Duk.
Handphone Tania terjatuh dari genggaman. Tatapannya kosong sesaat. Ia menggumam tidak jelas, lalu menggeleng panik setelahnya.“Kenapa?” Tyo yang baru saja pulang sekolah melihat keadaan Tania yang aneh.Tania seperti orang linglung. Ia menggumam tidak jelas dan berlari ke kamar tiba-tiba.“Lah, mau ke mana?!” Tyo berteriak bertanya.Namun, Tania terlalu sibuk untuk menjawab. Tania hampir berlari menuju jalan utama saat Tyo mengejarnya dengan sepeda motor.“Kak!” Tyo sengaja menghentikan motornya tepat di depan Tania.Suara decit ban motor Tyo mengejutkan Tania. Kedua matanya membelalak. Ia memekik kesal. “Minggir!”Tyo turun dari motor sambil melotot pada Tania. “Kakak kenapa lari-lari? Mau ke mana?”Tania langsung terdiam. Ia mengalihkan pandang, membuat Tyo semakin curiga.“Aku anterin aja.” Tyo menepuk jok motornya. Ia merasa tidak bisa membiarkan Tania berjalan sendirian.“Kalau Ibu benar-benar Ibuku, harusnya Ibu tahu kenapa aku bersikap seperti ini,” sahut Rafael. Tatapan Rafael tertuju lurus pada Sonya, tapi tangannya bergerak pada Tania. Rafael meremas tangan Tania lembut, seolah menenangkan Tania, mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja. “Ayah dan Ibu yang memulainya. Andai kalian bisa menerima keputusanku untuk bersama dengan Tania, aku tidak akan melakukan semua ini,” ujar Rafael dingin. “Tapi dia tidak layak untukmu!” Jari telunjuk Sonya menuding Tania penuh kemarahan. “Kami tidak bisa membiarkan anak kami ada di jalan yang salah! Hidupmu tidak akan bahagia bersamanya, Nak!” Sonya malah menyumpah. “Jangan buta, Rafael! Kamu akan hancur kalau masih bersama wanita jalang ini!” Tania terkejut ketika Rafael tiba-tiba saja menariknya ke dalam pelukan. Ia dirangkul begitu erat, sampai Tania merasa sesak. “Jangan bicara sembarangan, Bu!” Rafael menegur keras. Tania bisa melihat Rafael mendorong Sonya menjauh. Sang suami menjaga dirinya ag
“Kamu berani berteriak padaku?!” Sonya menggebrak meja, membuat gelas dan piring bergetar hebat. Tania meringis. Ia langsung mengambil langkah mundur sambil memegang perutnya. “Kamu itu bukan siapa-siapa! Berani sekali kamu membantah saya!” Tania memekik saat tangan Sonya menyambar gelas dan melemparnya. Gelas itu pecah menghantam lengan Tania. “Akh!” Tania meringis. Panas menjalar membuat kedua mata Tania berair. Saat ia menoleh, di lengannya sudah mengalir cairan merah. “Tania!” Dika langsung menarik Tania mundur. Ia berdiri di depan Tania, menengahi. “Apa yang kamu lakukan?” Sonya mendesis tidak senang. “Kenapa kamu membelanya? Mereka sudah membuangmu!”Sonya menunjuk Tania. “Wanita licik ini mempengaruhi anakku untuk meruntuhkan GHG! Kamu dan teman-temanmu akan jadi pengangguran!”Dika menatap Tania tak percaya. Tania gegas menggeleng, mengelak. “Rafael tidak begitu! Suamiku cuma be
Duk. Handphone Tania terjatuh dari genggaman. Tatapannya kosong sesaat. Ia menggumam tidak jelas, lalu menggeleng panik setelahnya. “Kenapa?” Tyo yang baru saja pulang sekolah melihat keadaan Tania yang aneh. Tania seperti orang linglung. Ia menggumam tidak jelas dan berlari ke kamar tiba-tiba. “Lah, mau ke mana?!” Tyo berteriak bertanya. Namun, Tania terlalu sibuk untuk menjawab. Tania hampir berlari menuju jalan utama saat Tyo mengejarnya dengan sepeda motor. “Kak!” Tyo sengaja menghentikan motornya tepat di depan Tania. Suara decit ban motor Tyo mengejutkan Tania. Kedua matanya membelalak. Ia memekik kesal. “Minggir!”Tyo turun dari motor sambil melotot pada Tania. “Kakak kenapa lari-lari? Mau ke mana?”Tania langsung terdiam. Ia mengalihkan pandang, membuat Tyo semakin curiga. “Aku anterin aja.” Tyo menepuk jok motornya. Ia merasa tidak bisa membiarkan Tania berjalan sendirian.
“Rafael enggak bilang ke Ibu atau ke Ayah dia pergi ke mana?” Tania bertanya karena malam semakin larut. Rafael memang sudah meminta izin padanya, tapi Tania tetap cemas. Apalagi Rafael tidak bisa dihubungi karena tidak memiliki handphone. “Enggak,” sahut Anggi. Satu alisnya terangkat. “Ibu kira dia udah bilang ke kamu.”Tania menghela keras. “Emang udah bilang. Tapi ini jam berapa?!”Hampir tengah malam. Agus bahkan sudah tidur. Tyo pun tak terlihat batang hidungnya. Adik Tania itu sudah ada di kamarnya sejak tadi. Hanya tertinggal Anggi saja. Anggi pun sudah menguap beberapa kali. Ia menahan ngantuk untuk menemani Tania. “Tadi Ibu liat dia dijemput pakai mobil. Mungkin pergi sama temannya,” ucap Anggi. Anggi merebahkan kepalanya ke sandaran sofa. Ia hampir memejamkan mata saat Tania kembali mengajaknya bicara. “Ibu enggak liat orang yang jemput Rafael?” Tania menoleh dan mendapati Anggi sudah terpejam. Ia jadi bicara sendirian. “Enggak mungkin Rafael kembali ke rumah orang tu
“Aku bantu Ayah dulu.” Rafael berpamitan seperti biasa pagi itu. Sudah beberapa hari, proses pembangunan kembali kedai milik orang tua Tania berjalan lancar. Agus dan Anggi memutuskan untuk menggunakan tabungan mereka dan mengajukan sedikit pinjaman. Untuk sementara, Rafael hanya akan membantu dengan tenaga. Ia melakukan apa yang ia bisa. “Mungkin nanti aku pulang malam.” Rafael meminta izin sebelum benar-benar pergi. Tania mengiyakan, tidak menyimpan curiga sama sekali. Ia tidak tahu jika suaminya memiliki rencana lain setelah membantu di kedai. Hari sudah berubah senja saat sebuah mobil mewah berhenti tak jauh dari kedai. Rafael langsung berpamitan pada Agus dan Anggi sebelum menghampiri mobil yang menjemputnya. Saat itu, Anggi menatap Rafael curiga. Namun, Rafael memilih untuk tak menjelaskan. “Masuk,” ucap sebuah suara dari dalam mobil. Pintu terbuka dan Rafael langsung melangkahkan kaki. Ia duduk dengan nyaman di kursi belakang mobil. “Bagaimana kabarmu?” Rafael bertany
“Aku bisa mencari tahu dari orang lain, tapi aku ingin kamu yang bicara.”Rafael menutup pintu kamar. Ia memastikan hanya mereka ada berdua sebelum lanjut bicara. “Tania, kumohon. Aku pikir kita sepakat untuk melalui semua ini bersama-sama. Apa aku masih sendirian sekarang?”Tatapan Rafael tajam menuntut. Tania sampai tidak bisa menoleh hanya untuk sekedar mengalihkan pandangan. Rafael tidak membiarkannya lolos. Perlahan, Tania menoleh. Ia menatap Rafael lekat. Bibir Tania membuka, lalu menutup kembali. Ia terlalu ragu untuk berucap. Apa kalau mengatakan kejujuran sekarang ia akan dicap sebagai pengadu?“Kesalahan tidak akan menjadi benar hanya karena orang yang melakukannya berbeda, Tania.” Rafael menggeram pelan. “Kamu tau apa yang aku maksud.”Tania menarik napas dalam. Ia mendorong Rafael menjauh, meminta Rafael memberikannya ruang sesaat. “Ibumu,” lirih Tania dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. “Ibumu melakukan itu karena aku menolak….”“Menolak apa?” Rafael bertanya