik-turun bagai bermain ular tangga hari ini.

"Tapi syukurlah! Dia paham aku sedang enggak berselera masak! Tapi masih sangat berselera untuk makan," Lily berbicara sendiri untuk meredam emosinya.

"Mama ... sekarang pindah ke kamar, tidur sama kita! Horeeeee!"

Lily tersenyum kecut mendengar sorakan kedua buah hatinya, yang mungkin sedang bertukar pakaian di dalam kamar. Ia pun melangkah masuk untuk melanjutkan kegiataan, yang belum selesai tadi.

****

Sore hari ....

"Bu ... sepertinya, ibu pulang aja, aku menyusul dua atau tiga hari lagi," bisik Rizal di telinga Bu Erna. Undangan  mereka sepertinya sudah habis.

Bu Erna mendelik, mendengar ucapan putra kesayangannya.

"Kamu antarkan, tapi?"

"Aduhh ... naik angkot aja dulu, Bu! Enggak enak, sama Lily kalau sudah ke sana terus ke sini lagi.

Wajah Bu Erna berubah masam.

"Sekali ini aja, kok! Bu," rengek Rizal manja.

"Uh! Emang kenapa sih, kok Ibu harus cepat-cepat pulang," gerutu Bu Erna.

"Aku enggak mau, Lily sama Arjuna berdua aja di rumah, Bu!" jawab Rizal gamblang.

"Huh! Emang kamu pikir Arjuna bakal ngapa-ngapain sama Lily?" cemoh Bu Erna.

"Aaaah! Pokoknya Ibu pulang aja dulu, naik angkot," pinta Rizal memaksa.

"Apa-apaan sih, kamu Zal! Berani nyuruh-nyuruh Ibu sekarang ya!"

"Sekaliiii aja, Bu! Ini darurat! Yah?" Rizal memelas.

Bu Erna tidak menjawab, langsung berdiri untuk berpamitan dengan wajah merah menahan kesal, karena merasa seperti di usir. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa menurut pada anak kesayangan yang sudah memberinya banyak uang selama ini.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
akhirnya suami jadi nikah lagi dengan mahar emas 100 gram imitasi
goodnovel comment avatar
Astri Foreveryoung
Dasar mertua
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status