Masih di apartemennya Wilson.
Wilson menghela napas panjang, menatap semangkuk mie instan di hadapannya dengan tatapan datar. “Jadi ini yang kau sebut sebagai makan malam darurat?” Juliet yang duduk di seberangnya hanya mengangkat bahu sambil terus menyeruput mie-nya dengan semangat. “Ini makanan ajaib, tahu. Cepat, murah, dan bisa seketika membuat bahagia dalam tiga menit saja.” Wilson mendengus pelan, tapi akhirnya dia mengambil sumpit dan mencicipi suapan kecil. Baru satu gigitan, matanya langsung membulat. Rasa gurih kuah, telur setengah matang, dan sayuran rebus itu berpadu dengan cara yang sederhana tapi cukup memikat. “Aku… mengerti kenapa orang-orang bisa kecanduan makanan instan seperti ini,” gumamnya pelan, agak heran pada dirinya sendiri. Juliet melirik, terkekeh puas. “Tuh, kan? Aku bilang juga apa. Pak Wilson bahkan belum coba bagaimana rasanya jika menggunakan sambalnya. Emmm pokoknya ini enak!” Wilson seSuara langkah tergesa menggema di lorong rumah sakit. Thom datang dengan napas terengah, langsung menoleh ke kanan dan kiri sebelum akhirnya melihat Juliet duduk di kursi tunggu. Di sampingnya masih ada Reiner. Tanpa memedulikan Reiner, Thom segera menghampiri Juliet dengan wajah penuh kecemasan. “Kak! Bagaimana keadaan Kak Wilson?” tanya Thom dengan cepat. Juliet menatap Thom dan berusaha tersenyum meski wajahnya tampak sangat lelah dan menahan pedih. “Wilson… sudah lewat dari masa kritis,” jawabnya pelan. “Dokter bilang kondisinya mulai stabil... tapi aku sudah tidak boleh menemuinya.” Thom mengernyit bingung. “Kenapa tidak boleh? Kau ‘kan istrinya.” Juliet menunduk, suara napasnya berat menahan emosi. Ia mengeluarkan secarik kertas dari dalam tasnya, lalu memberikannya kepada Thom untuk dilihat. “Aku... aku menandatangani surat perjanjian dari ayah dan ibunya Wilson,” katanya dengan pelan. “Isinya... aku harus pergi dari hidup Wilson. Kalau tidak, mereka tidak a
Juliet berdiri di depan jendela rumah sakit, memandangi langit yang mulai berwarna jingga. Sejak ia menghentikan langkah kakinya sambil menyeka air matanya. Kabar bahwa Wilson akan segera sadar seharusnya membuat hatinya lega, dan memang begitu, sebagian dari dirinya bersyukur. Tapi di sisi lain, ada luka yang diam-diam menganga dengan begitu parahnya. “Wilson, aku harap kau benar-benar akan bisa hidup dengan bahagia. Maaf karena aku tidak bisa menepati janjiku padamu. Aku juga mencintaimu, sangat...” Keputusan untuk pergi bukanlah karena dia ingin menyerah, tapi karena dia tahu keberadaannya tidak lagi punya tempat di hidup Wilson dan ini adalah bayaran untuk keselamatan pria itu. Ia hanya bayangan yang pernah lewat di masa sulit, dan sekarang saat cahaya kembali datang, bayangan itu harus menghilang sepenuhnya. “Selamat datang kembali, Wilson... dan selamat tinggal. Jaga dirimu baik-baik. Walaupun kecil kemungkinan untuk kita bisa bertemu lagi, Aku akan terus mendoakan seg
Tuan Luis dan Nyonya Chaterine duduk dengan ekspresi dingin di hadapan Juliet, meletakkan selembar surat perjanjian di meja kecil ruang tunggu rumah sakit tempat Wilson berada saat ini. “Apa yang kau tunggu, hah?” nanya Nyonya Catherine dengan ada bicaranya yang terdengar begitu dingin. “Apa Kau bodoh, hah?! Anakku meregang nyawa karena ulahmu! Bagaimana bisa kau mengulur-ngulur waktu seperti ini terus?” Julia tertunduk. Dokumen itu adalah syarat, bukan permintaan. Jika Juliet ingin mereka membantu menyelamatkan Wilson, maka dia harus menandatangani perjanjian untuk pergi dari kehidupan Wilson selamanya, tanpa pernah kembali, apapun yang terjadi nanti. Juliet menatap kertas itu dengan pandangan kosong. Tangannya mengepal erat, matanya dipenuhi air mata yang tidak sanggup dia bendung lagi. Dadanya sesak, seperti ditimpa beban raksasa yang tidak mampu dia angkat. Surat itu begitu kejam, tapi lebih kejam lagi adalah kenyataan bahwa Wilson kini berada di ujung antara hidup dan mati
Esok paginya, setelah menyiapkan diri dengan tenang, Wilson mengantar Juliet ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Mereka sudah mendaftarkan nama secara online, sehingga masih ada waktu sebelum giliran mereka tiba nanti. Wilson pun mengajak Juliet untuk sarapan ringan terlebih dahulu di sebuah kedai kecil tidak jauh dari rumah sakit. Setelah memesan makanan, Wilson melihat ada penjual susu hangat favorit Juliet di seberang jalan. Ia pun berkata, “Tunggu sebentar di sini, aku belikan susu hangat kesukaanmu, ya.” Juliet mengangguk sambil tersenyum dan menunggu di pinggir trotoar, menikmati udara pagi yang terasa menyegarkan. Namun, tidak sampai satu menit setelah Wilson menyeberang, sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan tinggi dari arah yang berlawanan. Suara mesin meraung keras, membuat beberapa orang yang berada di sekitar mulai menoleh. Juliet yang awalnya tenang, tiba-tiba menyadari bahwa mobil tersebut melaju lurus ke arah tempatnya berdiri.“Hah!” Mat
Juliet berbaring di kamar, membungkus tubuhnya dengan selimut agak tipis sambil memeluk bantal kecil. Meskipun obat yang diminumnya mulai membuat tubuhnya terasa lebih ringan, rasa lelah masih belum sepenuhnya hilang. Ia memutuskan untuk tidak memaksakan diri dan memilih banyak beristirahat, seperti yang sudah dia janjikan pada Wilson sebelum pria itu memutuskan pergi untuk survei tempat untuk pertemuannya dengan klien dari luar negeri. Sementara itu, menjelang sore hari, Wilson bersiap-siap untuk pergi melakukan survei tempat yang sudah ia incar sejak beberapa waktu lalu. Tempat itu akan menjadi awal dari kelancaran rencana bisnis barunya, sesuatu yang ia harap bisa menjadi pondasi masa depan yang lebih stabil untuk dirinya dan Juliet. Tujuannya untuk memberikan kehidupan yang layak bagi Juliet masih menjadi prioritasnya. Sebelum berangkat, Wilson sempat menengok ke kamar, memastikan Juliet tertidur dengan nyaman. Ia mendekat, mengecup kening Juliet dengan lembut, lalu berbis
Setibanya di rumah, Wilson segera disambut oleh Juliet yang berlari kecil ke arahnya dengan senyum yang lebar. Senyum yang sederhana itu, entah mengapa, mampu menenangkan seluruh kelelahan dan kemarahan dalam diri Wilson. Wajah Juliet yang berseri-seri tampak begitu cantik di matanya, membuat Wilson tidak bisa menahan diri untuk langsung menarik Juliet ke dalam pelukannya, mengecup puncak kepalanya beberapa kali dengan penuh sayang kasih. Juliet pun bertanya, “Bagaimana? Apa polisi bisa membantu kita?” Wilson menghela napas pelan, mencoba mengatur ekspresinya agar tetap terlihat tenang. Ia tersenyum tipis lalu mengangguk. “Polisi bilang kalau mereka akan bergerak cepat. Katanya akan segera mencari tahu siapa pelakunya,” jawabnya. Juliet mengangguk lega, meski masih menyimpan sedikit kecemasan di wajahnya. Ia mempercayai setiap kata Wilson tanpa adanya' perasaan curiga sedikit pun. Wilson menatap Juliet dalam-dalam. Ia tahu bahwa apa yang baru saja ia katakan bukan sepenuhnya
“Apa sebenarnya maksud anda?” Wilson mengepalkan tangannya dengan kesal ketika mendengar pernyataan dari pihak kepolisian yang membuat darahnya mendidih. Salah satu petugas dengan nada datar mengatakan bahwa laporan tersebut belum bisa diproses karena: “Apa lagi? Kurangnya bukti konkret, seperti rekaman CCTV atau saksi mata yang jelas. Tidak adanya kerusakan atau luka fisik serius, sehingga dianggap belum memenuhi unsur tindak pidana berat. Tidak bisa dipastikan motif pribadi atau murni tindakan iseng, karena belum ada bukti yang mengarah ke pelaku tertentu.” Wilson tersenyum dengan ekspresi kesal. “Belum ada ancaman tertulis atau verbal langsung kepada korban, sehingga kasus ini dianggap belum memiliki dasar kuat untuk diselidiki lebih dalam juga.” Mendengar semua alasan itu, Wilson semakin menatap petugas dengan pandangan tajam. Ia merasa seperti dihentikan oleh tembok tak kasat mata yang penuh kepentingan. Padahal, yang ia inginkan hanyalah keadilan dan rasa aman bagi Ju
Malam itu selesai makan, Wilson dan Juliet duduk di teras rumah. Awalnya, suasana tenang tapi tiba-tiba saja mendadak berubah mencekam. Wilson dan Juliet yang tengah duduk berdampingan, menikmati semilir angin malam sambil saling menggenggam tangan dan berbincang ringan mengenai rencana esok hari, tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah batu yang melesat cepat ke arah mereka. “Awas, Juliet!” Prang!!! Refleks, Wilson menarik tubuh Juliet ke pelukannya, melindungi wanita itu dari hantaman benda asing yang nyaris mengenainya. Batu itu akhirnya menghantam kaca rumah di belakang mereka hingga pecah berderai, menciptakan suara keras yang memecah ketenangan malam itu. Juliet terkejut dan memegang lengan Wilson erat-erat. Napasnya memburu karena syok. “Kau tidak apa-apa? Apa batu itu sempat mengenai mu?” tanyanya dengan ekspresi yang mulai terlihat panik. Juliet menggelengkan kepalanya. “Tidak... aku cuma terkejut saja.” Wilson segera menoleh ke arah luar pagar, mencoba mencari tahu siapa
Juliet duduk di depan laptopnya dengan dahi yang mengerut. Berkali-kali ia mengklik “kirim lamaran”, dan berkali-kali pula notifikasi penolakan masuk bahkan sebelum ia sempat menutup tab lamaran terakhirnya. Waktu penolakan itu terlalu cepat, tidak mungkin mereka membaca CV atau surat lamaran yang sudah dia siapkan dengan bersungguh-sungguh. Beberapa penolakan bahkan memberikan alasan yang tidak masuk akal, seperti “posisi sudah tidak tersedia lagi” padahal lowongan baru saja diunggah, atau “tidak memenuhi kualifikasi” meskipun Juliet sangat sesuai dengan syarat yang telah ditentukan. Perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti pikirannya. Juliet menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gelisah yang muncul. Ia merasa seolah ada sesuatu yang lebih besar yang menghalangi langkahnya, tapi ia belum tahu apa itu. “Apa ini kebetulan? Atau memang ada yang salah dengan CV lamaran kerja ku?” gumamnya pelan. Juliet menghela napas panjang, mulai mempertimbangkan kemungkinan terburuk, bahwa