Chapter: Perjuangan Terakhir MonaHari itu langit mendung, seakan tahu bahwa hari itu akan jadi akhir dari segalanya. Ruang sidang terasa sesak. Setiap kata dari hakim terdengar seperti hantaman palu di dada Mona."Hak asuh anak jatuh kepada pihak suami, Raka Wijaya, mengingat tergugat terbukti berselingkuh dan dinilai tidak stabil secara emosional." Kata-kata itu menamparnya keras. Tubuh Mona bergetar. Matanya berair, tapi dia berusaha menahan diri agar tidak terlihat rapuh. Di seberang meja, Raka menunduk. Tatapannya dingin, tapi di baliknya ada luka yang sama dalamnya. Di barisan belakang, Andri duduk dengan wajah pucat. Baru beberapa minggu dia bebas dari tahanan, namun luka batinnya jauh lebih dalam dari tembok penjara mana pun. Ketika palu sidang diketuk terakhir kali, Mona merasa seluruh dunianya runtuh. Anaknya, satu-satunya alasan dia bertahan hidup akan diambil darinya."Aku tidak akan membiarkan anakku diambil... tidak akan." Setelah kehilangan semua kebahagiaan dalam hidupnya. Mona bertekad, jika dia
Last Updated: 2025-11-13
Chapter: Sisa Nafas Seorang IbuHujan pagi itu masih turun lembut, seolah langit ikut berduka bersama seorang perempuan yang berjalan dengan langkah gontai di bawah payung kecil yang sudah sobek di ujungnya. Tubuh Mona masih lemah, bekas operasi di perutnya kadang terasa nyeri setiap kali ia menarik napas terlalu dalam. Namun, rasa sakit itu tak seberapa dibanding perih yang terus mencabik jiwanya. Matanya sembab, wajahnya pucat, dan langkahnya seperti tak lagi tahu arah. Tapi ada satu tujuan yang tertanam di pikirannya, Andri. Satu-satunya orang yang mungkin masih bisa mengerti, satu-satunya yang dulu pernah memperjuangkannya, meski dengan cara yang salah. Di kantor polisi, udara terasa pengap. Ruangan itu berbau lembap dan sedikit amis, sisa dari malam sebelumnya yang diguyur hujan. Seorang petugas menatap Mona yang berdiri di depan meja, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara."Permisi… saya ingin menemui Andri Wijaya," suaranya lirih, hampir tenggelam oleh suara hujan di luar. Petugas itu sempat mena
Last Updated: 2025-11-13
Chapter: Kita BerceraiSuasana rumah malam itu mencekam. Hujan turun pelan, mengguyur halaman besar kediaman Raka. Petir menyambar di kejauhan, menimbulkan pantulan cahaya di kaca besar ruang tengah. Mona berdiri di sana, menggendong bayinya dengan erat seolah takut kehilangan. Wajahnya pucat, matanya sembab karena menangis sejak diseret paksa oleh suaminya. Dari arah pintu, suara langkah kaki berat terdengar. Raka baru pulang dari kantor polisi, wajahnya dingin dan lelah, namun sorot matanya begitu tajam menatap Mona dan bayi yang berada di pelukannya. Di belakangnya, Kania berdiri dengan tangan terlipat di dada, menatap menantunya dengan ekspresi penuh penghakiman."Raka," ucap Mona pelan, suaranya serak. "Kenapa kau membawaku lagi ke sini?" Raka tidak menjawab. Dia hanya berjalan mendekat, menatap bayi mungil itu lama, lalu mengulurkan tangan. "Berikan anak itu padaku." Mona segera mundur satu langkah, memeluk bayinya lebih erat lagi. "Tidak, jangan! Dia butuh aku. Aku ibunya, Raka!""Mona…" nada su
Last Updated: 2025-11-12
Chapter: Malam Penangkapan AndriHujan turun semakin deras. Langit seperti meratap bersama mereka. Petir menyambar di kejauhan, menyinari ladang kosong yang kini menjadi saksi pelarian dua orang berdosa Andri dan Mona. Andri menyalakan mesin mobilnya dengan terburu-buru, tangannya bergetar saat mencoba menyalakan wiper yang tak mau bekerja sempurna. Mona duduk di kursi belakang, memeluk bayinya erat-erat dengan kain selimut tebal. Bayinya merengek kecil, mungkin karena udara dingin yang menusuk tulang."Andri, jangan terlalu cepat," pinta Mona dengan napas terengah. "Kita harus hati-hati. Bayinya-" "Aku tahu," potong Andri cepat, matanya tajam menatap jalan gelap di depan. "Tapi kalau kita tidak segera keluar dari sini, mereka akan menemukan kita." Namun belum sempat dia melangkah jauh, cahaya lampu menembus kegelapan dari arah berlawanan. Satu mobil, dua, tiga hingga akhirnya lebih dari lima kendaraan berhenti di sekitar mereka. Sorotan lampu menembus kaca depan mobil mereka, membuat mata Andri silau. Lalu suara
Last Updated: 2025-11-11
Chapter: PengejaranAngin malam berhembus tajam, menusuk kulit. Di dalam mobil yang melaju kencang di jalan luar kota, Mona duduk di kursi belakang sambil mendekap bayinya erat-erat. Wajahnya pucat, matanya sembab karena tangis yang tak henti sejak mereka meninggalkan rumah sakit. Bayinya tidur tenang di pelukannya, tak tahu badai besar yang kini tengah mengancam. Andri, di balik kemudi, menatap jalanan dengan fokus penuh. Tangan kirinya menggenggam setir, sementara tangan kanannya sesekali mengecek kaca spion, memastikan tidak ada mobil yang mengikuti mereka. Wajahnya tegang, rahang terkunci rapat. "Pegang bayinya baik-baik, Mona. Kita hampir sampai," ucapnya pelan, suaranya bergetar tapi berusaha tenang. Mona menatapnya melalui pantulan kaca depan. "Andri… apa yang kita lakukan ini benar?" Matanya memohon, seolah berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk. Andri menarik napas panjang. "Aku tidak tahu apa yang benar, Mona. Tapi aku tahu satu hal, aku tidak akan membiarkan mereka mengam
Last Updated: 2025-11-10
Chapter: Pelarian Mona Dan AndriSuasana rumah sakit malam itu terasa ganjil, terlalu tenang untuk hati yang sedang bergejolak. Lampu-lampu lorong berpendar lembut, menciptakan bayangan panjang di dinding putih yang dingin. Aroma antiseptik menyeruak kuat di udara, bercampur dengan hawa tegang yang menggelayuti setiap langkah dua orang yang baru saja tiba di sana. Raka berjalan cepat di samping Kania, wajahnya keras dan rahangnya mengatup rapat. Dia tidak bisa tdour nyenyak sejak dua hari terakhir, dan malam ini, dia datang dengan satu keputusan pasti. Mengakhiri segalanya. Kania di sampingnya menatap lurus ke depan, tatapannya tegas, penuh amarah yang sudah dipendam terlalu lama."Setelah ini, tidak ada lagi keraguan," kata Kania dingin, suaranya pelan tapi menusuk. "Kau akan menceraikannya, Raka. Itu keputusan yang paling benar." Raka tidak menjawab. Tangannya terkepal. Hatinya sudah terlalu hancur untuk bisa membantah.Langkah mereka semakin cepat, mendekati ruangan tempat Mona dan bayi itu dirawat. Raka menah
Last Updated: 2025-11-08
Chapter: Terima Kasih Sudah Hadir Dalam HidupkuRumah sakit di pusat kota New York malam itu seperti berubah menjadi dunia kecil yang hanya berisi kepanikan Kevin Andreas. Marlina sudah dibawa masuk ke ruang bersalin, ditangani oleh tim medis lengkap. Namun salah satunya adalah dokter kandungan yang membuat Kevin ingin melempar botol infus ke kepala seseorang. Dr. Alexander Hartman. Tinggi, berwajah bule, mata biru cerah, hidung mancung, senyum ramah. Dia dokter yang Gino perkenalkan padanya. Namun bagi Kevin dia terlalu tampan, terlalu sempurna. Semua membuat Kevin ingin menghalau dokter itu seperti menghalau lalat dari bunga kesayangannya. Begitu dokter itu memeriksa Marlina, Kevin mendengus keras."Kenapa harus dia… dari sekian banyak dokter, kenapa yang seperti dia?!" Gino saat itu memang berada di Amerika untuk menemani Kevin hanya bisa menepuk bahunya kencang."Jangan cerewet. Dia di sini untuk membantu, bukan merebut istrimu." Tapi Kevin tidak bisa diam. Apalagi ketika dokter itu menyentuh pergelangan tangan Marlina
Last Updated: 2025-11-18
Chapter: Kehamilan Yang SulitWaktu bergulir cepat. Begitu cepat sampai Kevin kadang masih tidak percaya bahwa hidupnya berubah sedrastis ini. Dari CEO arogan dan keras kepala, kini dia menjadi suami siaga yang hidupnya berputar hanya pada satu hal, kehamilan istrinya. Dan ternyata kehamilan Marlina tidak semanis ekspetasinya. Tiga bulan pertama, kekacauan dimulai Di awal kehamilan, Marlina mulai menunjukkan sisi dirinya yang bahkan Kevin belum pernah lihat. Suatu pagi, ketika Kevin baru saja pulang dari meeting di kantor cabang, dia menemukan istrinya duduk di sofa, mata berkaca-kaca, menatap pot tanaman mati."Marlina… apa yang terjadi?" Wanita itu menatapnya dengan hidung memerah. "Kaktusnya meninggal… Kevin… dia mati…" Kevin mengedip, bingung. "Itu… hanya kaktus, sayang." Kesalahan mematikan. Marlina langsung meledak menangis, memeluk pot seperti memeluk jenazah keluarga."Kau tidak mengerti!! Ini kaktus pertama yang kubesarkan!!! Kevin, kau jahat!!" Seketika Kevin panik, memeluknya erat sembari mengel
Last Updated: 2025-11-18
Chapter: Aku HamilDua bulan ternyata bukan waktu yang panjang bagi siapa pun yang sedang jatuh cinta. Dan untuk Kevin, dua bulan terasa seperti detik yang terus saja melaju tanpa memberi jeda.Sejak hari dimana Tuan Anggara berkata akan membawa Marlina pulang, Kevin benar-benar berubah menjadi sosok yang tak kenal kata menyerah. Ketakutan kehilangan Marlina membuatnya bertindak impulsif, bodoh, tetapi penuh cinta. Dia menculik istrinya sendiri dan membawanya jauh ke Amerika. Bukan ke sembarang tempat. Dia membawa Marlina ke hotel bintang lima yang merupakan cabang Davidson di luar negeri. Kamar suite paling mahal, paling luas, paling mewah. Dikelilingi kaca tinggi yang menampilkan kota seperti lautan cahaya. Kevin belajar hidup lebih sederhana dalam kemewahan, persis paradoks dirinya. Mengelola cabang perusahaan di sana, menjawab email yang tak ada habisnya, memukul mundur gosip di tanah air, dan menyerahkan perusahaan pusat pada Evan.Dia tidak peduli dicap kekanak-kanakan, pengecut, atau bodoh. Ba
Last Updated: 2025-11-18
Chapter: Sikap Yang AnehSetelan kejadian di rumah Anggara. Marlina memperhatikan sesuatu yang aneh pada suaminya. Aneh dalam ukuran Kevin Andreas si CEO arogan yang biasanya berangkat pagi tanpa pamit dan pulang larut malam dengan wajah datar.Sekarang? Dia pulang membawa belanjaan. Dan bukan sembarang belanjaan. Pertama hari itu. Sebuah kotak beludru merah berisi kalung berlian yang bahkan membuat mata Marlina silau hanya dengan melirik. Besoknya. Sebuah tas keluaran edisi terbatas yang bahkan belum launching di toko.Lusa. Kotak besar dari butik terkenal, berisi gaun-gaun mahal yang bahkan Marlina takut menyentuhnya. Dan hari ini? Kevin baru pulang lagi dengan lima tas belanja di tangan dan satu amplop tebal. Seolah hidupnya berubah menjadi kurir pribadi sang istri."Aku membeli ini untukmu," katanya seolah sedang membeli tahu bulat. Marlina hanya bisa berkedip. "Ke-Kevin, ini semua untuk apa? Aku tidak minta apa pun…" Tapi Kevin hanya tersenyum kecil, meletakkan belanjaan itu, lalu memeluk Marlina
Last Updated: 2025-11-18
Chapter: Tidak Ingin BerpisahMalam itu langit begitu gelap, seolah memantulkan kecemasan yang sejak pagi menggantung di dada Kevin. Udara dingin menusuk, dan dedaunan di halaman rumah Tuan Anggara bergerak pelan tertiup angin. Rumah besar itu tampak sunyi, terlalu sunyi untuk ukuran seorang pengusaha sebesar Anggara. Seakan-akan seluruh dunia ikut menahan napas menunggu apa yang akan terjadi di dalamnya. Kevin mengetuk pintu, dan seorang asisten membukanya. "Tuan Anggara sudah menunggu di ruang kerja." Kevin berjalan masuk, langkahnya berat. Ini bukan rapat bisnis biasa, inii tentang Marlina. Tentang masa depan. Lampu ruang kerja menyala redup, hanya memantulkan cahaya lembut pada meja kayu tua dan lemari buku besar di belakangnya. Tuan Anggara duduk di kursi kulit, terlihat lebih tua dari terakhir kali Kevin melihatnya. Rambutnya yang sebagian memutih tampak kusut, dan sorot matanya tajam namun letih… seperti seseorang yang sudah terlalu lama menahan beban di bahunya."Duduklah," ujar Tuan Anggara tanpa sen
Last Updated: 2025-11-18
Chapter: Batas Waktu Yang Semakin HabisHari-hari setelah konferensi pers itu berjalan mengejutkan cepat, seakan waktu sengaja dipercepat hanya untuk mempermainkan hati Kevin. Dua bulan lagi, kontrak pernikahan itu akan berakhir. Seolah angka dua bulan itu menjadi bayang-bayang yang mengikuti Kevin ke mana pun dia melangkah. Saat dia bangun, duduk di meja kerja, atau sekadar menatap punggung Marlina yang sibuk di dapur setiap pagi. Mengaduk kopi sembari tersenyum kecil, tidak sadar bahwa senyum itu menghantui pikiran suaminya. Hari ini Kevin kembali bekerja seperti biasa. Dia sudah pulih sepenuhnya, dengan kesejatan yang semakin baik. Wibawa CEO Davidson Group yang dingin, dominan, dan selalu tampak menguasai dirinya di segala situasi. Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang retak, rapuh, dan hanya dia yang tahu.Pagi itu, setelah menyelesaikan rapat direksi dan menandatangani beberapa dokumen penting, Kevin menerima panggilan dari ayahnya untuk bertemu di ruang kerja pribadi Tuan David. Ruangan yang jarang sekali d
Last Updated: 2025-11-18
Chapter: Hapus Namanya Di HatimuSuara hujan di luar perlahan mereda, namun ketegangan di dalam ruang kecil itu justru semakin mengental. Setelah mendesak Marlina dengan pertanyaan yang membuatnya penasaran, wanita itu masih saja diam.Setelah memgenakan kembali pakaian, dia duduk kembali di sofa. Menyandarkan kepala sebentar, menatap langit-langit kusam kontrakan Marlina seolah sedang mencoba memahami sesuatu yang tidak bisa da jelaskan.Marlina hanya duduk di ujung sofa, merapikan rambutnya yang kusut, menyembunyikan rasa kacau yang masih tersisa dari cumbu Rey sebelumnya. Ia tidak berani menatap. Tidak setelah apa yang baru saja terjadi.Rey menghela napas pelan, lalu berkata tanpa menoleh,"Jadi… dia mantan pacarmu? Benar, kan?"Pertanyaan itu membuat Marlina menegang. Dia menoleh cepat, alisnya mengkerut.Kenapa lelaki itu menanyakannya?Mengapa dia seolah ingin tahu kenapa Marlina terlihat begitu hancur ketika bertemu David?Marlina mengangkat dagunya. Suaranya dingin, namun getarnya tak bisa dia sembunyikan."
Last Updated: 2025-11-17
Chapter: Sentuhan Tak TerdugaSepuluh menit yang dijanjikan Rey seharusnya sudah lewat. Tapi Rey masih duduk di sofa kecil rumah Marlina, memegang gelas teh yang sudah lama mendingin. Dia bahkan tidak lagi meminum isinya, dia hanya menggenggamnya untuk memberi alasan agar tetap tinggal. Marlina duduk di sisi lain sofa, cukup jauh untuk dianggap aman, namun cukup dekat untuk membuat keduanya saling mendengar detak napas masing-masing.Dia berusaha menjaga jarak, berusaha bersikap wajar. Namun jantungnya terasa tidak stabil setiap Rey menggerakkan tangannya atau mengalihkan pandangan. Sunyi mulai mengisi ruangan itu dengan berat. Rey mengusap pelipisnya pelan, seolah mencoba menyusun kata-kata. Namun yang keluar hanya gumaman rendah, "Marlina…" Wanita itu menoleh. "Iya, Tuan?" Ucapan itu tak sempat selesai. Rey tiba-tiba mendekat, memiringkan tubuhnya, lalu jari jemarinya menyentuh sisi wajah Marlina. Sangat pelan, hampir ragu-ragu. Sentuhan itu membuat Marlina terdiam kaku. Rey sendiri tampak seperti tidak t
Last Updated: 2025-11-15
Chapter: Apa Kau Baik-Baik Saja?Marlina menutup pintu rumahnya pelan, berharap Rey benar-benar pergi seperti yang dia katakan. Namun tak sampai dua menit, langkah kakinya terhenti.Mobil Rey masih tetap di tempat, lampunya belum menyala, dan mesinnya pun belum dinyalakan.Rey berdiri bersandar di pintu mobil, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, memandangi teras rumah Marlina seolah sedang menimbang sesuatu.Marlina membuka pintu kembali. "Tuan Rey…? Kenapa belum pulang?"Rey menoleh pelan. Suaranya datar, namun ada ketegangan halus yang tak bisa disembunyikan. "Aku baru ingat. Ada… hal yang harus kutanyakan padamu."Marlina mengerutkan kening. "Apa itu tentang pekerjaan? Ini sudah malam."Rey mendekat. Langkahnya mantap, tapi gerakannya seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu yang lebih dari sekadar urusan kerja."Tidak," jawabnya akhirnya.Marlina menelan ludah. "Lalu… apa?"Rey menatap mata Marlina lama, terlalu lama, sampai wanita itu merasa jantungnya berdetak dua kali lebih cepat."Kau… tidak apa-
Last Updated: 2025-11-14
Chapter: Perubahan SikapLangit sore menampakkan semburat jingga lembut ketika Marlina berjalan keluar dari gedung kantor. Udara mulai sejuk, dan embusan angin sore mengibaskan rambutnya yang terurai rapi. Dia baru saja menyelesaikan tumpukan laporan yang diminta Rey. Bos yang belakangan ini, entah kenapa, semakin sulit ditebak. Di satu sisi, Rey tetaplah Rey yang dingin, berwibawa, dan nyaris tak pernah menurunkan nada bicara meski pada pegawai senior sekalipun. Namun entah sejak kapan, Marlina merasa lelaki itu menjadi berbeda, gerutama setiap kali mereka hanya berdua.Seperti siang tadi. Ketika Rey tanpa alasan menatapnya terlalu lama, seolah ada sesuatu yang ingin dikatakan, tapi tak pernah benar-benar diucapkan. Sorot matanya penuh dengan hasrat, dan Marlina tahu itu. Dan sekarang, saat Marlina baru hendak melangkah keluar, suara berat itu kembali memanggil dari belakang. "Sekretaris Marlina." Wanita itu berhenti, lalu menoleh. Rey berjalan mendekat, dengan jas kerja masih terpakai rapi di tubuh tega
Last Updated: 2025-11-13
Chapter: Godaan Sang Bos"Jangan gugup... jangan gugup! Ayo kendalikan dirimu, Marlina." Suasana kantor sore itu terasa tenang, hanya terdengar suara pendingin ruangan yang mendesis lembut. Marlina melangkah pelan sembari membawa map berisi hasil rapat siang tadi. Setiap langkahnya terasa berhati-hati, seolah dia sedang memasuki wilayah yang berbahaya. Ruangan itu hening, hanya suara jarum jam berdetak pelan di dinding. Marlina berdiri di depan meja kerja Rey, membawa map berisi laporan hasil rapat siang tadi. Rambutnya yang dikuncir separuh tampak berantakan karena angin luar, membuat beberapa helai jatuh di pipinya. "Ini hasil rapatnya, Tuan Rey," ucap Marlina pelan, mencoba menjaga nada suaranya tetap profesional. Namun tangannya sedikit bergetar ketika dia menyerahkan berkas itu, mengingat jelas apa yang terjadi antara mereka di hotel siang tadi. Rey, yang sedari tadi menatap layar laptop, akhirnya menegakkan tubuhnya. Tatapan matanya naik perlahan, berhenti tepat di wajah Marlina. Senyum tipis
Last Updated: 2025-11-12
Chapter: Tatapan Yang Tak Biasa"Astaga... rasanya sakit sekali."Cermin besar di kamar hotel itu memantulkan bayangan Marlina. Wajahnya masih memerah, rambutnya berantakan, dan napasnya belum sepenuhnya tenang. Dia merapikan kancing blusnya satu per satu dengan tangan gemetar, berusaha menghapus jejak yang tersisa dari sesuatu yang seharusnya tidak terjadi lagi. Ada bagian darinya yang terus berdenyut menahan sakit, karena permainan brutal sang atasan tadi. Dia hanya bisa menghela nafas pelan, berpura-pura tidak merasakan apapun. Di belakangnya, Rey masih duduk di tepi ranjang, kemejanya setengah terbuka. Tatapan matanya tidak lepas dari bayangan Marlina di cermin. Ada sesuatu di sana, bukan sekadar keinginan, tapi semacam rasa yang menekan dadanya dengan berat.Dia baru menyadari, betapa dalamnya perasaan yang mulai tumbuh. Selama ini dia mengira hanya sekadar tertarik. Tapi setiap gerak kecil Marlina, setiap tatapannya yang gugup, selalu membuat Rey kehilangan kendali. Perlahan Rey berdiri, langkahnya mendeka
Last Updated: 2025-11-11
Chapter: Malam PembalasanLangit malam tampak muram. Hujan masih belum reda sejak sore, menetes di jendela seperti darah dingin yang mengalir tanpa suara. David berdiri di depan cermin kamar mandi rumah sakit, menatap bayangannya sendiri. Wajah itu bukan lagi wajah seorang pria yang sabar, melainkan seseorang yang sudah kehilangan batas antara logika dan amarah. Dia mengeluarkan pisau kecil dari jaketnya, lalu membungkusnya dengan sapu tangan. Memasukkanya ke dalam saku, dengan sebuah rencana gila yang ada dalam bekanya. "Aku sudah cukup sabar, Mina…" gumamnya, suaranya nyaris seperti bisikan iblis yang lelah. "Aku akan membalas semua yang kau lakukan pada Mirae." Mobilnya melaju membelah hujan malam, menyusuri jalan yang gelap menuju rumah besar yang dulu mereka sebut “rumah tangga.” Semua lampu masih menyala ketika David tiba. Dia bisa melihat bayangan Mina dari balik tirai, berjalan mondar-mandir di ruang tengah, gelisah, tidak tenang.Begitu pintu terbuka, suara pintu yang berderit membuat Mina meno
Last Updated: 2025-11-12
Chapter: Maafkan Aku, MiraeSuara ban mobil berhenti mendadak di depan pintu rumah sakit. David keluar dengan wajah pucat, berlari sambil menggendong Mirae yang masih lemas dalam pelukannya."Dokter! Tolong! Seseorang tolong dia!!" Suster yang berjaga langsung berlari menghampiri. Mereka menurunkan Mirae ke atas tandu, lalu membawanya masuk ke ruang gawat darurat. David ikut berjalan terburu-buru di belakang, napasnya tersengal, dadanya berdebar tak karuan. Lampu-lampu koridor rumah sakit yang putih terasa menyilaukan, membuat segalanya terasa seperti mimpi buruk yang terlalu nyata. Begitu sampai di depan ruang tindakan, seorang dokter mencegahnya masuk."Tuan, tunggu di luar. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut." David hanya bisa menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat. Di balik kaca kecil itu, dia melihat sekilas tubuh Mirae terbujur di ranjang, dikelilingi tim medis. Setiap gerakan mereka terasa begitu cepat, begitu panik. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Rahangnya mengeras.Mi
Last Updated: 2025-11-11
Chapter: Noda Darah Di JaketUdara dini hari terasa berat. Jam di dinding menunjukkan pukul tiga lewat sedikit ketika David tersentak bangun. Dadanya terasa sesak, dia merasa ada sesuatu yang salah.Dia menoleh ke samping. Tempat tidur kosong. Selimut di sisi Mina sudah dingin."Mina?" panggilnya pelan. Tak ada jawaban. David turun dari ranjang, berjalan pelan ke luar kamar. Rumah itu sepi, hanya bunyi detak jam di ruang tamu yang terdengar. Lampu koridor masih menyala redup, dan dari kejauhan, suara pintu depan berderit terbuka.Langkah kaki perlahan. Mina muncul dari balik pintu, jaket kulit hitam miliknya menempel di tubuh wanita itu. Rambutnya berantakan, wajahnya setengah tertutup bayangan. Tapi yang membuat David membeku adalah noda merah di lengannya. Masih begitu segar, seperti darah.Dia berdiri terpaku di ambang pintu kamar."Mina… dari mana kau?" tanyanya pelan, suaranya hampir bergetar. Mina hanya menatapnya. Sebuah senyum terbentuk di sudut bibirnya. Dingin, aneh, seperti seseorang yang baru saj
Last Updated: 2025-11-08
Chapter: Malam PengakuanAngin malam berhembus pelan, membawa dingin yang menusuk tulang. Jalanan sepi, hanya lampu-lampu kota yang redup berkelip di kejauhan. Di dalam kamar, David tertidur pulas di sisi ranjang, napasnya tenang, seolah tidak ada badai yang sedang menunggu di luar sana.Namun Mina, yang berdiri di ambang pintu kamar, menatap lelaki itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Ada campuran marah, kecewa, dan rasa hancur.Tangannya gemetar memegang ponsel yang menampilkan titik lokasi di peta digital. Titik merah kecil itu berkedip di layar, alamat yang sudah ia hafal dengan baik sejak sore tadi.Jadi di sinilah kau bersembunyi, jalang.Mina mendesah panjang, lalu menunduk. Air matanya sempat jatuh, namun cepat dia hapus dengan kasar. "Haruskah aku lenyapkan wanita itu, David?" gumamnya dengan suara rendah, getir. Dia menatap wajah suaminya lagi, yang tidur tenang seolah tak merasa bersalah sedikit pun. "Haruskah aku ajarkan padanya arti kehilangan seperti yang kau lakukan padaku?!"Dia lalu me
Last Updated: 2025-11-07
Chapter: Kesepakatan Mina dan ReyHari itu langit di atas kota tampak suram. Mendung pekat menggantung seolah mencerminkan suasana hati dua orang yang duduk berhadapan di sebuah kafe mewah di pusat kota.Rey tiba lebih dulu, wajahnya tampak lelah, mata merah karena kurang tidur. Sudah cukup lama dia kehilangan jejak Mirae. Tak ada kabar, tak ada pesan, ponsel istrinya mati total. Semua pencarian berakhir di jalan buntu.Dia sedang memandangi secangkir kopinya yang sudah dingin ketika suara langkah sepatu hak tinggi terdengar mendekat. Mina muncul anggun seperti biasa, dengan balutan gaun hitam dan kacamata besar yang menutupi separuh wajahnya. Namun di balik tampilan dingin itu, ada bara api yang membakar dadanya."Rey." Suaranya tenang, tapi tegas.Rey menoleh, sedikit heran. "Mina? Kenapa kau ingin bertemu?"Wanita itu duduk tanpa basa-basi. Dia membuka kacamatanya, memperlihatkan tatapan tajam penuh kecurigaan."Kita sama-sama kehilangan sesuatu, Rey. Dan aku rasa… penyebabnya adalah orang yang sama."Rey mengerutk
Last Updated: 2025-11-06
Chapter: Hanya Ingin BersamaSore itu, langit di pinggir kota tampak muram. Awan-awan kelabu menggantung rendah, seolah menahan hujan yang sebentar lagi akan turun. Dari jalan kecil yang sepi, sebuah mobil berhenti di depan rumah tua yang kini menjadi tempat persembunyian Mirae. Pintu terbuka perlahan. David turun dari mobil, menatap sekitar dengan hati-hati sebelum melangkah masuk ke halaman kecil yang dipenuhi rerumputan liar. Dia mengetuk pintu tiga kali, pelan tapi pasti. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka. Mirae muncul dari baliknya, mengenakan kaus longgar dan celana kain. Rambutnya terurai seadanya, wajahnya tampak lelah, tapi senyum kecil tetap muncul saat melihat David."David…" suaranya lirih, seperti kelegaan yang lama tertahan. David tersenyum tipis, lalu masuk ke dalam. Dia menutup pintu, memastikan gorden tertarik rapat sebelum benar-benar memandang wanita di depannya.Begitu tatapan mereka bertemu, tak ada kata yang perlu diucap. Mirae langsung melangkah dan memeluknya erat. Pelukan itu ha
Last Updated: 2025-11-05