“Kenapa tanya padaku? Temui saja dia besok, kamu akan langsung tau sendiri.” Mbah Yahya menjawab singkat, tampaknya enggan berbagi informasi lebih lanjut.
“Tapi aku penasaran, Mbah.” Aku menatapnya memoh. “Aku akan memberikan Mbah uang tambahan kalau Mbah mau memberitahuku sekarang.” Aku menawarkan suap, berharap bisa membujuknya.“Nggak perlu. Lagian aku juga harus segera pulang sekarang, masih ada job di tempat lain.” Mbah Yahya berdiri, siap untuk pergi. Aku langsung menahannya.“Berapa pun yang Mbah minta… aku akan berikan.” Aku meningkatkan tawaran, keinginan untuk mengetahui jawabannya mengalahkan segala pertimbangan. Aku ingin menguji seberapa sakti pria tua ini.Mbah Yahya menghela napas panjang, tampak lelah. Namun, sebuah senyuman tipis terlihat di bibirnya. Aku begitu senang dengan jawabannya. “Baiklah …,” katanya, suaranya sedikit berat. “…Dia akan memperlihatkanmu sebuah foto yang membuatmu tercengang.”"FoSebelum aku sempat melawan, dengan gerakan cepat dan tiba-tiba, bibirnya sudah menempel di bibirku.Ciumannya kasar, penuh paksaan, menghantamku dengan brutal. Aku tersentak kaget, mataku membulat sempurna.Tanganku secara naluriah menyentuh dadanya, ingin mendorongnya menjauh. Namun, aku terlalu lambat. Dia lebih kuat, lebih cepat, gerakannya seperti kilat. Dan sebelum aku bisa bereaksi lebih lanjut, pakaianku sudah setengah terlepas, tubuhku terpapar di hadapannya.Aku pun akhirnya pasrah. Rasa tak berdaya mencengkeramku. Aku menutup mata, menunggu hal yang tak ingin kuhadapi. Mungkin, ini sudah saatnya… aku dan Pak Kenzie...."Aaaww!!" Tiba-tiba dia meringis kesakitan, suaranya tertahan. Ciumannya terhenti dengan mendadak."Kenapa, Pak?" tanyaku bingung. Aku sama sekali tidak menggigit bibirnya atau melakukan tindakan kasar yang lain, tapi kenapa dia justru kesakitan?"Keluarlah dulu, Zea, dan pakai lagi pakaianmu." Pak Kenzie membukakan pintu
“Zea, kamu dengar aku, kan?” suara Pak Kenzie meninggi, membuatku tersentak. Degupan jantungku semakin cepat."Enggak, Pak." Aku menggeleng cepat, berusaha agar suaraku terdengar tenang. "Aku nggak pakai pakaian kurang bahan itu. Dan ini juga masih terlalu pagi untuk… untuk itu, Pak. Menurutku lebih baik malam saja."Aku tahu persis ke mana arah pembicaraan ini menuju. Rasa takut mulai merayap di hatiku."Dalam bercinta itu nggak ada aturannya, Zea. Mau pagi, siang, atau malam… asalkan kita sudah sah, kapan pun bisa dilakukan."Lagi-lagi kata 'sah' ditekankan, seolah itu menjadi satu-satunya alasan yang membenarkan semua ini.Memang benar, kami sudah sah, tapi aku belum siap. Belum siap secara mental dan emosional.Hening… hanya deru mobil yang memecah kesunyian. Aku tak menjawab, bingung harus berkata apa. Kata-kata seakan macet di tenggorokan.Akhirnya, kami sampai di tujuan. Sebuah tempat pemakaman umum yang rapi dan elite. Kuburan orang-orang kaya, kurasa.Sebelum ke pusar
“Bunda… Ayah,” panggilku lirih, suara sedikit bergetar. Ayah segera menutup pintu kamar, lalu menunjuk ke arah sofa—isyarat untuk kami duduk bersama. Aku menurut, jantungku berdebar-debar, tak berani bertanya. “Ken… Mana obat yang kamu dapat dari Bunda?” tanya Ayah, suaranya tenang namun tegas, menusuk kalbuku. Dengan tangan gemetar, aku mengambil obat di atas nakas, memberikannya pada Ayah. “Maaf, Yah. Sebenarnya obat itu milikku,” aku langsung mengakui. Lebih baik jujur daripada diinterogasi. Beban berat terasa menindih pundakku. Aku yakin Bunda sudah bicara dengan Ayah, menuduhnya selingkuh, padahal akulah penyebabnya. “Milikmu?” Dahi Ayah berkerut, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. “Apa maksudmu, Ken? Ayah dapat obat ini dari Akmal, tapi dia bilang kamu yang memintanya. Tapi masalahnya …” Ayah menjeda, menoleh ke Bunda yang menatapku dengan tatapan penuh tanya. “Ayah tidak pernah memintamu membelikan obat seperti itu, Kenzie. Ayah yakin.” “Memang tidak pernah, Ya
(POV Kenzie) "Tunggu dulu, Pak!" Zea menahan langkahku, saat bibirku hampir menyentuh bibirnya. Detik-detik yang seharusnya penuh gairah, kini terasa menggantung. Ah, kebiasaan dia ini, selalu jual mahal. "Apa lagi? Kamu nggak boleh menolak lho, Zea. Ini kan sudah kesepakatan kita." Tanpa menunggu jawaban, aku menggendongnya, membawanya ke ranjang. Namun, saat tubuhnya terbaring lembut di kasur, mataku membulat tak percaya. Bunda terbaring di sana, matanya terpejam dalam tidur lelap. "Lho, kok Bunda ada di sini, Zea?" Rasa kecewa memenuhi dada. Jika Bunda ada di sini, rencana indahku pasti gagal. Aku tak mau! "Iya, Pak. Itulah yang ingin kusampaikan tadi. Bunda ada di sini." "Tapi kenapa bisa?" Aku butuh penjelasan, jawaban yang masuk akal. "Jangan bilang kamu sengaja meminta Bunda ke kamarmu, supaya kita nggak jadi bercinta, kan??" Ini pasti strategi Zea, memanfaatkan kebaikan Bunda untuk menggagalkan niatku. Aku tahu itu, tapi aku tak mudah menyerah. "Bapak jangan
Ceklek…Pintu kamar mandi terbuka perlahan, memperlihatkan Ayah Calvin yang baru saja selesai mandi. Hanya berbalut handuk, langkahnya menuju lemari. Namun, pandangannya terhenti. Di ranjang, terhampar tubuh Bunda Viona yang tertidur pulas membelakangi dirinya. Cahaya lampu tidur remang-remang menerangi rambut istrinya yang terurai."Tumben Bunda udah tiduran di kasur?" tanyanya sembari memakai pakaian, suaranya pelan, penuh perhatian.Hening...Tak ada jawaban dari istrinya. Tubuh Bunda Viona juga tak merespon.Merasa penasaran, dan sedikit khawatir, Ayah Calvin pun mendekati kasur. Dia naik ke kasur dengan hati-hati, menatap wajah Bunda Viona yang tenang dalam tidur.Dengkurannya samar-samar terdengar, menandakan lelapnya tidur sang istri. Namun, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatnya sedikit cemas."Bunda pasti capek, ya, hari ini, mangkanya Ayah ditinggal tidur." Ayah Calvin mendekatkan wajahnya, lalu mencium lembut kening istrinya penuh kasih. "Ya sudah, Ayah mak
(POV Author)Malam telah tiba. Kenzie sudah pulang kerja dan mandi.Karena malam ini malam spesial, Kenzie sampai rela berendam dengan susu— berharap kulitnya akan selembut pan tat bayi saat bersama Zea nanti. Aroma susu masih sedikit tertinggal di tubuhnya, menambah sensasi yang membangkitkan. Namun, obat dari Akmal belum juga datang. Siang tadi, dia bilang belum menemukannya dan berencana mencari ke apotik yang lebih besar.Kecemasan mulai menggerogoti Kenzie. Dia berharap obat itu ada dan ingin meminumnya sekarang juga, sebelum bercinta dengan Zea. Bayangan tubuhnya yang lentur dan aroma tubuhnya yang khas membuat Kenzie semakin gelisah. Kenzie ingin malam ini menjadi malam yang sempurna."Coba telepon deh." Kenzie meraih ponselnya dari saku celana. Sayangnya, nada sambung tak kunjung ada. Nomornya tidak aktif."Ish… ke mana sih si Akmal ini? Ini 'kan sudah malam, tapi nomornya malah nggak aktif, ditungguin juga nggak d
Tapi sejujurnya, obrolanku tidak terlalu penting. Yang terpenting hanya supaya aku bisa menatapnya lama-lama sambil mendengar suaranya. Sekaligus bisa mencuri kesempatan, tapi sayangnya yang terjadi tidak sesuai ekspektasi."Besok aku mau mengajakmu ke makam Kakek. Tapi kamu kira-kira bakal takut nggak?" Aku melontarkan pertanyaan itu, mencoba memulai percakapan. Aku penasaran dengan reaksinya."Enggak kok, Pak. Jam berapa?" Jawaban Zea membuatku sedikit lega.Benar kata Ayah, Zea terlihat tenang saat membahas tentang Kakek. Sepertinya dia memang tidak takut."Pagi saja, sebelum aku berangkat kerja. Kalau siang takut panas.""Iya." Dia mengangguk."Oh ya, Zea. Kamu nggak ada keinginan kabur lagi, kan?" Pertanyaan ini sedikit lebih serius. Aku ingin memastikan. Kejadian sebelumnya masih terngiang di pikiranku."Bapak kepengen aku kabur?" Zea balik bertanya, suaranya terdengar sedikit curiga. Matanya mengama
"Kamu pergilah ke pasar tradisional, terus cari ayam yang masih hidup, Ken, lalu sekalian minta disembelih. Tapi bulunya tidak perlu dicabut dan cari bulunya yang bagus, ya?"Permintaan Bunda membuatku mengerutkan dahi. Ada yang aneh."Kenapa bulunya nggak boleh dicabut dan harus dicari yang bagus?" tanyaku, suaraku terdengar sedikit ragu, kebingungan memenuhi dada. Ini bukan permintaan yang biasa."Karena bulunya itu yang mau dipakai. Si Zea kepengen makan sup bulu ayam katanya, jadi nanti Bunda mau masakin untuknya." Jawaban Bunda semakin membuatku heran."Sup… bulu ayam?" Nama masakan itu terdengar asing di telingaku, benar-benar aneh. "Memangnya bulu ayam bisa dimakan ya, Bun? Setahuku nggak bisa deh." Aku menggelengkan kepala tak percaya.Bunda terkekeh pelan. "Memang nggak bisa, lagian nggak ada dagingnya juga, Ken." Ternyata Bunda juga menyadari keanehannya."Terus... ngapain juga si Zea kepengen makan bulu ayam? Pakai di sup segala lagi." Keheranan dan kekhawatiran
"Ih enggak!" bantahku dengan gelengan kepala, lalu membuka pintu kamar. "Kalau begitu aku mau mandi dulu deh." "Ya sudah, sana mandi. Ayah tunggu di ruang makan, ya? Jangan lupa cukuran juga biar enak dipandang." Ayah kembali tertawa mengejek, lalu melangkah pergi turun dari anak tangga. Cukuran katanya? Apanya yang perlu dicukur? Rambutku saja masih pendek. Baru kemarin aku potong rambut. * * * "Ken… kamu sudah mendengar dari Zea belum, masalah mahar pernikahanmu?" tanya Ayah, suaranya santai terdengar di antara gemuruh mesin mobil yang kami tumpangi. Hari ini Ayah tidak membawa mobilnya, katanya sedang diservis di bengkel. Kami berangkat kerja bersama. "Sudah, Yah. Kenapa memangnya?" Aku menoleh sebentar, dahiku berkerut, sebelum kembali fokus menyetir. Pertanyaan Ayah membuatku sedikit penasaran. "Masalah rumah dan mobilnya, nanti biar Ayah yang cari. Pak D