Share

Bab 5

Florencia menaiki tangga dengan perlahan-lahan, sedangkan Evander terus saja menghitung. Karena merasa high heels-nya mengganggu, Florencia meletakkan nampan yang dibawanya di anak tangga, lalu melepas sepatu berhak tinggi warna merah cabai itu. Kini, Florencia lebih leluasa berjalan dengan cepat.

"Empat puluh empat, empat puluh lima, empat puluh enam, empat puluh tujuh …." Evander menghitung dengan lebih cepat, membuat Florencia panik.

"Sabar, Tuan Mudaaa!" seru Florencia yang sudah tinggal beberapa anak tangga lagi harus dia tapaki.

"... Lima puluh satu, lima puluh dua, lima puluh tiga, lima puluh empat, lima puluh lima, lima puluh enam, lima puluh tujuh, li-ma pu-luh de-la-pan, li-ma pu-luh sem-bi-lan, e-nam pu—"

"Stop!" Dengan napas tersengal-sengal, Florencia akhirnya berhasil membawakan nampan berisi makan siang untuk Evander dalam waktu yang sudah ditentukan.

"Lama banget!" Evander berbalik badan, lalu melangkah masuk ke kamarnya.

"Loh, ini—"

"Bawa sini makanannya!" seru Evander dari dalam kamar.

Lagi dan lagi, Florencia menghela napas panjang. Dia mencoba mengumpulkan kesabaran yang mulai berceceran dari hatinya.

"Sabar, Flooo … ini tantangan dan lu pasti bisa melaluinya," gumam Florencia.

"Cepet!"

"Iya, Tuan Mudaaa …."

Evander sedang duduk di sebuah sofa panjang berbahan kulit berwarna hitam. Pria tampan itu meminta Florencia untuk meletakkan nampan di meja yang berada di hadapannya.

"Tunggu!" ujar Evander ketika Florencia hendak melangkah pergi.

"Ada apa lagi, Tuan Muda?" tanya Florencia dengan kekesalan yang ditahan.

"Duduk!" Evander menepuk-nepuk sofa dengan maksud agar Florencia duduk di sampingnya.

"Enggak usah, gue berdiri aja," sanggah Florencia.

"Gue bilang duduk, duduk!" Suara Evander pun meninggi karena Florencia membantahnya.

Akhirnya, gadis itu pun menuruti perintah Evander.

"Ambil ini, bersihin keringat di wajah lu." Evander menyodorkan sebuah kotak berisi tisu kepada Florencia. Gadis cantik itu sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya meraih pemberian Evander.

"Temenin gue makan." Evander menyendok soto Betawi ke piring berisi nasi, lalu mengambil beberapa lauk dan memindahkannya ke piring tadi. Setelah itu, Evander menyerahkan piring yang sudah lengkap isinya itu kepada Florencia.

"Apaan, nih? Jangan bilang, lu minta gue buat nyuapin lu!" Florencia sedikit memundurkan tubuhnya.

"Hah? Oh … tadinya, gue mau lu makan ini, tapi karena lu udah berpikir yang enggan-enggak, maka gue jadi punya ide untuk mengabulkan pikiran lu itu," balas Evander seraya tersenyum sinis.

"Eh, maksud gue bukan gitu, tapi—"

"Enggak ada tapi-tapian. Ayo, buruan lu suapin gue!"

"Yaa Tuhan … kenapa aku dipertemukan dengan cowok yang super duper menyebalkan ini?"

"Heh! Ngejelek-jelekin, tuh, jangan di depan orangnya!"

"Bodoamat!"

"Inget, gue ini majikan lu." Evander mengingatkan sebagai siapa Florencia saat ini.

"Iya, ih, bawel banget." Florwn menyendok nasi dengan kesal, lalu menyodorkannya ke depan mulut Evander. Pria itu pun membuka mulutnya.

Evander sengaja mengunyah makanan di mulutnya dengan agak lama. Dia ingin membuat Florencia kesal dan benar saja, gadis itu kehilangan kesabaran.

"Buruan, ih! Gue pegel ini." Sejak tadi, Florencia menyodorkan sendok di depan mulut Evander yang masih mengunyah.

'Makin lu kesel, semakin gue seneng ngerjain lu,' batin Evander.

"Malah senyum-senyum. Buruan ngunyahnya, makan sesendok aja lama banget." Florencia meletakkan kembali sendok di piring karena tangannya merasa pegal.

Baru saja sendok ditaruh, Evander justru membuka mulutnya. Karena tak mendapatkan respons dari gadis yang duduk di sebelahnya, Evander menepuk pundak Florencia.

"Ish! Giliran gue udah taruh, lu malah mangap." Florencia mengambil kembali sendok itu, lalu menyuapi Evander.

Kegiatan suap-menyuap itu pun berlangsung cukup lama, yaitu satu setengah jam dan hal tersebut membuat Florencia sudah tak sanggup berkata-kata. Dia lelah.

"Nanti malam sekitar jam delapan gue mau ketemu klien, lu harus ikut. Sekarang, lu boleh istirahat. Jam tujuh lu udah harus siap," ujar Evander.

"Iya," balas Florencia dengan singkat sambil mengangkat nampan yang sudah berisi tumpukan peralatan makan kotor.

"Tunggu!"

"Apalagi?"

"Lu belum makan siang, kan? Sebelum istirahat, lu makan dulu. Jangan sampai nanti lu sakit, terus gue yang disalahin."

"Iya." Florencia sudah tak punya semangat untuk membantah apa pun. Dia hanya ingin segera berlalu dari hadapan pria menyebalkan yang ada di hadapannya itu.

***

Florencia merebahkan tubuhnya di sebuah ranjang nan empuk setelah Bu Sundari memberitahukan kamarnya selama gadis itu tinggal di rumah Nando.

Sejenak dia merasa tenang karena akhirnya bisa tidur lagi di kasur yang empuk seperti saat keluarganya masih dalam keadaan kaya raya. Kamar yang Florencia tempati berada di sebelah kamar Evander. Sebenarnya, dia ingin protes, tetapi hal itu tak dilakukan olehnya karena merasa pesimis dan mustahil akan pindah ke kamar yang lain.

Tiba-tiba, Florencia teringat akan ucapan Evander tentang acara bertemu dengan klien. Dia baru menyadari kalau dirinya tak membawa pakaian selain apa yang dikenakannya saat ini. Florencia bergegas menghampiri kamar Evander.

Tok! Tok! Tok!

Florencia tak mendapatkan tanggapan dari dalam. Ingin rasanya dia masuk, tetapi takut Evander mengira Florencia bermaksud tak baik. Akhirnya, gadis itu kembali mengetuk pintu kamar majikannya.

Tok! Tok! Tok!

Lagi-lagi tak ada respons. Florencia berbalik badan, hendak menemui Bu Sundari untuk meminta bantuan. Akan tetapi, baru saja gadis itu melangkah, pintu kamar terbuka.

"Ada apa?" tanya Evander yang sudah berdiri di ambang pintu.

Florencia kembali berbalik badan.

"Aaaaaaaaa!" Florencia histeris sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.

"Ngapain, sih, lu teriak-teriak begitu?"

"Itu, lu ngapain enggak pake baju?" Florencia menunjuk ke arah Evander dengan satu tangan tetap menutupi wajah.

Pria itu memang hanya mengenakan boxer saja yg untuk menutupi bagian tubuh vitalnya.

"Lebay lu, ah! Ada apa? Baru aja gue mau tidur," ujar Evander.

"Itu, gue boleh pulang dulu? Mau ngambil baju buat nanti malam. Gue ke sini, kan, enggak bawa pakaian ganti."

"Enggak usah pulang." Evander mendekati Florencia dan meraih tangannya.

"Eh, mau ngapain?"

"Ayo, ikut gue!"

Evander menarik Florencia menuju ke sebuah kamar. Meskipun gadis itu berusaha berontak, tetapi tenaga Evander lebih kuat.

"Jangan ditutupin terus mukanya." Evander meminta Florencia untuk melihat apa yang ada di hadapannya saat ini.

Perlahan-lahan, Florencia menurunkan tangan dari wajahnya. Sebuah lemari kaca besar berisi berbagai pakaian tergantung rapi di sana. Florencia pun disuruh untuk memilih pakaian yang cocok buat dirinya.

Dengan penuh semangat gadis berbibir tipis itu antusias memilah milih aneka gaun dan dress yang terpampang di depan matanya.

"Ini semua pakaian punya siapa, Tuan Muda?" tanya Florencia sembari mencoba mencocokkan sebuah gaun pesta berwarna hitam ke tubuhnya di depan cermin.

"Ini semua punya nyokap gue. Udah, lu pilih aja yang mana yang lu suka dan cocok sama lu. Gue ngantuk banget, mau tidur. Oh, iya, jangan lupa nanti tutup lagi pintunya dan jangan sampai ada yang berantakan." Evander berlalu meninggalkan Florencia yang masih asyik memilih pakaian. Meskipun Florencia juga memiliki banyak gaun dan dress mahal, tetapi dia menyukai selera makanya Evander. Gadis itu jadi penasaran dengan sosok wanita tersebut karena sejak tadi tak ada satu pun foto yang terpajang di dinding atau di mana pun di rumah ini.

Setelah mendapatkan gaun yang sesuai dengan seleranya, Florencia bergegas keluar dari ruangan yang memang dikhususkan untuk menyimpan pakaian, tas, sepatu, dan aksesoris lainnya itu.

***

Pukul 17.30 Florencia sudah bersiap-siap. Dia tak mau kena omel Evander karena telat. Setelah mengenakan gaun berwarna marun bahan bludru dengan potongan dada yang rendah, sehingga dapat memperlihatkan belahan dadanya yang cukup besar itu. Florencia berdandan tipis-tipis karena ingin terlihat flawless, serta tatanan rambut yang sengaja digerai membuat gadis itu tampak makin menawan.

Pukul 19.00 Evander mengetuk pintu kamar Florencia dan gadis itu segera membukanya. Begitu pintu terbuka, Evander terpesona melihat Florencia yang tampil berbeda dari siang tadi. Pria itu buru-buru mengalihkan pandangan sebelum Florencia menyadari akan kekagumannya.

"Ayo, gue udah siap," kata Florencia.

"Tunggu!" Evander menarik tangan Florencia menuju ke kamar tempat memilih pakaian tadi.

"Cepet ganti pakaian lu. Dari sekian banyak gaun di sini, kenapa lu pilih yang itu, sih?" Evander membuka lemari kaca di hadapannya, lalu meraih sebuah gaun berwarna hitam.

"Katanya, gue disuruh pilih yang sesuai sama selera gue," kilah Florencia.

"Tapi, gue enggak suka. Cepet ganti pake ini!" Evander menyodorkan gaun di tangannya kepada Florencia.

"Maksa banget, sih. Tau gitu tadi lu aja yang milihin." Sambil merengut, Florencia menerima gaun itu, lalu kembali ke kamarnya.

"Lima belas menit!"

"Iya, bawel!"

Florencia merasa kesal karena dia merasa sudah berpenampilan dengan sangat cantik malam itu, tetapi Evander malah tidak menyukainya.

"Emang dasar cowok nyebelin! Ngerusak mood aja." Gadis itu pun bergegas dandan kembali karena Evander hanya memberi waktu lima belas menit saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status