Dimas tertegun, ia buru-buru menjauh.
Astaghfirullah. Apa yang kau lakukan, Dimas! Lelaki itu merutuki dirinya karena terbawa suasana sampai menenangkan Adeline dengan cara memeluk wanita itu. Adeline menyeringai. “Sudah kuduga.” Ia beranjak, naik ke atas ranjang dan meringkuk di sana. Sedangkan Dimas menunggu di ambang pintu. Art yang seharusnya selalu di rumah tadi sempat pergi ke apotik, Dimas menunggunya kembali untuk membersihkan kamar Adeline. Bagaimanapun ia tidak akan mungkin berlama-lama di kamar majikannya. Kejadian saat itu kembali berputar di benak Dimas membuat ia kembali merasa bersalah. Rasanya ia ingin memutar waktu agar tidak melakukan kesalahan fatal itu. Dengan gelisah Dimas berdiri kaku di sana. Jika ditinggalkan, Dimas takut Adeline kembali nekat. Ia tidak tahu sedalam apa luka batin sang nyonya sampai hampir melakukan hal gila. “Tutup pintunya dan pergi, Dimas!” Mendengar perintah itu Dimas tersentak. “Tapi, Nyo-” “Aku tidak suka mengulang perintah.” Dimas menutup pintu kamar itu, tidak rapat, menyisakan sedikit celah. Bukan untuk kurang ajar, ia hanya ingin memastikan Adeline baik-baik saja. Apa aku telepon Tuan ya. Lelaki itu baru saja mengeluarkan ponsel dari saku celananya sebelum suara Adeline kembali terdengar. “Jangan katakan apapun pada suamiku!” Adeline seolah bisa melihat apa yang dilakukan Dimas meski terhalang pintu. Kalau sudah mendapat perintah, maka Dimas tidak akan berani. Dari awal bekerja, ia tidak pernah mau membuat kesalahan apapun. Tapi kesalahan terbesarnya sudah dilakukan. “Ada apa, Dim?” “Bik, tolong bersihkan pecahan kaca di kamar Nyonya ya.” “Ada apa?” Dimas menggeleng. “Aku tidak tahu awalnya tapi cermin di kamar Nyonya pecah, bahkan … Nyonya hampir bunuh diri.” Bik Atin terbelalak. “Apa? Mana mungkin.” Puluhan tahun bekerja untuk keluarga Adeline, Bi Atin tidak menyangka Adeline hampir bunuh diri karena setahunya Adeline bukan sosok wanita yang lemah. “Saya tinggal ya, Bi. Kalau ada apa-apa panggil.” Bik Atin masuk ke dalam kamar itu dan membersihkan pecahan kaca yang berserakan. “Bik, ambilkan teh hangat ya,” pinta Adeline dengan mata terpejam. “Iya, Nyonya.” Setelah Bik Atin keluar, Adeline menghubungi seseorang. “Cari tahu apa yang dilakukan suamiku di luar. Retas ponselnya, aku butuh sekarang.” Adeline tidak akan diam lagi, cukup lima tahun ini ia menjadi wanita bodoh. “Siap, tunggu lima menit, Bu.” Sambungan telepon terputus. Bik Atin kembali dengan teh hangat yang dibawanya. “Aku lapar, Bik.” Adeline turun dari ranjang, ia menyambar cardigan panjang di atas sofa lalu keluar lebih dulu. Wanita satu ini bersikap seolah tidak ada yang terjadi barusan. Moodnya mudah sekali berubah. Sekarang malah dengan santainya minta makan. “Nyonya mau apa?” “Apa ya?” Adeline tampak berpikir keras, keningnya berkerut dalam. “Biasanya Bibik kalau malam-malam begini suka makan apa?” Ia malah balik bertanya. Meski merasa aneh, Bik Atin tetap menjawab. “Mie kuah pakai telur sama sayur.” “Aku mau.” Membayangkannya saja sudah membuat Adeline meneguk ludah. “Benar mau?” “Iya. Aku sudah lapar sekali.” Baru kali ini Adeline menginginkan makanan yang selama hidup ia hindari. Adeline adalah sosok pecinta kesehatan, ia selalu melakukan pola makan dan pola hidup yang sehat tapi malam ini tiba-tiba ingin mie instan. “Bik, kenapa malah bengong.” “Eh iya.” Untungnya ada persedian dan itu hanya dimasak oleh para karyawan saja bukan tuan rumah. “Ada mangga?” “Ada. Sebentar.” “Biar aku yang potong. Bibik masak mie saja.” Bik Atin membawa satu buah mangga matang dan juga pisau. Ia ragu kalau Adeline bisa melakukannya. Adeline memotong mangga itu dari bagian tengah tanpa mengupasnya. Ia tampak kesusahan karena memang caranya yang salah. Biasanya ia hanya tinggal makan saja. Bi Atin melihat itu langsung menghampiri setelah mendidihkan air. “Biar Bibik saja.” “Tidak. Aku bisa.” Adeline menolak padahal nyatanya ia benar-benar tidak bisa. “Aku mau sayurnya dibanyakin ya, Bik.” “Iya, Nyonya.” Bik Atin kembali ke depan kompor membiarkan Adeline berkutat dengan mangga dan pisau. Adeline menarik kembali pisau yang sudah tertancap itu, mencoba lagi untuk mengirisnya namun ponsel wanita itu berdenting. Sebuah pesan masuk. Pesan dari orang kepercayaan papinya. [Aku baru saja keguguran, kamu tega meninggalkan aku. Selama ini aku diam, kalau kamu terus begini jangan salahkan aku kalau aku membongkar hubungan kita.] [Kenapa kamu banyak sekali menuntut hah? Selama ini aku bahkan menuruti permintaanmu untuk tidak menyentuh Adel. Sampai detik ini, aku memegang janjiku, Sitta. Kalau kamu terus seperti ini, kamu akan menyesal.] Dada Adeline bergemuruh membaca pesan hasil retasan dari ponsel Bram. Pesan itu baru 1 jam lalu dikirim. “Bangs*t! Kamu berani mempermainkan aku, Mas!” Giginya beradu pertanda amarah bergelora, pisau di tangannya digenggam erat sampai ia tidak menyadari telapak tangannya terluka. “Nyonya.” Bik Atin terpekik melihat darah mengucur dari telapang tangan Adeline. Akan kubalas dengan hal sama. Kupastikan kamu lebih menderita dariku, Bramasta!“Kok Mbak Adel belum datang ya?” Erina tampak gelisah.“Mungkin masih di jalan, Dek. Kalaupun tak datang bisa jadi ada urusan lain. Tak apa.”Sebelumnya Erina tidak pernah berpikir untuk meminta Adeline datang apalagi untuk acara penting menyangkut Mentari.Tapi kali ini hatinya berontak, Erina tidak bisa hanya diam. Ia tidak mau berlarut dalam keegoisannya, ia ingin Adeline datang menyaksikan kebahagiaan Mentari yang akan memulai hidup baru dengan Angkasa.“Lihat dulu Tari, Dek. Tidak usah dipikirkan.” Dimas mengelus pundak istrinya.Erina beranjak menuju kamar Mentari. Ia dan Dimas merasa tidak salah untuk memberi restu karena keluarga Angkasa menerima Mentari apa adanya, tidak seperti keluarga calon-calon Mentari sebelumnya yang selalu mempermasalahkan latar belakang.“Bu.” Mentari bisa melihat sang ibu dari pantulan cermin.Gadis yang mengenakan kebaya putih gading itu tampak menawan, riasan tipis namun sukses membuat wajahnya semakin bersinar, menampakan aura yang memikat siapa s
“Aku tidak mau menyakitimu lebih dalam lagi dengan hubungan ini.”Batari meremas tangannya, ia menahan diri untuk tidak memotong penjelasan Angkasa.“Kamu berhak bahagia dan mendapatkan lelaki yang benar-benar mencintaimu.”Bibir gadis jelita itu bergetar. “Jadi ... selama ini ... kamu tidak mencintaiku?”Hatinya seperti tersayat sembilu. Bungkamnya Angkasa sudah bisa disebut jawaban. 7 tahun ini bersama Angkasa merupakan kebahagiaan bagi Batari namun menjadi penderitaan untuk Angkasa.“Maaf.”Tanpa bisa ditahan, buliran bening itu berjatuhan membasahi pipi Batari. Riasan yang membuatnya semakin menawan dengan dress indah membungkus tubuhnya tidak berarti apa-apa lagi, semuanya percuma karena kepahitan yang didapatkannya sekarang.“Aku akan bicara pada orang tuamu soal ini.” Angkasa tidak mungkin hanya memutuskan begitu saja tanpa bicara pada mantan calon mertuanya, ia masih punya etika.“Apa ... apa kurangku? Apa salahku?” Dengan kasar Batari mengusap pipinya yang basah. Untuk perta
Kegugupan menyelimuti lelaki tampan itu, tangannya bahkan basah oleh keringat. Seorang Xavier Angkasa Danuarta tidak pernah seperti ini sebelumnya. Sekarang ia berhadapan dengan ayah dari wanita pujaannya, kecanggungan begitu kentara.“Diminum dulu, Nak. Kenapa seperti tegang begitu?” Dimas mengangsurkan teh hangat ke hadapan Angkasa.Salah satu alasan kedekatan terjalin karena nama Angkasa, sama dengan nama mendiang anak Dimas dan Erina.Selebihnya memang karena Angkasa merasa nyaman berada di lingkungan itu.“Saya bingung mulai dari mana, Pak,” ungkapnya.“Memang mau bicara soal apa?”Angkasa mengambil cangkir teh dan menyesapnya pelan untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering kerontang.“Sebenarnya, saya tertarik pada anak Bapak.”Dimas diam, tidak langsung menjawab membuat Angkasa menjadi was-was takut jika langsung ditolak.“Putriku ada dua, Sa. Sebutkan namanya?” Lelaki yang sudah menginjak usia senja itu terkekeh.Angkasa menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia merasa sepe
“Karena Angkasa tidak bisa ikut jadi hanya kami saja. Kalau memang Bintang keberatan, biar nanti kami datang lagi bersama Angkasa.”Gadis bernama lengkap Batari Bintang itu harus menelan kekecewaan, kebahagiaannya tidak sempurna.Orang-orang terdekat memang lebih sering memanggilnya Bintang, sesuai keinginan sang Mama. Adeline tidak mau lebih sakit karena mengingat nama anak kembarnya hampir sama, Batari dan Mentari.“Jangan. Kalian sudah menyempatkan waktu untuk datang kesini, tak apa tanpa Angkasa. Karena yang terpenting niatnya.” Bram tidak mungkin membiarkan besannya pergi tanpa menyampaikan niat baiknya.“Iya, Tante. Tidak masalah kalau Angkasa sibuk, aku mengerti.” Batari mengulas senyum meski sebenarnya ia kecewa. Tahu betapa kekasihnya itu gila kerja.Sherlly tersenyum lembut. “Pa.” Ia melirik suaminya.“Kami datang membawa lamaran untung Bintang. Bintang dan Angkasa sudah memiliki hubungan lama, sebaiknya dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius.” Danu memaparkan niat kedatan
“Sebelum melangkah ke jenjang lebih serius. Kami ingin memberitahu kalau Mentari ... bukan anak kandung kami.”“Oh, jadi kamu bukan anak kandung ya? Dari panti asuhan atau anak haram?” Ria menatap remeh calon menantunya yang duduk mematung.“Jaga ucapan Anda ya, Bu.” Erina langsung emosi saat Mentari disebut anak haram. Ia tidak terima.“Aku tidak mau putraku menikah dengan anak haram, anak tidak jelas.”“Kalau memang Anda tidak setuju saya terima tapi jangan menghina putri kami! Silahkan pergi dari sini.” Dengan dada bergemuruh Dimas mengusir calon menantu dan besannya itu.Niat awal datang untuk melamar Mentari namun berakhir penghinaan hanya karena Mentari tidak memiliki wali untuk menikah. Setiap kali putrinya gagal untuk menikah, disitu Dimas merasa terpukul. Ia ada tapi tidak bisa menjadi wali untuk putrinya menikah.Semua orang memang tahunya kalau Mentari adalah anak adopsi. Hanya mendiang Bu Imah yang tahu soal fakta mengenai Mentari. Orang tua Erina pun tidak tahu karena mer
“Bram, bawa istrimu kembali ke rumah. Jangan biarkan dia tinggal di tempat kumuh, nantinya berpengaruh buruk pada cucu Mama.”Kening Bram berkerut saat sang Mama tiba-tiba mengatakan itu.“Ma-”“Pulang atau Mama jemput paksa.”Adeline menatap suaminya yang terlihat terheran-heran.“Mas, kenapa?”Bram menoleh. “Mama minta kita untuk pulang.”Kedua alis Adeline bertaut. “Tiba-tiba?”“Sepertinya Mami atau Papi mengatakan soal kehamilanmu pada Mama. Semakin berat tugas kita.” Bram mengerling nakal pada istrinya dan langsung dihadiahi pukulan di lengan.“Kenapa hanya itu yang kamu pikirkan, Mas. Kalau kebohongan ini berlanjut dan aku belum hamil bagaimana? Aku juga tidak mau kembali kalau yang mereka harapkan hanya anakku saja.”Bram meraih tangan istrinya, meremas lembut. “Aku juga tidak akan membawamu kembali sebelum Mama meminta maaf karena sudah melukaimu.”“Mas-”“Tidak seharusnya Mama bersikap begitu, harusnya Mama bisa menghargai pilihan anaknya.”Bram tidak mau membuat istrinya tid