[Wanita murahan sepertimu tidak pantas untuk anakku. Aku tidak mau sampai semua orang tahu kalau putraku mencintai wanita hina macam dirimu. Kalau masih tahu malu pergi jauh-jauh dari Bram atau aku akan buat perhitungan.]Sebelum Adeline membaca pesan itu, Bram lebih dulu menghapus dan juga memblokir nomor yang Bram sudah curigai itu nomor mamanya.“Mas, kamu marah?” Adeline bisa melihat perubahan raut wajah suaminya.Bram tersentak, senyumnya kembali terbit kembali, ia menyerahkan benda pipih itu pada pemiliknya.“Tidak. Marah karena apa?”“Karena chat dari Mami.”“Mana mungkin aku marah karena itu, sayang. Aku malah senang, kita mulai sekarang?” Alis Bram naik turun menggoda istrinya.“Mulai apanya?”Lelaki itu tergelak. “Ya ampun, kamu seperti gadis polos saja.”Adeline tidak menjawab, ia diam namun tatapan matanya yang bicara.“Aku sangat merindukanmu.” Bram menarik Adeline ke dalam pelukannya, menghirup dalam-dalam aroma shampo yang menguar dari rambut wanita itu.Sebuah kecupan
“Cucu laki-laki. Itu kelemahan Papi.”Mata Bram membulat. “Cucu?”Adeline mengangguk dengan pipi memanas, sebenarnya malu untuk mengatakan tapi hanya ini yang ada dalam benak Adeline. Jalan satu-satunya untuk menaklukan Papi Wira.“Kamu yakin?”“Ya.”Papi Wira memang sangat mendambakan cucu laki-laki yang bisa melanjutkan perusahaan. Adeline yakin itu akan membuat Papinya luluh. Jika bukan darinya, dari siapa lagi Papi Wira akan dapat penerus.Adeline anak satu-satunya, jika buka ia atau anaknya yang meneruskan lalu siapa lagi. Tidak akan mungkin perusahaan dibiarkan terbengkalai setelah perjuangan luar biasa untuk bisa membangunnya dari nol.“Sudah. Tidak usah pikirkan itu dulu, sekarang fokus dulu pada lukamu, Mas. Soal pindah rumah, biar nanti saja kita urus.”“Sekarang saja. Aku sudah bilang akan datang hari ini. Ini hanya luka kecil, kakiku masih bisa dipakai jalan.”“Luka kecil?” Adeline mencubit pelan perut suaminya.“Arghh. Sakit, sayang.”Adeline mencibir. “Katanya luka kecil
“Aku terima Papi marah dan kecewa, tapi tolong jangan bawa-bawa anakku, Pi. Dia tidak salah apa-apa.”“Papi, tolong jangan emosi. Ini rumah sakit.” Bram menurunkan perlahan benda panjang dan tajam itu.Papi Wira masih dikuasai amarah, ia masih tidak terima dengan kejadian lima tahun lalu. Bukan tidak ingin mencari Dimas tapi ia sudah tidak menganggap Adeline saat wanita itu memilih untuk pergi jadi semua tentang Adeline tidak lagi dipedulikannya.Namun saat sang istri berulang kali memohon untuk memaafkan putri mereka, Papi Wira mulai berpikir, ia juga tidak akan bisa kalau sampai memutus hubungan dengan anak semata wayangnya itu. Papi Wira bisa menerima Adeline kembali tapi tidak dengan anak yang dilahirkan wanita itu.Hatinya bahkan tidak tersentuh dengan kehadiran bocah menggemaskan itu.“Maafkan saya, Tuan.” Dimas berlutut di depan Papi Wira. “Saya sudah menghancurkan kehidupan putri Anda, saya sangat menyesal.”Dimas memang selalu ingin melakukan ini jika ada kesempatan bertemu d
“Laki-laki macam apa kamu, Mas? Kamu membawaku dan Tari kesini untuk kamu tinggalkan?”“Del, bukan begitu.”“Jadi laki-laki harus teguh dengan pendiriannya, jangan goyah hanya karena masalah kecil.”Bram mengerti dengan maksud Adeline, ia langsung berhambur mendekap erat wanita itu. Matanya sampai berembun saking terharunya.“Kalau kamu menyakitiku lagi ... tidak ada kesempatan lainnya, Mas.”“Aku janji, tidak akan menyakitimu lagi. Aku akan berusaha membahagiakan kalian meski saat ini aku tidak memiliki apapun selain kalian.”Dia sudah menderita selama aku pergi. Tapi masih memilih di sampingku, aku tidak punya alasan untuk menolaknya lagi. Di masa lalu kami sama-sama saling menyakiti. Kuputuskan mengubur semua yang pernah terjadi. Jika memang takdirku masih bersamanya, maka akan kuterima. Sekeras apapun aku menghindar jika memang takdirnya seperti ini maka aku akan lelah sendiri.Adeline mendengar cerita dari Bik Atin, selama lima tahun kebelakang Bram menjadi sosok yang murung, bah
“Sesuai keinginan Mama. Aku akan mengembalikan semua fasilitas yang Papa berikan padaku. Sebagai gantinya, jangan pernah Mama usik lagi kehidupanku apalagi mengganggu istriku.” Bram memutuskan sambungan telepon.Adeline terbelalak. “Mas, kamu apa-apaan?”“Kamu lebih berharga dari semua harta yang kumiliki. Tak masalah aku kehilangan semuanya asal jangan kehilanganmu lagi.” Bram menatap istrinya penuh cinta, ia tersiksa dengan rindu dan cintanya pada sang istri.Jenny semakin geram. “Kalian-”“Parjo, bawa wanita ini keluar!”Bram menyuruh security di depan untuk mengusir Jenny. Wanita itu bisa keluar masuk seenaknya tentu karena Mama Pella.“Aku pastikan kamu menyesal, Mas!” Suara teriakan Jenny masih terdengar padahal sudah diseret keluar.Adeline menatap Bram masih tidak percaya.“Mas, kamu tidak main-main ‘kan? Kamu hanya mengancam saja ‘kan?”“Aku serius.”“Tapi-”“Kamu tenang saja. Bersamaku, aku tidak akan membiarkanmu hidup susah. Kita pergi dari sini ya.”Bukan itu maksud Adeli
“Kita tunggu saja.”Kalau pun Dimas menolak, Bram akan mencari pendonor untuk Batari, apapun akan dilakukan demi kesembuhan anak itu.Tapi tetap saja Bram berharap Dimas datang untuk membawa Mentari bertemu Adeline.“Lalu ... anakku?”Bram mengulas senyum. “Aku melihatnya sekilas, dia tampak sehat. Dimas akan membawanya kesini.”Mata Adeline berbinar, sakit yang dirasakannya seperti tiba-tiba menghilang. “Benarkah?”“Ya. Sabar sedikit.”Adeline mengerti pasti tidak akan mungkin Dimas langsung datang begitu saja. Ia akan menunggu, berharap Dimas bisa secepatnya datang membawa Mentari.“Terima kasih, Mas.” Matanya berembun, dadanya menghangat.“Apapun untukmu.” Bram menatap dalam manik mata istrinya membuat Adeline tersipu, ia memalingkan wajahnya dan berjalan menuju koper meski tertatih karena kembali sakit itu terasa.“Jangan lupa obati dulu itu.”Bram geleng-geleng kepala, ia dengan cepat masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.Adeline kembali ke kamar Batari, meninggalkan