Share

Satu Malam Saat itu (Bagian 4)

Hiraya menarik nafas, terbangun. Tangannya berada di atas dada Alaric, membuatnya menelusurinya sementara alam bawah sadarnya masih terlalu banyak mengganggu pemikirannya. Mungkin dia seharusnya pergi, akan sedikit canggung baginya jika dia tetap tinggal.

Namun dia merasakan usapan di punggungnya, lalu tangan Alaric yang masih tetap berada di lengan dan pundaknya. Dan Hiraya sedikit menahan diri untuk bergerak. Lagipula, dia merasa bahwa dia akan terjatuh jika dia berjalan sekarang.

Laki-laki itu dengan begitu murah hati tidak meminta gilirannya tadi malam, dan walaupun dia merasa sedikit tidak enak, Hiraya meyakinkan diri bahwa itu bukan masalah besar. Juga, tadi malam adalah kali pertamanya. Akan sedikit menyesakkan jika dia melakukan segalanya sekaligus.

“Jangan berpikir untuk melarikan diri dariku,” dia memperingatkan pada malam tadi, menggenggam erat tangannya sementara dia berbaring di atasnya. “Aku akan menemukanmu jika begitu.”

Dia tertawa. “Kalau begitu, kau tak perlu takut.”

Hiraya dapat merasakannya menghela nafas, mencium tulang selangkanya sementara dia menyangga diri dengan lengan. Dia memperhatikannya menyingkirkan rambut dari poninya, tersenyum kecil. Kerlap-kerlip di rambutnya telah menghilang, dan dia yakin sekali bahwa riasan yang dia kenakan telah berantakan. Sedikit merah lipstiknya menempel di bibir Alaric.

“Namamu Aya,” mulainya. “Kenapa aku tak pernah mendengar nama Violetta sebelumnya?”

Gadis itu meraih tangannya, menyatukan jemari mereka. “Apa Fernthier adalah nama aslimu?”

Dia tersenyum kecil, menggeleng sebelum turun dan mengecup bibirnya. “Kau selalu mahir bersikap adil,” pujinya. Alaric turun dari atasnya, merengkuhnya dari sisi kirinya. “Aku akan menemukanmu,” janjinya. “Jadi simpan tenagamu dan jangan lari.”

Hiraya tersenyum, menghela nafas, dan secepat dia bergerak, Alaric mengeratkan pelukannya, seolah menyadari bahwa dia akan pergi. Namun dia menyadari bahwa dia takkan bisa berlama-lama disini.

Bahkan dengannya yang tak ingin pergi, hubungan mereka akan menjadi sebuah skandal. Seorang gadis yang belum debut akan dinyatakan tak pantas untuk seorang bangsawan manapun. Hiraya takkan ingin mengganggunya. Walaupun dia akan merasa bersalah untuk itu.

Dia dengan hati-hati menyingkirkan lengannya dari pinggang, meletakkannya di sampingnya sebelum merangkak ke arah pakaiannya. Sedikit kusut — tidak, tidak sedikit, sangat kusut. Namun dia harus tetap menggunakan ini. Setidaknya untuk pagi ini sebelum dia berganti.

Wajahnya memerah ketika melihat celananya yang sedikit basah di bagian tengah, meraih kain tipis untuk menjadi penghalang sebelum mengenakannya.

Dia menarik tali korsetnya dengan susah payah, menimbang jika dia harus membangunkannya untuk membantunya memasang talinya. Namun itu akan menyalahi tujuannya untuk lari. Jadi Hiraya harus bersusah payah mengikatnya.

Dia menoleh ke cermin, mengumpat ketika melihat maskaranya hancur, rambutnya berantakan setelah terlalu sering bergesekan dengan bantal. Ingatan tadi malam membuatnya kembali merah, kuku menggaruk tangannya sendiri dengan gelisah.

Gadis itu menoleh pada sepenjuru ruangan, mengingat bagaimana desahannya memenuhi ruangan.

Dia mungkin takkan kembali kemari. Itu bukanlah masalah yang besar.

Hiraya memperhatikan Alaric yang masih tertidur, seolah tak menyadari bahwa dia telah kehilangan orang di sampingnya. Namun itu takkan menjadi yang dia khawatirkan. Dia akan tetap hidup bahkan jika dia meninggalkannya. Alaric bukan urusannya.

Itu adalah yang terus dia katakan. Ketika dia mengikat rambutnya menjadi satu buntalan. Ketika dia mengangkat roknya agar dapat berjalan dengan baik, menyadari bahwa kaki kotornya telah dibersihkan.

Ketika dia membuka pintu pelayan dan memutuskan untuk tak terlihat dari sana. Ketika dia menoleh sementara bibirnya mengucapkan salam perpisahan sunyi. Ketika dia menutup pintu dan meninggalkannya.

Atau bahkan, mungkin itu terus mempengaruhinya ketika dia berjalan menuju luar gerbang, beberapa orang memperhatikannya karena dia mengenakan gaun pestanya di pagi hari — dia seharusnya mengambil sebuah jubah. Atau mungkin itu karena kakinya yang tak memiliki alas apapun.

Dia menundukkan kepala, sedikit malu ketika seorang anak memperhatikannya. Rumahnya akan berada tak jauh dari blok ini, sebuah tempat terpencil dari kediaman yang awalnya adalah milik ayahnya sebelum diambil oleh pamannya.

Adalah sebuah keberuntungan dimana dia tak perlu berurusan dengan mereka ketika dia berada dalam keadaan seperti ini, walaupun dia merindukan setiap lorong dan ruang rekreasi yang ada di dalam rumahnya. Dia harus tetap hidup di rumah kecil tak jauh di pinggir kota.

“Malam yang menyenangkan?” Hiraya menoleh pada tetangganya, menyiram air bekas ke halaman. “Aku yakin kau akan berhati-hati, Hiraya.”

“Aku akan,” dia meyakinkan. “Terima kasih, Nyonya Wilson.”

Hiraya tak tahu jika dia sudah bersikap berhati-hati. Dia membiarkan Alaric melihat wajahnya, memberikan segelintir nama aslinya. Setidaknya dia tidak membiarkannya melihat Diora untuk menghubungkan asosiasinya dengan putri sang marquess.

Dia bersandar di dinding tepat setelah dia membuka pintu, menyentuh bibir dan tubuhnya sendiri. Seolah semua kenangan yang terjadi malam tadi menyeruak padanya.

Dia sebaiknya mandi. Setidaknya itu akan menghilangkan jejaknya.

Namun bisakah?

Bisakah dia benar-benar membinasakan semua sentuhan yang Alaric berikan ketika itu adalah kali pertamanya?

Bisakah dia melupakan kecerobohannya yang membawanya pada titik dimana dia begitu gelisah?

Hiraya tak memiliki pilihan selain memanaskan air dan menuangkannya ke dalam bak, melepas kembali pakaiannya dan membersihkan riasannya dengan baik kali ini, menyingkirkan sisa-sisa kerlip di rambut dan tubuhnya. 

Sebagian dari dirinya berharap bahwa Alaric akan mendapati kerlip di tangan dan rambutnya sulit untuk dihapuskan. Setidaknya ada sebagian dari dirinya yang tak bisa pergi darinya.

Namun tentu saja itu mustahil. Dia tahu itu ketika dia mencelupkan diri ke dalam air. Wangi bebungaan menyeruak di hidungnya. Dia tak dapat mengatakan bagaimana bau Alaric — berbeda dari laki-laki yang ada di sekitar rumahnya. Mungkin karena dia lebih bersih. Mungkin dia membenamkan diri pada wewangian.

Alaric berada di belakangnya, hidung di lehernya sementara tangannya memeluknya erat. Nafasnya terasa berat, Hiraya menyandarkan kepala ke pundaknya, membuat dirinya tersadar tepat ketika kakinya terpeleset dan dia terbenam ke dalam air.

Dia menarik nafas, terengah.

Gadis itu berpegangan pada sisi-sisi bak, mengutuk dirinya sendiri ketika menyadari bahwa dia telah gagal untuk melupakannya. Tapi ini seharusnya berlalu. Ini akan berlalu. Malam itu hanyalah malam yang menjadi sebuah ketidak sengajaan. Dia harus menerima itu.

Jika bukan untuk menghindari perbincangan orang-orang, ini untuk dirinya sendiri. Dia tak perlu untuk berurusan dengan bangsawan yang bisa saja mempertanyakan dirinya. Dia tak ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan Alaric ketika waktunya tiba.

Sudah cukuplah malam itu.

Sudah cukup antara Hiraya dan Alaric.

Dengan pemikiran itu, dia kembali menyandarkan kepala ke ujung bak. Tangannya naik ke bahunya sendiri. Air dan sabun telah menyapu kerlip dari tubuhnya. Dan dia harus menghapus Alaric dari dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status