“Pak, jangan halangi saya. Saya mau mencari Pak Julian,” ujar Tania.
Ia tidak bisa diam saja saat Romi mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Romi harusnya tetap di Grand Velora.“Tania, bukankah saya sudah mengatakannya padamu?” Nada bicara Romi naik, menunjukkan jika pria itu benar-benar kesal.“Jangan melakukan apa pun!” tegas Romi.Namun, Tania menggeleng. Ia tidak mau menerima saran dari Romi.“Tapi Bapak jadi—”Romi menyela kalimat Tania. Kali ini pria itu yang menggeleng.“Kalau kamu tidak diam, akan lebih banyak lagi masalah yang muncul, Tania!” seru Romi.Kali ini, Romi memberikan Tania tatapan tajam. Romi benar-benar tak ingin dibantah.“Aku tidak bisa!” Tania memekik putus asa. “Aku tidak bisa diam saja!”Tania menghentakkan kaki frustasi. Semua ini tidak adil baginya.“Dengarkan saya!” Romi menarik napas dalam.Pria itu mencoba berpikir logis di saat Tania“Kakak enggak tau,” lirih Tania. “Kakak udah panggil dia, tapi dia tetep di samping cewek itu.” Tyo menggigit bibir. Wajahnya kebingungan. Bibirnya berulang kali terbuka, lalu tertutup lagi. Terlampau ragu untuk berucap. “Kalau menurut kamu gimana? Dia lebih pilih cewek itu daripada Kakak, kan?” Tania melempar bom pada Tyo. Adiknya itu gelagapan luar biasa. Mulutnya sudah komat-kamit tidak jelas. “Kakak serius nanya ke aku?” Tyo menunjuk dirinya sendiri. “Aku belum nikah, Kak. Aku bahkan belum pernah pacaran,” bisik Tyo, pelan.Tani menunduk dalam. Ia menggeleng. Bibirnya berucap perih. “Bagus kalau begitu. Mungkin melajang juga enggak buruk,” sahut Tania. Tyo jadi serba salah. Ia menepuk lengan Tania pelan. “Coba bicara dulu sama Kak Rafael. Nanti aku temani. Kalau Kak Rafael berani nyakitin Kakak, aku bakal pukulin dia sampai bonyok.” ujar Tyo.Tania mengangkat wajah. Ia melihat Tyo yang mengacungkan tinju. Tyo tidak berbadan besar. Ia jarang berolahraga. Tubuhnya bahkan ham
“Cepat!” Tania berseru panik. Keenan segera menyetop taksi yang melintas. Ia mengantar Tania ke rumah sakit terdekat. Di rumah sakit, dokter langsung memeriksa. Tania bersyukur saat dokter mengatakan jika ia dan bayinya baik-baik saja. Tania hanya mendapatkan beberapa luka gores yang tidak fatal. Luka-luka itu sudah diobati. “Kalau Ibu berniat untuk beristirahat di sini malam ini akan lebih baik,” ucap sang dokter. Tania mengangguk mengiyakan. “Terima kasih, Dokter.”Dokter berpamitan setelahnya, meninggalkan Tania berdua dengan Keenan. Suasana canggung menyergap, sampai akhirnya Tania memulai pembicaraan.“Makasih udah anterin aku.” Tania melihat Keenan yang mengernyit. Keenan tampak ragu sesaat, tapi akhirnya ia bertanya. “Yang di cafe tadi, itu suami kamu?”Tania tersentak. Ia tak ingin mengiyakan, tapi Tania tak mau berbohong. “Iya.” Tania tersenyum pahit. Itu suaminya. Yang ia kira sempurna, tapi ternyata sanggup berselingkuh juga. “Dia—”“Kamu enggak mau pulang?” Tania
Tania mengelak keras. “Tapi ini bukan urusan romantisme. Dia itu teman saya!” Gaby mengibaskan tangannya tidak peduli. Ia melipat kedua lengan di depan dada. “Bertemannya jangan di tempat kerja, di jam kerja.”Tania akhirnya menutup mulut. Ia tidak bisa membantah apa yang Gaby katakan. Saat jam kerjanya selesai, Tania mengabari Keenan. Mereka kemudian berjanji untuk bertemu di cafe. Kebetulan sekali Rafael juga sedang ada urusan. Dika pun tak bisa mengantar Tania hari itu. “Iya, aku naik taksi. Nanti aku kabari kalau udah sampe.” Tania mengakhiri panggilan telepon dari Rafael. Ia berpamitan pada Fera dan staf resepsionis lain sebelum berjalan keluar. Di depan Grand Velora, Tania naik taksi.Di cafe, Keenan sudah menunggunya. “Tania!” Keenan melambaikan tangan dari tempat duduk yang ada di sudut. Tania langsung berjalan ke arah Keenan. Ia duduk di depan sang teman. “Kamu sudah lama? Maaf jalan agak macet tadi,” ucap Tania. Keenan menggeleng pelan. “Aku yang minta maaf. Harusnya
“Aku punya bayi di sini!” Tania sengaja menegaskan agar Rafael tidak salah paham.Tania tak ingin Rafael merasa senang karena ia sedang dongkol. Semakin Rafael tersenyum, semakin Tania geram.“Cepat!” gerutu Tania. Rafael bergegas. Tak lama, ia sudah kembali dalam pakaian kering. Tania memicing. Ia ingin mengusir Rafael, tapi di rumah orang tuanya ini, Tania tak mungkin melakukannya. “Aku tidur di luar aja.” Rafael yang peka dengan tatapan tajam Tania, langsung beranjak. Tania berseru memanggil Rafael, tapi suaminya itu sudah terlanjur keluar. Meski enggan, Tania menyusul Rafael. Bisa jadi masalah jika keluarga Tania mendapati Rafael tidur di luar. Tania bisa diceramahi sampai kiamat. Apalagi Tania tidak akan mengucapkan alasannya. “Balik ke kamar,” ucap Tania sambil menyenggol lengan Rafael. Rafael sudah memejamkan mata, terlihat lelah. Namun, mendengar perintah dari Tania, Rafael gegas berdiri. Mereka berjalan beriringan ke kamar. Tepat setelah mereka masuk, Tania meminta Ra
“Kenapa cemberut begitu?” Rafael baru pulang dan ia mendapati Tania sedang mengerutkan dahi. Padahal Tania sudah berusaha untuk biasa saja, tapi jengkel yang ia rasakan tak bisa Tania tahan. Dalam hati, Tania jelas tahu jika Rafael tidak melakukan kesalahan apa pun.Bukan Rafael yang merencanakan itu semua. Itu hanya orang tua Rafael yang sampai sekarang belum menerima Tania. “Apa ada masalah?” Rafael bertanya dengan tatapan menyelidik. Tania memasang wajah datar. Ia tak berniat menjawab sama sekali. Melihat respon Tania, Rafael bertanya lagi. “Apa aku melakukan kesalahan?” Saat itu, ujung hidung Tania bergetar sedetik. Namun, Rafael menyadarinya. “Salahku, ya?” Rafael mulai mengingat-ingat apa yang hari ini ia lakukan. “Aku hanya ada di kantor seharian, memeriksa dokumen. Rasanya aku enggak melakukan apa pun.” Rafael bergumam sendiri. Rafael mulai menjabarkan pada Tania apa saja yang sudah ia lakukan. Tania tak menyahut sama sekali, membuat Rafael stres sendiri. “Aku enggak
“Maafkan aku!” Tania berujar panik. Ia merasa malu karena mengomentari lukisan tepat di depan sang pelukis. Untung saja Tania mengatakan kalau lukisannya cantik!“Aku tidak tau kalau ini adalah pameran Bu Anna.” Tania masih terus meminta maaf. Sementara Anna membalas dengan tawa kecil. Senyumnya merekah sempurna. Tangannya menepuk lengan Tania lembut. “Kamu enggak melakukan kesalahan apa pun. Kamu malah memujiku,” sahut Anna. “Ah iya, kamu datang ke sini bersama suamimu, kan?” Saat Anna menyebut nama Rafael, tiba-tiba saja Rafael muncul di samping mereka. Tania terkejut sesaat. Rafael bukan hanya memiliki pendengaran super, tapi juga kemampuan berpindah tempat dengan sangat cepat. Sebelum ini, Tania melihat Rafael ada di sudut, sedang mengobrol. Sekarang, Rafael sudah ada di sisinya, menggenggam tangan Tania mesra. “Nah, ini Pak Rafael.” Anna berseru dengan senyum lebar sempurna. “Aku ingat kemarin ada tawaran dari Grand Velora.” Anna meraih tangan Tania lembut. “Aku baru ing