Rafael mengacak rambut Tania sebelum mengambil tempat duduk di sampingnya. Pria itu menatap isi mangkuk Tania yang masih setengah berisi. “Apa aku mengganggumu? Aku datang lebih cepat karena ada urusan di luar tadi.”Tania belum tahu menjawab apa, tapi Rafael sudah bicara lagi.“Aku sudah izin pada Ibu untuk istirahat sebentar sebelum pergi nanti malam. Kamu lanjutkan makan saja.” Rafael beranjak setelahnya. Tania yang heran, ingin gegas menyusul. Namun, ia harus menghabiskan makanannya dulu. Setelah isi mangkuknya tandas, Tania langsung mencari Rafael ke ruang tamu. Namun, tidak ada siapa pun di sana. “Enggak mungkin dia pulang tanpa pamit,” cicit Tania. Rafael tidak pernah begitu. Meski mereka sedang bertengkar, Rafael akan tetap mengabari Tania. Tania sampai mengecek ke luar rumah dan mengirimkan pesan untuk Rafael. Namun, tak ada balasan. Menyerah, Tania memilih untuk beristirahat saja. Ia masuk ke dalam kamar, dan malah menemukan Rafael di sana. Pria itu sedang tertidur ny
“Kamu masih berangkat kerja?” Anggi menegur Tania yang duduk di meja makan untuk sarapan.Waktu berlalu cepat, dan lusa adalah hari pernikahannya. Semuanya masih terasa tidak nyata bagi Tania.“Besok baru aku izin, Bu,” sahut Tania. Anggi mengangguk. Tangannya membantu Tania menyendokkan sarapan. “Nanti malam Rafael datang. Kita mau ke butik. Terakhir fitting baju sebelum diambil,” ucap Anggi tenang. “Rafael udah bilang, kan?” tanya Anggi, memastikan. Tania mengangguk. Rafael memang sudah mengabarinya. Sekarang, Tania sudah tidak mengabaikan pesan-pesan Rafael lagi. Ia membalasnya. Mereka saling berkirim pesan setiap hari. Meski tidak setiap jam, tapi Rafael selalu memberi kabar pada Tania. “Habis kerja langsung pulang. Istirahat dulu sebelum pergi nanti malam,” sambung Anggi. “Iya, Bu.” sahut Tania. Tak ada pembicaraan setelahnya. Tania sibuk menahan mual sambil menyantap sarapan perlahan. “Tania berangkat, Bu.” Selesai makan, Tania langsung berpamitan. Taksi sudah menunggu
“Kamu mau ikut?” Rafael memandang heran. “Bukannya besok kamu kerja?”Tania balas memandang sinis. “Memangnya besok kamu enggak kerja?!”Niat Tania menyindir, tapi Rafael malah membalas sambil bergurau. “Aku kan bosnya,” sahut Rafael sombong. “Aku bisa mengurus jadwalku.”“Ck!” Tania berbalik. Ia meninggalkan Rafael bersama ibunya. Tania memilih berganti pakaian dan beristirahat di kamar. Ia mendapati pintu kamarnya diketuk tak lama kemudian. Saat Tania membuka pintu, Rafael sudah berdiri di depannya. Tania menyambut sambil berkacak pinggang. “Mau apalagi? Udah selesai bicara sama Ibuku?” sinis Tania. Tidak, Tania tidak sedang cemburu. Ia hanya merasa ditinggalkan, sedikit. “Sudah,” jawab Rafael. Pria itu mengabaikan teguran Tania. Rafael malah melangkah masuk, lalu menutup pintu di belakangnya. “Mau apa?” Tania membuat kuda-kuda. Wajah Tania berubah dari menahan kesal jadi waspada. Tangannya bersiap mendorong Rafael menjauh. “Mau peluk kamu,” jawab Rafael.Tenaga Tania kala
“Mereka akan menerimamu. Itu bukan pilihan.” tegas Rafael.Entahlah. Tania tidak merasa tenang atau senang. Tidak keduanya. Ia malah merasa kasihan. Entah pada Rafael, atau pada dirinya. “Itu janjiku.” Rafael meyakinkan Tania. Tania hanya angkat bahu. “Semoga kamu bisa memenuhi janjimu itu.” Tania mengakhiri pembicaraan. Ia memilih untuk menutup mulutnya sepanjang sisa perjalanan.Tania merasa lelah, dan tanpa sadar tertidur. Ia terbangun dengan kepala yang sudah bersandar sepenuhnya di bahu Rafael.“Maaf!” seru Tania.Tania segera terduduk tegak. Ia mengedipkan mata beberapa kali untuk mendapatkan kembali kesadarannya yang tercecer.“Kenapa minta maaf?” Rafael menarik Tania kembali ke sisinya. “Kamu bisa melakukan apa saja padaku.” Tania tersentak saat tubuhnya kembali mendarat di dada bidang Rafael. Nyaman yang sebelum ini ia rasakan saat tidur membuatnya kembali terbuai. “Tidur lagi. Kamu bilang kamu lelah.” Rafael membelai kepala Tania. Salah tingkah, Tania langsung menepisn
“Untuk yang kemarin.” Rafael menjemput Tania keesokan harinya dengan bunga dan cokelat di kedua tangannya. “Aku terbiasa didengarkan,” sambung Rafael. Tania menghela. Ia mengambil bunga dan cokelat yang disodorkan Rafael. Tania langsung masuk ke dalam mobil tanpa bicara. Rafael tak bisa duduk tenang meski Tania di sampingnya. Tania jadi jengah sendiri karena Rafael terus bergerak. “Kamu membuatku mual,” jujur Tania. Setiap pagi perut Tania selalu terasa tak nyaman. Ia juga tak bisa menelan banyak makanan saat sarapan tadi. “Cokelat?” Rafael malah membukakan sebungkus untuk Tania. Tania berdecak sekali, tapi tetap menerimanya. Cokelat mungkin menjadi satu-satunya hal yang bisa membuatnya tidak mual lagi. “Untuk yang kemarin, asal enggak diulangi.” Tania menjawab permintaan maaf tersirat yang diucapkan oleh Rafael. Tania memilih untuk menikmati cokelat di tangannya karena Rafael sudah duduk diam sekarang. Mereka tiba di rumah sakit tak lama kemudian. “Kamu jalan duluan aja.” T
“Sudah selesai.” Gaun itu sudah terpasang di tubuh Tania.“Bisa dilihat di sini, Nona Tania.” Tania diantar ke depan sebuah cermin besar. Lewat cermin itu, Tania melihat tampilan dirinya sendiri. Tubuhnya terbalut gaun sempurna.Tania menyukai bagian atas gaun yang ia kenakan. Lengan panjang berbalut lace transparan yang dihiasi bordir bermotif floral membuatnya terlihat sangat anggun. Bagian bawah gaun membentuk A-line dengan rok mengembang yang dihiasi bordir halus dan taburan kristal. Kilaunya membuat siapa pun tak bisa berpaling. “Kamu cantik sekali.” Rafael memandang Tania takjub. “Pilihanku benar-benar tepat.” sambung Rafael seraya berjalan mendekat. Pria itu dengan sengaja berdiri di samping Tania, memandangi pantulan bayangan mereka di depan cermin. Tania dan Rafael berdiri bersisian. Senyum Rafael mengembang. Pria itu menarik Tania ke sisinya. “Kita sangat serasi,” ucap Rafael bangga. Rafael mengenakan setelan jas berwarna hitam. Tubuhnya berdiri tegap. Satu tangannya