"Eeeugghhh ...." Kak Calvin mengerang sambil menggeliat, matanya perlahan terbuka dan menatapku dengan lekat. "Kamu sudah bangun, Vio? Maaf kalau tadi aku-"
"Ssttttt ...." Aku mendesis, langsung menempelkan jari telunjukku ke bibir Kak Calvin. Jantungku berdebar kencang, takut suara Kak Calvin akan membuat kami ketahuan.Segera, aku menunjuk jendela, memperlihatkan Pak Polisi yang masih berada di sana. Wajahnya kini menempel kaca, begitu dekat sekali, seakan penasaran ingin melihat orang yang berada di dalam mobil."Siapa itu? Eh, polisi? Kok ada polisi?" bisik Kak Calvin dengan mata membulat. Dia tampak terkejut dan heran, buru-buru mengambil pakaian kami yang berserakan di bawah kursi lalu membantuku memakai kembali pakaian.Selanjutnya, dia juga memakai pakaian miliknya. Gerakannya begitu terburu-buru. Aku tahu dia pasti panik.Dengan napas tersengal, Kak Calvin segera menurunkan jendela mobil untuk menemui Pak Polisi. Aku sedikit hera(POV Calvin) "Kakak harus melupakan Nona Agnes mulai sekarang, dan belajarlah untuk kembali mencintaiku seperti dulu." "Mencintaimu...?" Kata-kata itu bergema di telingaku, sebuah nada yang janggal dalam pikiranku. Rasanya aneh saja, mengapa Viona memintaku untuk kembali mencintainya? Apakah itu penting, untuk hubungan kita? "Kak, kok diem? Kenapa bengong?" Viona mengibaskan tangannya di depan wajahku, suaranya sedikit tercampur kekecewaan. "Apa Kakak nggak mau?" Aku langsung tersentak, karena sempat melamun. "Kalau tentang melupakan Agnes, aku tidak akan berjanji, tapi akan membuktikannya. Tapi kalau tentang mencintaimu lagi..." Suaraku terhenti, kata-kata itu tiba-tiba terjebak di tenggorokanku. Tapi aku juga ingin melihat bagaimana reaksi Viona. Ingatan tentang janjiku kepada Ayah begitu tajam dan jelas dalam benakku. Dia percaya ini jalan yang benar untukku. Tapi mengapa sek
Apa-apaan dia ini? Jelas Viona sedang menggodaku, bukan? Apalagi sudah secara terang-terangan tanpa malu membuka bajunya di hadapanku.Viona, dengan tatapan yang menggoda, kini berjalan mendekatiku. Dia mendorong sedikit bahuku, membuatku terjatuh ke belakang. Bibirnya mendekat, dan aku merasakan sentuhannya yang lembut."Viona!" Aku terkesiap. Apakah benar, dia memang mencintaiku? Sampai ingin kembali bercinta denganku?Atau... ini hanya sebuah rasa n@fsu belaka?Aku tak berani berharap terlalu tinggi, takut kecewa. Namun, godaannya tak tertahankan. Rasa panas menjalar di tubuhku, ketika tangannya yang halus membelai dadaku."Aahhh..." desahku, merasakan tubuhnya yang hangat dan lembut. Dia begitu dekat, dan aku merasakan hasrat yang membara di dalam diriku. "Viona, aku..." Kalimatku terhenti, tertelan oleh ciumannya yang dalam.Kobaran api dalam dada semakin membara, memaksaku untuk mengambil kendali atas situasi ini.
"Bahaya? Bahaya kenapa?" tanyaku bingung, mencoba untuk memahami apa yang terjadi. Segera, kuraih ponsel Viona lalu menatap layar. Tertera sebuah chat dari nomor baru, yang isinya adalah: [Kenzie sedang dalam bahaya, hati-hati.] "Siapa yang mengirim chat, Vio?" tanyaku bingung, menatap Viona. Perempuan itu langsung menggeleng cepat. "Aku juga nggak tau, Kak. Nomornya enggak aku kenal." Aku langsung memencet ikon memanggil, sekaligus mengakhiri panggilan dari Om Erick. Tanganku gemetar, rasanya seperti ada jutaan jarum yang menusuk-nusuk kulitku. Sayangnya, nomor baru itu justru tidak aktif. "Nomornya nggak aktif, tapi kamu jangan panik dulu," ucapku mencoba menenangkan Viona, sebab kulihat dia begitu gelisah. Bahkan sudah bangkit dari tempat tidur. "Bagaimana aku nggak panik, Kak, sementara Kenzie dalam bahaya. Masa Kakak khawatir, sih?" Viona menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, mencerminkan kepanikan yang mendalam. Tentu saja aku pun khawatir, tapi aku merasa tidak perc
"Walaikum salam. Bagaimana kabarmu dan Viona di sana?" Suara Papa terdengar ramah di seberang sana, seolah menjawab semua rasa gelisahku mengenai Kenzie. "Baik, Pa. Maaf sebelumnya, aku ingin meminta nomor kepala sekolah Kenzie sama Papa, kata Viona Papa punya." "Kepala sekolah?? Mau apa memangnya, Cal?" "Si Viona, tadi ada yang ngirim chat, ngasih tau kalau Kenzie dalam bahaya. Aku sama Viona jadi khawatir Kenzie kenapa-kenapa, Pa." "Siapa yang mengirim chat? Kenzie baik-baik saja kok, dia lagi sekolah." "Nomor nggak dike-" Ucapanku terpotong saat Viona tiba-tiba bicara. "Apa Papa bisa memastikan kalau Kenzie benar-benar ada di sekolah?" "Bisa," jawab Papa. "Tadi pagi Papa sempat mampir ke sekolah dan ketemu Kenzie di sana." "Serius, Pa? Sampai Kenzie masuk kelas, kan?" tanya V
Konyol sekali memang, pada akhirnya aku tak mampu menolak lagi permintaan Viona. Aneh, pakai jurus apa Viona ini, sampai selalu bisa membuat hatiku luluh.Kami pun pergi ke rumah Bapak penjual es kelapa, yang katanya ada pohon kelapa di depan rumahnya.Sesampainya di sana, ternyata benar, di depan rumahnya ada pohon kelapa, bahkan lebih dari satu. Rumahnya juga tepat di tepi pantai, membuat Viona langsung merengek ingin berenang.Aku baru tahu, kalau perempuan hamil bisa bertingkah seperti anak kecil. Tapi, aku merasa gemas melihat tingkahnya."Jadi, kamu mau kita berenang dulu, atau minum air kelapa di atas pohon dulu?" tanyaku sambil menatap Viona yang terlihat berbinar-binar, memandangi suasana pantai yang ramai. Banyak orang berenang di air laut yang jernih."Aku mau minum air kelapa sambil berenang saja deh, Kak."Lho, berubah pikiran dia sekarang."Nggak jadi minum air kelapa di atas pohonnya?" tanyaku memastikan,
Tubuhku bergetar hebat, seakan tersambar petir, saat mendengar kabar buruk tentang Kenzie yang hilang. Ya Allah, aku tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi lagi. Rasa takut dan cemas mencengkeram jantungku. "Kamu tunggu di sini dulu ya? Aku mau pergi menemui Bunda dan Ayah," pamit Kak Calvin, langsung berlari meninggalkan aku. Namun, aku segera mengejarnya, kakiku terasa ringan bagai diangkat angin, hingga sampai ke halaman rumah. Aku menarik tangannya, menahannya untuk pergi. "Aku mau ikut, Kak!" seruku dengan suara bergetar, dipenuhi kepanikan. Tak mungkin aku bisa berdiam diri di sini menunggu saja, sementara anakku hilang. Selain itu, aku penasaran dengan alasannya hilang, karena rasanya aneh, seperti ada yang tak beres. "Tapi kamu nanti capek, Vio, aku takut kamu kenapa-kenapa," ujar Kak Calvin, suaranya terdengar khawatir, seolah melarangku untuk pergi bersamanya. "Justru yang ada pikiranku yang capek, Kak, kalau disuruh nunggu. Aku juga mau tahu alasan Kenzie hilang,
Tak lama kemudian, dua mobil datang. Salah satunya adalah mobil polisi. Hatiku berdebar kencang. Aku tak bisa diam, tangan mengepal erat, mataku terus tertuju pada pintu mall. Apakah Kenzie sudah ditemukan? Apakah dia baik-baik saja? Sejuta pertanyaan berputar di kepalaku, menggerogoti ketenangan yang berusaha kutepis. Beberapa orang keluar dari mobil. Salah satunya adalah Ayah Andre. Mereka langsung berhamburan masuk ke dalam mall, mencari Kenzie. Aku, Bunda, dan Chika tetap di dalam mobil. Tangan Bunda menenangkan punggungku, lembut dan hangat. "Jangan berhenti berdoa, Vio," bisiknya. "Kenzie anak yang kuat dan pintar. Dia pasti akan baik-baik saja. Kita harus berpikir positif, ya." "Iya, Bun," jawabku, berusaha meyakinkan diri sendiri. Chika masih terlihat terpuruk, matanya berkaca-kaca. "Mbak, maafin Chika, ya. Gara-gara Chika, Dedek Kenzie hilang..." Aku tersenyum kecil, berusaha menenangkannya. "Ini bukan salahmu, Chik. Ini musibah." Bunda tiba-tiba berbisik, "Vio, Bu
"Tapi kok Kakak bisa tau, kalau Kenzie ada di rumah Nona Agnes? Apa Nona Agnes menghubungi Kakak?" tanyaku, d*daku terasa panas. Aku sangat berharap mereka sudah tak lagi berkomunikasi, tapi sepertinya harapanku terlalu tinggi, ya?"Aku tau dari Ayah. Agnes memberitahukan melalui Ayah," jawab Kak Calvin."Ayah?" Lega rasanya mendengarnya.**Tak lama, mobil yang kami tunggangi akhirnya sampai di depan halaman rumah Nona Agnes. Dari kejauhan, kulihat Kenzie berdiri di sana bersama Nona Agnes. Tampaknya dia menunggu kedatangan kami, dan hatiku langsung berbunga melihatnya dalam keadaan baik."Bundaaaa!! Ayaaahh!!" Kenzie berteriak, dan langsung berlari menghambur ke pelukan kami saat kami baru saja turun dari mobil. Tapi yang lebih dulu dia peluk adalah Kak Calvin, lalu selanjutnya adalah aku."Kamu baik-baik saja 'kan, Nak? Apa kamu terluka?" Aku segera menggendong Kenzie, lalu kuperhatikan seluruh tubuh dan wajahnya sambil k
"Kamu pergilah ke pasar tradisional, terus cari ayam yang masih hidup, Ken, lalu sekalian minta disembelih. Tapi bulunya tidak perlu dicabut dan cari bulunya yang bagus, ya?"Permintaan Bunda membuatku mengerutkan dahi. Ada yang aneh."Kenapa bulunya nggak boleh dicabut dan harus dicari yang bagus?" tanyaku, suaraku terdengar sedikit ragu, kebingungan memenuhi dada. Ini bukan permintaan yang biasa."Karena bulunya itu yang mau dipakai. Si Zea kepengen makan sup bulu ayam katanya, jadi nanti Bunda mau masakin untuknya." Jawaban Bunda semakin membuatku heran."Sup… bulu ayam?" Nama masakan itu terdengar asing di telingaku, benar-benar aneh. "Memangnya bulu ayam bisa dimakan ya, Bun? Setahuku nggak bisa deh." Aku menggelengkan kepala tak percaya.Bunda terkekeh pelan. "Memang nggak bisa, lagian nggak ada dagingnya juga, Ken." Ternyata Bunda juga menyadari keanehannya."Terus... ngapain juga si Zea kepengen makan bulu ayam? Pakai di sup segala lagi." Keheranan dan kekhawatiran
"Ih enggak!" bantahku dengan gelengan kepala, lalu membuka pintu kamar. "Kalau begitu aku mau mandi dulu deh." "Ya sudah, sana mandi. Ayah tunggu di ruang makan, ya? Jangan lupa cukuran juga biar enak dipandang." Ayah kembali tertawa mengejek, lalu melangkah pergi turun dari anak tangga. Cukuran katanya? Apanya yang perlu dicukur? Rambutku saja masih pendek. Baru kemarin aku potong rambut. * * * "Ken… kamu sudah mendengar dari Zea belum, masalah mahar pernikahanmu?" tanya Ayah, suaranya santai terdengar di antara gemuruh mesin mobil yang kami tumpangi. Hari ini Ayah tidak membawa mobilnya, katanya sedang diservis di bengkel. Kami berangkat kerja bersama. "Sudah, Yah. Kenapa memangnya?" Aku menoleh sebentar, dahiku berkerut, sebelum kembali fokus menyetir. Pertanyaan Ayah membuatku sedikit penasaran. "Masalah rumah dan mobilnya, nanti biar Ayah yang cari. Pak D
Keduanya lalu menatap kembali Zea. "Selain itu, apa lagi yang Kakek sampaikan?" tanya Ayah, suaranya lembut.Zea terdiam sejenak, menunduk, ragu untuk melanjutkan. "Dia ...," bisiknya pelan, "Memintaku untuk memaafkan apa yang Pak Kenzie perbuat.""Lalu, kamu jawab apa?" tanya Ayah lagi, tatapannya penuh perhatian."Belum sempat aku jawab, Yah, tapi Kakek sudah keburu pergi. Dipanggil pun tidak menjawab," jawab Zea lirih."Apakah wajah Kakek menyeramkan? Bagaimana saat kamu melihatnya?" Kali ini Bunda yang bertanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran.Aku sendiri sebenarnya ingin bertanya juga, tapi pertanyaan Bunda dan Ayah seakan mewakili semua rasa ingin tahuku."Wajahnya sama seperti di foto, Bun. Cuma... agak glowing saja."Ayah menatapku, lalu mendekat dan menggenggam tanganku erat. Tanpa sepatah kata, dia menarikku berdiri dari tepi kasur."Sekarang kamu istirahat dulu ya, Zea. Nanti Bibi bawakan
"Rumah sakit, Bun." Kataku tegas, tak ada waktu untuk ragu. "Ya sudah, ayo. Bunda ikut untuk menemani." "Iya." Aku mengangguk cepat, kemudian menggendong Zea dengan hati-hati. Bunda mengikuti dari belakang, sambil memainkan ponselnya. "Bunda memangnya nggak apa-apa ikut aku? Nanti kalau Ayah cariin gimana?" tanyaku sedikit khawatir. "Ini... Bunda sudah kirim chat sama Ayah. Dia tadi masih tidur, nanti kalau sudah bangun terus nyariin, pasti dia buka HP." Jawab Bunda tenang, menenangkan kekhawatiranku. "Oh gitu, ya sudah." Aku lega mendengarnya. Setelah kami bertiga masuk ke dalam mobil, aku segera melajukan mobil menuju rumah sakit terdekat. Jalanan malam terasa sunyi, hanya diiringi debaran jantungku yang semakin cepat. Setibanya di sana, aku langsung menggendong Zea menuju ruang UGD, jantungku berdebar kencang berharap dia segera mendapatkan penanganan. Bunda dan aku duduk di kursi tunggu, kesunyian terasa mencekam di antara deru napas cemas kami. "Bun... Bunda nggak
"Zea ...."Suara berat itu mengalun lembut, namun berhasil menggetarkan jantungku. Seorang pria berdiri di hadapanku, siluetnya samar-samar dalam cahaya remang.Wajahnya memang asing, namun aura bijaksana terpancar darinya. Usia senjanya terlihat jelas dari kerutan yang menghiasi wajahnya yang sawo matang, bercahaya meski dipenuhi garis-garis waktu. Rambutnya seputih salju, hampir sepenuhnya memutih. Dia mengenakan jubah putih panjang yang menambah kesan misterius.Pikiran berputar cepat.Siapa dia? Bagaimana dia tahu namaku? Dan lebih penting lagi, bagaimana dia bisa berada di sini, di depan kamarku, di tengah malam begini? Selama aku tinggal di sini, aku belum pernah melihatnya sebelumnya."Boleh nggak kita bicara sebentar?" tanyanya, matanya menatapku dalam-dalam, penuh arti. Tatapan yang seolah menembusku, membaca isi hatiku."Bicara apa? Tapi maaf ... Kakek ini siapa, ya?" Aku bertanya, suaraku sedikit gemetar karena rasa was-was yang mulai menguasai. Aku memperhatikann
"Jangan bilang kamu selingkuh dengannya?" Pertanyaan mendadak Pak Kenzie membuatku tersentak. Tuduhan yang begitu tiba-tiba dan tanpa sebab itu sungguh membuatku marah. Apa-apaan dia ini? Mobil yang dikendarainya langsung berhenti. "Bapak ini ngomong apa sih?! Pak Bahri itu mantan bosku di rumah makan Padang, masa Bapak lupa?" "Ingat, tapi kenapa dia menghubungimu? Pasti ada alasannya, kan? Pasti karena kalian ada hubungan!" Nada bicaranya semakin meninggi, menunjukkan ketidakpercayaannya yang begitu besar. "Astaghfirullah, Pak... Bapak jangan su'uzon padaku! Aku sama dia nggak ada hubungan apa-apa. Dia cuma mau main ke sini." Aku berusaha menjelaskan dan bersikap tenang, walau amarahku masih menggelayuti. "Main?" Matanya membulat, tatapannya tajam seperti elang yang mengintai mangsa. Menurutku, reaksinya itu terlalu berlebihan. Pak Kenzie ini selain plin plan dan menyebalkan, dia juga lebay. "Itu sudah cukup membuktikan kalau dia naksir sama kamu, Zea. Seharusnya tadi k
"Kalau kita sudah bercinta, aku bisa tidur nyenyak, dan aku bisa lebih mudah memikirkan biaya mahar itu.” Pak Kenzie menghela napas, mencoba menjelaskan dengan sabar, namun nada bicaranya terdengar sedikit memaksa supaya aku menuruti permintaannya. "Tidur nyenyak?" Aku mendengus kesal. Itu terdengar tak masuk akal. “Jangan mengada-ada, Pak. Setiap malam bukannya Bapak tidur nyenyak?" "Enggak kok." Dia menggeleng cepat, membantah. "Semalam buktinya Bapak tidur nyenyak.” Aku sengaja menekankan kata ‘nyenyak’, karena aku jelas-jelas mendengar dengkur kerasnya semalam. Dia berdusta! “Kamu nggak akan mengerti, Zea. Yang tau tentang ini hanyalah laki-laki. “Kenapa bisa begitu?” tanyaku, merasa kecewa. “Kalaupun dijelaskan, kamu tetap tidak akan paham." Cih! Sifat menyebalkannya muncul
“Niat Ayah dan Bunda datang ke rumah Papa sebenarnya ingin mengabarkan pernikahan kita, Pak. Tapi Papa malah membahas mahar,” kataku, menjelaskan inti kejadian pagi tadi. Pak Kenzie mengerutkan dahi. “Papamu meminta mahar untuk pernikahan kita?” Aku mengangguk cepat, “Iya. Semua ini gara-gara Juragan Udin. Papa berniat menjodohkanku dengannya karena Juragan Udin berani memberikan mahar rumah dan mobil.” Mata Pak Kenzie membulat. Dia tampak terkejut. “Memangnya Ayah dan Bunda tidak memberitahu Papamu kalau kamu sedang mengandung anakku?” Aku menggeleng pelan, “Tidak, Pak. Sepertinya mereka melakukan itu karena takut Papa marah.” “Terus, Papamu meminta mahar apa untuk pernikahan kita?” “Rumah, mobil, dan uang seratus juta,” jawabku, mencoba bersiap menghadapi reaksinya. Aku sudah menduga dia akan terkejut. “Apa?!” Seruannya kali ini lebih keras, menunjukkan keterkejutan yang nyata. Aku menunduk, menahan malu. “Maafkan Papaku, Pak. Seharusnya Ayah dan Bunda tidak langsung
Aku menghela napas lega, ketika kami bertiga akhirnya pulang dari rumah Papa. Meskipun sejak kecil aku tinggal di sana, hampir tak ada sedikit pun kenyamanan yang kudapatkan.Rumah itu lebih terasa seperti penjara daripada tempat tinggal yang sesungguhnya. Kenangan pahit lebih banyak terukir daripada kebahagiaan.Sangat jauh berbeda dengan saat aku tinggal di rumah Ayah Calvin dan Bunda Viona. Baru beberapa hari, aku sudah merasa betah, nyaman, dan diterima sepenuhnya. Bahkan kenyamanan itu sudah kurasakan jauh sebelum mereka menerimaku sebagai calon menantunya. Di sini, aku merasakan kasih sayang dan kehangatan yang selama ini tak pernah kurasa.Hari ini cuaca sangat panas sekali, tubuhku terasa lengket dan gerah. Sebaiknya aku mandi dulu untuk menyegarkan tubuh. Aku juga teringat kalau harus pergi ke mall bersama Pak Kenzie.“Zea… kamu mau ke mana?” Bunda Viona bertanya, suaranya lembut dan perhatian. Pertanyaannya membuat langkah