“Del.”
Buru-buru wanita cantik itu mengusap pipinya yang basah. Berjalan menghampiri suaminya. “Kenapa, Mas?” “Besok malam kita pergi ke acara pernikahan teman kuliahku.” “Kenapa mendadak, Mas? Aku belum menyiapkan apapun.” “Aku lupa kasih tahu kamu. Aku mau menyelesaikan dulu pekerjaanku.” Bram kembali masuk ke dalam ruang kerjanya. Meski ada di rumah, lelaki itu tetap bekerja. Tidak ada sedikitpun waktu untuk Adeline. Kehadirannya di rumah ini tidak jauh beda dengan art. Lima tahun menikah, Adeline merasa jika ia hanya dijadikan pajangan saja. Bram mengajaknya keluar rumah hanya saat ada acara-acara penting saja, selain itu tidak pernah sekalipun Bram mengajak istrinya sekedar untuk jalan-jalan sore walaupun di sekitar rumah. Adeline sama sekali tidak pernah protes dengan apapun yang dilakukan suaminya. Namun ia mulai lelah karena semua yang dilakukannya seperti tidak ada timbal balik dari Bram. Adeline sudah menjadi istri yang baik, seharusnya Bram membalas dengan hal serupa bukannya malah bersikap biasa. Bahkan untuk menghargai saja tidak bisa. Wanita itu tidak hanya butuh limpahan materi tapi juga perhatian. Bahkan bagi Adeline materi tidak sepenting kasih sayang. Ia hanya membutuhkan itu dari suaminya. Itu haknya tapi dari awal menikah sampai detik ini Bram tidak pernah menunaikan haknya pada sang istri. Hanya uang belanja yang Bram penuhi, itupun tidak pernah dipakai Adeline. “Menyedihkan.” Adeline mengejek dirinya sendiri. Banyak orang yang iri padanya karena hidup bergelimang harta tapi Adeline iri pada orang-orang yang hidup sederhana namun berlimpah kasih sayang, dari orang tua dan juga pasangan. Bibirnya bergetar, buliran bening berjatuhan dari mata indahnya. “Apa aku tidak pantas bahagia? Aku sudah mengabdi menjadi istri idaman tapi ....” Ia mengusap kasar wajahnya. Berjalan menuju ke arah kamar untuk mempersiapkan segalanya agar tidak membuat Bram malu nanti. [Mami sudah bicara pada dr. Clarissa. Kamu dan Bram bisa datang minggu depan, Mami tidak mau tahu kalian harus menyempatkan diri. Mami sudah ingin menggendong cucu. Jangan sampai Bram mendapatkannya dari wanita lain.] Hati Adeline seperti teriris membaca itu. Entah sudah berapa kali Mami Reta mencarikan dokter untuk program hamil anak dan menantunya. Padahal masalahnya bukan pada dokternya tapi pada pasangan yang tidak ada niat untuk memiliki buah hati. Lebih tepatnya masalah itu ada pada Bram. Bagaimana bisa hamil kalau disentuh saja tidak pernah. Lima tahun bersama, ranjang mereka selalu dingin. Adeline tidak pernah mencari tahu kenapa suaminya bersikap begitu. Ia hanya tidak ingin memaksa Bram karena dari awal keduanya menikah karena perjodohan. Lalu sampai kapan ia harus menunggu? Berpisah? Itu hal yang mustahil. Entah apa yang akan dilakukan oleh ayahnya Adeline andai wanita itu menuntut cerai dari Bram. Bisa jadi Adeline diungsikan ke luar kota parahnya ke luar negeri karena lelaki paruh baya itu sangat keras. Ia tidak suka dengan sebuah kesalahan apalagi perceraian. [Iya, Mi.] Balasan singkat, Adeline enggan untuk membahas lebih jauh, yang ada membuatnya sakit saja. *** Lingerie hitam membungkus tubuh sintal Adeline, ia memutar tubuhnya di depan cermin. Memastikan kalau tidak ada yang kurang. Bram sedang tidak ada pekerjaan dan dijadikan Adeline kesempatan. Adeline menghampiri Bram yang duduk di tepi ranjang. “Mas.” “Hm.” Bram masih sibuk dengan ponsel di tangannya. “Kapan?” Adeline mengusap lembut lengan kekar suaminya. Ia duduk merapat agar bisa lebih leluasa menggoda suaminya. “Apa sih? Bisa tidak kamu jangan menggangguku hah? Aku sibuk.” Bram, menghempaskan tangan Adeline. Lelaki itu bahkan menatap tajam sang istri seperti jijik. Padahal kalau lelaki normal pasti tidak akan mungkin berpaling. Andai Maminya tidak merengek terus soal cucu, Adeline tidak akan melakukan ini. Ia merasa menjadi wanita murahan yang menggoda lelaki padahal lelaki itu suaminya. Apa bedanya kalau ia meminta kehangatan pada Dimas, pikirnya. Terlampau banyak luka yang digoreskan Bram pada hati wanita cantik itu sampai Adeline sudah kebal dengan semua itu. “Mau kemana, Mas?” Adeline menahan Bram yang akan keluar kamar. “Bertemu temanku.” Tubuh Adeline merosot, tangisnya pecah. Ia benar-benar seperti tidak ada harga dirinya, tidak pernah dianggap. Kamar mewah itu sama sekali tidak ada istimewanya. Adeline kesepian, ia bahkan dibatasi untuk kenal dengan orang-orang. Kemanapun harus ada yang mengantar. Hidupnya seperti dipenjara setelah menikah dengan Bram. “Argh!” Adeline melempar ponselnya ke arah cermin hingga pecah berkeping-keping dan berserakan di lantai. Derap langkah kaki dari luar kamar terdengar jelas. Tok. Tok. Tok. “Nyonya. Anda baik-baik saja?” Kecewa. Adeline pikir itu suaminya, ternyata Dimas. “Dimas, katakan pada suamiku. Aku akan pergi untuk selamanya, dia tidak perlu terbebani dengan keberadaanku,” teriak Adeline, ia meraih serpihan kaca dan menempelkannya di pergelangan tangannya. Dimas yang panik langsung membuka pintu tanpa permisi. Ia sambar pecahan kaca itu dan melemparnya sembarangan. “Jangan, Nyonya.” Dimas meraih selimut dan menutupi tubuh Adeline yang dibalut lingerie. Adeline sangat rapuh, ia hanya butuh seseorang di sampingnya. Ia butuh suaminya ada. “Apa di matamu aku juga kurang seksi? Menurutmu apa yang kurang dariku sampai suamiku sendiri bahkan seperti jijik melihatku.” Tidak ada kurang apapun dari sosok Adeline Putri Wirakusuma. Cantik paripurna. Itu yang cocok untuknya. Dimas terbelalak melihat Adeline hendak melepaskan selimut hingga menyisakan kain tipis itu dari tubuhnya. Dengan gerakan cepat ia menahan gerakan tangan wanita itu. “Kenapa? Apa di matamu aku juga menjijikan, Dimas? Apa kamu tidak ingin menyentuhku lagi?” “Anda sangat berharga, tolong jangan seperti ini. Saya minta maaf soal kejadian waktu itu, saya benar-benar khilaf. Tolong jangan merendahkan diri Anda dengan melakukan ini, Nyonya. Tidak seharusnya Anda begini.” “Apa pedulimu hah? Suamiku bahkan tidak peduli. Bahkan aku tidur denganmu di depannya dia pasti tidak akan bereaksi apa-apa.” Adeline berontak mencoba melepaskan diri dari genggaman Dimas. Dengan lancang Dimas mendekap erat tubuh Adeline yang bergetar karena tangisnya yang pecah. “Aku lelah ... aku lelah tidak pernah dihargai. Kalau tidak menginginkanku kenapa tidak dilepaskan. Kenapa dia menyiksaku begini.” Adeline menumpahkan semuanya dalam pelukan Dimas. Dimas yang mendengar sampai bisa merasakan seperti apa kesedihan Adeline yang begitu mendalam. “Tidak bisakah kamu saja yang menjadi suamiku, Dimas?”Hati Bram teriris melihat begitu memprihatinkan kondisi istrinya saat ini. seorang Adeline Putri Wirakusuma yang begitu cantik paripurna sekarang tampak lusuh tak terawat.“Del.” Mata Bram memanas, ada rasa lega setelah lima tahun lamanya mencari keberadaan Adeline, sekarang wanita itu ada di hadapannya tanpa dicari.“Sayang, ayo pulang.” Adeline menghampiri Batari dan menggendongnya.Ia sama sekali tidak memperdulikan keberadaan Bram yang terus memperhatikannya.“Kamu mau kemana? Kita pulang, sayang.” Bram menahan langkah Adeline.“Maaf, Anda mungkin salah orang, Pak!” Adeline menepis tangan Bram.Ya, mungkin kalau dilihat sekilas tentu tidak akan ada yang percaya kalau wanita ini adalah Adeline, pewaris tunggal keluarga Wirakusuma.“Jangan begini, Del. Sudah cukup lima tahun ini aku tersiksa setelah kepergianmu. Mami juga merindukanmu.”Adeline menyeringai, ia terus saja melangkah. Aku dikhawatirkan karena takut tidak ada yang meneruskan perusahaan, bukan khawatir orang tua pada ana
5 Tahun Kemudian. “Dek, mau kemana? Sudah kamu di rumah saja, biar aku yang mengantar Tari.” Dimas menahan Erina yang akan bangkit dari tempat tidur. Kondisi Erina memang kurang sehat. Beruntung hari ini Dimas tidak memiliki kesibukan apapun. Sedangkan toko kelontong milik mereka dijaga oleh dua orang karyawan, meski bukan toko besar tapi setiap hari selalu ramai. Rezeki mereka mengalir begitu deras. Mungkin itu dari kelapangan hati Erina yang ikhlas merawat darah daging suaminya dari wanita lain. Karena tidak semua wanita akan kuat melakukan itu. “Tapi, Mas-” “Sayang, kamu sedang tidak sehat. Sudah diam saja di rumah, aku tidak lama. Hanya mengantar Tari setelah itu langsung pulang.” “Ayah, Ayah.” Suara cempreng itu terdengar melengking. “Lihat, putri kita sangat cerewet.” Dimas terkekeh. “Aku berangkat dulu ya.” Dimas mendaratkan kecupan di kening sang istri sebelum keluar kamar. Kehidupan mereka sudah kembali normal semenjak kehadiran Mentari. Erina sudah lama meng
[Maaf, maaf, maaf. Aku benar-benar menyesal sudah menjerumuskan Dimas. Perbuatanku sudah sangat melukaimu. Aku mohon jangan tinggalkan Dimas, dia tidak salah. Aku yang salah, aku yang menggodanya. Sesuai permintaanmu. Rawatlah bayi ini dengan baik, kamu juga ibunya. Sekali lagi maafkan aku, aku harap kalian bahagia. Adeline.]Tidak mudah bagi seorang ibu menyerahkan anaknya untuk dirawat orang lain, namun Adeline merelakannya. Ia ingin menebus dosa yang pernah dilakukan.“Ja-jadi ... bayi ini ....” Erina benar-benar tidak menyangka kalau Adeline menyerahkan bayi itu padanya.Sebelumnya Erina bahkan sudah berpikir buruk, sekarang malah anak yang dimintanya sudah ada di depan mata.“Bawa masuk dulu, Dek. Kasihan di luar dingin.”“Iya, Mas.”Sebelum masuk. Dimas mengarahkan pandangannya ke seluruh arah untuk mencari keberadaan Adeline tapi nihil, tidak ada siapapun di sana.“Ini benar-benar anak yang Mbak Adel lahirkan.” Erina menatap gelang yang bertuliskan tanggal lahir di lengan mungi
“Kita bisa punya anak sendiri, sayang. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan untuk memberikannya lagi. Kalaupun takdir kita hanya berdua, aku tidak masalah. Mbak Adel lebih berhak atas anak itu, bahkan nasabnya pun bukan padaku.”Erina menyeringai. “Sekarang saja kamu bicara begitu, Mas. Tidak ada yang menjamin nantinya kamu bosan dan meninggalkanku.”Dimas meraih tangan Erina, digenggamnya erat. “Dengarkan aku baik-baik, sayang. Aku tidak hanya berjanji padamu, orang tuamu dan orang tuaku. Aku berjanji pada Tuhan untuk selalu ada disampingmu seberat apapun masalah yang kita jalani. Aku tahu kamu terluka karena perbuatanku tapi aku minta satu kesempatan. Apa tidak bisa?” Matanya sudah berembun.Kilasan momen kebahagiaan tiba-tiba melintas dalam benak Erina. Selama ini Dimas memperlakukannya dengan baik, menjadikan Erina seperti istri yang sangat beruntung. Bahkan Dimas yang selalu mengalah saat ada masalah meskipun masalah itu timbul karena Erina.“Maafkan aku, maafkan aku.” Tubuh D
“Aku-”“Tidak perlu dijawab. Kamu pasti tidak bisa memilih. Mungkin di hatimu kamu memilih anak itu tapi di mulut kamu memilihku.”“Bukan-”“Kamu urus saja sendiri. Aku juga nanti punya kesibukan, aku mau mulai bekerja.”“Kamu tidak usah bekerja, biar aku yang bekerja. Kamu di rumah saja dan-”“Dan duduk diam, melamun, meratapi nasib malang yang menimpaku,” sambungnya.Berada di rumah, Erina akan terus berlarut dalam kesedihan. Sebelum bertemu Dimas ia juga bekerja di salah satu toko pakaian. Sekarang ia juga ingin punya kegiatan lagi.Seharusnya kesibukannya bersama dengan bayi mungil yang baru ia lahirkan, tapi semua itu hanya sebatas mimpi saat Tuhan mengambil kembali malaikat kecil yang dititipkan di rahim Erina.“Memangnya mau kerja dimana? Kamu baru selesai operasi, jangan dulu banyak gerak, tidak boleh mengangkat yang berat-berat.”“Nanti setelah kondisiku memungkinkan, aku akan bekerja di toko sembangko Bu Ema.”“Tapi janji harus pulih dulu ya.”“Hm.”Sebenarnya Dimas ingin se
“Kamu marah padaku, sakiti aku, jangan sakiti dirimu sendiri.” Bram ingat saat Bi Atin mengatakan Adeline melukai tangannya sendiri dengan pisau dan ia yakin itu adalah kali pertama Adeline tahu perselingkuhannya.Adeline tidak merespon apapun, ia berdiri mematung, fokusnya pada pelipis Bram yang berdarah.Susah payah wanita hamil itu mengendalikan emosi dan mengelola stres, sekarang Bram datang dan membuat semuanya jadi kacau.Lelaki itu berjongkok untuk memungut pecahan vas bunga dengan tangan kosong, takut kalau Adeline tak sengaja menginjaknya. Rasa sakit karena istrinya dihamili lelaki lain tidak sebanding dengan besarnya cinta pada wanita itu.Waktu yang begitu singkat tapi Adeline berhasil memenuhi relung hati Bram. Sebenarnya Bram saja yang baru menyadari jika istrinya sangat berharga, ia sudah punya rasa dan tersentuh dengan pengabdian Adeline sebagai istri tapi selalu ditepisnya jauh-jauh. Karena apa? Tentu saja pengaruh dari Sitta.“Tenangkan dirimu, aku akan pulang.”Sete