Share

Dia yang Tak Terlupakan (Bagian 2)

“Aku tak percaya kau membawaku kemari.”

Dimitri tertawa, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Para debutante duduk bersama keluarga mereka, beberapa anak memainkan lempar lingkaran dan bola, beberapa melayangkan layangan.

Para bangsawan berkumpul dan berbisik, memperhatikan gadis-gadis yang melewati mereka sebelum melanjutkan pembicaraan.

Promenade penuh dengan taktik perjodohan — gerakan kipas, pandangan mata, dan senyum penuh hormat. Dia mungkin akan menikmatinya jika itu bukan karena dia terlalu memikirkan malamnya bersama Aya.

“Ayolah,” mulai sepupunya. “Aku yakin kau akan menemukannya.”

Alaric berdeham, memperbaiki pakaiannya sebelum berjalan mengikutinya. “Apa yang membuatmu begitu yakin bahwa dia ada?”

“Entahlah,” dia membalas. “Aku juga tak yakin sebenarnya — tapi setiap debutante tahun ini akan berada disini. Aku yakin dia juga. Jika dia tak ingin, aku yakin ibunya akan membuatnya berada disini.”

Mungkinkah?

Dia melihat betapa gelisahnya Aya ketika dia belum menemuinya, dia tak yakin jika gadis itu adalah orang yang didampingi dan diajarkan oleh orang tuanya tentang apa yang terjadi di dalam sebuah pesta — terutama di dalam pesta yang tak mewajibkan mereka untuk membawa pendamping.

Atau mungkin ini adalah tahun pertamanya?

Alaric menatap para gadis, berjalan bersama ibu mereka, beberapa ditemani ayah atau kakak mereka. Beberapa membungkukkan diri padanya, mengenali baik dia dan putra sang duke.

Dimitri tersenyum pada mereka, mengangguk sopan sebelum beralih padanya. “Belum menemukan gadismu?”

“Sudah kubilang bahwa aku ragu untuk dapat menemukannya disini.”

Sepupunya tertawa. “Salahku.”

Seseorang memanggil mereka dan keduanya menoleh, memperhatikan seorang laki-laki dengan jas peraknya, topi tinggi menutupi wajahnya dari sinar matahari, namun cukup untuk membuat mereka melihat wajahnya.

Dia dapat melihat Dimitri berbinar. “Mistwatcher.”

Dan barulah Alaric mengenali putra sulung sang marquess.

Julian Mistwatcher tersenyum kecil. “Sudah lama sekali sejak aku melihatmu, Fernthier,” ucapnya sebelum menarik ujung topi padanya. “Yang Mulia.”

“Senang bertemu denganmu, Tuan Mistwatcher.”

Dia tersenyum kembali. “Apa Duke dari Flarevana juga ikut bersamamu, atau hanya kau yang datang untuk musim ini?”

“Sayangnya, hanya aku dan adikku yang datang, Mistwatcher. Aku akan menemaninya untuk dua musim ke depan.”

“Oh,” ucapnya, mengingat. “Silvia kecil.” Dimitri mengangguk, tersenyum untuk membenarkan. “Bukankah dia seumuran dengan adikku, Diora?”

Alaric menoleh pada sepupunya, menaikkan alis. Diora. Dia akhirnya memahami binarnya ketika menyadari bahwa Julian Mistwatcher berada disana. Dengan berbagai percakapan mereka, dia tahu bahwa sepupunya menyimpan hati untuk seorang gadis yang dia sebut sebagai teman kecilnya.

Diora, Diora, dan Diora.

Dia seharusnya tahu.

Dimitri masih mengulas senyumnya. “Aku takkan melupakan Nona Mistwatcher.”

Pangeran itu menghembuskan nafas, berdecih, sementara putra sang marquess hanya tersenyum, menganggukkan kepala. “Nah, aku harap kalian memiliki agenda promenade yang menyenangkan,” ucapnya pada akhirnya. “Fernthier. Yang Mulia.”

Keduanya mengangguk, memperhatikannya pergi.

“Diora?” ulangnya. “Diora Mistwatcher?”

“Jangan terlalu keras, Sepupu,” tahannya. “Kau akan membuatku seperti mengincar seseorang di bawah tahunnya.”

“Tapi kau memang,” tegurnya. “Aku seharusnya tahu. Kau membawaku kemari bukan untuk mencari Aya-ku. Kau hanya ingin mencari tahu jika keluarga Mistwatcher berada disini.”

Dimitri menarik nafas. “Kau seharusnya tidak berprasangka buruk padaku,” dia membela diri. “Bagaimana bisa kau melakukan itu padaku.”

“Mengingat bagaimana kau memanfaatkanku.”

Sepupunya tertawa. “Kau tak memberitahuku detailnya,” dia berucap pada akhirnya. “Bagaimana wajahnya, siapa namanya. Jika kau bisa mengatakannya padaku, aku mungkin bisa membantumu.”

“Dia terlihat seperti–”

Alaric terdiam. Ingatannya kembali ketika Aya mengangkat kepala, mendongak untuk melihatnya sementara dia menyapukan tangan pada rambut yang ada di dahinya. Gadis itu terengah, mencapai puncak yang dia berikan padanya, menatapnya ketika dia mengecup bibirnya.

“–seperti malaikat.”

Dimitri membuka mulut, menghela nafas. Dia tak tahu apa yang ada di pikirannya, namun kurang lebih yakin bahwa sepupunya itu tengah merutukinya dalam hati. Tapi memang benar. Jika dia memiliki sayap dan halo, Alaric akan dengan senang hati mencium jejak kaki yang dia pijakkan.

“Nah,” gumam sepupunya, meraih topinya untuk mengenakannya kembali. “Tak ada titik balik untukmu, Sepupu.”

Tentu saja. Dia sudah tahu itu.

“Aku sarankan padamu untuk mengatakan ini semua pada Yang Mulia Ratu,” ucapnya. “Aku sangat yakin bahwa dia akan begitu bahagia ketika menyadari putranya sudah sangat jatuh cinta telak pada seorang gadis.”

“Aku sangat yakin itu,” ujarnya, mengakui, berjalan kembali bersamanya melalui bata. “Kecuali fakta bahwa aku tak bisa menemukannya — dan itu akan membawa kita pada fakta lain dimana aku tak bisa mempersembahkannya di ruang singgasana.”

“Oh, itu akan membuatnya marah.”

Marah besar.”

Oh, Alaric,” ucap Dimitri, menirukan ibunya. “Aku ingin kau menemukan istri, bukan gadis khayalan yang gagal kau berikan padaku.”

Pangeran itu tertawa. Ibunya telah terlalu sering menjegalnya tentang urusan pernikahan, terutama ketika dia sudah menjadi putra mahkota dan belum menemukan tandingannya — bahkan ketika dia mulai beranjak dewasa.

Dia justru menghabiskan waktu bersama Dimitri dan terkena pengaruhnya (atau mungkin pengaruh para bangsawan lainnya di dalam klub). Hingga di waktu ketika Earl Greyhound mengadakan sebuah pesta topeng tak resmi dan dia menemukan kesempatannya untuk pergi sendirian tanpa pendampingan ibunya.

Mungkin itu adalah rencana yang buruk.

Atau berubah menjadi sebuah anugerah.

Dia menemukan Aya disana — gadis yang kini menghilang dari seluruh hidupnya seolah dia tak pernah ada, menyisakan kerlap-kerlip di rambutnya dan kenangan bibir dan kulit di dalam benaknya.

Dan dia tak mampu mengatakan pada ibunya bahwa dia telah jatuh total padanya.

“Jadi apa yang akan kau katakan padanya?”

Alaric menjauhkan diri dari pikirannya sendiri. “Siapa?”

“Kau,” ujar Dimitri. “Pada ibumu."

Pangeran itu mengalihkan pandangan. Untuk sekarang, dia takkan tahu apa yang akan dia katakan. Mungkin dia akan menyimpannya untuk dirinya sendiri hingga dia mampu menemukan Aya.

Mungkin itu takkan pernah terjadi.

Mungkin ibunya akan menyerah menunggunya menemukan orang yang dia inginkan dan berakhir menjodohkannya dengan seseorang yang dia pilih. Pikirannya mulai menimbang mana saja putri-putri dari orang kenalan sang ratu, menghela nafas.

Dimitri menepuk perutnya dengan punggung tangan, menatap lurus ke depan.

Alaric mengikuti pandangannya, melihat seorang laki-laki yang sangat dia kenali, pakaiannya persis dengan orang yang selalu dia lihat di samping ibunya. Orang itu berdiri di depan mereka, menghela nafas. Dan bahkan sepupunya ikut menahan setiap udara di paru-paru bersamanya.

“Yang Mulia,” panggilnya, membungkukkan kepala. Alaric mengangguk, menunggu. “Yang Mulia Ratu ingin anda menemuinya.” Dia menoleh pada sepupunya. “Dia juga mengundang anda untuk teh, Lord Fernthier.”

Dimitri menunjuk dirinya sendiri, berkedip penuh rasa terkejut. Sementara sang pangeran menghela nafas, menepuk pundak sepupunya sebelum berjalan mengikuti valet sang ibu, berangkat ke istana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status