Belvina berjalan ke sana ke mari dengan raut wajah gusar. Entah sudah berapa kali wanita cantik itu mengitari ruang tengah yang tadi menjadi saksi bisu bagaimana Naomi menunjukkan rasa tidak sukanya.
Saat ini, Belvina hanya seorang diri. Dante menyuruhnya tinggal, sementara laki-laki itu mengantarkan Naomi pulang. Dia perlu mendengar penjelasan Dante, mengenai perkataan laki-laki itu beberapa menit yang lalu. Namun, sudah hampir satu jam berlalu, tidak ada tanda-tanda laki-laki itu akan kembali. Menghela napasnya kasar, dia memilih untuk duduk di depan pantry. Kuku-kukunya yang dihiasi kutek berwarna putih bening itu mengetuk-ngetuk secara gelisah, sementara tangannya yang lain menggeser naik turun pesan teks di ponselnya. Ada puluhan panggilan tak terjawab dan pesan yang dikirim oleh Aldric sejak tadi malam. Laki-laki itu memohon dan mengatakan ingin bertemu dengannya. Helaan napas kembali terdengar, nasib sungguh membuat otaknya lelah. Pengkhianatan yang dilakukan oleh Aldric seolah tak cukup membuat hidupnya menderita, sekarang dia bahkan harus terjebak dalam situasi runyam bersama dengan laki-laki yang bahkan tidak dikenalnya. Suara deheman menarik atensinya dari benda pipih miliknya. Dante yang sudah berdiri di belakangnya membuat dia beranjak dari kursi dan mendekat ke arah laki-laki itu. Matanya menyipit menatap Dante yang terlihat tenang, sama seperti biasanya. “Ini!” Belvina menatap penuh tanya kertas putih yang diberikan Dante kepadanya kemudian membacanya. Matanya membola saat melihat kalimat bertuliskan 'perjanjian pernikahan kontrak'. “Ini ....” “Surat perjanjian pernikahan kontrak yang akan kita jalani!” potong Dante. Laki-laki itu berjalan menuju sofa dan duduk di sana dengan kaki menyilang, sementara Belvina masih diam mematung di tempatnya. “Kamu bisa membacanya dan menambahkan sesuatu jika menginginkannya!” kata Dante, menambahkan. Belvina meremas kertas yang ada di tangannya. Dengan gerakan kasar wanita itu duduk di depan Dante. Matanya menatap tak suka atas keputusan yang dibuat oleh Dante. “Jadi kamu sedang menjebakku?” seloroh Belvina. Dante tersenyum miring. “Menjebak?” ulang Dante, “Mungkin ini tidak bisa dikatakan menjebak. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan akan melakukan apa pun jika aku membantumu?” tambah Dante. “Aku sudah membantumu dan sekarang waktuku untuk mendapatkan imbalan yang aku inginkan,” cakap Dante lagi. Belvina mendengus kesal. Napas kasar keluar begitu saja sebagai bentuk rasa tidak sukanya. “Tenang saja, kita hanya akan menikah selama dua tahun, setelahnya kita akan bercerai. Kamu bisa hidup seolah tidak mengenalku setelah kita bercerai, begitu juga denganku!” ucap Dante selanjutnya. Dante tersenyum miring. Dia tahu jika Belvina tidak suka dan ingin menolak apa yang ditawarkannya. Namun, dia tidak akan membiarkan itu berjalan sesuai keinginan Belvina. Bagaimanapun, dia akan membuat wanita itu menuruti keinginannya. Permintaan sang ibu dan kata-kata wanita itu yang menggebu-gebu tentang wanita pilihannya membuat dia ingin menentangnya. Dia hanya tidak ingin memiliki pendamping yang bisa dijadikan sebagai mata-mata oleh ibunya. “Kamu tentu bisa menolaknya!” Belvina yang sejak beberapa menit yang lalu terlihat muram, seketika berubah riang. Wanita itu tentu merasa senang atas apa yang dikatakan oleh Dante baru saja, sebelum laki-laki itu kembali membuka mulutnya dan membuat ia mengumpat kesal dalam hati. Rasanya laki-laki itu memang berniat memanfaatkan serta mempermainkannya. “Tapi aku akan mengatakan kepada ibuku bahwa kamu menjebak ku dan berniat main-main denganku!” sambung Dante dengan seringai liciknya. “Bukankah kamu adalah seorang pemimpin dari sebuah perusahaan yang bergerak dibidang hiburan. Sedikit saja nama baikmu tercoreng tentu akan membuat keributan besar di industri mu!” Seringai kembali menghiasi wajah Dante. Pria itu terlihat senang karena bisa membuat Belvina berada di situasi sulit. Dia sungguh tidak menyangka one night stand yang dilaluinya bisa memberikannya keuntungan yang begitu besar. Dante menarik napasnya dalam-dalam sebelum menghembuskannya. “Keputusan ada di tanganmu, Nona!” ucap Dante. Belvina menggigit bibirnya. Dia benar-benar berada di situasi di mana dirinya tidak bisa memilih. Tentu pada akhirnya dia akan menjawab 'iya' atas tawaran yang diberikan oleh Dante kepadanya. “Jadi bagaimana?” tanya Dante setelah memberikan waktu beberapa menit kepada Belvina untuk berpikir. “Menurutmu?” sungut Belvina. “Aku tentu tidak memiliki pilihan lain selain menyetujuinya kan,” lanjut Belvina. Belvina menatap kesal Dante yang kembali memperlihatkan seringainya. Baginya laki-laki itu lebih mirip seperti seorang iblis dari pada dewa yunani. Tampan, tapi penuh tipu muslihat. Dengan rasa kesal yang menyusupi relung hatinya, Belvina mengambil pena yang ada di atas meja. Membubuhkan tanda tangan pada surat perjanjian itu tanpa membacanya secara seksama. “Tidak ingin menambahkan sesuatu? Kamu bisa menambahkan apa pun sebagai kompensasinya!” tawar Dante. “Nanti! Aku akan menambahkan sesuatu setelah memikirkannya dengan baik dan pastinya sesuatu itu tidak akan merugikan ku!” jawab Belvina. Dante hanya menganggukkan kepalanya lalu mengambil kertas perjanjian itu untuk disimpan. Setelahnya pria itu terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya dan mengangsurkan benda kecil persegi panjang berwarna hitam itu kepada Belvina. Tak lupa Dante juga memberikan paper bag berisikan pakaian yang tadi dibelinya. Terus melihat Belvina mengenakan kemejanya tentu bukan sesuatu yang baik. Ia bisa khilaf dan mengulang kembali kejadian semalam. “Kamu bisa menggunakannya untuk memenuhi kebutuhanmu ataupun membeli sesuatu yang kamu inginkan!” ucap Dante ketika melihat tatapan penuh tanya Belvina saat ia memberinya sebuah kartu. Belvina tersenyum miring. Wanita cantik itu menatap malas black card yang diberikan oleh Dante kepadanya. Alih-alih mengambil kartu tersebut, Belvina justru lebih tertarik mengambil paper bag yang diyakininya berisi pakaian. Meninggalkan Dante, kaki jenjang wanita itu berjalan menuju ke kamar si pemilik penthouses. Dikeluarkannya pakaian yang ada di dalam paper bag tersebut dan dipakainya. Tiered dress dengan atasan wrap dan kerutan di bagian pinggang serta sepatu cats membuatnya terlihat jauh lebih baik. “Tidak mengambil mengambil kartumu?” tanya Dante mengalihkan tatapannya pada benda pipih yang sejak tadi dipegangnya ketika Belvina keluar dari kamarnya. “Aku tidak membutuhkannya! Kamu bisa memberikan itu pada istrimu, nanti!” jawab Belvina ketus sambil berlalu pergi meninggalkan Dante. Dante tersenyum miring. Laki-laki itu beranjak dari duduknya dan menyusul Belvina. Tangannya mencengkram pergelangan Belvina, tidak erat, tapi cukup membuat wanita itu kembali menatapnya. “Bukankah kamu adalah calon istriku!”“Apa lagi?” Belvina menghela napas jengah. Mereka baru sampai setelah mengendara hampir satu setengah jam. Apalagi masalahnya jika bukan Dante. Pria itu terus merengek minta pulang setelah godaan yang dilakukannya. Salahnya memang, tapi jika tidak begitu surat izin yang dikeluarkan oleh Dante pasti akan diikuti oleh banyak aturan. Menghadapi Alethea saja sudah cukup membuatnya pusing, apalagi jika ditambahi Dante. bisa gila dia. Saat ini dia hanya ingin menyelesaikan ini secepatnya lalu pulang untuk beristirahat.“Bagaimana kamu tahu jika Aldric ada di sini? Apa kamu sering kemari saat kalian masih pacaran?” cecar Dante seperti polisi yang sedang mengintrogasi tersangka.Belvina memutar matanya. Tangannya terlipat ke atas, jika sudah begini semuanya tidak akan berjalan dengan mudah. Dari semua sifat Dante, dia paling benci dengan yang satu ini.“Hanya menebak,” jawab Belvina sedikit berbohong.Menjalin hubungan yang cukup lama tentu membuat Belvina tahu kemana tempat-tempat yang mung
“El, kamu janji kan kalau setelah ini akan membawaku menemui Aldric?”Alethea menatap penuh harap pada sosok Belvina yang ada di sisinya. Saat ini mereka sedang ada di lokasi tempat dimana akan diadakannya acara peluncuran baju ibu hamil yang harusnya dilakukan oleh Amora.“Jika aku bisa menemukan Aldric, aku tidak akan meminta bantuanmu, El.” Alethea meremas ujung bajunya. “Aku tidak tahu harus mencarinya kemana,” imbuh Alethea.Belvina menghela napas panjang. Telinganya muak harus mendengar curhatan saudaranya ini. Alethea pikir dia tahu dimana keberadaan Aldric. Berhubungan saja tidak pernah. Jika bukan karena terdesak, tentu dia tidak akan pernah mau mengiyakan permintaan Alethea.“El, kamu mendengarku kan?” Alethea menggoyang-goyangkan tangan Belvina, memohon lagi dan lagi.“Hem…,” jawab Belvina singkat.Alethea tersenyum. Namun, saat ia memalingkan tubuhnya, matanya menyipit tajam.Bibirnya menyungging seolah menyiratkan sesuatu.***Acara peluncuran berjalan lancar. Penampilan A
“Eughh….” Lenguhan kecil keluar dari mulut Dante. Pria itu baru bangun, matanya belum benar-benar terbuka, tapi harum parfum Belvina serta suara hair dryer memaksanya untuk membuka matanya.“Mau kemana?” tanya Dante masih betah bergelung dibawah selimut. Tubuhnya tidak tertutup apapun kecuali selimut.Belvina melemparkan senyum. Ia mematikan hair dryer lalu menyisir rambutnya yang dibiarkan tergerai.“Ada sedikit masalah. Aku harus ke kantor untuk menyelesaikannya,” jawab Belvina tenang.Dante yang tadi bermalas-malasan langsung menegakkan punggungnya. Ia mendekat ke arah Belvina, tapi masih di atas kasur.“Ke kantor?” ulang Dante. Nadanya terdengar tak suka.“Apa tidak ada orang selain kamu yang bisa diandalkan di sana!” seru Dante, bersungut marah.Kebahagian yang dirasakan Dante semalam, rasanya mendadak lenyap seperti bulan yang menghilang digantikan matahari. Bukan kenapa-kenapa, dia hanya takut jika terjadi sesuatu yang buruk kepada Belvina. “Aldric entah kemana. Dia sama sekal
Dante menggenggam sambil mengecup beberapa kalli tangan Belvina. Saat ini keduanya sudah berada di dalam mobil hendak kembali ke rumah. keberadaan Kimmy yang tak kunjung pulang serta sikap Naomi yang jelas sekali mengunggulkan Kimmy, membuat Dante memutuskan untuk mengajak Belvina pulang. Dia tidak ingin membuat Belvina merasa tertekan atau tidak nyaman jika harus terlalu lama di sana.“Mau pergi jalan-jalan?” tanya Dante mencoba memecah keheningan. Belvina memang terlihat tidak marah, tapi tidak ada yang tahu apa yang ada di otak perempuan. Bisa saja diamnya Belvina saat ini adalah bentuk dari kemarahannya.“Jalan-jalan? Kemana?” tanya Belvina mendongak menatap wajah Dante. Tadi dia sedang bersandar di dada Dante, sambil membuka sosial medianya. “Kemanapun yang kamu mau,” jawab Dante, menoel hidung Belvina.Mata Belvina berbinar. Ia menarik tubuhnya untuk menatap wajah Dante sepenuhnya. “Sungguh?”Dante menganggukkan kepalanya. Bibirnya lalu menyentuh bibir Belvina, melumatnya seben
“Apa kamu yakin ini saja sudah cukup?” tanya Belvina kembali melihat barang bawaannya yang akan dibawa ke rumah mertuanya. Di atas meja sudah ada buah-buahan kesukaan Naomi, kue dan juga bunga.“Apa kamu ingin mengambil hati ibuku?” Dante meletakkan dagunya di atas pundak Belvina. Tangannya memeluk erat pinggang sang istri.Belvina tersenyum simpul. Tubuhnya yang tadi menghadap ke depan, kini berputar menghadap Dante. Tangannya mengusap dada Dante sambil berkata, “Tidak akan ada cara untuk membuat orang yang tidak suka dengan kita, menjadi suka. Pembenci selamanya akan tetap menjadi pembenci.”“Lalu kenapa kamu terlihat begitu berusaha?” tanya Dante penasaran.Belvina menghela napas panjang. “Setidaknya aku harus berusaha menjadi menantu yang baik, meski tidak disukai.”Dante mengulum senyum. Tangannya mengusap surai Belvina yang dikuncir kuda. Melihat sikap lapang dada yang ditunjukkan oleh Belvina, membuat hatinya semakin dipenuhi rasa suka. “Berangkat sekarang?” tawar Dante yang d
“Tapi…?” tanya Belvina penasaran.Melihat raut wajah sekertaris Dante yang gelisah, pikiran Belvina mulai bercabang kemana-mana.Berita perselingkuhan dan pengalaman pribadi, membuat pikirannya semakin semrawut. Yang ada di otaknya saat ini Dante tengah bercumbu mesra dengan seorang wanita di dalam sana.Tak ingin semakin berpikiran liar, Belvina menerobos masuk ke dalam ruangan Dante, mengabaikan panggilan sekretaris suaminya tersebut.Mata Belvina mengerjap beberapa kali, tubuhnya membeku saat melihat sosok wanita menggunakan blazer dipadukan rok mini sedang berdiri di depan Dante. Tidak ada adegan yang panas seperti di otaknya. Dante terlihat diam dengan tatapan dinginnya, tapi entah kenapa hatinya tetap tak suka.“Sayang…? Kamu sendiri?”Dante yang tadi duduk di kursi kebesarannya, segera berdiri. Ia tersenyum lebar, tangannya merengkuh pinggang Belvina. Sebuah kecupan singkat mendarat indah di bibir sang istri. Membuat wajah yang tadinya masam itu kini tersenyum.“Kenapa tidak me