เข้าสู่ระบบSuara hujan di luar perlahan mereda, namun ketegangan di dalam ruang kecil itu justru semakin mengental. Setelah mendesak Marlina dengan pertanyaan yang membuatnya penasaran, wanita itu masih saja diam.Setelah memgenakan kembali pakaian, dia duduk kembali di sofa. Menyandarkan kepala sebentar, menatap langit-langit kusam kontrakan Marlina seolah sedang mencoba memahami sesuatu yang tidak bisa da jelaskan.Marlina hanya duduk di ujung sofa, merapikan rambutnya yang kusut, menyembunyikan rasa kacau yang masih tersisa dari cumbu Rey sebelumnya. Ia tidak berani menatap. Tidak setelah apa yang baru saja terjadi.Rey menghela napas pelan, lalu berkata tanpa menoleh,"Jadi… dia mantan pacarmu? Benar, kan?"Pertanyaan itu membuat Marlina menegang. Dia menoleh cepat, alisnya mengkerut.Kenapa lelaki itu menanyakannya?Mengapa dia seolah ingin tahu kenapa Marlina terlihat begitu hancur ketika bertemu David?Marlina mengangkat dagunya. Suaranya dingin, namun getarnya tak bisa dia sembunyikan."
Sepuluh menit yang dijanjikan Rey seharusnya sudah lewat. Tapi Rey masih duduk di sofa kecil rumah Marlina, memegang gelas teh yang sudah lama mendingin. Dia bahkan tidak lagi meminum isinya, dia hanya menggenggamnya untuk memberi alasan agar tetap tinggal. Marlina duduk di sisi lain sofa, cukup jauh untuk dianggap aman, namun cukup dekat untuk membuat keduanya saling mendengar detak napas masing-masing.Dia berusaha menjaga jarak, berusaha bersikap wajar. Namun jantungnya terasa tidak stabil setiap Rey menggerakkan tangannya atau mengalihkan pandangan. Sunyi mulai mengisi ruangan itu dengan berat. Rey mengusap pelipisnya pelan, seolah mencoba menyusun kata-kata. Namun yang keluar hanya gumaman rendah, "Marlina…" Wanita itu menoleh. "Iya, Tuan?" Ucapan itu tak sempat selesai. Rey tiba-tiba mendekat, memiringkan tubuhnya, lalu jari jemarinya menyentuh sisi wajah Marlina. Sangat pelan, hampir ragu-ragu. Sentuhan itu membuat Marlina terdiam kaku. Rey sendiri tampak seperti tidak t
Marlina menutup pintu rumahnya pelan, berharap Rey benar-benar pergi seperti yang dia katakan. Namun tak sampai dua menit, langkah kakinya terhenti.Mobil Rey masih tetap di tempat, lampunya belum menyala, dan mesinnya pun belum dinyalakan.Rey berdiri bersandar di pintu mobil, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, memandangi teras rumah Marlina seolah sedang menimbang sesuatu.Marlina membuka pintu kembali. "Tuan Rey…? Kenapa belum pulang?"Rey menoleh pelan. Suaranya datar, namun ada ketegangan halus yang tak bisa disembunyikan. "Aku baru ingat. Ada… hal yang harus kutanyakan padamu."Marlina mengerutkan kening. "Apa itu tentang pekerjaan? Ini sudah malam."Rey mendekat. Langkahnya mantap, tapi gerakannya seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu yang lebih dari sekadar urusan kerja."Tidak," jawabnya akhirnya.Marlina menelan ludah. "Lalu… apa?"Rey menatap mata Marlina lama, terlalu lama, sampai wanita itu merasa jantungnya berdetak dua kali lebih cepat."Kau… tidak apa-
Langit sore menampakkan semburat jingga lembut ketika Marlina berjalan keluar dari gedung kantor. Udara mulai sejuk, dan embusan angin sore mengibaskan rambutnya yang terurai rapi. Dia baru saja menyelesaikan tumpukan laporan yang diminta Rey. Bos yang belakangan ini, entah kenapa, semakin sulit ditebak. Di satu sisi, Rey tetaplah Rey yang dingin, berwibawa, dan nyaris tak pernah menurunkan nada bicara meski pada pegawai senior sekalipun. Namun entah sejak kapan, Marlina merasa lelaki itu menjadi berbeda, gerutama setiap kali mereka hanya berdua.Seperti siang tadi. Ketika Rey tanpa alasan menatapnya terlalu lama, seolah ada sesuatu yang ingin dikatakan, tapi tak pernah benar-benar diucapkan. Sorot matanya penuh dengan hasrat, dan Marlina tahu itu. Dan sekarang, saat Marlina baru hendak melangkah keluar, suara berat itu kembali memanggil dari belakang. "Sekretaris Marlina." Wanita itu berhenti, lalu menoleh. Rey berjalan mendekat, dengan jas kerja masih terpakai rapi di tubuh tega
"Jangan gugup... jangan gugup! Ayo kendalikan dirimu, Marlina." Suasana kantor sore itu terasa tenang, hanya terdengar suara pendingin ruangan yang mendesis lembut. Marlina melangkah pelan sembari membawa map berisi hasil rapat siang tadi. Setiap langkahnya terasa berhati-hati, seolah dia sedang memasuki wilayah yang berbahaya. Ruangan itu hening, hanya suara jarum jam berdetak pelan di dinding. Marlina berdiri di depan meja kerja Rey, membawa map berisi laporan hasil rapat siang tadi. Rambutnya yang dikuncir separuh tampak berantakan karena angin luar, membuat beberapa helai jatuh di pipinya. "Ini hasil rapatnya, Tuan Rey," ucap Marlina pelan, mencoba menjaga nada suaranya tetap profesional. Namun tangannya sedikit bergetar ketika dia menyerahkan berkas itu, mengingat jelas apa yang terjadi antara mereka di hotel siang tadi. Rey, yang sedari tadi menatap layar laptop, akhirnya menegakkan tubuhnya. Tatapan matanya naik perlahan, berhenti tepat di wajah Marlina. Senyum tipis
"Astaga... rasanya sakit sekali."Cermin besar di kamar hotel itu memantulkan bayangan Marlina. Wajahnya masih memerah, rambutnya berantakan, dan napasnya belum sepenuhnya tenang. Dia merapikan kancing blusnya satu per satu dengan tangan gemetar, berusaha menghapus jejak yang tersisa dari sesuatu yang seharusnya tidak terjadi lagi. Ada bagian darinya yang terus berdenyut menahan sakit, karena permainan brutal sang atasan tadi. Dia hanya bisa menghela nafas pelan, berpura-pura tidak merasakan apapun. Di belakangnya, Rey masih duduk di tepi ranjang, kemejanya setengah terbuka. Tatapan matanya tidak lepas dari bayangan Marlina di cermin. Ada sesuatu di sana, bukan sekadar keinginan, tapi semacam rasa yang menekan dadanya dengan berat.Dia baru menyadari, betapa dalamnya perasaan yang mulai tumbuh. Selama ini dia mengira hanya sekadar tertarik. Tapi setiap gerak kecil Marlina, setiap tatapannya yang gugup, selalu membuat Rey kehilangan kendali. Perlahan Rey berdiri, langkahnya mendeka







