cowok kita udah datang teman-teman 🤣🤭 kira-kira apa ya yang akan dia lakukan nanti?? huhuhu....
“Kamu yang memutuskan untuk bicara dengan Evan sekarang, atau berpura-pura tidak mendengarnya,” ucap Liora, menyentuh lengan Leah yang terbalut dalam blouse lengan panjangnya yang yang berwarna putih.“Menurut Nona Liora ... bagaimana?” tanya Leah, menyeka air mata yang telah luruh di pipinya.“Hampir tidak ada hal baik dari sebuah penundaan, Leah ... kalau kamu ingin semuanya segera usai, mungkin kamu bisa mengatakan semuanya pada Evan sekarang.”Liora hanya bisa menyarankan, sementara keputusan tetap ada di tangan Leah.Sepertinya, gadis itu tidak ingin menundanya sehingga ia memilih untuk masuk.Bersama dengan Liora, mereka berdua mengejutkan para pria yang ada di dalam sana.Evan memutar tubuhnya, kedua tangannya yang tadi bersembunyi di belakang punggung terurai. Matanya menatap kedatangan Leah dengan netra yang terlihat berkabut.“Leah?” sebutnya hampir tak terdengar. “Apa yang kamu lakukan di sini?”“Saya yang mengajaknya untuk menemui Pak Evan,” jawab Liora lebih dulu. “Kami m
Leah berada di sana bukan tanpa alasan. Ia yang memang sengaja mengambil cuti hari ini datang untuk menemui Liora di rumah besar Kayden.Selain untuk melihat si kembar Lucca dan Elea Baldwin, Leah ingin bercerita pada Liora, sejak ia tak memiliki teman untuk mengungkapkan beban yang ditanggungnya ini.Pertemuannya dengan si kembar membuatnya mendamba keluarga yang sama bahagianya dengan mereka.*** Beberapa saat sebelumnya. ***....“Saya ingin ... bicara dengan Nona,” kata Leah dengan ragu-ragu saat ia dan Liora duduk di ruang tamu setelah mereka pergi dari kamar bayi-bayi lucu itu.“Ada apa, Leah?” tanggap Liora yang duduk di sebelahnya. “Apa ada hal yang membuatmu terbebani?”Leah mengangguk, “Iya, Nona Liora. Saya datang ke sini memang ingin bercerita soal itu karena saya ... tidak tahu harus mengatakannya pada siapa,” akunya. “Nona sudah pernah melewati badai besar di dalam hidup, saya pikir ... Nona lah yang bisa mengerti apa yang sedang saya rasakan ini.”Liora menimpakan tanga
Kepala Kayden terangkat dengan cepat. Iris kelamnya menerpa Evan yang masih menunduk dengan menyembunyikan kedua tangannya yang terkepal erat di belakang tubuhnya. “Apa ini?” tanya Kayden, tenang. Tetapi Evan tahu itu mengandung riak kebingungan—atau bahkan ... kemarahan. “Surat pengunduran diri saya, Tuan Kayden,” jawabnya. “Aku bisa membacanya. Maksudku—“ Kayden mendorong napasnya saat Evan akhirnya mengangkat wajah dan manik mereka saling bertemu. “Maksudku—apa yang sedang kamu lakukan ini?” lanjutnya. “Apa ini hari ulang tahunku sehingga kamu membat sebuah candaan yang tidak masuk akal?” “Itu ... bukan candaan.” Evan menunjukkan senyumnya yang getir, yang membuat Kayden sekali lagi harus mendorong napasnya. “Saya memang ingin mengundurkan diri.” “Sesuatu yang membuatmu tidak baik-baik saja dan sedang kamu pikirkan itu adalah ini?” “Iya.” “Dan keputusanmu adalah pergi dariku?” Evan mengangguk lemah, “Maafkan saya, Tuan Kayden.” “Kenapa?” tanya Kayden. “Apa ada hal yang
“Kenapa saya harus ditangkap?!” tanya Irina, nada bicaranya membumbung tinggi. Ia mengangkat dagunya, menantang. “Hasil autopsi dengan jelas mengatakan kalau Ibu saya jatuh dari tangga, saya tidak membunuhnya.” Setelah mengatakan itu, polisi yang mengulurkan kertas di hadapannya itu menarik tangannya dan menurunkannya dengan cepat. Kedua bahunya jatuh, bersamaan dengan petugas polisi lain yang ada di belakangnya, yang saling membisikkan sesuatu yang Julia tak bisa mendengarnya dengan jelas. “Kami datang untuk menangkap Anda karena Anda diduga terlibat dalam perencanaan pembunuhan terhadap Nona Liora Serenity dengan menenggelamkannya di danau, menyewa preman bayaran, dan tindak pelecehan,” terang polisi tersebut. Saat itulah Julia menyadari bahwa dirinya telah melakukan sebuah kesalahan besar. Mungkin karena ia baru saja memikirkan sang Ibu dan tanpa sadar merasa bersalah sehingga mulutnya tidak bisa bekerja sama dengan menyinggung perihal kematian Nyonya Lin. “Mendengar Anda me
“Apa yang kalian lakukan?!” seru sebuah suara yang didengar oleh Julia saat ia berpikir dirinya akan mati kedinginan di dalam sini. Ia yakin itu adalah suara penjaga penjara yang tak menjumpai dirinya. Barangkali ... mereka mendengar keributan yang terjadi di dalam sel ini—atau sekadar kebetulan berkeliling dan melihat Julia lenyap dari dalam ruangan. Pertolongan datang. Meski tubuhnya menggigil dan setiap sendi yang menghubungkan tulangnya seperti akan hancur, Julia berusaha menunjukkan keberadaannya di dalam kamar mandi ini. Ia menguraikan tangannya yang semula menyilang di depan dada untuk meredam gigil. Ia pukul pintu lembab di hadapannya itu dan berteriak dengan tenaganya yang tersisa. “TOLONG ....” Apakah ini akan berhasil? Julia hanya menggantungkan harapan agar selamat dari para wanita itu. Suara kunci yang saling bersenggolan dan derit engsel pintu penjara membuatnya sedikit lega. Langkah beberapa orang terdengar mendekat dan pintu kamar mandi terbuka. Matanya semba
Julia tidak sempat memberikan perlawanan. Kedua tangannya lebih dulu ditarik dari tempat ia duduk yang semula ada di dekat jeruji besi. Sekalipun Julia memberontak, ia tak akan dilepaskan begitu saja. Sebagai ‘penghuni’ yang terakhir masuk ke dalam sini, ia adalah yang paling lemah. Bagi mereka, dirinya wajib menghormati orang lama. Tiga wanita yang Julia tak tahu siapa namanya selain menandai mereka dari rambut saja. Si pirang, si ikal dan si rambut pendek yang memperlakukan mereka seperti bintang. Julia kerap diminta untuk memijit kaki mereka, membersihkan kamar mandi kotor yang ada di dalam sel itu, atau mendapat jatah makanan yang paling sedikit. Dan penyiksaan seperti ini bukan yang pertama kalinya ia alami. Lengan dan sebagian tubuhnya telah memiliki lebam yang kebiruan akibat terlalu sering dipukuli. Seperti ini ... saat dirinya tak memiliki cukup kekuatan untuk melawan. Julia didorong hingga punggungnya membentur dinding. Bunyi berdebum terdengar sangat keras. “Akh!”