"Mencoba merayu lagi?" Senyumnya mencibir, sambil menggoyangkan buket bunga.
Kehadiran pria di hadapannya itu membuat Tania membeku. Netranya membulat penuh, tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. "Saya–" "Lupa dengan saya?" Ejeknya. "Semalam kamu menggunakan saya sebagai sasaran hasr–" Netra Tania semakin lebar, tahu apa yang akan dikatakan pria itu. Untungnya, tepukan tangan orang-orang yang hadir di aula menghentikan kalimat itu. "Well, thanks bunganya, Tania." Tania tersentak. Kepalanya berdenyut. Tubuhnya menegang, lalu tanpa pikir panjang, dia berbalik dan pergi secepat mungkin. 'Tidak!' Tania mengerang dalam hati. 'Bagaimana bisa pria itu di sini?! Aku harus pergi!' Dia memutuskan untuk berbelok, menuju toilet. Tangannya sudah gemetar saat meraih pinggir wastafel. Berusaha menahan tubuh yang hampir tumbang. 'Ini enggak masuk akal! Direktur itu ….' Tania bahkan tak berani mengakuinya. Bahwa yang baru saja diumumkan menjabat sebagai direktur operasional adalah pria yang tidur dengannya semalam. Gelombang mual menyergap Tania. Dorongan untuk memuntahkan isi perutnya begitu kuat, meski tak ada yang bisa dia keluarkan. Dia bahkan belum sempat sarapan pagi ini. 'Aku benar-benar enggak bisa kerja lagi di sini!' pikirnya. Berusaha menenangkan diri, Tania membasuh wajahnya dan memperbaiki riasan seadanya, sebelum kembali ke aula. Namun, begitu sampai Rachel langsung menghampirinya. "Pak Direktur ingin bertemu denganmu di kantornya." Darah Tania seakan berhenti mengalir. Dia bahkan tak ingat niatnya untuk mengundurkan diri tadi. Rasanya, dia ingin segera menghilang detik itu juga. Rachel menatapnya heran. "Kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat." "Saya … saya tidak apa-apa," jawab Tania lirih. Tangannya dingin saat mengikuti Rachel menaiki lift ke lantai direksi. Setelah sampai, seorang sekretaris membawanya ke depan sebuah pintu besar. Tania menarik napas dalam ketika sang sekretaris membuka pintu. "Masuk!" Lehernya terasa dicekik, tetapi kakinya tetap melangkah masuk ke dalam ruangan. Kilatan ingatan menyambar benaknya—bar yang remang, gelas-gelas minuman, lalu seseorang membawanya masuk ke Grand Velora. Tania menggigit bibirnya. "Kenapa diam saja? Kamu tidak lupa nama saya, kan? Kita sudah berkenalan kemarin. Saya Rafael.” Tania menunduk, jantungnya berdetak tak karuan. “Tadi pagi kenapa kamu meninggalkan saya? Apa kamu tidak puas dengan yang semalam?” Kedua mata Tania membelalak. Tangannya mengepal sebelum tiba-tiba dia membungkuk dalam. "Maaf, Pak! Saya melakukan kesalahan. Saya benar-benar minta maaf!" Namun, gerakan mendadak membuat tubuh Tania terhuyung. Seketika, dia jatuh terduduk di lantai. Rafael bergerak cepat, tapi sebelum dia sempat menyentuhnya, Tania buru-buru bangkit dan mundur. "Maaf, Pak!" Rafael menatapnya dalam diam. Lalu, tanpa berkata apa-apa, dia melirik sekilas ke sebuah kotak berpita di mejanya sebelum kembali menatap Tania. "Jangan terlalu panik. Saya hanya ingin mengucapkan selamat untuk pegawai baru. Saya memanggil semua orang, bukan hanya kamu." Suaranya terdengar datar. Dia berbalik, kembali ke belakang meja kebesarannya. "Selamat menjadi bagian dari Grand Velora. Saya harap kamu bisa memberikan yang terbaik untuk hotel ini." Hati Tania mencelos. Kesempatannya untuk mengundurkan diri hilang sudah. Melihat wajah Tania yang muram, Rafael merasa kesal. Dia menunjuk ke arah pintu dan memberi perintah, "Silakan kembali bekerja!" Tania mengangguk cepat. "Terima kasih, Pak!" Hatinya mengucap syukur. Dia bergegas keluar, berlari ke arah lift yang tengah terbuka. Begitu pintu lift tertutup, kedua kakinya melemas. Dia jatuh terduduk, napasnya memburu. “Dari semua pria di dunia, kenapa aku harus tidur dengannya?” Lift terbuka di lantai 3. Lambat-lambat kaki Tania melangkah menuju ruangan room service. Pikirannya penuh dengan berbagai hal, sampai-sampai dia tidak mendengar suara Rachel yang memanggilnya. "Tania!" Netra Tania mengerjap beberapa kali. "I–iya, Bu?" "Selamat ya!" Rachel menyalami Tania. "Kamu resmi jadi pegawai tetap Grand Velora!" Tepuk tangan menggema. Tania tersenyum samar, meski hatinya terasa kosong. Rachel kembali berbicara, melambaikan beberapa lembar kertas. "Hal selanjutnya yang akan saya bahas adalah peraturan baru Grand Velora." Staf menerima lembaran aturan itu. Beberapa detik kemudian, ruangan menjadi hening. "Ada satu hal yang saya garis bawahi," lanjut Rachel. "Mulai hari ini, hotel melarang pegawai menjalin hubungan asmara di tempat kerja." Tania tertegun. Tatapan semua orang langsung tertuju padanya. Tentu saja. Selama ini, semua orang tahu Tania dan Gilang berpacaran. Semuanya tahu Tania masuk ke Grand Velora karena Gilang. Tapi tidak ada yang tahu— "Saya sudah putus." Seketika, seisi ruangan hening. Rekan kerja Tania hanya saling menatap tanpa mengucapkan satu patah kata. “Kalau begitu kamu tidak perlu khawatir,” ucap Rachel. Dia berusaha memecah keheningan yang canggung. “Kamu tidak melanggar peraturan dan kamu bisa tetap menjadi pegawai Grand Velora.” Tania membalas senyum Rachel dengan sebuah anggukan lemah. Dia memaksakan senyum di wajah, membuat teman-temannya memandang tak tega. “Ayo kita rayakan!” Seru Lia tiba-tiba. “Bagaimana kalau kita ke restoran pasta yang baru di seberang hotel setelah jam kerja selesai?” Rekan-rekan kerja Tania mengangguk setuju. Mereka memasang wajah penuh semangat. “Ide bagus!” Keisha menanggapi. “Kita harus merayakan diangkatnya Tania menjadi karyawan, sekaligus bebasnya dia dari si mantan tukang selingkuh.” Lia menyikut Keisha cepat. Kedua matanya melotot meminta temannya itu menutup mulut. Sayangnya, Tania sudah terlanjur mendengar. “Tukang selingkuh?” Dahi Tania berkerut. ‘Apa maksudnya?’ Tania bertanya dalam hati. ‘Jadi kemarin bukan yang pertama kali?’“Aku punya bayi di sini!” Tania sengaja menegaskan agar Rafael tidak salah paham.Tania tak ingin Rafael merasa senang karena ia sedang dongkol. Semakin Rafael tersenyum, semakin Tania geram.“Cepat!” gerutu Tania. Rafael bergegas. Tak lama, ia sudah kembali dalam pakaian kering. Tania memicing. Ia ingin mengusir Rafael, tapi di rumah orang tuanya ini, Tania tak mungkin melakukannya. “Aku tidur di luar aja.” Rafael yang peka dengan tatapan tajam Tania, langsung beranjak. Tania berseru memanggil Rafael, tapi suaminya itu sudah terlanjur keluar. Meski enggan, Tania menyusul Rafael. Bisa jadi masalah jika keluarga Tania mendapati Rafael tidur di luar. Tania bisa diceramahi sampai kiamat. Apalagi Tania tidak akan mengucapkan alasannya. “Balik ke kamar,” ucap Tania sambil menyenggol lengan Rafael. Rafael sudah memejamkan mata, terlihat lelah. Namun, mendengar perintah dari Tania, Rafael gegas berdiri. Mereka berjalan beriringan ke kamar. Tepat setelah mereka masuk, Tania meminta Ra
“Kenapa cemberut begitu?” Rafael baru pulang dan ia mendapati Tania sedang mengerutkan dahi. Padahal Tania sudah berusaha untuk biasa saja, tapi jengkel yang ia rasakan tak bisa Tania tahan. Dalam hati, Tania jelas tahu jika Rafael tidak melakukan kesalahan apa pun.Bukan Rafael yang merencanakan itu semua. Itu hanya orang tua Rafael yang sampai sekarang belum menerima Tania. “Apa ada masalah?” Rafael bertanya dengan tatapan menyelidik. Tania memasang wajah datar. Ia tak berniat menjawab sama sekali. Melihat respon Tania, Rafael bertanya lagi. “Apa aku melakukan kesalahan?” Saat itu, ujung hidung Tania bergetar sedetik. Namun, Rafael menyadarinya. “Salahku, ya?” Rafael mulai mengingat-ingat apa yang hari ini ia lakukan. “Aku hanya ada di kantor seharian, memeriksa dokumen. Rasanya aku enggak melakukan apa pun.” Rafael bergumam sendiri. Rafael mulai menjabarkan pada Tania apa saja yang sudah ia lakukan. Tania tak menyahut sama sekali, membuat Rafael stres sendiri. “Aku enggak
“Maafkan aku!” Tania berujar panik. Ia merasa malu karena mengomentari lukisan tepat di depan sang pelukis. Untung saja Tania mengatakan kalau lukisannya cantik!“Aku tidak tau kalau ini adalah pameran Bu Anna.” Tania masih terus meminta maaf. Sementara Anna membalas dengan tawa kecil. Senyumnya merekah sempurna. Tangannya menepuk lengan Tania lembut. “Kamu enggak melakukan kesalahan apa pun. Kamu malah memujiku,” sahut Anna. “Ah iya, kamu datang ke sini bersama suamimu, kan?” Saat Anna menyebut nama Rafael, tiba-tiba saja Rafael muncul di samping mereka. Tania terkejut sesaat. Rafael bukan hanya memiliki pendengaran super, tapi juga kemampuan berpindah tempat dengan sangat cepat. Sebelum ini, Tania melihat Rafael ada di sudut, sedang mengobrol. Sekarang, Rafael sudah ada di sisinya, menggenggam tangan Tania mesra. “Nah, ini Pak Rafael.” Anna berseru dengan senyum lebar sempurna. “Aku ingat kemarin ada tawaran dari Grand Velora.” Anna meraih tangan Tania lembut. “Aku baru ing
“Kamu bilang apa barusan?” Kedua mata Tania membulat tak percaya. Dika mengangguk. Pria itu meyakinkan Tania jika apa yang dikatakannya benar.“Aku bersumpah apa yang kudengar itu benar.” Dika berucap serius. Namun, Tania masih memicing. Ia menatap Dika curiga, setengah bingung. Semuanya tidak masuk akal. Rafael kan sudah menikah dengannya, semua orang di negeri ini tahu jika mereka adalah suami istri. Lalu kenapa?“Siapa wanita yang dijodohkan dengan Rafael? Beritahu aku namanya.” Tania berusaha berucap tenang. Padahal, ia marah setengah mati. Bisa-bisanya, orang tua Rafael menjodohkan Rafael yang jelas-jelas sudah menikah dengannya?!‘Apa itu bahkan masuk akal?!’Dika mengelus bulu kuduknya yang meremang. Tania memang tidak meneriakkan kemarahan, tapi aura menusuk yang keluar dari dirinya membuat suasana berubah dingin mencekam. “Natasha Marie Tanudibya,” jawab Dika pelan. Tania tertegun sesaat. Ia berusaha mengingat di mana ia pernah mendengar nama itu. “Dia anak pemilik Man
“Buatmu,” ucap Rafael saat masuk ke dalam kamar lama Tania. Rafael membawakan Tania sebuah cake cokelat berukuran sedang. Tania menerimanya dengan antusias. “Yang itu buatmu. Habiskan saja. Untuk yang lain udah aku simpan di luar,” sambung Rafael. Wajah Tania berubah sumringah. Ah, ia harus mengakui jika ucapan ibunya benar. Mungkin ia memang beruntung memiliki seorang suami seperti Rafael. Rafael bahkan pulang tepat waktu. “Apa pekerjaanmu enggak sibuk?” tanya Tania. Rafael hanya mengangkat bahu. Ia menghampiri Tania, membantu Tania memotong kue. “Kamu udah baikan?” Rafael malah mengalihkan pembicaraan. Tania balas memandang tidak senang. Ia ingin pertanyaannya dijawab. “Sedikit.” Rafael menjawab. Namun, ia dengan sengaja menyuapkan kue untuk Tania. Tentu agar Tania tidak bertanya atau mengomel. Tania tak bisa bicara dengan mulut penuh. Dan Rafael berhasil. Di kunyahan pertama, Tania tidak bisa merasa kesal lagi. Kuenya sangat enak, membuat Tania tak mampu menahan senyum.
Tania membelalak. “Ibu tau darimana?!”Otak Tania sempat menuduh Rafael. Namun, hatinya langsung menolak. ‘Enggak mungkin Rafael!’ bantah Tania dalam hati. Tania yakin Rafael bukanlah orang yang akan dengan mudah menceritakan masalah mereka. Apalagi masalah ini akan mempengaruhi penilaian Anggi padanya. “Tak penting Ibu tau dari siapa.” Anggi menolak untuk bicara. “Penting!” Tania menyela. “Dari mana Ibu tau kabar bohong kayak gitu?” Tania sengaja membantah kebenaran. Ia membuat ekspresi wajahnya semeyakinkan mungkin, agar Anggi tidak curiga. “Grand Velora enggak pakai target tamu,” sahut Tania penuh percaya diri. “Lagipula, Tania kan bukan sales. Kenapa harus kejar target?” sambung Tania. Anggi langsung mendelik. Ia menatap Tania penuh rasa curiga. Tania menghadapi tatapan penuh tuduhan dari Anggi tanpa berkedip. Ia tidak akan menunjukkan keraguan sama sekali. “Benarkah?” Anggi sejenak terlihat linglung. Tania memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Kepalanya mengangguk,