Share

Dia yang Tak Terlupakan (Bagian 1)

Alaric menarik nafas, mengerang ketika terbangun, matanya segera terbuka ketika rabaan tangan di sampingnya hanyalah kosong dengan selimut yang tersibak.

Bahkan ketika dia tertidur tadi malam, ada sebuah perasaan yang memohon padanya untuk terus membuka mata. Bahwa gadis itu akan pergi seperti embun mengucapkan selamat tinggal di bawah sinar matahari.

Dan dia benar.

“Selamat pagi, Sepupu.”

Pangeran itu menoleh, menatap pada sepupunya yang telah menuangkan teh untuk dirinya sendiri, duduk di meja dan kursi sarapannya, kaki tersilang. “Sejak kapan kau ada disini?”

“Kau tak senang karena melihatku?” tanya Dimitri, meletakkan cangkirnya. “Atau kau hanya tak senang karena aku bukan yang ingin kau lihat pagi ini?”

Dia menghela nafas.

Dimitri Fernthier adalah putra sang duke dari Flarevana, yang juga merupakan pamannya — kakak sang ratu. Namun dengan segala kedekatan mereka, Alaric begitu berharap bahwa adik sepupunya itu tak terlalu sering menyelinap masuk ke dalam ruangannya. Terutama setelah malam seperti ini.

“Jadi,” mulai Dimitri. “Siapa dia?”

Laki-laki itu mengalihkan pandangan. Dia bertemu dengan Aya di sebuah pesta dansa, fakta itu mengatakan jelas bahwa dia adalah seorang bangsawan. Dia seharusnya memiliki keluarga yang menunggunya di rumah, menanti dengan gelisah kenapa putri mereka belum pulang dari petualangannya di lantai dansa.

Dia seharusnya memahami itu. Dan bahkan dengan dia yang keluar dari rumahnya sendirian akan menyebabkan skandal luar biasa untuk orang-orang. Aya tampak begitu polos. Dia seharusnya benar-benar menahan diri untuk membawanya pulang.

“Entahlah,” balasnya pada akhirnya, jujur. Dia tak tahu apapun tentang gadis itu. Hanya namanya yang terdengar terlalu pendek untuk nama aslinya.

Mungkin itu adalah nama seorang pelayan. Mungkin dia membuat sebuah nama sederhana untuk membohonginya.

Dimitri pasti menangkap wajah putus asanya, mendekat.

“Kau terlihat buruk,” ucapnya. “Seberapa hebat dia?”

Alaric bahkan tak tahu bagaimana cara dia mengatakan bagaimana dia dengan Aya tadi malam. Dia tak bisa mengatakan bahwa dia merasa berbeda — bahkan dengan hanya membuatnya mencapai puncak memberikan kenikmatan sendiri baginya.

Malam itu, dia merasakan dirinya sendiri keluar tanpa sentuhan, merasakan bahwa ada sesuatu di dalam tatapan sayu dan rambut penuh kerlipnya.

Hingga akhirnya dia mengatakan, “entahlah.”

Sepupunya menghela nafas, memutar mata. “Apa yang harus kulakukan jika kau menjawab seperti itu terus menerus? Aku bahkan tak bisa membantumu,” omelnya. “Kurasa kau harus menceritakan dengan baik jika kau ingin begitu.”

“Aku tak butuh bantuanmu.”

Dimitri tertawa, keras seperti yang selalu dia lakukan. “Aku yakin sekali kau akan membutuhkanku. Kau tahu aku lebih mahir mencari seseorang dibandingkan denganmu, Sepupu.”

“Kau bahkan tak bisa menemukan gadismu.”

“Hei!” sanggahnya, “Diora adalah hal lain,” dia membela diri.

“Apa bedanya?” sang pangeran menuntut, memperhatikannya berjalan pergi untuk mengisi gelas dengan alkohol. Sekarang mungkin masih pukul delapan pagi, namun dia tak bisa terlalu protes padanya. “Aku rasa kita bisa sama-sama menyimpulkan bahwa mereka pergi dari kita.”

“Diora tak pergi dariku,” ralatnya. “Kakaknya mengirimnya pulang ke rumah warisannya untuk belajar. Dia pasti sudah berada di Firedale sekarang. Dia takkan melewatkan debutnya sendiri.”

Alaric menyeringai. “Bagaimana kau tahu bahwa tahun ini adalah debutnya?”

“Mungkin karena aku mengawasinya.”

“Mengawasi seorang gadis muda,” dia berkomentar. “Di umurmu yang sudah dua puluh tiga. Kau menyeramkan, Dimitri. Kau harus menyadari itu.”

“Terserah,” gumamnya, menghela nafas. “Intinya adalah aku tahu dimana tujuan hatiku berada dan kau bahkan tak bisa menemukan gadis yang tidur denganmu tadi malam.”

Alaric meraih sepatunya, melemparkannya pada kepala putra sang duke — yang sayang sekali telah meleset.

Mungkin dia kesal karena dia tak bisa membela diri kembali mengalihkan diri dengan duduk untuk mengenakan kembali kemejanya dan meraih teh di meja sarapan, menyeruputnya.

Dia mengernyit ketika melihat beberapa kerlip di cangkir, lalu menunduk pada tangannya. Bahkan hingga sekarang, dia menyadari bahwa Aya telah meninggalkan setidaknya sedikit bagian darinya. Walaupun hanya kerlip sekalipun. Dan dia merasa baru saja menyentuh bintang.

Agak sedikit arogan jika berpikir bahwa Aya mungkin saja juga tak bisa melupakannya, terbelenggu dalam rindu yang membuatnya tak bisa melarikan diri. 

Namun bahkan dengan itu, dia tahu bahwa sekadar rindu takkan mengembalikannya. Mereka memiliki aturan sendiri, terutama ketika itu menyangkut dua orang yang belum menikah.

Jika dia menemuinya secara terang-terangan, dia akan mengekspos mereka. Dan mungkin menghancurkan masa depan gadis itu.

Dia harus menemuinya secara natural dan baik-baik. Dengan pendamping, mungkin ketika promenade atau saat pesta. Namun itu semua akan gagal jika dia tak mampu menemukan namanya.

Dia membutuhkan setidaknya nama keluarganya, jika dia tak ingin menyusuri setiap rumah untuk mencarinya.

Jika berita itu tiba pada ibunya–

Dia bergidik, enggan membayangkan apa yang akan sang ratu lakukan ketika tahu bahwa ada seorang gadis yang ingin dia cari. Setiap pertanyaan akan berujung pada kejujuran, dan pada akhirnya Alaric akan mengakui tentang bagaimana dia bertemu dengannya.

Dia takkan menginginkan itu untuk mereka berdua. Lebih mudah berbohong pada ibunya bahwa mereka bertemu di pesta dansa dan saling catung cinta telak dibandingkan harus mengatakan bahwa mereka bertemu dan menghabiskan satu malam tak terlupakan di hidupnya.

Dimitri memperhatikannya. “Apa yang kau pikirkan?”

“Aku berpikir untuk menemukannya,” dia menetapkan. “Menurutmu, aku bisa?”

“Kau,” dia tertawa, “kau adalah putra mahkota Crimsonrealm. Jika kau tak memiliki kesempatan, takkan ada yang mampu.”

Benar sekali. Tapi mungkinkah Aya akan melarikan diri lebih ketika mengetahui siapa dia sebenarnya?

Walaupun dia seharusnya telah mencurigai tentang nama yang dia berikan. Tak ada yang memberikan nama tersebut ketika ibunya menetapkan Alaric sebagai namanya, mempersembahkan panggilan itu hanya untuknya.

Namun sepertinya dia harus memberikan keraguan bahwa Aya tak mengetahui itu. Atau mungkin dia hanya sekadar tak peduli dan tetap bersamanya — yang lebih memberikannya perasaan senang hati. Walaupun mungkin dia sedang salah.

Tapi setidaknya dia bisa berharap bahwa Aya masih ingin bersamanya di balik tekanan itu ‘kan?

Dia sebaiknya terus berpikir seperti itu untuk menenangkan pikirannya. Bahwa dia tak mempedulikan siapa dia dan tetap memilih untuk pulang bersamanya, membiarkannya memberikan kuasa di atasnya walaupun itu hanya untuk satu malam.

Namun bagaimana jika kuasa itu adalah salahnya?

Bahwa Aya memberikan dirinya karena dia merasakan ketakutan jika dia harus menolak seorang pangeran. Tidak. Dia terlalu pemikir. Ada perasaan mustahil yang menyusurinya ketika dia bahkan memilikirkan hal itu.

“Ayolah,” sahut sepupunya. “Jika kau ingin menemukan gadismu, kau tak mungkin berada disini terus menerus.”

“Kemana kita akan pergi?”

Dia dapat menemukan binar di mata Dimitri, berkedip. “Ke promenade.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status