Belvina menengadah ke atas, matanya menatap kosong langit-langit ruang kerjanya. Sudah hampir lima belas menit wanita itu duduk di kursi kebesarannya tanpa melakukan apa pun. Pikirannya sedang kacau saat ini.
Helaan napas berat terdengar beberapa kali memenuhi ruang kerjanya yang terasa sepi sampai suara decitan pintu terbuka menariknya dari lamunannya. Di ambang pintu, ada Aldric yang berdiri dengan wajah kusut. Laki-laki itu tidak terlihat tampan seperti biasanya. Pakaian Aldric juga masih sama seperti saat terakhir mereka bertemu. “El, aku mencarimu semalaman. Aku menunggumu di rumah. Aku juga datang ke apartemen, tapi kamu tidak ada,” kata Aldric, berjalan mendekat ke arah Belvina yang masih setia duduk di kursi kebesarannya. Belvina menarik napasnya dalam-dalam. Tangannya bergerak mencari dokumen untuk dijadikan alasan agar terlihat sibuk, meski tadi laki-laki itu sempat melihatnya melamun. “Maaf ....” Aldric memutar kursi Belvina, membuat wanita itu agar menghadap ke arahnya kemudian berlutut. Tangannya menggenggam erat tangan Belvina dan mengecupnya beberapa kali. Kepergian serta kata-kata yang diucapkan oleh Belvina tentang keinginan wanita itu untuk mengakhiri pernikahan mereka sungguh mengganggu pikirannya. Sebelah hatinya terasa kosong padahal Belvina ada tepat di depannya. Tatapan serta sikap dingin Belvina adalah alasannya. Tidak ada kehangatan yang bisa ia rasakan dari sikap Belvina saat ini. “Aku mencarimu semalam,” ulang Aldric. Aldric menatap Belvina penuh sesal. Tentang kehamilan Alethea, sungguh ia juga tidak bisa menjabarkannya. Ini juga merupakan pukulan baginya. Kesalahan semalam itu sudah lama ia lupakan bahkan ia kubur dalam-dalam. Baginya Belvina adalah segalanya. Berbohong pun akan ia lakukan jika itu bisa membuat Belvina tetap berada di sisinya. “Kamu pergi ke mana?” sambung Aldric penuh kekhawatiran, “Tidak bisakah aku mendapatkan maafmu? Aku benar-benar tidak sadar saat melakukannya. Aku tidak berkata jujur karena aku takut kehilanganmu, Sayang” Belvina tersenyum miring. “Tidak sadar? Apa kamu sedang mabuk saat itu?” sahut Belvina penuh penekanan. Kemarahan akan selalu membuncah di dadanya jika membahas tentang kehamilan serta pengkhianatan yang dilakukan oleh Aldric. Katakan saja dia egois karena pada kenyataannya dia juga telah melakukan kesalahan yang sama. “Tidak ....” “Tidak?” potong Belvina. Matanya menatap tajam Aldric yang terlihat gugup, “Jadi kamu dalam keadaan sadar saat melakukannya dengan Alethea? Apa kamu begitu ingin melakukannya hingga melampiaskan pada wanita lain? Tidak bisakah kamu menunggu? Kita akan menikah sebentar lagi dan kamu bisa mendapatkannya setelah itu!” sambung Belvina mengeluarkan separuh kekecewaan yang ada di hatinya. Belvina mengusar rambutnya kasar. Mata wanita itu memanas tersulut emosi. Jika saja tidak ada kenangan baik dalam otaknya tentang Aldric, tentu tangannya akan dengan senang hati menampar bahkan memukul tubuh laki-laki itu. Aldric menggeleng, mencoba membantah kata-kata yang diucapkan oleh pujaan hatinya. “Tidak! Bukan seperti itu!” “Aku memang tidak mabuk saat itu, tapi aku juga tidak ingat bagaimana aku bisa berakhir dengan Alethea. Malam itu aku sedang pergi bersama yang lain ke salah satu bar. Aku hanya minum beberapa gelas dan ketika aku bangun, aku sudah berada di ranjang Alethea!” Mata Aldric menatap dalam Belvina, mencoba menunjukkan kejujurannya. “Aku mohon, maafkan aku. Aku tidak bisa jika tanpamu, sayang. Kita bisa lakukan apa yang kamu usulkan, membawa Alethea ke luar negeri dan membawanya kembali jika dia sudah melahirkan!” ujar Aldric kembali memohon. Belvina tersenyum miring. “Dan membiarkan anak itu tanpa seorang ayah?” Belvina bertanya sarkas. “Aku tidak bisa!” lanjut Belvina menghempaskan tangan Aldric yang masih betah menggenggam tangannya. Belvina bangun dari duduknya. Wanita itu berjalan mendekat ke arah kaca yang menunjukkan pemandangan di luar. Gedung-gedung bertingkat serta kendaraan terlihat dari kaca besar di depannya. Sambil bersedekap dada, Belvina berkata. “Aku tidak sampai hati membiarkan seorang anak lahir tanpa mengenal ayahnya sementara ayahnya masih hidup!” “Dia akan tetap mengenalku sebagai ayahnya dan kamu sebagai ibunya. Kita bisa membuat anak itu menjadi anak kita. Kita rawat dan besarkan dia bersama,” balas Aldric. Belvina melemparkan tatapan tajam pada Aldric. ”Tidak!” tolak Belvina. Meski hatinya sakit, ia lebih baik berpisah dengan pria yang pernah menjadi tujuan hidupnya itu. Lagipula, bagaimana bisa dia hidup dengan bayang-bayang pengkhianatan pria yang dicintainya itu? Pria itu benar-benar sudah tidak waras. “Kenapa?” tanya Aldric yang berdiri tak jauh dari Belvina, “Bukankah kamu sendiri yang mengusulkan untuk membawa Alethea ke luar negeri?” imbuhnya, memojokkan Belvina dengan perkataannya sendiri. “Itu sebelum aku tahu jika ayah dari bayi yang dikandung Alethea adalah kamu!” tandas Belvina. Aldric menarik napasnya dalam-dalam sebelum menghembuskannya perlahan. Entah apa lagi yang bisa dia lakukan untuk membuat Belvina mau kembali ke sisinya. Sungguh dia tidak menginginkan perpisahan ini. Semuanya terlalu menyesakkan jika harus berakhir begitu saja. “Apa kita sungguh tidak bisa bersama lagi? Apa kenangan kita tidak bisa mengubah hatimu sedikit saja? Aku akan melakukan apa pun untuk menebus semua kesalahanku, El. Aku mohon beri aku kesempatan,” pinta Aldric hampir putus asa. “Maaf, tapi aku benar-benar tidak bisa melanjutkannya. Aku sudah memiliki penggantimu, Al!”“Apa lagi?” Belvina menghela napas jengah. Mereka baru sampai setelah mengendara hampir satu setengah jam. Apalagi masalahnya jika bukan Dante. Pria itu terus merengek minta pulang setelah godaan yang dilakukannya. Salahnya memang, tapi jika tidak begitu surat izin yang dikeluarkan oleh Dante pasti akan diikuti oleh banyak aturan. Menghadapi Alethea saja sudah cukup membuatnya pusing, apalagi jika ditambahi Dante. bisa gila dia. Saat ini dia hanya ingin menyelesaikan ini secepatnya lalu pulang untuk beristirahat.“Bagaimana kamu tahu jika Aldric ada di sini? Apa kamu sering kemari saat kalian masih pacaran?” cecar Dante seperti polisi yang sedang mengintrogasi tersangka.Belvina memutar matanya. Tangannya terlipat ke atas, jika sudah begini semuanya tidak akan berjalan dengan mudah. Dari semua sifat Dante, dia paling benci dengan yang satu ini.“Hanya menebak,” jawab Belvina sedikit berbohong.Menjalin hubungan yang cukup lama tentu membuat Belvina tahu kemana tempat-tempat yang mung
“El, kamu janji kan kalau setelah ini akan membawaku menemui Aldric?”Alethea menatap penuh harap pada sosok Belvina yang ada di sisinya. Saat ini mereka sedang ada di lokasi tempat dimana akan diadakannya acara peluncuran baju ibu hamil yang harusnya dilakukan oleh Amora.“Jika aku bisa menemukan Aldric, aku tidak akan meminta bantuanmu, El.” Alethea meremas ujung bajunya. “Aku tidak tahu harus mencarinya kemana,” imbuh Alethea.Belvina menghela napas panjang. Telinganya muak harus mendengar curhatan saudaranya ini. Alethea pikir dia tahu dimana keberadaan Aldric. Berhubungan saja tidak pernah. Jika bukan karena terdesak, tentu dia tidak akan pernah mau mengiyakan permintaan Alethea.“El, kamu mendengarku kan?” Alethea menggoyang-goyangkan tangan Belvina, memohon lagi dan lagi.“Hem…,” jawab Belvina singkat.Alethea tersenyum. Namun, saat ia memalingkan tubuhnya, matanya menyipit tajam.Bibirnya menyungging seolah menyiratkan sesuatu.***Acara peluncuran berjalan lancar. Penampilan A
“Eughh….” Lenguhan kecil keluar dari mulut Dante. Pria itu baru bangun, matanya belum benar-benar terbuka, tapi harum parfum Belvina serta suara hair dryer memaksanya untuk membuka matanya.“Mau kemana?” tanya Dante masih betah bergelung dibawah selimut. Tubuhnya tidak tertutup apapun kecuali selimut.Belvina melemparkan senyum. Ia mematikan hair dryer lalu menyisir rambutnya yang dibiarkan tergerai.“Ada sedikit masalah. Aku harus ke kantor untuk menyelesaikannya,” jawab Belvina tenang.Dante yang tadi bermalas-malasan langsung menegakkan punggungnya. Ia mendekat ke arah Belvina, tapi masih di atas kasur.“Ke kantor?” ulang Dante. Nadanya terdengar tak suka.“Apa tidak ada orang selain kamu yang bisa diandalkan di sana!” seru Dante, bersungut marah.Kebahagian yang dirasakan Dante semalam, rasanya mendadak lenyap seperti bulan yang menghilang digantikan matahari. Bukan kenapa-kenapa, dia hanya takut jika terjadi sesuatu yang buruk kepada Belvina. “Aldric entah kemana. Dia sama sekal
Dante menggenggam sambil mengecup beberapa kalli tangan Belvina. Saat ini keduanya sudah berada di dalam mobil hendak kembali ke rumah. keberadaan Kimmy yang tak kunjung pulang serta sikap Naomi yang jelas sekali mengunggulkan Kimmy, membuat Dante memutuskan untuk mengajak Belvina pulang. Dia tidak ingin membuat Belvina merasa tertekan atau tidak nyaman jika harus terlalu lama di sana.“Mau pergi jalan-jalan?” tanya Dante mencoba memecah keheningan. Belvina memang terlihat tidak marah, tapi tidak ada yang tahu apa yang ada di otak perempuan. Bisa saja diamnya Belvina saat ini adalah bentuk dari kemarahannya.“Jalan-jalan? Kemana?” tanya Belvina mendongak menatap wajah Dante. Tadi dia sedang bersandar di dada Dante, sambil membuka sosial medianya. “Kemanapun yang kamu mau,” jawab Dante, menoel hidung Belvina.Mata Belvina berbinar. Ia menarik tubuhnya untuk menatap wajah Dante sepenuhnya. “Sungguh?”Dante menganggukkan kepalanya. Bibirnya lalu menyentuh bibir Belvina, melumatnya seben
“Apa kamu yakin ini saja sudah cukup?” tanya Belvina kembali melihat barang bawaannya yang akan dibawa ke rumah mertuanya. Di atas meja sudah ada buah-buahan kesukaan Naomi, kue dan juga bunga.“Apa kamu ingin mengambil hati ibuku?” Dante meletakkan dagunya di atas pundak Belvina. Tangannya memeluk erat pinggang sang istri.Belvina tersenyum simpul. Tubuhnya yang tadi menghadap ke depan, kini berputar menghadap Dante. Tangannya mengusap dada Dante sambil berkata, “Tidak akan ada cara untuk membuat orang yang tidak suka dengan kita, menjadi suka. Pembenci selamanya akan tetap menjadi pembenci.”“Lalu kenapa kamu terlihat begitu berusaha?” tanya Dante penasaran.Belvina menghela napas panjang. “Setidaknya aku harus berusaha menjadi menantu yang baik, meski tidak disukai.”Dante mengulum senyum. Tangannya mengusap surai Belvina yang dikuncir kuda. Melihat sikap lapang dada yang ditunjukkan oleh Belvina, membuat hatinya semakin dipenuhi rasa suka. “Berangkat sekarang?” tawar Dante yang d
“Tapi…?” tanya Belvina penasaran.Melihat raut wajah sekertaris Dante yang gelisah, pikiran Belvina mulai bercabang kemana-mana.Berita perselingkuhan dan pengalaman pribadi, membuat pikirannya semakin semrawut. Yang ada di otaknya saat ini Dante tengah bercumbu mesra dengan seorang wanita di dalam sana.Tak ingin semakin berpikiran liar, Belvina menerobos masuk ke dalam ruangan Dante, mengabaikan panggilan sekretaris suaminya tersebut.Mata Belvina mengerjap beberapa kali, tubuhnya membeku saat melihat sosok wanita menggunakan blazer dipadukan rok mini sedang berdiri di depan Dante. Tidak ada adegan yang panas seperti di otaknya. Dante terlihat diam dengan tatapan dinginnya, tapi entah kenapa hatinya tetap tak suka.“Sayang…? Kamu sendiri?”Dante yang tadi duduk di kursi kebesarannya, segera berdiri. Ia tersenyum lebar, tangannya merengkuh pinggang Belvina. Sebuah kecupan singkat mendarat indah di bibir sang istri. Membuat wajah yang tadinya masam itu kini tersenyum.“Kenapa tidak me