Bunyi hape seketika memecah keheningan, buru-buru kuambil kembali benda itu di atas kasur. Berharap Viona yang menghubungi, tapi ternyata Daddyku yang bernama—Erick.
"Halo, Dad," ucapku yang baru saja mengangkat panggilan. "Halo, bagaimana? Kamu udah berhasil tidur dengan Calvin, kan?" "Belum, Dad." "Kok bisa belum? Bukannya semalam kamu bilang, kamu sudah reservasi hotel buat menjebak Calvin, ya?" "Iya. Tapi itu dia ... kan semalam aku meminta bantuan Viona, dia sendiri bilang rencana kita lancar dan sedang menuju hotel, tapi anehnya, sampai sekarang belum sampai juga, Dad," jawabku bingung. "Salah alamat nggak kamunya? Kan kamu tau sendiri bagaimana Viona, dia kadang agak begoo." "Bener kok, Dad," jawabku dengan yakin. "Sekarang udah dihubungi apa belum? Coba ditelepon Viona." "Udah dari tadi, tapi enggak diangkat-angkat. Nomor Mas Calvin juga nggak aktif, Dad." "Ya udah, sekarang kamu pergi aja ke rumah Calvin. Tunggu dia sampai pulang, nanti habis itu kamu tanya deh ... ke mana saja semalaman." "Oke, Dad. Ya udah, aku tutup teleponnya, ya." "Iya." Setelah menutup panggilan, segera aku beres-beres dan mengganti pakaian. Siap untuk check out dari hotel. *** POV Viona. "Astaghfirullahallazim ... apa yang terjadi?!" Seseorang terdengar menyeru di sampingku, membuat tidurku terbangun. Dengan perlahan, aku mulai mengerjap-ngerjapkan mata dan sontak mata ini membulat melihat Kak Calvin yang sudah menatapku dengan serius. "Viona, apa yang terjadi? Kenapa kita ada di hotel dan dengan keadaan telaanjang??" Lho, kok dia tanya begitu padaku? Apakah dia tidak ingat apa-apa? Ah mustahil, kita bahkan bercinta sampai aku tiga kali keluar. "Viona ... jawab aku!!" tekan Kak Calvin dengan suara yang kali ini cukup keras, hingga membuat diri ini terperanjat. "A-apa Kakak lupa? Kakak nggak ingat tentang semalam?" tanyaku sedikit terbata. Setidaknya aku harus mengatakan bahwa dia telah memperkosaku, demi bisa menyembunyikan alasan dibalik peristiwa yang telah terjadi. Meskipun rencana menjebak Kak Calvin gagal, sepertinya aku harus menutupinya, ini semua demi kebaikanku. Kak Calvin tampak terdiam sambil menyentuh kepalanya. Sepertinya dia mencoba mengingat-ingat. Ah aku sih berharap dia ingat. "Aku ingat bertemu denganmu di restoran, tapi itu hanya sebentar dan kita bahkan tidak mengobrol. Selanjutnya aku bertemu dengan rekanku," jelas Kak Calvin dengan raut bingung. Dari ekspresi wajahnya, tidak ada sedikitpun kebohongan yang terlihat. Berarti, dia benar-benar lupa. Atau jangan-jangan itu pengaruh dari obat yang diberikan Nona Agnes? Jadi itu obat untuk membuat orang lupa ingatan, ya? Aneh sekali Nona Agnes ini. Padahal, dia yang bilang sendiri ingin dinikahi oleh Kak Calvin, tapi bisa-bisanya buat dia lupa kejadian semalam. "Oh ya, aku juga ingat kalau kepalaku tiba-tiba sakit," kata Calvin yang kembali berbicara. "Terus aku bermimpi." "Mimpi apa, Kak?" "Mimpi kita bercinta. E-eh!" Tiba-tiba, Kak Calvin terlihat terkejut. Matanya membulat sempurna. "Apa jangan-jangan yang kumimpikan itu sebenarnya bukan benar-benar mimpi, ya? Tapi kenyataan?" Nah lho, berarti dia ingat. Tapi mungkin agak samar-samar saja. Segera, aku mengangguk cepat. "Astaghfirullahallazim!!" Kak Calvin langsung mengusap kasar wajahnya, sembari mengacak rambutnya dengan frustasi. "Ya Allah, maafkan aku. Ayah ... maafkan aku. Tapi kok bisa-bisanya sih, Vio ... kita bercinta? Ini 'kan dosa, apalagi kamu istri orang." Kak Calvin terlihat begitu sedih dan kecewa, sepertinya dia menyesali apa yang telah dia perbuat. Ya Allah, padahal aku yang salah di sini. Dia juga pasti berpikir aku sudah berumahtangga dengan Kak Yogi. "Viona ... apa kamu sama sekali nggak bisa menjelaskan apa-apa kepadaku? Tolonglah bicara, kalau memang aku ada menyakitimu ... aku bersedia bertanggung jawab," pinta Kak Calvin dengan suara lembut. Tatapan matanya terlihat penuh kasih, seperti merasa kasihan terhadap keadaanku. "Semalam, Kakak sempat memperkosaku, Kak. Kejadian awalnya saat Kakak pingsan di restoran, aku berniat membantu Kakak tadinya." Aku sedikit bercerita, supaya membuat dia sedikit lebih tenang dan tidak menyalahkan diri sendiri. Karena aku semakin merasa berdosa nantinya. "Ya Allah ...." Kak Calvin menghembuskan napasnya dengan berat. "Terus ... kok kita bisa ada di hotel sekarang?" "Aku yang membawa Kakak, tapi atas permintaan Kakak juga karena pas dimobil sempat bangun. Tadinya aku berniat membawa Kakak ke rumah sakit, eh Kakak justru memaksaku untuk mengantar ke hotel. Ke kamar ini, sampai akhirnya Kakak memperkosaku." Ya Allah, aku lagi-lagi berbohong. Padahal masih pagi. Maafkan aku. "Ya ampun bodohnya aku!! Bisa-bisanya aku nggak ingat telah melakukan perbuatan bejat seperti ini!! Padahal aku sudah berjanji ingin menjadi pribadi yang lebih baik!!" Kak Calvin mengetok-getok kepalanya sendiri dengan tangannya penuh emosi. Rasa sesal itu kian terasa hingga membuat wajahnya memerah saat kembali menatapku. "Aku minta maaf, Vio. Kalau begitu ayok kita siap-siap, kita harus pergi ke kantor polisi." Kak Calvin langsung turun dari kasur, lalu memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai. Sepertinya mau dia pakai kembali. "Mau ngapain ke kantor polisi, Kak?" Aku bertanya sambil menurunkan pandangan. Meskipun semalam sudah melihat dengan jelas tubuh polosnya, tapi tetap saja sekarang aku merasa malu. "Kamu harus melaporkan kejadian ini. Nanti katakan pada pihak polisi kalau aku telah memperkosamu, ya!" Mataku seketika membulat mendengarnya. Apa Kak Calvin ini gila? Bisa-bisanya dia memintaku untuk melaporkannya. Itu 'kan sama saja aku bunuh diri, kan aku yang salah. "Enggak, Kak! Enggak perlu!" tolakku dengan gelengan kepala. "Kok enggak perlu? Kamu 'kan perempuan, Vio. Kamu harus punya harga diri, apalagi kamu masih punya suami. Aku nggak mau hanya karena aku rumah tanggamu hancur, aku siap bertanggung jawab!" tegas Kak Calvin dengan sungguh-sungguh. Bahkan dia juga sudah menarik tanganku untuk beranjak dari kasur. Ya ampun gawat! Ini tidak boleh terjadi. "Enggak, Kakak!" Aku berusaha menolak sembari memegangi selimut untuk menutupi tubuh polosku. Semoga saja Kak Calvin mau mengerti. "Kita lupakan saja apa yang telah terjadi. Kita berdamai, nggak perlu pakai bawa-bawa polisi dan aku pun sudah memaafkan Kakak." "Semudah itu?!" Kak Calvin terlihat bingung dan kecewa menatapku, kedua alis matanya terangkat dengan dahi sedikit berkerut. "Kok bisa? Itu 'kan sama saja kamu telah mengkhianati suamimu, Viona. Kamu nggak boleh seperti itu!" Apa Kak Calvin merasa kasihan terhadap Kak Yogi? "Iya, aku tau nggak boleh. Tapi ini hanya kecelakaan Kakak. Dan lebih baik masalah ini nggak perlu diketahui oleh siapa pun, termasuk Nona Agnes. Anggap saja enggak pernah terjadi apa-apa diantara kita," jelasku meminta pengertian. "Agnes?! Kamu mengenal Agnes?" Kak Calvin terlihat semakin bingung. "Iya." Aku mengangguk cepat. "Dia pacar Kakak, kan?" "Iya, tapi kok kamu tau?" "Nona Agnes itu bosku, Kak. Aku bekerja sebagai asistennya. Kalau sampai Nona Agnes tau ... apa yang terjadi di antara kita, Kakak bisa-bisa putus dengannya. Kan bahaya." "Biarkan saja kalau memang putus. Aku nggak masalah," jawab Kak Calvin yang tampak sangat enteng. Kok begitu jawabannya? Apa Kak Calvin tidak benar-benar mencintai Nona Agnes, ya?" "Lho, kok begitu? Jangan dong, Kak. Nona Agnes itu sangat mencintai Kakak. Dia malah sering bercerita padaku, kalau dia ingin sekali Kakak lamar. Dia sudah sangat siap untuk menikah." Semoga saja dengan aku mengatakan hal ini, Kak Calvin bisa langsung berpikir untuk cepat menikahi Nona Agnes. Jadi tidak perlu repot-repot perempuan itu melakukan rencana jahat lain terhadapnya. Aku juga tidak tega melakukannya, karena pastinya Nona Agnes kembali meminta bantuanku. "Kamu nggak perlu mengurusi hubunganku dengan Agnes. Terserah aku mau menikah atau enggak sama dia." Nada suara Kak Calvin tiba-tiba berubah datar. Sorot matanya pun tampak tidak bersahabat. Kenapa dengannya? Apa aku salah bicara, ya? "Sekarang ... aku ingin memastikan sekali lagi." Kak Calvin tiba-tiba mendekat ke arah wajahku, ya ampun! Jantungku langsung berdebar begini dan keringat dingin pun jadi bermunculan. "Apakah kamu sungguh-sungguh ingin merahasiakan masalah ini? Nggak perlu memintaku untuk bertanggung jawab? Pikirkan baik-baik, Vio. Aku nggak mau nantinya kamu menyesal.","Oma sih maunya laki-laki. Tapi kalau perempuan juga nggak masalah, yang penting dia lahir sehat dan sempurna tanpa kekurangan satupun." Jawaban Oma Selly terdengar bijak. Setelah proses ijab kabul selesai, aku dan Pak Kenzie berpindah ke panggung pelaminan. Sebuah panggung yang terasa begitu luas dan indah dengan dekorasi yang mewah. Satu persatu kami menyalami para tamu undangan yang terlihat asing bagiku, namun Pak Kenzie mengenal mereka semua. Tak lama, seorang fotografer dengan kamera yang besar dan mengkilap, melangkah menghampiri kami. Dia, yang juga telah mengabadikan momen sakral ijab kabul, kini sepertinya akan mengabadikan momen berikutnya. "Mau foto keluarga dulu apa foto berdua dulu nih, Pak?" tanyanya kepada Pak Kenzie. Pak Kenzie langsung mencari-cari keluarganya yang telah larut di tengah kerumunan. Ayah dan Bunda juga terlihat sibuk menyalami para tamu undangan. "Foto berdua dulu deh, Pak. Tapi nanti dulu, masih banyak tamu," jawab Pak Kenzie. "Ya sudah, kalau
Lho… sepertinya pernikahanku dan Pak Kenzie sudah sah, ya? Aku baru tersadar. Sepanjang prosesi tadi, aku terlalu larut dalam pikiran tentang Papa, sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa prosesi pernikahan telah selesai. "Kamu kenapa sih, Zea? Ayok cepat. Orang-orang sudah menunggu." Suara Pak Kenzie sedikit menekan, nada suaranya mulai berubah, tampaknya dia mulai kesal karena lamunanku yang berkepanjangan. "I-iya." Aku menjawab dengan terbata-bata, masih sedikit linglung. Aku langsung mengambil salah satu cincin dari kotak itu, cincin emas yang berkilauan, lalu memakaikannya ke jari manis Pak Kenzie. Setelah itu, gantian Pak Kenzie yang memakaikan cincin padaku. Namun, sebelum itu, dia melepas cincin yang sudah aku pakai saat pernikahan siri dengannya. Dia menyimpan cincin itu di saku jasnya, tanpa penjelasan. Entah maksudnya apa, aku sendiri tidak bertanya. Aku terlalu lelah untuk memikirkan hal itu. Aku segera mencium punggung tangannya, lalu berlanjut dia yang mencium ken
"Pak Kenzie, kenapa Bapak tega merebut Zea dariku?!" Teriakan itu menusuk telingaku seperti sebilah pisau.Mas Jamal… wajahnya merah padam, urat-urat lehernya menegang, mata merahnya melotot tajam, mengintimidasi. Tubuhnya gemetar menahan amarah yang meluap-luap.Baru kali ini kulihat kemarahannya. Tapi… kenapa dia bisa ada di sini?Setahuku, saat Pak Kenzie menikah dengan Nona Helen, dia masih menjaga rumah, setia menjalankan tugasnya. Apa mungkin… ini semua karena aku? Karena akulah yang menikah dengan Pak Kenzie?"Apa-apaan kau Jamal! Berani-beraninya membuat kegaduhan di acara pernikahanku!" Suara Pak Kenzie menggelegar, membuatku tersentak.Dia sudah berdiri, jas hitamnya tampak tegang, mencerminkan amarahnya yang membuncah. Tangannya mengepal kuat. Wajahnya memerah, napasnya memburu.Tentu saja, dengan tabiatnya yang gampang emosi, Pak Kenzie jelas marah besar. Apalagi kejadian ini dilihat bany
"Emm ...," aku menggantung kalimatku, mencari kata-kata yang tepat. "Belum kepikiran, Bun." jawabku akhirnya, sedikit canggung. "Ya udah, nggak perlu dipikirkan sekarang. Santai saja." Bunda mengelus pundakku penuh perhatian. Aku hanya mengangguk. *** "Bundaaa!!" Jeritan bahagia itu memecah hiruk pikuk Bandara Soekarno-Hatta. Gelombang manusia berlalu-lalang, arus deras yang tak pernah berhenti. Suara roda koper beradu dengan derap langkah kaki terburu-buru. Di tengah keramaian itu, seorang perempuan yang kuyakini adalah Keiko berlari menghamburkan pelukan kepada Bunda. Rambut pirangnya yang tergerai berkilauan, kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Dua koper besar tergeletak di lantai, tak dihiraukannya. Bunda menyambut pelukan itu dengan erat, tangis haru tertahan di balik senyumnya yang merekah. "Alhamdulillah, akhirnya kamu sudah sampai Indonesia. Bagaimana kabarmu, Sayang? Baik?" Suara Bunda bergetar, penuh kelembutan. Jemarinya yang lembut menyentuh kedua pip
"Tapi masalahnya masa Ayank sih, Pak? Menurutku itu panggilan alay." Zea masih ragu, menunjukkan keraguannya terhadap pilihan panggilan tersebut. "Alay apanya? Justru itu biar kelihatan kita adalah pasangan romantis. Ah pokoknya mulai sekarang... aku mau kamu memanggilku dengan sebutan itu!" "Nggak ada yang lain apa, Pak, selain Ayank?" Zea bertanya sambil meringis geli. Menurutku, yang alay justru ekspresi dia yang seperti itu. "Kalau nggak mau Ayank, berarti Bebeb." "Ih apalagi kalau Bebeb! Lebih alay, Pak!" Zea menolak dengan tegas, menunjukkan ketidaksukaannya. "Aku nggak peduli mau kamu anggap alay atau apa, intinya aku mau dipanggil Ayank atau Bebeb sama kamu, titik!" tegasku tanpa penolakan. Zea ini kenapa sih, suka sekali membantah. Padahal seharusnya seorang istri itu nurut apa kata suaminya. Sebuah rasa kesal mulai muncul dalam hatiku. "Ya ampun ada apa sih? Kok malam-malam ribut?" Ayah tampak sudah duduk dan memerhatikan kami berdua. Sepertinya perdebatan kami tadi m
"Benar, Ayah. Aku ingin ikut menginap saja menemani Pak Kenzie," jawab Zea.Ribuan kupu-kupu berdansa di perutku. Rasa senang yang luar biasa membuncah, memenuhi seluruh rongga dada. Aku merasa puas, puas sekali dengan jawabannya. Sebuah beban seolah terangkat dari pundakku."Kamu yakin bakal bisa tidur? Tidur di rumah sakit itu 'kan nggak enak." Ayah tampak ragu, menunjukkan kekhawatirannya yang tulus. Dia menatap Zea dengan tatapan penuh tanya, mencari kepastian. Sorot matanya terpancar kekhawatiran yang dalam.Sejak tahu Zea hamil, aku merasa bukan hanya Ayah, tapi juga Bunda, jauh lebih menyayangi Zea ketimbang aku."Kalau memang Zea kepengen menemaniku ya biarkan saja, Ayah. Lagian Zea ini 'kan calon istriku, wajarlah kalau dia menemani." Suaraku terdengar sedikit menantang, mencoba menegaskan posisiku."Bukan masalah itu, Ayah tahu Zea memang calon istrimu. Tapi ... Ayah cuma khawatir nantinya dia tidak bisa tidur." Ayah mencoba menjelaskan, suaranya lembut, namun