LOGIN"Li-Lia?!”
Jantung Tania seolah berhenti berdetak. Seorang wanita berseragam hitam dengan rambut disanggul, berdiri tepat di hadapannya. Lia, rekan kerja Tania, tengah mendorong kereta makanan. Matanya menyipit penuh selidik. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya. Tania merasa napasnya tercekat. Kepalanya masih berdenyut dari efek mabuk semalam. Dia kesulitan memikirkan alasan apa yang harus dia berikan. Sementara pakaiannya masih sama seperti kemarin. "Aku ….” Lia menepuk tangannya sendiri. “Oh, iya! Kita kan diminta kumpul jam sepuluh.” Otak Tania yang panik bahkan tidak bisa memproses apa yang sedang dibicarakan Lia, tapi dia membenarkan saja ucapan temannya itu. “Iya, aku datang terlalu pagi. Makanya aku jalan-jalan sebentar, tapi–tapi aku meninggalkan ponselku di rumah. Aku mau mengambilnya dulu.” Tania memaksa masuk ke dalam lift. Dia mendorong kereta makanan yang dibawa Lia, membuat temannya itu keluar dan menyisakan lift hanya untuknya. “Aku duluan, ya!” Tania berpamitan tanpa menunggu respon dari Lia. Lift mengantar Tania ke lobi. Dia bergegas berlari keluar. Tangannya melambai memanggil taksi. Tania mendapatkan satu dan langsung naik tanpa ragu. "Ke Jalan Pemuda, Pak. Cepat," ucapnya singkat, lalu menyandarkan kepala ke jendela, mencoba mengatur napasnya yang masih kacau. Selama perjalanan, Tania menutup mata, berusaha menenangkan diri. Namun, bayangan semalam terus menghantuinya. 'Argh! Aku bisa gila! Kenapa aku harus mabuk dan berakhir seperti ini?! Siapa pula laki-laki itu?!' pekiknya dalam hati. Tiba di rumah, ibunya, Anggi, sedang menyapu teras. Begitu melihat Tania, wanita itu langsung berhenti, matanya mengerut penuh tanya. "Kamu dari mana, Tania? Kenapa baru pulang?" Tania berusaha bersikap tenang, menutupi getaran dalam suaranya. "Tania lembur, Bu. Ada kerjaan mendadak. Ini juga mau balik kerja lagi.” Mata ibunya mengamati wajah Tania cermat. Tania bisa merasakan tatapan itu menelusuri riasan luntur di pipinya, rambutnya yang sedikit berantakan, dan pakaiannya yang kusut. "Kenapa nggak bilang dulu?" suara ibunya lebih lembut, tapi penuh kekhawatiran. Tania menjawab asal. “Maaf, Bu. Handphone Tania kehabisan baterai. Lain kali, pasti Tania kabari.” Dia melangkah cepat, masuk ke dalam kamar. Tania melemparkan tas, mengambil handuk, lalu membersihkan diri. Dia sudah harus ada di tempat kerjanya pukul 10. Tepat saat Tania selesai berganti pakaian, ponselnya bergetar pendek-pendek. Entah kenapa hatinya berharap kalau itu adalah pesan dari Gilang. 'Setidaknya dia berhutang maaf padaku!' rutuknya dalam hati. Tania mengeluarkan ponselnya dan kecewa. Pesan itu dari atasannya. 'Ha! Bodohnya aku! Berharap pada bajingan seperti dia!' Tania segera menyentuh layar untuk membuka pesan dari atasannya. Rachel - Manajer: Tania, bisa ke ruangan saya nanti? Tania menghela berat. Jelas, dia tidak bisa menghindari perintah itu. Tania: Bisa, Bu. Tania menarik napas dalam. Dengan janji yang baru saja dia ucapkan, maka Tania harus berangkat sekarang. 'Sekalian saja aku minta resign. Aku enggak mungkin kerja di tempat yang sama dengan Gilang,' tekadnya dalam hati. Memilih untuk mengendarai ojek online-demi mempersingkat waktu, Tania tiba di tempat kerjanya dalam setengah jam. Tak berhenti, dia langsung menuju ruangan sang manajer. “Ya, silakan masuk!” Rachel menjawab dari dalam ruangan setelah Tania mengetuk pintu. Tania membuka pintu dan segera masuk. Dia duduk di hadapan Rachel. “Tania, maaf memanggilmu lebih awal. Untuk acara jam 10 nanti, kamu diminta untuk menjadi perwakilan pegawai magang. Jadi kamu–” “Maaf, Bu.” Tania menyela. Dia mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya. “Saya … saya mungkin tidak bisa melakukan itu. Saya mau mengundurkan diri.” Rachel terkejut, tapi dia menghadapinya dengan tenang. Wajahnya tersenyum. “Bisa kamu pikirkan lagi? Hotel kita kedatangan direktur operasional yang baru, dan saya sudah merekomendasikan kamu untuk menjadi pegawai tetap.” Tania serba salah. Kenapa harus sekarang dia mendapatkan promosi? “Jangan melewatkan kesempatan baik seperti ini, Tania,” ucap Rachel, memberikan saran. Melihat wajah Tania yang masih ragu, Rachel terus membujuknya. “Kita bicarakan lagi setelah acaranya selesai,” ucap Rachel, mengakhiri pembicaraan mereka. Tania tidak bisa membantah lagi. Dia mengiyakan. Rachel pun memintanya untuk bersiap. Dengan gamang, dia melangkah keluar dari ruangan sang manajer dan larut dalam persiapan acara. Sesuai jadwal, pukul 10 Tania memasuki aula yang dipakai untuk mengadakan sambutan untuk direktur baru mereka. “Selamat kepada Direktur Operasional baru Grand Velora!” Sesuai permintaan, Tania akan menjadi perwakilan dari karyawan magang untuk memberikan tanda penyambutan. Dia melangkah maju dengan wajah sumringah yang setengah mati dia kondisikan. Siapa juga yang bisa bahagia ketika baru saja diselingkuhi! Namun, ketika Tania mendekat untuk menyerahkan buket bunga, senyum di wajahnya sirna, berganti dengan kengerian. "Kau–" Sebuah seringai membalas senyum Tania. "Kita bertemu lagi, Nona.”“Ah, sudah sampai.” Tania mengalihkan pembicaraan dengan menunjuk ke arah jendela. Sedikit beruntung karena mereka tiba di rumah Anggi pada waktu yang tepat. Tania bisa mengalihkan pembicaraan. Ia kewalahan karena Rafael terus bertanya kapan dan di mana mereka akan bertemu dengan Bryan nanti. Tania langsung turun ketika mobil berhenti. Ia gegas mengetuk pintu setelahnya. Wajah Tania menjadi tiga kali lebih cerah saat melihat Zayne di depannya. Saat bersama Zayne, tak akan ada lagi pembicaraan tentang pekerjaan. “Kalian mau makan malam dulu di sini?” Anggi menawarkan ramah. Tania langsung menggeleng, karena ia tahu Rafael tak akan mampu menolak. Rafael tak pernah mengatakan tidak pada apapun yang kedua orang tua Tania katakan. “Nanti ngerepotin, Bu. Tania sama Rafael juga belum nyiapin apa-apa. Mungkin akhir pekan nanti, atau Ibu pilih aja waktunya. Asal kasih tau ke Tania lebih awal.”Anggi dengan berat hati mengangguk.
“Iya, aku mau lantainya berlapis marmer. Buat semewah mungkin.”Tania meringis sekilas saat ia mendengar suara Rafael. Baru saja Tania membuka pintu, tapi ketegangan dalam ruangan itu sudah sampai padanya. Rafael benar-benar serius saat mengatakan jika ia ingin membuat tingkat yang lebih tinggi dari pelanggan VIP. Suaminya itu benar-benar menyiapkan segalanya. Helaan napas Tania terdengar berat. Ia teringat kembali dengan kejadian beberapa hari lalu saat dirinya bertemu dengan Bryan. Kecupan itu, dan juga penolakan kontrak yang dibuat oleh Bryan. Tania masih merasa kesal sampai hari ini. “Sayang?” Rafael langsung menghampiri Tania. Seketika, lamunan Tania selesai. Ia harus fokus pada Rafael yang sedang ada di depannya, atau sang suami bisa mencium keanehan. “Apa aku mengganggu? Kamu belum selesai bekerja?” Rafael langsung menggeleng. Ia menunjuk Dika yang memang selalu berada di sampingnya untuk melanjutk
“Apa kamu sedang mengancamku?” Wajah Tania berubah penuh kemarahan. Ia tidak suka pada Bryan yang menggunakan cara kotor seperti ini. Bryan menjebaknya! “Tidak, Sayang.” Bryan membelai pipi Tania lembut. “Aku tidak sedang mengancam, hanya memastikan jika kamu akan terus ada di sisiku.”Tania melotot tak percaya. Tepat saat ia berniat membalas ancaman Bryan, terdengar suara teriakan dari luar. “Maaf!” Meski baru pertama kali bertemu, Tania tahu jika itu adalah suara Erik. Pria itu di luar sana seolah memberitahu jika ia sudah dekat. Jika mereka sudah dekat, Erik dan Farah tentu saja. Tania bergegas duduk kembali di tempatnya. Ia mengabaikan Bryan sempurna, seolah tak pernah terjadi apapun di antara mereka sebelumnya. “Aku benar-benar minta maaf.” Erik masih saja memohon meski pintu ruang VIP sudah dibuka oleh Farah. Tania dan Bryan menoleh bersamaan dari tempat duduk mereka masing-masing. De
“Ternyata kamu adalah orang yang licik, Mr. Ziv,” sindir Tania. Makanan di depannya terabaikan. Ia sibuk memandang Bryan dengan tatapan tajam. “Aku menyebutnya penuh strategi, bukan licik.” Bryan melebarkan senyum. Senyum yang membuat Tania segera mengalihkan pandang. Ia sungguh tak ingin Bryan melihatnya terpesona oleh senyum itu. Lelaki itu benar-benar memanfaatkan ketampanannya dengan baik. “Aku terus menunggu pesan darimu.” Bryan mengangkat tangan, menunjukkan bekas jahitan di sana. “Padahal aku sengaja membuat ini agar kamu peduli, tapi kamu sama sekali tak menghubungi aku.”Bryan memiringkan kepalanya. Pria itu menilik ekspresi wajah Tania. Mati-matian Tania berusaha agar tak terlihat tegang. Namun, apa daya. Mata elang Bryan berhasil menangkap kegelisahannya. “Ini masih sakit, Tania.”Bryan terus membuat Tania terpojok. Ia akhirnya menghela sebelum balas menatap Bryan. “Itu sudah
“Selamat pagi Mr. Ziv, saya ingin mengajukan kerja sama untuk wine eksklusif—”Tania menghela lelah. Ia sudah merangkai kata dengan baik, sekarang tinggal mengirimkan pesannya. “Kurasa aku harus menanyakan tentang keadaan tangannya juga. Ini bukan bentuk perhatian, tapi hanya kepedulian antar sesama manusia.”Setelah menambahkan pertanyaan pada pesan yang dikirim, Tania kembali duduk di kursinya. Ia menunggu tidak sabaran. Jari-jemari Tania mengetuk meja berkali-kali. Baru semenit, tapi terasa seperti sejam. Kenapa Bryan belum juga membalas pesannya? Apa Bryan sibuk? Ini kan jam istirahat. Farah bahkan sedang makan di luar. “Apa ia mengabaikan aku?!” Benak Tania penuh dengan tuduhan. Ia mulai membayangkan jika Bryan sengaja melakukan itu agar Tania merasa kesal. Dan sungguh, Bryan berhasil. “Apa aku harus menelponnya?” Jari Tania berhenti di atas tombol hijau. “Haruskah?” Tanpa menunggu, Tania me
“Penjualan wine Grand Velora naik pesat.” Laporan itu membuat senyum Tania merekah sempurna. Ia sedang berada di ruang meeting. Mereka sedang melakukan rapat bulanan seperti biasa. “Semua berkat Bu Tania, yang berhasil mendapatkan kontrak eksklusif dengan Mr. Ziv.” Di kursi utama dalam ruangan, Rafael mengulum senyum senang. Tania ikut merasa puas. Setelah bertahun-tahun, akhirnya ia diakui di dalam Grand Velora. Bukan karena statusnya sebagai istri Rafael, tapi karena usahanya sendiri. “Kalau begitu, kita harus membuat rencana yang lebih besar.” Rafael meminta peserta rapat untuk memberikan ide. Banyak manajer mengacungkan tangan dan menyampaikan usul. Namun, belum ada satu yang benar-benar membuat Rafael tertarik. Karena waktu istirahat sudah tiba, Rafael mengakhiri rapat dan meminta agar ide-ide dari rapat hari ini ditampung dan disampaikan padanya lewat Dika. “Tania, tetap di sini.” Rafael meminta Tania tidak







