Share

Bab 3

Mobil yang ditumpangi oleh Florencia dan Nando mengerem mendadak karena teriakan gadis berbibir tipis itu.

"Maaf, Tuan. Saya kaget," ucap sopirnya Nando yang bernama Agus.

"Iya, enggak apa-apa, lanjut jalan, Pak," ujar Nando sambil melipat kedua tangannya di dada.

Florencia merasa malu dan ketakutan itu pun makin menjadi-jadi ketika Nando melirik tajam ke arahnya. Gadis itu terdiam seribu bahasa.

Setengah jam berlalu, mobil memasuki halaman sebuah rumah yang megah dan mewah. Agus bergegas membukakan pintu untuk Nando setelah mobil terparkir.

"Ayo!" titah Nando, meminta Florencia untuk turun dari mobil.

Mata Florencia berkeliling memandang rumah bergaya klasik dengan nuansa kuning gading. Dia merasa heran karena yang ada di pikirannya ternyata salah. Antara senang dan sedih, bercampur kebingungan, berkecamuk di hatinya. Senang karena tidak dibawa ke hotel, tetapi juga sedih dan bingung sebab masih belum tahu apa pekerjaan yang akan Nando berikan.

"Om, kenapa kita ke sini?"Akhirnya, Florencia memberanikan diri untuk bertanya.

"Katanya, kamu mau kerja. Ya, di sinilah kamu akan bekerja," jawab Nando seraya melangkah menjauh dari mobil.

'Kerja? Di sini? Di rumah ini? Eh, ini rumah atau kantor, sih?' Florencia bergumam.

"Flooo!"

"Eh, iya, Om." Panggilan dari Nando membuyarkan lamunan Florencia. Gadis itu pun berjalan dengan cepat menghampiri Nando yang sudah kembali melangkah memasuki rumah mewah tersebut.

Florencia merindukan rumahnya yang dulu di saat sang Papi masih memiliki banyak harta kekayaan. Rumah yang tak kalah megah dengan yang ada di hadapannya saat ini. Florencia menitikan air mata, dia masih tak menyangka kalau papinya memiliki banyak utang hingga harus menjual segala aset yang dimiliki.

"Heh, lu siapa? Ngapain bengong di depan pintu?"

Suara seorang pria membuat Florencia bergegas menyeka air matanya, lalu menoleh ke arah sumber suara. Pria yang tampan, berkulit putih, tinggi, gaya rambut ala artis Korea, dan tatapan mata yang tajam, membuat Florencia sedikit gugup.

"Wei! Malah bengong lagi. Lu siapa, sih? Ngapain di sini?" Pria itu melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Florencia.

"Eh, itu, anu, gue ke sini diajak sama Om Nando," jawab Florencia.

Pria itu memindai Florencia dari kepala hingga ke ujung kaki. "Lu sekretaris barunya Papa?"

"Hah? Entah. Gue ke sini memang mau kerja, tapi belum tau kerja apaan."

"Dih! Lu mau-maunya ngikut, padahal belum tau mau diapain, eh, maksudnya belum tau mau kerja apa. Gimana kalau ternyata bokap gue itu seorang muncikari dan lu dipekerjakan untuk melayani pria-pria hidung belang?" Pria itu menyeringai sambil menaik-turunkan alisnya.

"Ih, masa iya Om Nando kayak gitu? Lagian, emangnya gue ada tampang buat jadi cewek gituan apa?" protes Florencia.

"Hmmm … wajah lu lumayan cantik, body lu semampai, ya, cocoklah."

Florencia mengibaskan tas yang dipegangnya ke lengan pria itu.

"Aduh! Dasar cewek aneh lu!" Pria itu mengusap-usap lengannya sambil meringis.

"Sukurin!"

Di tengah perseteruan, tiba-tiba datang seorang wanita paruh baya yang memakai seragam asisten rumah tangga berwarna navy dengan celemek hitam yang melapisi pakaiannya.

"Non, maaf, disuruh masuk sama Tuan Nando," kata wanita paruh baya itu.

Florencia memeletkan lidahnya ke arah pria itu, lalu beranjak memasuki rumah dengan langkah anggun, mengikuti wanita paruh baya tersebut. Pria tadi menggeleng, kemudian turut melangkah dengan tangan di saku kanan dan kiri celananya.

Mereka bertiga berhenti di ruang kerja tuan Nando. Ruangan yang luas dengan dua lemari kayu besar dengan pintu kaca, hingga terlihat banyak buku yang tertata dengan rapi di dalam sana.

"Kebetulan kamu sudah pulang, Van." Nando mengawali pembicaraan. "Silakan duduk, Flo. Perkenalkan, dia adalah Evander, anak bungsu saya," lanjutnya.

Florencia melirik ke arah pria yang bernama Evander itu. Pria menyebalkan yang tadi meledek dirinya di depan pintu.

Florencia duduk pada salah satu kursi kulit di seberang Nando, Evander pun duduk di sebelah gadis cantik itu.

"Pa, emangnya dia mau bekerja sama Papa? Kerja apaan?" tanya Evander.

"Nah, itu yang ingin Papa sampaikan. Begini, Florencia dan orang tuanya sedang memiliki masalah ekonomi. Jadi, sebagai teman yang baik dari Samuel, papinya Flo, Papa mau memberikan pekerjaan untuk Flo, yaitu—"

Florencia dan Evander saling melirik. Mereka penasaran dengan ucapan Nando yang menggantung di udara.

"Yaitu apa, Pa?" tanya Nando.

"Yaitu … Florencia akan menjadi asisten pribadi kamu," jawab Nando.

"What?!" ujar Florencia dan Evander secara bersamaan.

"Belum apa-apa kalian sudah kompak begitu," ledek Nando.

Florencia dan Evander saling melirik dengan sinis, lalu tak lama kemudian membuang muka. Nando tersenyum samar saat melihat tingkah mereka.

"Jadi, Flo, kamu harus mengurus semua kebutuhan untuk Evander, baik di rumah maupun di kantor," ucap Nando.

"Tapi, Pa—" Pria berusia 24 tahun itu hendak protes, tetapi sang Papa menyanggahnya.

"Sudah, ikuti saja apa yang sudah Papa tetapkan."

"Om, maaf sebelumnya, saya kira, saya akan bekerja di salah satu kantor yang Om punya, tapi ternyata hanya dijadikan sebagai asisten pribadi anak Om yang nyebelin ini," ujar Florencia.

"Kamu mau menolak tawaran pekerjaan ini, Flo? Cobalah pikirkan baik-baik. Kamu akan mendapatkan gaji sebesar lima belas juta setiap bulannya, juga makan minum, dan pakaian gratis karena kamu akan tinggal di sini. Dalam seminggu, kamu berhak atas libur satu hari, yaitu hari Sabtu. Bagaimana?"

Florencia berpikir dengan keras. Apa yang Nando tawarkan cukup menggiurkan di saat kondisi keuangan seperti sekarang ini, mengingat saldo di rekeningnya hanya tersisa lima juta saja karena pesangon dan gaji terakhir dia belum ditransfer.

"Hmmm … baiklah, Om. Saya terima pekerjaan ini," jawab Florencia.

"Duuuh! Kenapa lu mau nerima, sih? Enggak malu lu jadi babu?" protes Evander yang berharap kalau Florencia akan menolak.

"Gue butuh uang untuk biaya hidup orang tua gue. Kalau soal jadi babu—" Florencia menjeda ucapannya. "Gue asisten pribadi, bukan babu!" lanjutnya.

"Dih! Apa bedanya? Lu bakal gue suruh ini itu dan—"

"Sudah, cukup!" sahut Nando.

"Pa, aku enggak butuh asisten pribadi. Kan, sudah ada banyak pekerja di sini dan di kantor juga ada sekretaris," ujar Evander.

"Tolong untuk kali ini jangan protes, Van. Papa enggak mau dengar penolakan." Nando yang merasa sedikit pusing, beranjak meninggalkan ruang kerjanya, menyisakan Florencia dan Evander yang terdiam.

"Karena lu udah terima pekerjaan ini, berarti mulai sekarang lu harus menuruti apa yang gue suruh!" kata Evander dengan tatapan mata tajamnya.

"Bawel!" sahut Florencia.

Gadis itu terlihat baik-baik saja, tetapi di dalam hatinya dia merasa ragu untuk bisa menjalani hari-harinya ke depan sebagai seorang asisten pribadi dari pria yang super menyebalkan.

"Oh, God, help me, please. Semoga salah satu makhluk-Mu itu enggak membuat aku kerepotan," ucap Florencia di dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status