(POV Viona)
"Apa kau berpikir, setelah berhasil menikah dengan Calvin kau menjadi lebih unggul daripada Agnes?"Pertanyaan dari Pak Erick membuat dahiku berkerut. Dia menatapku dengan tajam dan sengit. Aku terdiam, tak percaya dengan ucapannya. Tapi apa maksudnya? Unggul katanya? Dia pikir ini sebuah kompetisi apa?"Kau sungguh tidak tau diri Viona, bagaimana bisa kau begitu tega merebut calon suami dari bosmu? Apakah tidak ada pria lain di dunia ini lagi, atau kau memang sudah tak laku?" Nada bicaranya semakin meninggi, penuh amarah."Apa maksud Bapak bicara seperti itu?" Jelas-jelas Pak Erick ini sedang menghinaku, tapi penghinaannya sungguh tidak berdasar. "Apa yang terjadi karena Nona Agnes, dan aku tidak percaya kalau Bapak tidak tau. Bapak pasti tau rencana ini dari awal.""Kau benar, aku memang tau dan itulah rencanaku. Tapi berani sekali, kau yang menjadi masa lalu Calvin menggagalkan semua rencanaku dan Agnes. Akan kupastikan kau"Benar, Ayah. Aku ingin ikut menginap saja menemani Pak Kenzie," jawab Zea.Ribuan kupu-kupu berdansa di perutku. Rasa senang yang luar biasa membuncah, memenuhi seluruh rongga dada. Aku merasa puas, puas sekali dengan jawabannya. Sebuah beban seolah terangkat dari pundakku."Kamu yakin bakal bisa tidur? Tidur di rumah sakit itu 'kan nggak enak." Ayah tampak ragu, menunjukkan kekhawatirannya yang tulus. Dia menatap Zea dengan tatapan penuh tanya, mencari kepastian. Sorot matanya terpancar kekhawatiran yang dalam.Sejak tahu Zea hamil, aku merasa bukan hanya Ayah, tapi juga Bunda, jauh lebih menyayangi Zea ketimbang aku."Kalau memang Zea kepengen menemaniku ya biarkan saja, Ayah. Lagian Zea ini 'kan calon istriku, wajarlah kalau dia menemani." Suaraku terdengar sedikit menantang, mencoba menegaskan posisiku."Bukan masalah itu, Ayah tahu Zea memang calon istrimu. Tapi ... Ayah cuma khawatir nantinya dia tidak bisa tidur." Ayah mencoba menjelaskan, suaranya lembut, namun
"Bagaimana keadaan Pak Kenzie, Dok? Dia kenapa?" tanyaku begitu Dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Pak Kenzie masih di dalam. "Pak Kenzie mengalami alergi obat, Nona." Jawaban Dokter itu membuatku terkejut. "Alergi obat?" Dahiku berkerut bingung. "Tapi Pak Kenzie sempat BAB terus, Dok." Aku menjelaskan gejalanya yang sebelumnya kupikir diare biasa. "Alergi obat memang bisa menyebabkan diare, Nona," jawabnya terlihat sabar. "Tadi saya sudah sampaikan padanya di dalam, kalau dia harus berhenti mengkonsumsi obat yang diminumnya tadi pagi." Penjelasan Dokter itu sedikit melegakan, namun juga membuatku penasaran. "Memangnya obat apa yang dia konsumsi, Dok?" "Nona bisa tanya langsung padanya." Dokter itu merogoh kantong celananya, lalu memberikan selembar kertas. "Ini resep obatnya, bisa diambil di bagian farmasi." "Biar saya saja yang ambil, Zea," tawar Pak Akmal yang sedari tadi berdiri di sampingku. Aku menyerahkan kertas itu padanya dengan lega, lalu Pak Akmal berlalu meninggalk
Sebelum aku sempat melawan, dengan gerakan cepat dan tiba-tiba, bibirnya sudah menempel di bibirku.Ciumannya kasar, penuh paksaan, menghantamku dengan brutal. Aku tersentak kaget, mataku membulat sempurna.Tanganku secara naluriah menyentuh dadanya, ingin mendorongnya menjauh. Namun, aku terlalu lambat. Dia lebih kuat, lebih cepat, gerakannya seperti kilat. Dan sebelum aku bisa bereaksi lebih lanjut, pakaianku sudah setengah terlepas, tubuhku terpapar di hadapannya.Aku pun akhirnya pasrah. Rasa tak berdaya mencengkeramku. Aku menutup mata, menunggu hal yang tak ingin kuhadapi. Mungkin, ini sudah saatnya… aku dan Pak Kenzie...."Aaaww!!" Tiba-tiba dia meringis kesakitan, suaranya tertahan. Ciumannya terhenti dengan mendadak."Kenapa, Pak?" tanyaku bingung. Aku sama sekali tidak menggigit bibirnya atau melakukan tindakan kasar yang lain, tapi kenapa dia justru kesakitan?"Keluarlah dulu, Zea, dan pakai lagi pakaianmu." Pak Kenzie membukakan pintu
“Zea, kamu dengar aku, kan?” suara Pak Kenzie meninggi, membuatku tersentak. Degupan jantungku semakin cepat."Enggak, Pak." Aku menggeleng cepat, berusaha agar suaraku terdengar tenang. "Aku nggak pakai pakaian kurang bahan itu. Dan ini juga masih terlalu pagi untuk… untuk itu, Pak. Menurutku lebih baik malam saja."Aku tahu persis ke mana arah pembicaraan ini menuju. Rasa takut mulai merayap di hatiku."Dalam bercinta itu nggak ada aturannya, Zea. Mau pagi, siang, atau malam… asalkan kita sudah sah, kapan pun bisa dilakukan."Lagi-lagi kata 'sah' ditekankan, seolah itu menjadi satu-satunya alasan yang membenarkan semua ini.Memang benar, kami sudah sah, tapi aku belum siap. Belum siap secara mental dan emosional.Hening… hanya deru mobil yang memecah kesunyian. Aku tak menjawab, bingung harus berkata apa. Kata-kata seakan macet di tenggorokan.Akhirnya, kami sampai di tujuan. Sebuah tempat pemakaman umum yang rapi dan elite. Kuburan orang-orang kaya, kurasa.Sebelum ke pusar
“Bunda… Ayah,” panggilku lirih, suara sedikit bergetar. Ayah segera menutup pintu kamar, lalu menunjuk ke arah sofa—isyarat untuk kami duduk bersama. Aku menurut, jantungku berdebar-debar, tak berani bertanya. “Ken… Mana obat yang kamu dapat dari Bunda?” tanya Ayah, suaranya tenang namun tegas, menusuk kalbuku. Dengan tangan gemetar, aku mengambil obat di atas nakas, memberikannya pada Ayah. “Maaf, Yah. Sebenarnya obat itu milikku,” aku langsung mengakui. Lebih baik jujur daripada diinterogasi. Beban berat terasa menindih pundakku. Aku yakin Bunda sudah bicara dengan Ayah, menuduhnya selingkuh, padahal akulah penyebabnya. “Milikmu?” Dahi Ayah berkerut, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. “Apa maksudmu, Ken? Ayah dapat obat ini dari Akmal, tapi dia bilang kamu yang memintanya. Tapi masalahnya …” Ayah menjeda, menoleh ke Bunda yang menatapku dengan tatapan penuh tanya. “Ayah tidak pernah memintamu membelikan obat seperti itu, Kenzie. Ayah yakin.” “Memang tidak pernah, Ya
(POV Kenzie) "Tunggu dulu, Pak!" Zea menahan langkahku, saat bibirku hampir menyentuh bibirnya. Detik-detik yang seharusnya penuh gairah, kini terasa menggantung. Ah, kebiasaan dia ini, selalu jual mahal. "Apa lagi? Kamu nggak boleh menolak lho, Zea. Ini kan sudah kesepakatan kita." Tanpa menunggu jawaban, aku menggendongnya, membawanya ke ranjang. Namun, saat tubuhnya terbaring lembut di kasur, mataku membulat tak percaya. Bunda terbaring di sana, matanya terpejam dalam tidur lelap. "Lho, kok Bunda ada di sini, Zea?" Rasa kecewa memenuhi dada. Jika Bunda ada di sini, rencana indahku pasti gagal. Aku tak mau! "Iya, Pak. Itulah yang ingin kusampaikan tadi. Bunda ada di sini." "Tapi kenapa bisa?" Aku butuh penjelasan, jawaban yang masuk akal. "Jangan bilang kamu sengaja meminta Bunda ke kamarmu, supaya kita nggak jadi bercinta, kan??" Ini pasti strategi Zea, memanfaatkan kebaikan Bunda untuk menggagalkan niatku. Aku tahu itu, tapi aku tak mudah menyerah. "Bapak jangan
Ceklek…Pintu kamar mandi terbuka perlahan, memperlihatkan Ayah Calvin yang baru saja selesai mandi. Hanya berbalut handuk, langkahnya menuju lemari. Namun, pandangannya terhenti. Di ranjang, terhampar tubuh Bunda Viona yang tertidur pulas membelakangi dirinya. Cahaya lampu tidur remang-remang menerangi rambut istrinya yang terurai."Tumben Bunda udah tiduran di kasur?" tanyanya sembari memakai pakaian, suaranya pelan, penuh perhatian.Hening...Tak ada jawaban dari istrinya. Tubuh Bunda Viona juga tak merespon.Merasa penasaran, dan sedikit khawatir, Ayah Calvin pun mendekati kasur. Dia naik ke kasur dengan hati-hati, menatap wajah Bunda Viona yang tenang dalam tidur.Dengkurannya samar-samar terdengar, menandakan lelapnya tidur sang istri. Namun, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatnya sedikit cemas."Bunda pasti capek, ya, hari ini, mangkanya Ayah ditinggal tidur." Ayah Calvin mendekatkan wajahnya, lalu mencium lembut kening istrinya penuh kasih. "Ya sudah, Ayah mak
(POV Author)Malam telah tiba. Kenzie sudah pulang kerja dan mandi.Karena malam ini malam spesial, Kenzie sampai rela berendam dengan susu— berharap kulitnya akan selembut pan tat bayi saat bersama Zea nanti. Aroma susu masih sedikit tertinggal di tubuhnya, menambah sensasi yang membangkitkan. Namun, obat dari Akmal belum juga datang. Siang tadi, dia bilang belum menemukannya dan berencana mencari ke apotik yang lebih besar.Kecemasan mulai menggerogoti Kenzie. Dia berharap obat itu ada dan ingin meminumnya sekarang juga, sebelum bercinta dengan Zea. Bayangan tubuhnya yang lentur dan aroma tubuhnya yang khas membuat Kenzie semakin gelisah. Kenzie ingin malam ini menjadi malam yang sempurna."Coba telepon deh." Kenzie meraih ponselnya dari saku celana. Sayangnya, nada sambung tak kunjung ada. Nomornya tidak aktif."Ish… ke mana sih si Akmal ini? Ini 'kan sudah malam, tapi nomornya malah nggak aktif, ditungguin juga nggak d
Tapi sejujurnya, obrolanku tidak terlalu penting. Yang terpenting hanya supaya aku bisa menatapnya lama-lama sambil mendengar suaranya. Sekaligus bisa mencuri kesempatan, tapi sayangnya yang terjadi tidak sesuai ekspektasi."Besok aku mau mengajakmu ke makam Kakek. Tapi kamu kira-kira bakal takut nggak?" Aku melontarkan pertanyaan itu, mencoba memulai percakapan. Aku penasaran dengan reaksinya."Enggak kok, Pak. Jam berapa?" Jawaban Zea membuatku sedikit lega.Benar kata Ayah, Zea terlihat tenang saat membahas tentang Kakek. Sepertinya dia memang tidak takut."Pagi saja, sebelum aku berangkat kerja. Kalau siang takut panas.""Iya." Dia mengangguk."Oh ya, Zea. Kamu nggak ada keinginan kabur lagi, kan?" Pertanyaan ini sedikit lebih serius. Aku ingin memastikan. Kejadian sebelumnya masih terngiang di pikiranku."Bapak kepengen aku kabur?" Zea balik bertanya, suaranya terdengar sedikit curiga. Matanya mengama