Home / Romansa / Mainan Baru Tuan Montevista / 6: Pemeriksaan Ovarium

Share

6: Pemeriksaan Ovarium

Author: Ana_miauw
last update Last Updated: 2025-11-03 13:52:03

Udara di klinik Dr. Sam berbau steril dan mahal, jauh berbeda dari aroma antiseptik rumah sakit biasa. Ini bukan klinik, melainkan sebuah suite kesehatan pribadi yang mewah, didominasi warna putih pucat dan instrumen krom.

Aku duduk di sofa kulit, sementara Axel berdiri tegak di sampingku, tangannya diletakkan di sandaran sofa seolah menandai kepemilikannya. Dr. Sam, seorang wanita paruh baya dengan senyum yang terlalu profesional, memasuki ruangan.

“Selamat pagi, Tuan dan Nyonya Montevista,” sapanya, matanya terfokus pada Axel, seakan aku hanyalah lampiran yang harus diurus. “Tuan Axel sudah menjelaskan situasinya. Waktu adalah aset, jadi kita akan langsung ke inti.”

Selama dua jam berikutnya, aku diperlakukan seperti barang inventaris berharga yang sedang diperiksa kelayakannya untuk tujuan produksi. Dr. Sam membahas pola ovulasiku, nutrisi, hingga “kondisi rahim yang optimal untuk menampung pewaris Montevista”. Axel mendengarkan setiap detail dengan ekspresi datar, sesekali mengajukan pertanyaan teknis tentang peningkatan peluang.

“Secara klinis, Nyonya Keisha memiliki potensi yang sangat tinggi, Tuan. Ini adalah kabar baik,” ujar Dr. Sam, menatapku sekilas. “Kita akan mulai dengan suplemen khusus untuk memastikan hasil maksimal dalam tiga minggu ke depan.”

Aku merasa jijik, bukan pada ilmu medisnya, tetapi pada cara mereka membahas anak sebagai produk bisnis.

“Pastikan suplemen itu tidak memiliki efek samping yang mengganggu jadwalnya,” perintah Axel dingin. “Saya tidak suka ada halangan dalam agenda bisnis.”

“Tentu, Tuan. Tapi, Tuan Axel, Nyonya juga butuh ketenangan pikiran. Stres bisa sangat memengaruhi...”

“Stres sudah menjadi bagian dari hidup seorang Montevista,” potong Axel, tatapannya tajam. “Tugas Nyonya adalah patuh dan menghasilkan apa yang sudah ia setujui dalam kontrak.”

Kecewa dengan perlakuan Axel dan Dr. Sam yang tidak memberiku kesempatan bicara, amarahku mulai mendidih. Aku bukanlah mesin, dan aku tidak akan membiarkan mereka memperlakukanku seperti itu.

Sorenya, kembali di mansion, aku memutuskan untuk menggunakan senjata baruku: Kartu Platinum Tanpa Batas.

Aku duduk di kamar, menatap tumpukan kartu yang diberikan Amelia. Ini adalah kunci menuju kekayaan tak terbatas, tetapi juga rantai yang mengikatku pada Axel. Aku tidak akan menggunakannya untuk membeli tas tangan mahal yang akan disimpan di lemari.

Aku membuka laptop dan mulai berbelanja.

Pertama, aku mencari badan amal kecil di kota yang fokus pada pendidikan anak yatim. Aku mentransfer sejumlah uang besar, memastikan semuanya anonim: Donasi Atas Nama ‘K.A.’.

Kemudian, aku mulai membeli. Bukan perhiasan, melainkan peralatan baking.

Aku memesan oven convection profesional yang kubayangkan selama bertahun-tahun, mixer stand baja terbaru, ratusan cetakan kue silicone aneh, dan bahan-bahan gourmet yang tidak pernah mampu kubeli sebelumnya.

“Amelia,” panggilku saat kepala pelayan itu melintas. “Tolong siapkan kamar terkecil di wing timur. Aku butuh ruangan itu diubah menjadi pantry khusus dan ruang kerja. Dan pastikan semua barang yang datang hari ini diletakkan di sana. Tanpa ada yang menyentuhnya, termasuk staf.”

Amelia mengangguk, sorot matanya mengandung rasa ingin tahu yang samar. “Tentu, Nyonya. Tapi ruangan itu jarang digunakan. Apakah Tuan Axel sudah menyetujuinya?”

“Tuan Montevista sudah memastikan aku memiliki segala yang kubutuhkan sebagai istrinya,” jawabku meniru ketegasan Axel. “Dan yang kubutuhkan saat ini adalah ruang pribadiku. Urus saja.”

Aku menghabiskan sisa sore hari menata peralatan baru itu. Aku menyusun toples-toples berisi vanilla bean, kayu manis, dan gula icing. Ruangan kecil itu kini berbau vanilla dan cinnamon yang familiar—aroma yang telah lama hilang sejak aku memasuki ‘penjara’ emas ini.

Ini adalah pemberontakan senyapku. Aku adalah Nyonya Montevista yang kaya raya, dan aku akan menggunakan kekayaannya untuk mempertahankan identitas Keisha Auristela, si Baker.

Saat makan malam tiba, Axel masuk ke kamar utama. Dia melepas jasnya, tampak lelah dan dingin, sampai matanya menangkap sebuah amplop tebal di atas meja kerjanya. Itu adalah bukti pengeluaran hari ini.

Dia mengambil amplop itu, air mukanya yang tenang tiba-tiba berubah menjadi pahatan kemarahan.

“Apa ini?” Suaranya berat, dalam, menusuk. Bukan lagi suara CEO yang tenang, tetapi suara predator yang marah karena mangsanya bergerak tanpa izin.

“Bukti pengeluaran, Tuan Montevista,” jawabku santai, meskipun jantungku berdebar. Aku duduk di sofa, pura-pura membaca majalah fashion.

Axel melemparkan struk-struk itu ke meja di depanku. “Donasi $30.000 ke Panti Asuhan Harapan. $10.000 untuk peralatan baking impor, mixer stand seharga mobil?!”

Matanya yang perak kini menatapku dengan api. “Kau pikir ini lelucon, Keisha? Kau menghabiskan puluhan ribu dolar untuk mainan konyolmu? Aku memberimu akses ke uangku untuk memenuhi kebutuhan, bukan untuk bermain amal dan membuka toko kue di dalam rumahku!”

Aku menutup majalah itu, menatapnya dengan tenang. Aku harus menggunakan logikanya untuk melawannya.

“Tuan Montevista, aku hanya mencoba menjadi simbol kekayaan Montevista seperti yang kau inginkan,” kataku, suaraku datar. “Seorang Nyonya Montevista haruslah dermawan, bukan? Itu citra publik yang baik untuk bisnismu. Dan mengenai peralatan baking itu…”

Aku berdiri, melangkah mendekat, dan membiarkan senyum sinis tersungging di bibirku.

“Aku seorang Baker, Axel. Identitas itu sudah melekat padaku, dan aku sedang hamilkan pewaris Montevista. Bukankah lebih baik calon pewarismu tumbuh dengan ibu yang tenang dan bahagia, daripada ibu yang stres dan terpenjara?” Aku menunjuk ke kartu platinum di meja. “Kau bilang kebebasanku adalah milikmu. Ini caraku menggunakan milikmu. Aku tidak melanggar kontrak, aku hanya meningkatkan aset berhargamu, Tuan Montevista.”

Axel terdiam. Rahangnya mengeras, matanya menyala. Dia tidak bisa membantah logikaku tanpa mengakui bahwa dia hanya ingin aku menjadi boneka bisu.

Dia melangkah maju, sangat dekat sehingga aroma cologne mahal dan whiskey tipisnya menyelimutiku. Tangannya yang besar menangkup leherku. Bukan dengan kekerasan, tetapi dengan kepemilikan yang mengancam.

“Jangan coba menguji batas kesabaranku, Keisha,” desisnya. “Kau boleh menggunakan uang itu. Kau boleh membuat kue konyolmu. Tapi jika aku mencium satu masalah kecil saja di hadapan dewan direksi, aku akan membakar seluruh pantry barumu itu di depan matamu. Apakah kita jelas?”

“Sangat jelas,” bisikku, tidak gentar, meskipun lututku gemetar di balik gaun.

Axel melepaskan cengkeramannya, kemudian menarikku untuk berjalan bersamanya menuju perpustakaan.

“Kau terlalu berani untuk seorang Baker kecil,” katanya. “Tapi kau harus tahu siapa yang kau hadapi.”

Dia mendorong pintu kayu besar perpustakaan. Ruangan itu dipenuhi rak buku setinggi langit-langit. Di tengah, di atas meja, tersebar dokumen dan hard cover yang tebal.

“Ini adalah Montevista Group,” katanya, suaranya kini kembali tenang, penuh otoritas. “Setiap lembar saham, setiap properti, setiap kontrak. Itu semua milikku, dan kau adalah jalan satu-satunya agar semua ini tetap menjadi milikku.”

Dia mengambil buku bersampul kulit tua yang tebal. “Di balik kekejaman yang kau lihat, Keisha, ada beban kekuasaan yang membuatku tidak bisa tidur. Jika aku kehilangan ini, aku akan kehilangan segalanya, termasuk alasan mengapa aku hidup. Kau memegang kunci untuk semua itu. Jadi, jangan pernah berpikir untuk menjadi penghalang.”

Aku menatap mata peraknya. Di sana, di balik dinginnya kekuasaan, aku menangkap sekilas keputusasaan yang nyata. Aku mulai sadar, pernikahan kontrak ini mungkin bukan hanya jebakan untukku, tetapi juga pertahanan terakhir untuknya.

Misteri ini justru membuatku semakin bersemangat untuk mencari tahu, dan aku akan menggunakan ruangan baking baruku sebagai markas besar pemberontakan senyap ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mainan Baru Tuan Montevista    8: Mungkin Aku Sudah....

    Setelah pengakuan Axel tentang DNA-ku—bahwa aku adalah solusi biologis untuk masalah garis keturunan Montevista—hubungan kami memasuki fase yang jauh lebih dingin dan penuh perhitungan. Aku tahu nilaiku. Aku bukan hanya ibu dari pewaris; aku adalah jantung biologis dari kelangsungan kekaisarannya.Aku memanfaatkan ini segera. “Aku butuh akses penuh ke pantry dan dapur kapan pun aku mau, tanpa pengawasan Amelia. Dan kau harus berhenti menyentuhku kecuali jika itu diperlukan untuk ‘tugas’,” kataku padanya pagi itu.Axel hanya membalas dengan seringai. “Deal. Tapi kau harus ingat, hari ini, kau harus tampil sempurna. Malam ini adalah Gala Montevista. Para dewan direksi yang kau temui waktu itu akan hadir, dan mereka akan mencariku. Jangan tunjukkan satu pun celah.”Aku menghabiskan seluruh sore untuk dipersiapkan. Paul, desainer pribadiku, membawakan gaun malam merah marun dengan potongan slit tinggi dan punggung terbuka. Itu jauh lebih provokatif dari yang biasa kupakai. Aku mengenakann

  • Mainan Baru Tuan Montevista    7: Berani, Tapi Axel Suka

    Pagi itu, aku menjalankan misi. Aku harus menemukan kelemahan Axel. Setelah Axel pergi untuk urusan bisnis, aku menyelinap ke perpustakaan pribadinya. Aku tahu aku melanggar batas, tetapi rasa ingin tahuku jauh lebih kuat dari rasa takut. Aku mencari petunjuk personal, bukan dokumen bisnis. Akhirnya, mataku tertuju pada sebuah bingkai foto perak kecil yang terbalik di atas meja. Aku meraihnya. Di dalamnya, terdapat foto Axel, jauh lebih muda dan tersenyum. Senyum itu hangat, tulus, dan sama sekali berbeda dari topeng Billionaire yang kukenal. Di sampingnya, berdiri seorang wanita cantik berambut cokelat dengan mata yang bersinar penuh kebahagiaan. Di balik foto, ada tulisan tangan yang indah: “Selamanya, di sini, di Montevista. M&A.” Jadi, ada seseorang yang pernah dicintai Axel. Kehancuran dalam matanya yang kulihat kemarin malam—ini alasannya. Aku buru-buru meletakkan foto itu kembali ke tempatnya. “Mencari sesuatu, Nyonya Montevista?” Suara berat dan dingin itu membuatku membe

  • Mainan Baru Tuan Montevista    6: Pemeriksaan Ovarium

    Udara di klinik Dr. Sam berbau steril dan mahal, jauh berbeda dari aroma antiseptik rumah sakit biasa. Ini bukan klinik, melainkan sebuah suite kesehatan pribadi yang mewah, didominasi warna putih pucat dan instrumen krom.Aku duduk di sofa kulit, sementara Axel berdiri tegak di sampingku, tangannya diletakkan di sandaran sofa seolah menandai kepemilikannya. Dr. Sam, seorang wanita paruh baya dengan senyum yang terlalu profesional, memasuki ruangan.“Selamat pagi, Tuan dan Nyonya Montevista,” sapanya, matanya terfokus pada Axel, seakan aku hanyalah lampiran yang harus diurus. “Tuan Axel sudah menjelaskan situasinya. Waktu adalah aset, jadi kita akan langsung ke inti.”Selama dua jam berikutnya, aku diperlakukan seperti barang inventaris berharga yang sedang diperiksa kelayakannya untuk tujuan produksi. Dr. Sam membahas pola ovulasiku, nutrisi, hingga “kondisi rahim yang optimal untuk menampung pewaris Montevista”. Axel mendengarkan setiap detail dengan ekspresi datar, sesekali mengaju

  • Mainan Baru Tuan Montevista    5: Perjuangan Dibalik Pintu Tertutup

    Sisa-sisa kemarahan karena kehilangan toko kue, justru memberiku kekuatan. Jika Axel menginginkan boneka yang sempurna, maka dia akan mendapatkannya. Tapi aku tidak akan pernah melupakan siapa diriku, dan aku akan menggunakan fasilitas yang dia berikan untuk menuntut balasan.Aku menghabiskan pagi itu di bawah pengawasan ketat Nyonya Amelia, Kepala Pelayan yang ternyata memegang kendali atas seluruh staf di mansion itu. Dia sopan, efisien, dan memiliki pandangan yang mengatakan bahwa dia telah melihat semua sandiwara pernikahan kontrak.Di ruang rias sebesar butik, aku bertemu dengan tim penata. Desainer pribadiku, seorang pria Italia bernama Paul, mengganti pakaian malamku yang kusut dengan gaun cocktail sutra abu-abu yang menjeritkan kemewahan tanpa usaha.“Rambut Nyonya indah, tapi terlalu polos,” ujar penata rambut, sementara penata rias sibuk mengukir kontur tajam di wajahku.Transformasi itu brutal. Keisha si baker yang wangi vanilla kini diganti dengan Nyonya Montevista yang me

  • Mainan Baru Tuan Montevista    4: Nyonya Montevista

    Bau whiskey dan cologne Axel semakin kuat, mencekik seperti belenggu tak terlihat. Aku menarik napas, mencoba menahan emosi yang bergejolak antara amarah, ketakutan, dan sisa-sisa gairah bodoh dari malam itu. Aku paham, setelah kontrak ditandatangani, tubuhku kini resmi menjadi aset Montevista, properti untuk tujuan produksi pewaris.Axel tersenyum miring, senyum yang tidak pernah mencapai mata peraknya, yang kini berkilat penuh hasrat menguasai.“Jangan membuatku menunggu, Keisha,” bisiknya, suaranya mengandung perintah mutlak yang tidak bisa ditawar.Aku bangkit dari ranjang, merasakan lututku gemetar. Aku adalah Nyonya Montevista sekarang. Gelar ini adalah perisai sekaligus penjaraku. Aku harus memainkannya.“Aku tidak lari, Tuan Montevista,” jawabku, mencoba meniru ketenangannya. “Tapi, karena ini adalah pernikahan, meski hanya sandiwara aku punya hak untuk tahu. Apa yang baru saja terjadi semalam? Mengapa kau memilihku?”Axel tertawa. Dia menuang satu tegukan lagi whiskey ke gela

  • Mainan Baru Tuan Montevista    3: Lakukan, Keisha

    Aku menahan napas, ujung bolpoin perak yang dingin kini berada di atas baris tanda tangan. Nama Axel Mardon Montevista sudah tercetak rapi di atas garis di sebelahnya.“Waktumu habis, Keisha.” Suara Axel, meski tenang, mengandung ketidaksabaran yang menekan.Aku tidak melihat ke arahnya. Mataku terpaku pada kata-kata di halaman itu: Kewajiban Istri, Kepatuhan Mutlak, dan Pasal Pewaris. Ini bukan pernikahan; ini adalah perbudakan legal yang kusepakati demi masa depan yang tidak pasti dan anak yang belum pasti ada.Dengan satu tarikan napas kasar, aku menorehkan namaku. Keisha Auristela.Seketika, ruangan itu terasa lebih dingin. Axel mengambil dokumen itu, memeriksanya dengan teliti. Seringai tipis yang tidak menyenangkan muncul di sudut bibirnya.“Bagus. Selamat datang di penjaraku, Nyonya Montevista.”Belum sempat aku memprotes sebutan itu, ia sudah meraih pergelangan tanganku dengan kuat. “Kita tidak punya waktu. Pernikahan ini harus sah hari ini.”Satu jam kemudian, aku duduk di ku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status