POV Viona.
Hari sudah mulai sore dan aku sudah merasa sedikit lebih baik. Rasanya ingin segera pulang, tapi dokter dan suster melarang dengan tegas. Aku juga mencoba menelepon Papa, namun tak ada tanggapan sedikit pun. Rasa bingung dan kecemasan mulai menyelimuti pikiranku. Aku bertanya-tanya, kemana Papa pergi saat mengetahui bahwa aku hamil. Apakah dia sedang mencari solusi? Atau mungkin dia sedang berusaha menenangkan diri? Aku tak tahu, dan ketidakpastian itu membuatku semakin gelisah. Ceklek~ Bunyi pintu kamar rawat terbuka, aku yang tengah duduk selonjoran di atas tempat tidur langsung menoleh. Sontak mataku membulat saat melihat Papa datang bersama Kak Calvin dan Ayah Andre. Jantungku berdebar kencang, seolah-olah ingin melompat keluar dari dadaku. Apa yang sedang terjadi? Kenapa Papa membawa mereka berdua? Apakah mereka datang untuk menanyakan tentang keham"Tidak! Bagaimana mungkin Agnes merencanakan hal itu, hanya untuk tidur dengan Calvin? Itu tidak masuk akal, pasti hanya akal-akalan kamu saja, kan?" tuduh Ayah penuh kecurigaan, matanya menyipit tajam seolah ingin menembusku. Jelas sekali dia tidak percaya dengan apa yang aku katakan."Iya, Vio, mana mungkin Agnes merencanakan hal itu hanya untuk tidur denganku? Sementara aku dan dia juga akan segera menikah." Kak Calvin menanggapi, nada bicaranya datar, tanpa sedikitpun raut keraguan. Tak kusangka, ternyata dia juga seperti Ayah Andre yang tidak percaya padaku."Terserah kalau kalian nggak percaya, aku nggak maksa. Tapi yang aku katakan sudah sejujurnya, tidak ada yang ditambahkan atau dilebihkan," jawabku dengan tenang, meskipun hati terasa dongkol."Apa kamu punya buktinya, Vio? Barangkali jika ada buktinya ... Pak Andre dan Calvin percaya," kata Papa memberikan saran. Jika dibandingkan dengan tadi, suaranya jauh lebih lembut. Tatapan matanya pun sudah
(POV Calvin)Di ruang tamu rumah Agnes yang hangat dan nyaman, aku duduk bersama Ayah sambil menikmati secangkir kopi yang harum. Suasana tenang tercipta meskipun kegelisahan masih menyelimuti hatiku.Kami berdua berada di sana untuk menunggu kepulangan Agnes dan Om Erick yang belum kembali. Setiap detik terasa begitu panjang, menunggu kabar dari mereka.Sebenarnya, aku bisa saja pergi menemui Agnes di studio pemotretannya. Namun, aku memilih untuk menunggunya di rumah karena masalah ini sangat bersifat pribadi. Aku tidak ingin orang lain mengetahuinya, karena itu merupakan sebuah aib yang harus ditutupi."Assalamualaikum, Mas ... Om ...." Suara lembut terdengar.Setelah menunggu setengah jam yang terasa begitu lama, Agnes akhirnya tiba bersama Om Erick. Dia langsung memberi salam dan mencium punggung tangan Ayah, lalu memelukku dengan penuh kasih sayang."Walaikum salam," jawabku dan Ayah bersamaan. Aku pun berdiri untuk menyamb
"Aku akan menikahi Viona."Keputusan itu diucapkan dengan tegas, menegaskan bahwa tanggung jawab harus dipikul dan keputusan harus diambil untuk memperbaiki kesalahan yang telah terjadi."Apa yang Mas katakan?? Menikahi Viona??" Agnes bangkit secara tiba-tiba saat aku juga berdiri. Dia meraih lengan kananku dengan erat dan ekspresinya penuh kepanikan. "Enggak, Mas! Aku enggak setuju! Aku enggak mau kamu menikahi Viona lebih dulu daripada aku, masa iya aku jadi istri kedua??""Agnes benar, Cal. Om juga nggak setuju!" tegas Om Erick, ikut berdiri.Apa maksud dari mereka berdua? Siapa yang ingin menjadikan Agnes istri kedua? Aku bahkan tidak mengatakan hal itu."Siapa yang ingin menjadikanmu istri kedua, Sayang? Kamu nggak akan menjadi istri kedua.""Apakah kamu serius, Mas??" Mata Agnes bersinar, dia tersenyum manis. Sepertinya dia tidak memahami arah pembicaraanku."Iya, aku serius. Karena rencana pernikahan kita terpaksa
"Jangan dibuka, Pak!" larang Papa, bahkan Isa pun terlihat tidak berniat untuk membuka pintu.Prangggg!!Aku sontak terkejut saat sebuah kaca mobil berhasil dipecahkan oleh salah satu pria berbadan besar itu tepat pada jendela di mana Isa duduk. Suara pecahan kaca yang tajam memecah keheningan di dalam mobil.Beruntung, Isa sempat menutupi wajahnya dengan tangan, karena jika tidak, wajahnya bisa terluka.Namun, sekarang tangannya malah berdarah karena serpihan kaca itu. Ekspresi terkejut dan ketakutan tergambar jelas di wajahnya."Ayaahhh!!" Kenzie berteriak, tampak terkejut sekaligus panik. Tubuhnya gemetar, dan Papa segera memeluk erat tubuhnya, mencoba menenangkan cucunya yang ketakutan."Siapa kalian? Kenapa kasar sekali, hah?" bentak Papa, terlihat emosi. Matanya memancarkan kemarahan yang sulit ditahan."Aku sudah meminta kalian untuk keluar, tapi kenapa kalian tidak mau keluar juga, hah??" Salah satu pria itu berb
"Ayah .... Ayah tau enggak, tadi dijalan ada-""Baik, kita langsung mulai ya, Pak." Bapak berpeci hitam memotong ucapan Kenzie, terlihat seperti seorang penghulu. "Karena saya juga harus menikahkan orang lain di tempat lain," tambahnya dengan suara yang tenang namun penuh wibawa, menciptakan suasana khidmat dan penuh kehormatan."Iya, Pak." Kak Calvin mengangguk cepat, segera menurunkan Kenzie dan membawanya kepada Papa yang baru saja duduk. Kemudian dia duduk di depan meja persegi panjang, di hadapan Pak Penghulu."Silakan pengantin perempuannya ... mari duduk, Nona," tawar Pak Penghulu dengan suara lembut namun tegas. Aku mengangguk, lalu duduk di samping Kak Calvin."Bismillahirrahmanirrahim ...." Suara do'a yang diucapkan Pak Ustad yang duduk di samping Pak Penghulu memenuhi ruangan. Masjid mendadak hening, dan semua orang tampak begitu khusyu mencermati setiap lantunan do'a yang dipanjatkan.Jantungku berdetak semakin kencang saat pr
"Bunda ... di mana Ayah? Kok belum pulang??" desis Kenzie dengan wajah penuh kekhawatiran, matanya terus memandangi pintu rumah yang belum terbuka untuk kedatangan Ayahnya.Hari sudah menjelang siang, matahari bersinar terang memancarkan kehangatan ke dalam ruangan. Aroma makanan yang sedap mulai tercium di udara, mengundang selera untuk segera menikmati hidangan yang telah tersaji di atas meja makan.Aku dan Kenzie duduk di meja makan dengan penuh harap, menantikan kehadiran Kak Calvin. Niat kami ingin makan siang bersama, karena ini juga hari pertama dimana aku kembali menjadi istri Kak Calvin.Namun, sejak tadi, Kak Calvin belum juga pulang. Rasa cemas dan cemburu mulai menyelinap ke dalam hatiku saat menyadari bahwa kepergiannya hanya untuk bertemu dengan Nona Agnes."Sebentar ... Bunda coba telepon Ayah ya, Nak." Aku meraih ponsel di atas meja dengan gemetar, mencoba menghubungi Kak Calvin. Namun, keterbatasan pulsa dan kuota internet membuat
Sesak rasanya mendengar kabar sedemikian tragis, hati ini terasa hancur melihat penderitaan yang dialami Nona Agnes. Namun, kenyataannya semua ini terjadi akibat ulahnya sendiri.Jadi bukankah di sini aku juga menjadi korban? Aku bukan orang yang jahat 'kan? Karena aku memang tidak berniat merebut calon suaminya, meskipun aku sempat memintanya untuk rujuk.Akh, rasanya sulit untuk menjelaskan perasaan ini. Tapi aku tidak pernah ingin bergembira atas penderitaan orang lain. Kak Calvin juga dengan jelas menyatakan penolakannya saat itu."Kasihan sekali Nona Agnes, Kak. Tapi kenapa dia sampai nekat melakukan hal itu? Apakah semua ini terjadi karena kita menikah?" tanyaku dengan suara penuh empati.Saat melihat Kak Calvin yang sedang dilanda kesedihan, aku ikut merasakan pedihnya hatinya. Aku sadar betapa besar cintanya kepada Nona Agnes, namun sepertinya takdir memiliki rencana lain.Namun, di sisi lain, ada rasa cemburu dan kekesalan yang memenuhi hatiku. Aku merasa egois, Kak. Bahkan d
"Eh, tidak! Tidak! Lupakan saja, Kak!" Wajahku memerah, merasa panik sendiri. Bagaimana jika Kak Calvin menolakku? Pasti sakit rasanya, jadi lebih baik aku memberikan alasan lain. "Bukan itu maksudku kok. Tapi, ah mending kita tidur saja, Kak, aku juga mengantuk. Selamat malam."Aku merasa kehabisan kata-kata. Segera aku menarik selimut untuk menutup wajahku, lalu berbalik ke arah tembok dan mulai memejamkan mata. Suasana kamar terasa hening, hanya suara napas pelan yang terdengar.Aku benar-benar merasa sudah gila, rasa cintaku kepada Kak Calvin membuatku kehilangan rasa malu. Pasti setelah ini, Kak Calvin menjadi ilfil kepadaku. Tanganku gemetar saat mencoba menenangkan diri, namun jantungku masih berdegup kencang.***Keesokan harinya.(POV Calvin)Mataku perlahan terbuka, merasakan sentuhan lembut dipipiku. Ternyata, sentuhan itu berasal dari Kenzie.Bocah menggemaskan itu terlihat tersenyum manis kepadaku, begitu ceria, segar, dan wangi seperti habis mandi. Apalagi dengan keadaan
"Kalau langsung seratus juta saya tidak bisa memberikannya sekarang, Pak. Tapi kalau sebagai jaminan... bagaimana kalau sepuluh juta?" Ayah Calvin menawarkan nominal yang berbeda. Tapi tetap bagiku sangat besar dan tidak perlu diberikan kepada Papa."Tidak apa-apa, Pak," Papa mengangguk setuju. Senyum tipis mengembang di wajahnya, menunjukkan rasa puas yang terpancar jelas. Dia tampak sudah berhasil mendapatkan sebagian dari apa yang dia inginkan. Namun, dibalik senyum itu, aku merasa masih ada sesuatu yang disembunyikannya."Tapi saya mau uang tunai, ya, Pak ... karena saya tidak punya rekening bank," tambah Papa, suaranya terdengar sedikit lirih."Baiklah... saya akan ambil uangnya di ATM dulu, Pak. Tunggu sebentar." Ayah Calvin langsung berdiri.Saat Ayah Calvin hendak melangkah keluar rumah, aku cepat-cepat menahan tangannya."Ayah... Ayah nggak perlu memberikan uang itu. Uang itu nanti saja saat aku dan Pak Kenzie menikah."
"Kami orang tua Kenzie, Pak," Ayah Calvin memulai, suaranya tenang namun tegas, menjawab pertanyaan Papa yang masih ternganga. Sorot matanya serius, menunjukkan kesungguhan niatnya. "Kedatangan kami untuk mempererat hubungan keluarga, berharap kita bisa menjadi besan." Kalimat itu diutarakan dengan penuh hormat, menunjukkan rasa saling menghargai.Papa terdiam sejenak, mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Matanya membesar, kejutan tergambar jelas di wajahnya yang biasanya tenang. Alisnya terangkat, menunjukkan betapa tak terduga pernyataan Ayah Calvin."Besan...? Tadi... kalian menyebut siapa?? Kenzie?" Ucapannya terbata-bata, mengungkapkan kebingungan yang mendalam. Dia tampak berusaha mengingat-ingat, mencari-cari jejak kenangan tentang nama yang disebutkan.Ayah Calvin mengangguk pelan, memperkuat pernyataannya. "Ya, Pak, Kenzie. Apakah Bapak masih ingat? Zea pernah mengatakan dia pernah datang ke rumah Bapak bersama Kenzie." S
"Nggak usah, Yah. Aku bisa beli sendiri kok," balasku menolak usulan baik dari Ayah Calvin. Lagipula, Pak Kenzie bukanlah pasanganku, aku merasa tidak nyaman dan malas pergi bersamanya. "Jangan sendiri, kamu sedang hamil," Ayah Calvin berkomentar, nada suaranya menunjukkan kepeduliannya. "Nanti siang deh kita ke mall buat beli baju, ya, Zea? Kalau pagi begini mall 'kan belum buka," Pak Kenzie menyambar kesempatan itu, mengajukan tawaran. "Aku .…" Aku ragu, sebetulnya ingin menolak. Namun, tatapan Ayah Calvin yang penuh perhatian membuatku sulit untuk menolak. Aku mengangguk setuju, suaraku terdengar lirih. "Oke." Aku berharap, ini hanyalah kunjungan singkat ke mall, tanpa ada kejadian yang tidak diinginkan. "Ya sudah sekarang kalian mandi. Kamu juga hari ini harus masuk ke kantor, ya, Ken. Udah berapa hari coba kamu libur kerja? Bisa bangkrut lama-lama perusahaanmu." Ayah Calvin kembali mengomel, suaranya terdengar tegas, menunjukkan otoritasnya sebagai seorang ayah. Dia menarik
"Aku ke dapur." "Dapur? Jadi kamu semalaman tidur di dapur?? Lho, Zea… harusnya kamu jangan melakukan hal itu!" suaranya meninggi, nada ketidakpercayaan dan bahkan sedikit amarah tersirat di balik kata-katanya. Matanya menyipit, seolah tak percaya dengan pengakuanku yang sederhana itu. Dia pikir aku gila? Mana mungkin aku menyiksa diriku dengan tidur di dapur? "Aku ke dapur cuma mau minum," kataku, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang, meskipun dalam hati aku sudah berteriak kesal. "Tapi semalam kamu tidur, kan?" Tangannya tiba-tiba menangkup wajahku, sentuhannya yang tak terduga membuatku tersentak kaget. Jari-jarinya yang menyentuh pipiku terasa begitu lembut. Untuk sesaat, pandangan kami bertemu, tatapannya yang intens membuatku tak nyaman. Jantungku berdegup kencang dan seperti ada kupu-kupu di perutku. Segera kutepis tangannya dengan gerakan cepat dan menundukkan pand
Segera kutepis kasar lengannya dan mundur beberapa langkah, menjauhkan diri dari sentuhannya. Rasa takut yang luar biasa membanjiri hatiku. "Zea, jangan pergi!" Pak Kenzie menarikku kembali, tangannya kuat dan mendesak. Dia menutup pintu dan kali ini menguncinya. "Aku hanya ingin tidur ditemani, aku takut tidur sendirian," katanya, suaranya sedikit gemetar, namun aku meragukan kejujurannya. Ketakutan? Itu hanyalah kedok, sebuah alasan yang dibuat-buat untuk menutupi niat sebenarnya. Aku bisa merasakannya. Rasa curiga dan ketidaknyamanan mencengkeramku. Aku berusaha tenang, namun jantungku berdebar-debar. "Begini saja deh ...," katanya, terlihat tengah mengusulkan ide. "Kita tidak perlu tidur satu ranjang. Kalau memang kamu takut padaku, aku bisa tidur di lantai atau di sofa. Bagaimana?" Dia mencoba menawarkan solusi, berharap dapat mengakhiri situasi ini dengan
"Meninggal enggaknya aku nggak tau, Pak. Tapi meskipun masih ada… dia tetap tidak bisa menjadi wali nikahku. Karena aku anak hasil zina.” Pengakuan Zea membuat suasana menjadi hening sesaat. “Astaghfirullah ....” Ayah Calvin beristigfar, kejutan dan rasa iba tergambar jelas di wajahnya setelah mendengar pengakuan Zea. Wajah Zea pun tampak sendu, menunjukkan beban berat yang selama ini dia pikul. “Maaf ya, Zea. Ayah nggak bermaksud membuatmu sedih.” “Nggak apa-apa, Pak.” Zea menggeleng lemah, mencoba tersenyum untuk meyakinkan Ayah Calvin. “Meskipun keadaannya begitu, tapi nggak apa. Nanti setelah Kenzie resmi bercerai… Ayah berencana untuk menemui papamu, boleh ya?” Ayah Calvin melanjutkan, menunjukkan keseriusannya untuk menerima Zea apa adanya. “Boleh aja, Pak. Nggak masalah.” Zea mengangguk, setuju dengan rencana Ayah Calvin. “Jangan panggil Bapak, panggil Ayah saja. Ayah ‘kan sebentar lagi akan jadi Ayah
Setelah mandi, Zea bergegas keluar dari kamar. Bibi telah memberitahukan bahwa Bunda Viona dan Ayah Calvin menunggunya di ruang makan. Namun, yang dilihatnya saat memasuki ruangan itu melampaui ekspektasinya. Bukan hanya kedua orang tua Kenzie, tetapi juga Kenzie, duduk tenang di salah satu kursi meja makan persegi empat. Aroma masakan yang menggugah selera memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma bunga melati dari vas di tengah meja. Hidangan beraneka ragam tersaji melimpah; telur balado yang merah menyala, ayam goreng yang mengkilat keemasan, sayur brokoli, dan masih banyak lagi. Meja itu tampak penuh, hampir tak tersisa ruang kosong. Degupan jantung Zea berdebar tak karuan. Sebuah rasa gugup yang tak terjelaskan menjalar di tubuhnya. "Kamu sudah mandi, Zea? Ayok duduk di sampingku," ucap Kenzie, suaranya lembut namun membuat jantung Zea berdetak lebih cepat. Dia berdiri, lalu dengan gerakan halus mendorong kursi di sampingnya, mengundang Zea untuk bergabung. "Di... di samping
(POV Author)"Arrrgghh... Aku bisa gila kalau begini terus!"Helen menggeram kesal, tangannya frustasi menjambak rambutnya yang panjang.Sudah tiga hari dia menjalani hukuman: dikurung di kamar tanpa ponsel, terisolasi dari dunia luar, dan pintunya dikunci rapat. Suasana pengap dan sunyi semakin menambah kejengkelannya.Kemarahan Papi Janur masih terasa seperti bayangan yang menghantuinya. Dia masih bisa membayangkan betapa dahsyatnya amarah sang papi saat mengetahui apa yang telah dia lakukan. Helen menggigit bibirnya.Tapi untunglah, Papi Janur masih mengingat bahwa Helen sedang mengandung. Jika tidak, hukuman ini pasti jauh lebih kejam dan mengerikan. Bayangan cambukan dan hukuman fisik lainnya menghantui pikiran Helen, membuat tubuhnya menggigil. Dia bersyukur atas belas kasihan papinya yang sangat terbatas itu, meskipun tetap terasa seperti siksaan."Semua ini gara-gara Heru! Bre*ngsek! Pengacau! Meskipun aku sudah me
"Maaf, aku tidak sengaja," jawab Pak Kenzie dengan nada santai.Tidak sengaja katanya? Bohong! Mataku sendiri melihat bagaimana tangannya dengan sengaja mendorong bubur itu."Panggilkan petugas kebersihan, Mal. Bersihkan bekas bubur ini," perintahnya kepada Pak Akmal tanpa sedikit pun penyesalan. Pak Akmal mengangguk patuh, lalu meninggalkan ruangan."Kamu sekarang sarapan dulu, ya? Aku sudah membelikan bubur untukmu." Pak Kenzie menyodorkan mangkuk bubur dari atas meja troli, sendok berisi bubur diulurkan ke arahku. Sejujurnya, selera makanku sudah hilang. Yang kurasakan hanyalah rasa mual dan keengganan terhadap kebaikannya. Bubur Pak Bahri, itu yang kutinginkan. Tapi untuk menolak Pak Kenzie , aku merasa tidak enak. Ketegangan di antara Pak Kenzie dan Pak Bahri terasa mencekam, aku tak ingin membuat masalah."Ayo... buka mulutmu. Nanti buburnya dingin dan tidak enak. Kamu 'kan belum makan sejak kemarin." Suaranya terdengar memaksa.