Mendengar itu, Wilson pun sigap untuk berpikir.
Benar. Orang tuanya memang kompak memiliki ambisi yang membingungkan dan juga menakutkan, bahkan mereka tega membunuh Wilson perlahan-lahan dengan obatnya sebelumnya Wilson minum setiap hari, dua kali dalam sehari. Meskipun Wilson kehilangan ingatan beberapa tahun sebelumnya, tapi dia juga tidak lupa bahwa sejak remaja dia benar-benar ingin melepaskan diri dari Catherine maupun Luis. Sebelumnya, alasan yang dia miliki seolah tidak cukup untuk memilih pergi. Namun, tidak untuk sekarang. Dia memiliki alasan paling kuat. Ia pun kembali meraih tangan Juliet, menggenggamnya erat-erat, menatap dengan kesungguhan yang ia rasakan. “Walaupun aku tidak bisa mengingat setiap momen yang kita habiskan berdua sebelumnya, aku memiliki keyakinan bahwa dalam keadaan seperti ini pun aku akan tetap memilihmu.”<Mendengar itu, Wilson pun sigap untuk berpikir. Benar. Orang tuanya memang kompak memiliki ambisi yang membingungkan dan juga menakutkan, bahkan mereka tega membunuh Wilson perlahan-lahan dengan obatnya sebelumnya Wilson minum setiap hari, dua kali dalam sehari. Meskipun Wilson kehilangan ingatan beberapa tahun sebelumnya, tapi dia juga tidak lupa bahwa sejak remaja dia benar-benar ingin melepaskan diri dari Catherine maupun Luis. Sebelumnya, alasan yang dia miliki seolah tidak cukup untuk memilih pergi. Namun, tidak untuk sekarang. Dia memiliki alasan paling kuat. Ia pun kembali meraih tangan Juliet, menggenggamnya erat-erat, menatap dengan kesungguhan yang ia rasakan. “Walaupun aku tidak bisa mengingat setiap momen yang kita habiskan berdua sebelumnya, aku memiliki keyakinan bahwa dalam keadaan seperti ini pun aku akan tetap memilihmu.”
Tubuh Juliet limbung, lututnya hampir tidak sanggup menopang berat badannya sendiri. Dunia seakan berputar hebat. Wilson... benar-benar Wilson. Bukan mimpi. Bukan bayangan. Pria itu berdiri nyata di hadapannya saat ini. Hampir saja ia jatuh, namun Wilson dengan sigap meraih tubuhnya, tangannya melingkar kuat di pinggang Juliet, menahan agar tubuh rapuh itu tidak ambruk ke tanah. Entah bagaimana caranya, tapi Juliet sangat terkejut hingga ingin pingsan rasanya. “Juliet! Kau tidak apa-apa? Mau aku bangu ke rumah sakit...” bisik Wilson panik, menatap wajah pucat istrinya dari jarak yang begitu dekat. Juliet menatap Wilson dengan mata penuh air mata. Nafasnya tersengal, bibirnya bergetar hebat, dan hanya dalam hitungan detik, isakan keras pun pecah dari dalam dirinya. “Wilson... kau Wilson?” bisiknya, nyaris tidak terdengar. Tangis Juliet meluap. Semua yang ditahannya selama ini runtuh dalam peluk
Malam itu, Juliet berbaring di tempat tidurnya, namun matanya tetap terbuka lebar menatap langit-langit kamar yang gelap. Pikirannya penuh tanda tanya, hatinya tidak bisa tenang. Sudah lewat tengah malam, namun kantuk tidak juga datang. Ia kembali memutar kejadian sore tadi dalam benaknya. Tatapan pria asing itu, suara seraknya yang anehnya terasa familiar, dan cara dia menangkap tubuhnya seolah… seolah pernah dilakukan sebelumnya. “Apakah itu… benar-benar Wilson?” Juliet menggigit bibirnya. Ia tahu itu terdengar mustahil. Tapi firasatnya, perasaan halus yang dulu membuatnya jatuh cinta pada Wilson muncul lagi hanya karena sentuhan singkat itu. Getaran itu tentu masih tetap ada. Tangannya meremas selimut. Ia tidak tahu apakah harus berharap atau takut. Jika itu benar-benar Wilson, kenapa dia menyamar? Kenapa dia tidak langsung bicara? Dan jika dia datang
Wilson berdiri tegak di depan pintu kaca otomatis bandara internasional, dengan koper di tangannya dan napas yang terasa berat. Udara asing yang menyentuh kulit wajahnya terasa seperti isyarat bahwa hidupnya akan berubah dalam hitungan hari, mungkin bahkan bisa saja hitungan jam. Dari kejauhan, Rafael melambaikan tangan. Pria itu langsung mendekat dan menepuk pundak Wilson dengan senyum hangat. “Selamat datang, akhirnya kau datang juga,” ucap Rafael pelan. Wilson membalas dengan anggukan singkat. “Kita langsung ke tempat Juliet saja?” Namun Rafael langsung menggeleng. “Belum saatnya. Kalau kau tiba-tiba muncul, dia bisa panik. Bisa jadi malah menjauh. Kita harus menunggu momen yang pas.” Meski hatinya berdebar dan pikirannya terus mengarah pada Juliet dan dua anak yang belum pernah ia dekap, Wilson paham, pertemuan pertama ini harus disiapkan dengan sangat matang. Mereka menaiki mobil sewaan dan melaju menuj
Hari demi hari, Rafael menjalankan tugasnya dengan cermat. Ia sudah terbiasa dengan pekerjaan pengintaian, tapi kali ini berbeda. Bukan karena objeknya sulit diikuti, tapi karena cerita di balik semua ini menyangkut nasib dan hati seseorang yang kehilangan memorinya, Wilson. Dari balik kaca hotel, Rafael mengamati pola kehidupan Juliet dan Thom. Mereka selalu bangun pagi, jogging sebentar membawa stroller anak-anak, lalu kembali ke apartemen. Kadang Thom pergi lebih dulu, terkadang Juliet. Dua anak kembar itu selalu ikut sampai ke tempat penitipan anak, mereka tumbuh dalam kehangatan yang membuat Rafael diam-diam kagum. Namun fokus Rafael bukan hanya pada rutinitas rumah tangga mereka. Ia sudah berhasil mengidentifikasi tempat kerja Juliet, sebuah studio desain grafis kecil tapi cukup prestisius di kota itu. Juliet bekerja sebagai penanggung jawab administrasi utama, dan terliha
Malam itu, Wilson baru saja tiba di kediamannya setelah seharian bekerja. Langit tampak gelap, dan hujan turun rintik-rintik, seolah selaras dengan kegelisahan yang diam-diam merayap di benaknya. Ia mengganti pakaian, duduk di depan meja kerjanya, dan membuka ponsel sekadar untuk mengecek pesan. Satu pesan masuk. Dari Rafael. Tidak ada kata-kata. Hanya sebuah foto. Wilson menekan layar, dan dalam hitungan detik, gambar itu memenuhi pandangannya. Napasnya tertahan. Tampak seorang pria yang ia kenali karena daring, Thom, berjalan di trotoar bersama seorang wanita berambut panjang, mengenakan topi lebar dan masker. Di depan mereka, sebuah stroller didorong perlahan. Di dalamnya, dua anak kembar, tampak duduk tenang. Wajah mereka tidak tertangkap jelas, hanya sekilas bentuk tubuh mungil dan rambut ikal yang terlihat. Jantung Wilson berdetak cepat. Tangannya gemetar, dan tubuhnya menegang. “Dia Juliet…?” bisiknya lirih, seperti tak percaya pada apa yang baru saja dilihatnya.