Tubuh Juliet limbung, lututnya hampir tidak sanggup menopang berat badannya sendiri. Dunia seakan berputar hebat. Wilson... benar-benar Wilson. Bukan mimpi. Bukan bayangan. Pria itu berdiri nyata di hadapannya saat ini.
Hampir saja ia jatuh, namun Wilson dengan sigap meraih tubuhnya, tangannya melingkar kuat di pinggang Juliet, menahan agar tubuh rapuh itu tidak ambruk ke tanah. Entah bagaimana caranya, tapi Juliet sangat terkejut hingga ingin pingsan rasanya. “Juliet! Kau tidak apa-apa? Mau aku bangu ke rumah sakit...” bisik Wilson panik, menatap wajah pucat istrinya dari jarak yang begitu dekat. Juliet menatap Wilson dengan mata penuh air mata. Nafasnya tersengal, bibirnya bergetar hebat, dan hanya dalam hitungan detik, isakan keras pun pecah dari dalam dirinya. “Wilson... kau Wilson?” bisiknya, nyaris tidak terdengar. Tangis Juliet meluap. Semua yang ditahannya selama ini runtuh dalam pelukHari itu rumah Wilson dan Juliet dihias penuh warna ceria, balon pastel, pita warna-warni, dan spanduk besar bertuliskan “Happy 2nd Birthday Nathan & Nathania” terpasang tepat di taman belakang. Aroma manis kue ulang tahun memenuhi udara, bercampur tawa anak-anak yang sudah mulai berdatangan bersama orang tuanya. Juliet sibuk membantu para pengasuh menyiapkan makanan kecil, sementara Wilson menyambut para tamu dengan senyum hangat. Nathan dan Nathania mengenakan pakaian kembar, kaus putih dengan celana dungaree, lengkap dengan topi ulang tahun di kepala. Mereka tampak menggemaskan saat tertawa-tawa mengejar balon di halaman. Lalu… sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah. Karina keluar lebih dulu, mengenakan gaun pastel lembut. Di belakangnya, perlahan… Veronica turun dari mobil. Ia mengenakan pakaian yang sederhana, tanpa perhiasan mencolok. Wajahnya terlihat tegang, tapi dia berusaha tersenyum. Di tangannya, ada dua kotak kado untuk Nathan dan Na
Malam itu terasa sunyi meski di dalam rumah ada beberapa orang. Veronica duduk di ruang tamu dengan tangan yang terus gemetar meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Di sampingnya, Karina sesekali menatap sang ibu, memberi isyarat tenang, bahwa ia ada di situ, terus menemani. Juliet duduk di seberang. Wajahnya datar, tidak dingin, tidak juga hangat. Mencoba hanya untuk mendengarkan. Veronica membuka mulut berkali-kali, tetapi selalu tertahan. Dadanya sesak. Lidahnya kelu. Bahkan untuk mengatakan “maaf”, rasanya tidak cukup. Karena dia tahu, yang dirusaknya bukan hanya kenangan masa kecil Juliet, tapi juga kepercayaan, dan arti keluarga. Akhirnya, setelah hening yang sangat panjang, suara Veronica pecah pelan. “Ibu… tidak tahu harus mulai dari mana…” Juliet tetap diam, hanya menatapnya. Veronica menunduk, kedua tangannya mengepal di atas pangkuan. “Ibu menyesal…” bisiknya. “Sangat menyesal. Ibu ta
Veronica berdiri di balik rak-rak panjang boneka di pusat perbelanjaan itu, memegang kotak mainan yang seharusnya ia beli untuk Nathan dan Nathania, namun kini lupa untuk apa ia datang. Matanya tidak bisa lepas dari sosok wanita muda yang berjalan beberapa meter di depannya, Juliet. Senyap, penuh beban. Langkahnya terhenti di tengah lorong, sementara Juliet tampak sibuk memilih kebutuhan rumah tangga. Dia terlihat dewasa, kalem, dan anggun… tidak lagi seperti anak kecil yang dulu memeluk erat tubuh Veronica sambil menangis histeris, memohon agar tidak dipisahkan. Kilasan masa lalu menyerbu benak Veronica. Juliet kecil, menangis dan meronta. Jeritan pilu yang memohon agar jangan pergi, jangan ditinggalkan. Tapi saat itu… Veronica memilih meninggalkan. Sekarang anak itu sudah menjadi ibu. Sudah melahirkan dua anak kembar yang manis. Dan Veronica? Dia tidak ada di sana. Tidak saat Juliet pertama kali belajar berjalan lagi setelah jatuh. Tidak saat Juliet tumbuh remaja, mencari pegan
Hari itu, langit cerah dan suasana akhir pekan terasa hangat di rumah Wilson dan Juliet. Suara tawa kecil Nathan dan Nathania sudah terdengar dari dalam halaman rumah, sementara Juliet sedang menyiram tanaman di taman belakang. Wilson baru saja selesai memanggang roti khusus untuk anak-anak, aroma harum memenuhi rumah. Saat bel pintu berbunyi, Juliet melirik ke arah Wilson, dan pria itu segera berjalan ke depan. Begitu pintu terbuka, tampak Reiner berdiri di sana bersama Karina. Keduanya mengenakan pakaian santai namun rapi. Karina membawa kotak kue buatan sendiri, sementara Reiner menggenggam boneka kecil, oleh-oleh untuk si kembar. “Selamat pagi,” sapa Reiner dengan nada sopan dan tulus. “Kami tidak datang terlalu pagi, kan?” Juliet tersenyum, kali ini lebih lepas. “Tidak. Kalian datang tepat waktu. Masuklah.” Karina dan Reiner pun masuk, sedikit tegang namun berusaha tetap santai. Nathan dan Nathania yang semula bermain, kini berlari kecil menghampiri ibunya. “Nak, i
Setelah menimbang-nimbang selama berhari-hari, Karina akhirnya memutuskan untuk menghubungi Juliet. Tangan Karina sempat gemetar saat hendak menekan tombol panggil di layar ponselnya. Ia tahu, hubungannya dengan Juliet tidak pernah benar-benar akur setelah fakta besar itu terungkap, selalu ada jarak, selalu ada rasa asing yang diam-diam menekan sejak lama. Telepon berdering beberapa kali, namun masih tidak diangkat. Karina menatap layar kosong dengan napas berat. Tapi ia tidak menyerah. Kali ini, ia tidak bisa mundur lagi. Maka Karina pun menulis pesan singkat. “Juliet, ini aku Karina. Aku tahu mungkin kau tidak ingin bicara denganku. Tapi aku ingin bertemu, bicara langsung. Aku minta izin… bukan untuk membela diri, tapi untuk membuka lembaran baru. Aku tidak mau semuanya tetap begini terus.” Pesan itu dikirim. Lalu... sunyi. Beberapa jam berlalu. Karina sempat berpikir Juliet mungkin akan mengabaikannya, dan ia tidak b
Hari itu, suasana bandara terasa berbeda bagi Karina dan Reiner. Bukan hanya karena mereka baru saja menyelesaikan bulan madu selama sebulan penuh yang penuh dengan kenangan manis dan pengalaman pertama sebagai pasangan suami istri, tapi juga karena mereka tahu benar setibanya di negara mereka, ujian sebenarnya akan segera dimulai. Di dalam pesawat, Karina menggenggam tangan Reiner erat. Ia melirik suaminya dan berbisik pelan, “Apa pun yang terjadi nanti… aku pasti siap.” Reiner menoleh dan tersenyum kecil, menatap wajah Karina yang kini jauh lebih kuat dari sebelumnya. “Aku juga. Ini bukan soal melawan mereka, tapi menunjukkan bahwa kita benar-benar serius. Semoga kesungguhan yang kita miliki dapat meluluhkan hati kedua orang tuaku.”Karina menganggukkan kepalanya. Sesampainya di bandara, mereka langsung dijemput oleh sopir kepercayaan keluarga Reiner. Tidak banyak bicara selama perjalanan, tapi atmosfer dalam mobil begitu penuh