Alaric menarik nafas, mengerang ketika terbangun, matanya segera terbuka ketika rabaan tangan di sampingnya hanyalah kosong dengan selimut yang tersibak.
Bahkan ketika dia tertidur tadi malam, ada sebuah perasaan yang memohon padanya untuk terus membuka mata. Bahwa gadis itu akan pergi seperti embun mengucapkan selamat tinggal di bawah sinar matahari.
Dan dia benar.
“Selamat pagi, Sepupu.”
Pangeran itu menoleh, menatap pada sepupunya yang telah menuangkan teh untuk dirinya sendiri, duduk di meja dan kursi sarapannya, kaki tersilang. “Sejak kapan kau ada disini?”
“Kau tak senang karena melihatku?” tanya Dimitri, meletakkan cangkirnya. “Atau kau hanya tak senang karena aku bukan yang ingin kau lihat pagi ini?”
Dia menghela nafas.
Dimitri Fernthier adalah putra sang duke dari Flarevana, yang juga merupakan pamannya — kakak sang ratu. Namun dengan segala kedekatan mereka, Alaric begitu berharap bahwa adik sepupunya itu tak terlalu sering menyelinap masuk ke dalam ruangannya. Terutama setelah malam seperti ini.
“Jadi,” mulai Dimitri. “Siapa dia?”
Laki-laki itu mengalihkan pandangan. Dia bertemu dengan Aya di sebuah pesta dansa, fakta itu mengatakan jelas bahwa dia adalah seorang bangsawan. Dia seharusnya memiliki keluarga yang menunggunya di rumah, menanti dengan gelisah kenapa putri mereka belum pulang dari petualangannya di lantai dansa.
Dia seharusnya memahami itu. Dan bahkan dengan dia yang keluar dari rumahnya sendirian akan menyebabkan skandal luar biasa untuk orang-orang. Aya tampak begitu polos. Dia seharusnya benar-benar menahan diri untuk membawanya pulang.
“Entahlah,” balasnya pada akhirnya, jujur. Dia tak tahu apapun tentang gadis itu. Hanya namanya yang terdengar terlalu pendek untuk nama aslinya.
Mungkin itu adalah nama seorang pelayan. Mungkin dia membuat sebuah nama sederhana untuk membohonginya.
Dimitri pasti menangkap wajah putus asanya, mendekat.
“Kau terlihat buruk,” ucapnya. “Seberapa hebat dia?”
Alaric bahkan tak tahu bagaimana cara dia mengatakan bagaimana dia dengan Aya tadi malam. Dia tak bisa mengatakan bahwa dia merasa berbeda — bahkan dengan hanya membuatnya mencapai puncak memberikan kenikmatan sendiri baginya.
Malam itu, dia merasakan dirinya sendiri keluar tanpa sentuhan, merasakan bahwa ada sesuatu di dalam tatapan sayu dan rambut penuh kerlipnya.
Hingga akhirnya dia mengatakan, “entahlah.”
Sepupunya menghela nafas, memutar mata. “Apa yang harus kulakukan jika kau menjawab seperti itu terus menerus? Aku bahkan tak bisa membantumu,” omelnya. “Kurasa kau harus menceritakan dengan baik jika kau ingin begitu.”
“Aku tak butuh bantuanmu.”
Dimitri tertawa, keras seperti yang selalu dia lakukan. “Aku yakin sekali kau akan membutuhkanku. Kau tahu aku lebih mahir mencari seseorang dibandingkan denganmu, Sepupu.”
“Kau bahkan tak bisa menemukan gadismu.”
“Hei!” sanggahnya, “Diora adalah hal lain,” dia membela diri.
“Apa bedanya?” sang pangeran menuntut, memperhatikannya berjalan pergi untuk mengisi gelas dengan alkohol. Sekarang mungkin masih pukul delapan pagi, namun dia tak bisa terlalu protes padanya. “Aku rasa kita bisa sama-sama menyimpulkan bahwa mereka pergi dari kita.”
“Diora tak pergi dariku,” ralatnya. “Kakaknya mengirimnya pulang ke rumah warisannya untuk belajar. Dia pasti sudah berada di Firedale sekarang. Dia takkan melewatkan debutnya sendiri.”
Alaric menyeringai. “Bagaimana kau tahu bahwa tahun ini adalah debutnya?”
“Mungkin karena aku mengawasinya.”
“Mengawasi seorang gadis muda,” dia berkomentar. “Di umurmu yang sudah dua puluh tiga. Kau menyeramkan, Dimitri. Kau harus menyadari itu.”
“Terserah,” gumamnya, menghela nafas. “Intinya adalah aku tahu dimana tujuan hatiku berada dan kau bahkan tak bisa menemukan gadis yang tidur denganmu tadi malam.”
Alaric meraih sepatunya, melemparkannya pada kepala putra sang duke — yang sayang sekali telah meleset.
Mungkin dia kesal karena dia tak bisa membela diri kembali mengalihkan diri dengan duduk untuk mengenakan kembali kemejanya dan meraih teh di meja sarapan, menyeruputnya.
Dia mengernyit ketika melihat beberapa kerlip di cangkir, lalu menunduk pada tangannya. Bahkan hingga sekarang, dia menyadari bahwa Aya telah meninggalkan setidaknya sedikit bagian darinya. Walaupun hanya kerlip sekalipun. Dan dia merasa baru saja menyentuh bintang.
Agak sedikit arogan jika berpikir bahwa Aya mungkin saja juga tak bisa melupakannya, terbelenggu dalam rindu yang membuatnya tak bisa melarikan diri.
Namun bahkan dengan itu, dia tahu bahwa sekadar rindu takkan mengembalikannya. Mereka memiliki aturan sendiri, terutama ketika itu menyangkut dua orang yang belum menikah.
Jika dia menemuinya secara terang-terangan, dia akan mengekspos mereka. Dan mungkin menghancurkan masa depan gadis itu.
Dia harus menemuinya secara natural dan baik-baik. Dengan pendamping, mungkin ketika promenade atau saat pesta. Namun itu semua akan gagal jika dia tak mampu menemukan namanya.
Dia membutuhkan setidaknya nama keluarganya, jika dia tak ingin menyusuri setiap rumah untuk mencarinya.
Jika berita itu tiba pada ibunya–
Dia bergidik, enggan membayangkan apa yang akan sang ratu lakukan ketika tahu bahwa ada seorang gadis yang ingin dia cari. Setiap pertanyaan akan berujung pada kejujuran, dan pada akhirnya Alaric akan mengakui tentang bagaimana dia bertemu dengannya.
Dia takkan menginginkan itu untuk mereka berdua. Lebih mudah berbohong pada ibunya bahwa mereka bertemu di pesta dansa dan saling catung cinta telak dibandingkan harus mengatakan bahwa mereka bertemu dan menghabiskan satu malam tak terlupakan di hidupnya.
Dimitri memperhatikannya. “Apa yang kau pikirkan?”
“Aku berpikir untuk menemukannya,” dia menetapkan. “Menurutmu, aku bisa?”
“Kau,” dia tertawa, “kau adalah putra mahkota Crimsonrealm. Jika kau tak memiliki kesempatan, takkan ada yang mampu.”
Benar sekali. Tapi mungkinkah Aya akan melarikan diri lebih ketika mengetahui siapa dia sebenarnya?
Walaupun dia seharusnya telah mencurigai tentang nama yang dia berikan. Tak ada yang memberikan nama tersebut ketika ibunya menetapkan Alaric sebagai namanya, mempersembahkan panggilan itu hanya untuknya.
Namun sepertinya dia harus memberikan keraguan bahwa Aya tak mengetahui itu. Atau mungkin dia hanya sekadar tak peduli dan tetap bersamanya — yang lebih memberikannya perasaan senang hati. Walaupun mungkin dia sedang salah.
Tapi setidaknya dia bisa berharap bahwa Aya masih ingin bersamanya di balik tekanan itu ‘kan?
Dia sebaiknya terus berpikir seperti itu untuk menenangkan pikirannya. Bahwa dia tak mempedulikan siapa dia dan tetap memilih untuk pulang bersamanya, membiarkannya memberikan kuasa di atasnya walaupun itu hanya untuk satu malam.
Namun bagaimana jika kuasa itu adalah salahnya?
Bahwa Aya memberikan dirinya karena dia merasakan ketakutan jika dia harus menolak seorang pangeran. Tidak. Dia terlalu pemikir. Ada perasaan mustahil yang menyusurinya ketika dia bahkan memilikirkan hal itu.
“Ayolah,” sahut sepupunya. “Jika kau ingin menemukan gadismu, kau tak mungkin berada disini terus menerus.”
“Kemana kita akan pergi?”
Dia dapat menemukan binar di mata Dimitri, berkedip. “Ke promenade.”
“Aku tak percaya kau membawaku kemari.” Dimitri tertawa, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Para debutante duduk bersama keluarga mereka, beberapa anak memainkan lempar lingkaran dan bola, beberapa melayangkan layangan. Para bangsawan berkumpul dan berbisik, memperhatikan gadis-gadis yang melewati mereka sebelum melanjutkan pembicaraan. Promenade penuh dengan taktik perjodohan — gerakan kipas, pandangan mata, dan senyum penuh hormat. Dia mungkin akan menikmatinya jika itu bukan karena dia terlalu memikirkan malamnya bersama Aya. “Ayolah,” mulai sepupunya. “Aku yakin kau akan menemukannya.” Alaric berdeham, memperbaiki pakaiannya sebelum berjalan mengikutinya. “Apa yang membuatmu begitu yakin bahwa dia ada?” “Entahlah,” dia membalas. “Aku juga tak yakin sebenarnya — tapi setiap debutante tahun ini akan berada disini. Aku yakin dia juga. Jika dia tak ingin, aku yakin ibunya akan membuatnya berada disini.” Mungkinkah? Dia melihat betapa gelisahnya Aya ketika dia belum me
Sang ratu adalah seorang dengan kesukaan terhadap musik dan anjing, membuat baik Alaric maupun Dimitri duduk di depannya dengan kaku, sementara pangeran itu memperhatikan seekor yang tengah digendong ibunya.“Alaric,” panggilnya, mengusap anjingnya.“Ya, Ibu.”“Bukan kau, Sayangku,” dia meralat. “Aku menamai ini Alaric, lucu bukan?”Dia mendengar kekehan dari Dimitri, yang berusaha meredam tawa di balik cangkir tehnya. Dan untuk sejenak, Alaric tergoda untuk menendang sepupunya tepat di tulang kering. Mungkin itu akan memuaskan kekesalannya.“Aku rasa aku bisa merubah namanya,” ucap sang ratu kembali. “Jika kau tidak bersikap seperti dia yang senang berlari tanpa mendengarkanku. Faktanya, anjingku yang ini adalah yang paling tidak bisa dikendalikan.”“Ibu,” dia berdeham. “Ibu menyakanku dengan anjing milik Ibu?”Sekali lagi, Alaric mendengar tawa teredam dari sepupunya, cangkir teh yang dia genggam bergetar karena menahan setiap hembusan nafas yang ingin di keluarkan keras-keras. Alar
Alaric tak tahu menahu tentang apa yang ingin dibicarakan oleh ibunya dengan sepupunya. Sejujurnya, dia juga tak ingin tahu. Dimitri memiliki sedikit kebebasan sebagai putra sang duke, membiarkan dirinya sendiri berada di dalam gemerlap pesta-pesta dan minuman.Sang pangeran tak memiliki kemewahan itu.Tapi itu memberinya sedikit rasa bersyukur bahwa dia takkan mendapatkan masalah soal itu. Walaupun sebentar lagi dia akan terjerat masalah jika dia tak menemukan Aya.Dia tengah berjalan-jalan di kota, memperhatikan orang-orang lalu lalang. Beberapa gadis dan ibu mereka menuju toko pakaian, beberapa debutante dan peminang mereka berada di kedai teh, bercengkrama ditemani para pendamping.Dia ingin tahu jika ada seorang bangsawan yang mengetuk rumah Aya dan memperkenalkan diri, memberikannya bunga dan pujian demi memenangkan hatinya.Jika dia berada disana, mereka semua akan kalah. Alaric akan memberikannya hadiah gaun dan perhiasan yang lebih berharga dari yang mereka persembahkan. Dia
Diora membuka pintu rumah Hiraya, menghela nafas ketika menyadari bahwa itu tak terkunci. Temannya memiliki sebuah kebiasaan dimana dia lupa untuk menutup pintu rapat-rapat sebelum dia pergi. Gadis itu sangat yakin bahwa dia tengah berada di rumah pamannya, membantu pekerjaan rumah.Atau dia harus mengatakan bahwa Hiraya adalah salah satu pembantu di dalam rumah tersebut. Temannya itu akan kembali ketika sore tiba. Satu-satunya saat dimana dia tak berada disana adalah ketika makan pagi. Dimana yang lain mengambil alih. Namun Hiraya harus tetap berada disana hingga sebelum makan malam nanti.Diora membenci keluarga paman temannya dengan sepenuh hatinya.Waktu telah mencapai pukul lima ketika gadis itu kembali, membuka pintu tanpa mempertanyakan banyak hal, bahkan ketika dia melihat temannya merebahkan diri di tempat
Hiraya memperhatikan Diora yang kini terbaring di ranjangnya, matanya kosong penuh rasa sedih dan penasaran. Dia merasa gagal berempati dengan temannya sendiri, namun dia tak bisa memaksakan dirinya untuk mengatakan bahwa dia mengetahui perasaannya.“Bagaimana kau bisa melakukan itu?” tanya Diora, membuatnya menoleh kembali padanya, bergumam penuh pertanyaan. “Bersikap seolah tak terjadi apapun.”Dia tidak.Sudah semenjak pagi tadi dia menyesali apa yang terjadi bersama Alaric — mencoba menghapusnya dari ingatan dan mengalihkan perhatiannya. Walaupun dia merasa bahwa laki-laki itu menemukannya tepat ketika dia berjalan menuju rumah pamannya.Dia memberikan selamat pada dirinya sendiri ketika berhasil menghindar. Ketika dia tak menggubris pan
Ketika dia membuka mata, Hiraya mendapati dirinya kembali ke taman, lampu-lampu yang temaram menyala di sekitarnya, sementara gemerisik dedaunan berbisik ketika dia berjalan melewatinya.Taman memiliki jalur setapak yang sedikit sempit, namun tak mustahil baginya untuk berjalan sementara dia berada di dalam gaunnya. Dia tak memahami apa yang membawanya kemari, mengernyitkan dahi sementara matanya berusaha melihat melalui lampu temaram.Dia dapat menyadari sebuah ruang terbuka di ujung lorong dedaunan, memperhatikan seorang laki-laki yang berdiri di tengahnya. Pakaiannya hitam, lebih gelap dari rambutnya yang kecoklatan.Ketika dia berbalik, Alaric tersenyum padanya, mengulurkan tangan.Dan Entah kenapa, Hiraya mendapati dirinya menerima uluran itu, membalas senyumannya s
Hiraya tak mengharapkan apapun bahkan hingga esok harinya, dimana dia berjalan kembali ke rumah pamannya, membawa keranjang makanan seperti biasa. Dia berpikir untuk mengenakan tudung hanya agar tak dikenali, namun justru mengurungkan niat.Untuk apa dia menyembunyikan identitasnya?Seharusnya seperti itu, kecuali dia melihat seorang asing berdiri di dekat gerbang, tangannya menggenggam kekang kuda seolah tengah menunggu. Dan Hiraya berdoa bahwa yang ditunggu bukanlah dia.Laki-laki itu menoleh, binar mata berseri ketika melihatnya. “Aya.”Gadis tersebut berjengit, mengingat jelas suara yang memanggilnya tersebut. Dia menoleh pada Alaric, yang menatapnya penuh harap. Dia seharusnya tak menggubrisnya — tepat seperti kemarin. Namun entah kenapa, Hiraya me
Hiraya memperhatikan gaun di depannya. Dengan datangnya undangan itu, dia telah menganggap bahwa baik Julian dan Diora mengharapkan kedatangannya. Namun yang datang adalah seorang kurir — membawakan sebuah kotak berisi gaun dan sepatu, memastikan bahwa dia akan mengenakan pakaian yang setidaknya layak.Dia menoleh pada jendela, menatap matahari yang semakin turun.Sebentar lagi, dia akan diharapkan untuk berada di kediaman Mistwatcher, datang dengan pakaiannya yang sekali lagi dipinjamkan untuknya. Ada sedikit rasa malu di dalam diri, menjalar hingga tangan yang meremas erat gaun tersebut.Kepala keluarga Mistwatcher adalah seorang marquess. Jika dia pergi, Alaric mungkin akan berada disana. Tapi jika dia tidak, gaun yang dikirimkan padanya akan terasa sia-sia. Dia juga harus menghadapi rasa kecewa dari temann