Lily menyimpan kembali perhiasannya ke dalam dompet kecil, kemudian menyelipkannya ke dalam kantong baju kerja, yang memang masih ia lipat dengan rapi dalam lemari. Setelah itu, ia mengunci rapat pintu lemari, khusus tempat tumpukan baju-baju yang sudah tidak terpakai.
"Lily ... keluar sebentar," terdengar suara Bu Erna memanggil.
Lily menyimpan kembali kunci lemari, ke dalam salah satu kantong bajunya yang bergantung. Lily beranjak keluar, memenuhi panggilan Sang mertua.
"Lily, duduk di sini dulu, Ly," mertuanya menempuk kursi di sebelahnya.
Lily menurut saja, menguatkan posisinya yang terlanjur dicap seperti seekor keledai. Ia melirik pada Rizal yang terlihat puas dengan apa yang ia berikan.
"Ly, sebelumnya Ibu berterima kasih, kamu sudah mengijinkan Rizal menikah lagi. Tapi ... ini hanya mas kawin. Sisa uangnya masih ada, kan? Buat ngisi seserahan?" tanya mertuanya dengan nada merayu, membuat telinga Lily gatal mendadak mendengarnya.
"Loh, untuk seserahan, pakai uang mas Rizal sendiri, dong! Masa dia yang mau enak-enakan, aku yang direpotin," jawab Lily sambil berdiri, bersiap kembali ke kamar.
"Eh, Lily! Enggak ada etika. Ibu belum selesai bicara, malah mau pergi," cegah Rizal menarik kembali tangan Lily memaksanya duduk.
Jari-jari kaki Lily saling merapat, mencengkram permukaan ambal, yang bertekstur lumayan kasar. Lily berusaha menetralkan emosinya, menghadapi dua manusia yang sudah hilang peri kemanusiaan itu.
"Gajihnya Rizal, sudah habis tiap bulan. Kamu enggak nyadar ya, Rizal usaha sendirian, buat hidupmu selama enam bulan ini! Kamu enak-enakan nganggur!"
Ucapan Bu Erna terjeda, saat Arjuna melintasi mereka yang sedang berbicara. Seperti biasa, matanya melirik tak suka ke arah mereka. Ekor matanya sempat bertemu dengan ekor mata lily. Arjuna berkedip dengan cepat, langsung membuang muka sambil terus berlalu. Tak lama kemudian terdengar suara mobilnya meninggalkan rumah.
Sikap Arjuna yang selalu dingin, selama ini memang membuat Lily merasa kurang betah di rumah . Karena itu juga ia merasa lebih nyaman bekerja, daripada berada di rumah dari dulu. Sementara Rizal dan Bu Erna juga tidak pernah terlalu perduli pada Arjuna. Menurut mereka, Arjuna adalah manusia yang paling susah di atur.
Dari penampilannya saja urakan. Pakai baju asal-asalan. Rambut yang dibiarkan panjang hingga bahu. Benar-benar cocok dengan sikap dinginnya.
"Ly, kamu dengar kan, apa yang kukatakan tadi?" suara Bu Erna membuyarkan lamunan Lily.
Lily terdiam. Tak ingin menjawab karena mereka berdua pasti akan mendebatnya.
"Jangan takut, Lily! Rizal tidak akan membuangmu. Rizal hanya ingin memiliki anak perempuan," ucap Bu Erna membuat Lily mendadak mual.
"Aku yang akan membuangnya, Ibu," sahut Lily dalam hati.
"Kalau ternyata dia enggak bisa ngasih anak perempuan, bagaimana?" tanya Lily membuat Rizal dan Bu Erna terdiam.
"Pasti bisa," jawab Rizal meyakinkan. Lily menghela napas berat, melihat keyakinan suaminya yang menjurus ke kesombongan.
"Ly, pinjamin lagi sisa uangmu untuk membeli isi seserahannya," pinta Bu Erna tanpa rasa malu sedikitpun.
"Kenapa harus uangku?"
"Dengar Ly, nanti kalau Nessa sudah jadi istri Rizal, kamu juga enak. Pekerjaannya bagus gajihnya pasti bagus. Enggak seperti kamu yang pengangguran," tukas Bu Erna dengan nada tersinggung sekaligus menyinggung.
"Enak dari mana? Apa dia akan menggantikanmu, Mas? Menyerahkan uang gajinya untukku?" sindir Lily telak.
"Lancang Kamu, Ly!"
Rizal berdiri dengan wajah memerah, pertanyaan Lily terdengar seperti meremehkan dirinya. Bu Erna memelototkan mata pada Rizal, sehingga ia kembali duduk.
"Ya sudah, kalau Lily enggak mau kasih tambahan pinjaman, tapi, kalau ada apa-apa ... jangan sampai meminta bantuan ke Nessa nantinya. Misal ... kalau kehabisan uang," ancam Bu Erna merendahkan Lily, yang menurutnya tidak lagi bisa menghasilkan uang.
Lily yang sejak tadi merasa jengah, tak menggubris ucapan mertuanya. Ia berdiri dan melangkah menuju kamar kedua anaknya yang mungkin sudah tertidur pulas. Lily mendorong pintu kamar anaknya pelan-pelan, merapikan selimut dan memandang wajah dua jagoan yang polos.
Air matanya lolos dengan mudah, saat menatap wajah anak-anaknya yang sedang tertidur pulas. Lily merasa sedih, dan bertanya pada diri sendiri. Kenapa kedua anaknya ini harus mendapatkan seorang ayah yang begitu tega? Apakah di usia keduanya yang sama-sama masih duduk di bangku sekolah dasar, sudah mengerti apa yang akan terjadi pada kedua orang tuanya?
Ah, Lily sendiri belum tahu langkah apa yang harus dia ambil. Keinginannya saat ini hanya satu, ingin membalas mereka yang sudah bertahun-tahun memanfaatkan dan berbuat curang padanya.
Lily kembali menutup pintu kamar anaknya, kemudian melangkah ke kamarnya sendiri. Ia melihat Rizal sudah berbaring menghadap tembok kamar, sambil memeluk guling. Nampaknya Rizal marah besar pada Lily.
Bukannya sedih apalagi takut, Lily malah merasa lega. Sejak topeng Rizal terbuka, Lily sudah merasa jijik pada Rizal. Dulu ia menilai Rizal tidak memiliki wibawa sebagai seorang suami. Kini penilaiannya bertambah, Rizal juga tidak memiliki harga diri sebagai seorang laki-laki.
Tapi walau bagaimanapun, Lily berusaha tenang dan menjaga emosinya. Selama masih menyandang status istri Rizal satu-satunya, ia bersabar untuk tetap tidur satu kamar dan bersebelahan, dengan lelaki yang menurutnya, tak bermoral tersebut. Entah apa yang akan ia lakukan, apabila Rizal membawa Nessa masuk nanti.
****
"Kenapa harus aku?"Terdengar suara dingin Arjuna di telinga Lily yang ikut menyibukkan diri, mengurus segala keperluan Rizal yang akan datang ke rumah calon istri mudanya. Lily merapikan bingkisan-bingkisan entah apa isinya, ia tak perduli. Yang penting mereka membeli sendiri, bukan dengan uangnya.
"Siapa lagi, Juna? Cuma kamu satu-satunya saudara Rizal. Masa enggak mau dampingin?" suara Bu Erna juga terdengar dingin. Hal yang selalu ia perdengarkan, apabila sedang berbicara dengan Arjuna.
"Dulu sudah pernah! Untuk yang kedua aku enggak mau!" jawab Arjuna lantang.
Terdengar hening. Untung saja anak-anak sudah berangkat ke sekolah, sehingga Lily tidak perlu berpikir, untuk menjawab pertanyaan mereka apabila bertanya ke mana ayahnya akan pergi.
"Arjuna! Ingat ... kata mendiang pa ...."
"Iya! Iya! Cuma sebentar!" potong Arjuna akhirnya dengan suara tajam.
"Kamu ... juga ikut, Dek?" tanya Rizal ragu-ragu mendekat pada istrinya.
"Enggak, Mas. Aku ... mau beberes aja, kamu ... perlu tempat yang nyaman, kan? Akan aku siapkan!" ucap Lily berusaha mengembangkan senyumnya di depan Rizal.
"Memang sebaiknya dia tinggal, takutnya dia serangan jantung, liat kelakuanmu Zal! Nyibukin!" tiba-tiba suara dingin milik Arjuna, yang sedang berjalan menuju dapur melintasi mereka, berdenging di telinga Lily. Lily memicingkan mata heran, menatap Arjuna yang acuh melewati mereka.
"Oh, selemah itu dia menilaiku?" pikir Lily seakan tidak terima pada perkataan kakak iparnya.
"Oke ... makasih pengertiannya, Sayang," ucap Rizal sambil merangkul Lily dari belakang.
"Kami berangkat dulu," pamit Rizal buru-buru.
"I-iya ... hati-hati, di jalan Mas!" suara Lily terdengar melemah. Rizal mengangguk. Arjuna kembali melintas dan melirik sinis pada mereka.
Lily membantu mengangkat beberapa macam barang, yang akan di jadikan seserahan nanti. Arjuna memasuki mobilnya sendiri, nampaknya ia tidak ingin bergabung dengan ibu dan adiknya.
"Mas ... ehm ... be-berapa lama di sana?" tanya Lily ragu-ragu.
"Bisa dua atau tiga hari," jawab Rizal tanpa menoleh. Lily mengangguk dan memasang ekspresi sesedih mungkin.
Setelah kedua mobil yang sama-sama berwarna hitam tersebut menjauh, Lily bergegas masuk dan mengambil emas yang ia simpan dalam saku baju kerjanya dulu. Dalam sekejap, emas tersebut berpindah ke dalam tas selempang yang sejak tadi tergeletak di atas meja riasnya.
Setelah itu, Lily bergegas menutup semua pintu dan jendela, lalu mengeluarkan sepede motor dan memanaskan mesinnya sebentar.
Sudah sejak tadi, Lily sangat menantikan keberangkatan suami dan mertuanya. Ia juga sudah tak sabar, ingin menghilangkan jejak emas aslinya di rumah, dengan mengantar ke tempat yang menurutnya lebih aman.
Lily tersenyum di balik kaca helm, membayangkan kekonyolan Rizal, menikahi wanita keduanya dengan berbekal emas imitasi, dan selembar kertas saja. Seperti dua anak kecil yang main manten-mantenan saja.
"Bagaimana saksi? sah?""Saah!" jawab beberapa orang yang menghadiri proses akad nikah Nessa dan Rizal.Nessa tersenyum puas. Ia mencium tangan suaminya takzim. Setelah itu, ia mendekat pada kedua orang tua, lalu pada Bu Erna untuk melakukan hal yang sama. Arjuna sudah sejak tadi beranjak meninggalkan tempat tersebut. Ia memilih pulang setelah akad berlangsung.Rizal membuka kotak perhiasan berwarna merah tersebut sambil tersenyum. Nessa terlihat juga sangat menanti, perhiasan yang sudah resmi menjadi miliknya tersebut di pindahkan ke leher, tangan dan jari-jemarinya.Kalung adalah benda pertama yang di raih Rizal. Dengan gerakan lambat, ia memasangkannya di leher Nessa, yang sedikit menundukkan kepala, memberi selah pada Rizal menyambung kedua ujung kalungnya. Setelah itu, Rizal meraih kedua gelang, lalu memasang di tangan kanan dan kiri Nessa bergantian.Bu Erna terse
Bu Erna berjalan dengan langkah panjang , meninggalkan rumah mantu keduanya. Ia ingin cepat-cepat sampai ke tepi jalan, untuk menunggu angkot."Bu ... Ibu!" tiba-tiba Rizal menyusul langkah ibunya kembali dengan buru-buru. Bu Erna menoleh dan langsung melengos dengan wajah merah padam."Ada Apalagi, Zal? apanya lagi yang ketinggalan?" tanya Bu Erna dengan perasaan jengkel yang masih menggunung di dalam hatinya."Bu ... ibu perhatikan Lily, ya. Jangan sampai dia macam-macam selama aku di sini," pesan Rizal manja namun terkesan seperti sedang memerintah ibunya."Macam-macam yang bagaimana sih, maksudmu Zal? Apanya yang dijaga? Memangnya Lily anak TK Apa? heh!" dengkus Bu Erna tambah jengkel. Menurutnya, permintaan Rizal terlalu mengada-ngada."Bu ... jangan sampai laaa! Ibu ninggalin Lily sendiri kalau cuma ada Kak Juna di rumah," rengek Rizal seperti bocah yang takut mainannya
Malam pertama di rumah Nessa."Kamu!" Rizal berujar sambil memalingkan wajah ke samping. Raut kecewa jelas terpancar dari wajahnya."Maaf Mas, aku memang sudah pernah menikah sebelumnya," ucap Nessa sambil mengenakan pakaian kembali, usai melewatkan malam pengantin mereka."Kenapa kamu enggak pernah bilang, sih?" nada bicara Rizal mulai tinggi, karena tidak sesuai harapan dan perkiraannya. Nessa ternyata bukan seorang gadis ting-ting lagi."Kok marah, sih Mas? Kan kamu sendiri enggak pernah tanya! Iya. Aku dulu emang sudah pernah menikah," terang Nessa sambil berkilah. Iamenyandarkan kepalanya manja di bahu Rizal yang masih menatap tembok kamar.Rizal mengusap wajah setelah terdiam sejenak. Nessa benar juga. Selama ini dia tidak pernah bertanya tentang masa lalu Nessa."Anak? Apa kamu sudah punya anak juga?" Rizal berpaling dan menatap Nessa dalam-dalam. Ada rasa was-was dalam hatinya. Jika Nessa memiliki anak,
"Kakak ... kakak ... jangan! Aku bercerita pada kakak, bukan untuk minta dijemput. Aku mau minta pertimbangan Kak Romy, apa yang harus aku lakukan, untuk menghilangkan jejak uangku, Kak? Aku takut jika Mas Rizal tahu, ia akan meminta uangku," tahan Lily. Niatnya tadi menelpon benar-benar hanya ingin berbagi keluh kesah dan meminta pendapat saja.Hening sesaat. Mungkin Romy juga sedang berpikir di seberang sana. Sesekali Lily begidik saat angin malam berembus dan menghampiri kulitnya."Tapi Ly, aku enggak suka. Kamu pasti tersiksa di sana. Sebaiknya kamu pulang aja. Urus surat ceraimu secepatnya lalu mulailah usaha yang baru di sini," suara Romy terdengar parau, pertanda ia sangat geram.Romy sungguh tak rela, adik kesayangan satu-satunya, diperlakukan seperti sampah oleh mertua dan suaminya sendiri. Selama ini dia tahu, Lily bukanlah istri yang mau berpangku tangan saja. Adiknya pun punya andil dalam m
Keesokan harinya, Lily berusaha menenangkan diri dan menata hati sejak pagi. Embusan napas yang cukup berat ia keluarkan, saat mendengar deru mobil Rizal memasuki pekarangan rumah mereka.Sejenak ia mematung di kamar. Seolah ada tali besar yang mengikat kaki, sehingga Lily merasa berat untuk melangkah keluar. Lily meraih kursi dan duduk menatap dirinya sendiri di depan cermin dengan nanar. Lily baru berkedip, saat keringat dingin meluncur turun melewati alis dan kelopak matanya. Lily mengigit bibirnya pelan. Tangan kanan mengepal, sedangkan tangan kiri meremas baju bagian depan."Ayo Lily si keledai. Jangan nangis. Air matamu terlalu murah, jika kamu tumpahkan untuk manusia-manusia sampah seperti mereka. Kuat ... kuat ... kuat!" Lily memejamkan mata, bersugesti di dalam hati.Ia merasa kuat, setiap menginggat penghinaan mertuanya. Baginya, hinaan dan cemoohan dari Bu Erna dan Rizal adalah cambuk penyemangat yang terus memaksanya untuk lebih tegar. Ia
"Ayo, makan dulu, Zal! Ajak Nessa," ucap Bu Erna melihat Rizal keluar dari kamar anak-anaknya dengan wajah masam.Rizal mengangguk saja. Hatinya masih tidak bisa menerima, Lily malah memilih pindah tidur ke kamar kedua anaknya, daripada membersihkan kamar yang lama tak terpakai untuk Nessa."Bagaimana ini? Bagaimana kalau aku menginginkan dia?" Rizal bertanya pada dirinya sendiri dalam hati. Hayalannya saat masih berada di rumah Nessa, ternyata sangat jauh dari kenyataan yang ia hadapi saat ini. Tidak mungkin dia meminta haknya sebagai suami pada Lily, apabila ia tidur dengan Abidzar dan Hussein.Semula Rizal membayangkan bisa keluar masuk kamar kedua istrinya bergantian, sesuka hati kapan saja ia mau. Dalam bayangannya, hidup seatap dengan dua istri akan memberinya kesenangan yang berlipat. Semula Rizal sudah berhayal, jika Nessa merajuk, ia akan pindah ke kamar Lily dan sebaliknya. Ah! Ternyata susah membuat hayalan jadi kenyataan. Rizal menikahi N
Lily tersenyum saat sampai di gerbang sekolah. Kedua jagoannya ternyata sudah menunggu. Lily membawa kedua anaknya istirahat sebentar di warung yang menjual menu ' Soto Banjar' kesukaan kedua anaknya."Abi ... Husen, makan di sini aja dulu ya. Di rumah enggak ada makanan."Kedua anaknya mengangguk senang. Setelah memesan dua mangkuk soto Banjar, tiga gelas es teh manis, Abi dan Husen duduk menunggu di samping kiri dan kanan Lily."Nanti, di rumah ... ada tante baru datang. Dia teman papa. Jadi jangan banyak tanya. Selama ada tante di rumah, dia yang lebih banyak bersama papa. Makanya, mama tidur sama anak mama aja. Abi sama Husen senang enggak, tidur ditemani sama mama?" Lily merengkuh kedua anaknya sambil bertanya."Abi senang banget, Ma. Kan sudah lama mama enggak tidur sama kami," sahut Abi yang baru duduk di kelas empat sekolah dasar dengan wajah polos, sambil mendongak menatap
Dengan kasar Rizal menarik Lily mundur, lalu maju kembali. Tangan kanannya meraup kerah baju Arjuna dan tangan kirinya terangkat mengepal, siap untuk memberikan Arjuna sebuah bogem mentah.Arjuna berdiri dan menangkap kepalan tangan Rizal dengan cepat. Kemudian menurunkannya dengan gerakan pelan."Santai, Zal! Bini tuamu ini, salah tempat ngamuk. Nih, rambutku dipentung pake sutil panas dan pedas, jangan takut! Aku cuma minta dia bertanggung jawab aja!" ucap Arjuna sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang masih dialiri sedikit air.Rizal langsung melepas kerah baju Arjuna. Ia percaya langsung, karena melihat sutil dan sedikit sambal berceceran di lantai ketika melewati dapur tadi. Perlahan emosi Rizal mulai menurun, dan ia melepas Arjuna begitu saja sambil berbalik menatap Lily."Ngapain lagi bengong di sini! Lanjutin masaknya," sentak Rizal pada Lily yang masih berdiri dengan raut tegan