“Aku tak percaya kau membawaku kemari.”
Dimitri tertawa, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Para debutante duduk bersama keluarga mereka, beberapa anak memainkan lempar lingkaran dan bola, beberapa melayangkan layangan.
Para bangsawan berkumpul dan berbisik, memperhatikan gadis-gadis yang melewati mereka sebelum melanjutkan pembicaraan.
Promenade penuh dengan taktik perjodohan — gerakan kipas, pandangan mata, dan senyum penuh hormat. Dia mungkin akan menikmatinya jika itu bukan karena dia terlalu memikirkan malamnya bersama Aya.
“Ayolah,” mulai sepupunya. “Aku yakin kau akan menemukannya.”
Alaric berdeham, memperbaiki pakaiannya sebelum berjalan mengikutinya. “Apa yang membuatmu begitu yakin bahwa dia ada?”
“Entahlah,” dia membalas. “Aku juga tak yakin sebenarnya — tapi setiap debutante tahun ini akan berada disini. Aku yakin dia juga. Jika dia tak ingin, aku yakin ibunya akan membuatnya berada disini.”
Mungkinkah?
Dia melihat betapa gelisahnya Aya ketika dia belum menemuinya, dia tak yakin jika gadis itu adalah orang yang didampingi dan diajarkan oleh orang tuanya tentang apa yang terjadi di dalam sebuah pesta — terutama di dalam pesta yang tak mewajibkan mereka untuk membawa pendamping.
Atau mungkin ini adalah tahun pertamanya?
Alaric menatap para gadis, berjalan bersama ibu mereka, beberapa ditemani ayah atau kakak mereka. Beberapa membungkukkan diri padanya, mengenali baik dia dan putra sang duke.
Dimitri tersenyum pada mereka, mengangguk sopan sebelum beralih padanya. “Belum menemukan gadismu?”
“Sudah kubilang bahwa aku ragu untuk dapat menemukannya disini.”
Sepupunya tertawa. “Salahku.”
Seseorang memanggil mereka dan keduanya menoleh, memperhatikan seorang laki-laki dengan jas peraknya, topi tinggi menutupi wajahnya dari sinar matahari, namun cukup untuk membuat mereka melihat wajahnya.
Dia dapat melihat Dimitri berbinar. “Mistwatcher.”
Dan barulah Alaric mengenali putra sulung sang marquess.
Julian Mistwatcher tersenyum kecil. “Sudah lama sekali sejak aku melihatmu, Fernthier,” ucapnya sebelum menarik ujung topi padanya. “Yang Mulia.”
“Senang bertemu denganmu, Tuan Mistwatcher.”
Dia tersenyum kembali. “Apa Duke dari Flarevana juga ikut bersamamu, atau hanya kau yang datang untuk musim ini?”
“Sayangnya, hanya aku dan adikku yang datang, Mistwatcher. Aku akan menemaninya untuk dua musim ke depan.”
“Oh,” ucapnya, mengingat. “Silvia kecil.” Dimitri mengangguk, tersenyum untuk membenarkan. “Bukankah dia seumuran dengan adikku, Diora?”
Alaric menoleh pada sepupunya, menaikkan alis. Diora. Dia akhirnya memahami binarnya ketika menyadari bahwa Julian Mistwatcher berada disana. Dengan berbagai percakapan mereka, dia tahu bahwa sepupunya menyimpan hati untuk seorang gadis yang dia sebut sebagai teman kecilnya.
Diora, Diora, dan Diora.
Dia seharusnya tahu.
Dimitri masih mengulas senyumnya. “Aku takkan melupakan Nona Mistwatcher.”
Pangeran itu menghembuskan nafas, berdecih, sementara putra sang marquess hanya tersenyum, menganggukkan kepala. “Nah, aku harap kalian memiliki agenda promenade yang menyenangkan,” ucapnya pada akhirnya. “Fernthier. Yang Mulia.”
Keduanya mengangguk, memperhatikannya pergi.
“Diora?” ulangnya. “Diora Mistwatcher?”
“Jangan terlalu keras, Sepupu,” tahannya. “Kau akan membuatku seperti mengincar seseorang di bawah tahunnya.”
“Tapi kau memang,” tegurnya. “Aku seharusnya tahu. Kau membawaku kemari bukan untuk mencari Aya-ku. Kau hanya ingin mencari tahu jika keluarga Mistwatcher berada disini.”
Dimitri menarik nafas. “Kau seharusnya tidak berprasangka buruk padaku,” dia membela diri. “Bagaimana bisa kau melakukan itu padaku.”
“Mengingat bagaimana kau memanfaatkanku.”
Sepupunya tertawa. “Kau tak memberitahuku detailnya,” dia berucap pada akhirnya. “Bagaimana wajahnya, siapa namanya. Jika kau bisa mengatakannya padaku, aku mungkin bisa membantumu.”
“Dia terlihat seperti–”
Alaric terdiam. Ingatannya kembali ketika Aya mengangkat kepala, mendongak untuk melihatnya sementara dia menyapukan tangan pada rambut yang ada di dahinya. Gadis itu terengah, mencapai puncak yang dia berikan padanya, menatapnya ketika dia mengecup bibirnya.
“–seperti malaikat.”
Dimitri membuka mulut, menghela nafas. Dia tak tahu apa yang ada di pikirannya, namun kurang lebih yakin bahwa sepupunya itu tengah merutukinya dalam hati. Tapi memang benar. Jika dia memiliki sayap dan halo, Alaric akan dengan senang hati mencium jejak kaki yang dia pijakkan.
“Nah,” gumam sepupunya, meraih topinya untuk mengenakannya kembali. “Tak ada titik balik untukmu, Sepupu.”
Tentu saja. Dia sudah tahu itu.
“Aku sarankan padamu untuk mengatakan ini semua pada Yang Mulia Ratu,” ucapnya. “Aku sangat yakin bahwa dia akan begitu bahagia ketika menyadari putranya sudah sangat jatuh cinta telak pada seorang gadis.”
“Aku sangat yakin itu,” ujarnya, mengakui, berjalan kembali bersamanya melalui bata. “Kecuali fakta bahwa aku tak bisa menemukannya — dan itu akan membawa kita pada fakta lain dimana aku tak bisa mempersembahkannya di ruang singgasana.”
“Oh, itu akan membuatnya marah.”
“Marah besar.”
“Oh, Alaric,” ucap Dimitri, menirukan ibunya. “Aku ingin kau menemukan istri, bukan gadis khayalan yang gagal kau berikan padaku.”
Pangeran itu tertawa. Ibunya telah terlalu sering menjegalnya tentang urusan pernikahan, terutama ketika dia sudah menjadi putra mahkota dan belum menemukan tandingannya — bahkan ketika dia mulai beranjak dewasa.
Dia justru menghabiskan waktu bersama Dimitri dan terkena pengaruhnya (atau mungkin pengaruh para bangsawan lainnya di dalam klub). Hingga di waktu ketika Earl Greyhound mengadakan sebuah pesta topeng tak resmi dan dia menemukan kesempatannya untuk pergi sendirian tanpa pendampingan ibunya.
Mungkin itu adalah rencana yang buruk.
Atau berubah menjadi sebuah anugerah.
Dia menemukan Aya disana — gadis yang kini menghilang dari seluruh hidupnya seolah dia tak pernah ada, menyisakan kerlap-kerlip di rambutnya dan kenangan bibir dan kulit di dalam benaknya.
Dan dia tak mampu mengatakan pada ibunya bahwa dia telah jatuh total padanya.
“Jadi apa yang akan kau katakan padanya?”
Alaric menjauhkan diri dari pikirannya sendiri. “Siapa?”
“Kau,” ujar Dimitri. “Pada ibumu."
Pangeran itu mengalihkan pandangan. Untuk sekarang, dia takkan tahu apa yang akan dia katakan. Mungkin dia akan menyimpannya untuk dirinya sendiri hingga dia mampu menemukan Aya.
Mungkin itu takkan pernah terjadi.
Mungkin ibunya akan menyerah menunggunya menemukan orang yang dia inginkan dan berakhir menjodohkannya dengan seseorang yang dia pilih. Pikirannya mulai menimbang mana saja putri-putri dari orang kenalan sang ratu, menghela nafas.
Dimitri menepuk perutnya dengan punggung tangan, menatap lurus ke depan.
Alaric mengikuti pandangannya, melihat seorang laki-laki yang sangat dia kenali, pakaiannya persis dengan orang yang selalu dia lihat di samping ibunya. Orang itu berdiri di depan mereka, menghela nafas. Dan bahkan sepupunya ikut menahan setiap udara di paru-paru bersamanya.
“Yang Mulia,” panggilnya, membungkukkan kepala. Alaric mengangguk, menunggu. “Yang Mulia Ratu ingin anda menemuinya.” Dia menoleh pada sepupunya. “Dia juga mengundang anda untuk teh, Lord Fernthier.”
Dimitri menunjuk dirinya sendiri, berkedip penuh rasa terkejut. Sementara sang pangeran menghela nafas, menepuk pundak sepupunya sebelum berjalan mengikuti valet sang ibu, berangkat ke istana.
Sang ratu adalah seorang dengan kesukaan terhadap musik dan anjing, membuat baik Alaric maupun Dimitri duduk di depannya dengan kaku, sementara pangeran itu memperhatikan seekor yang tengah digendong ibunya.“Alaric,” panggilnya, mengusap anjingnya.“Ya, Ibu.”“Bukan kau, Sayangku,” dia meralat. “Aku menamai ini Alaric, lucu bukan?”Dia mendengar kekehan dari Dimitri, yang berusaha meredam tawa di balik cangkir tehnya. Dan untuk sejenak, Alaric tergoda untuk menendang sepupunya tepat di tulang kering. Mungkin itu akan memuaskan kekesalannya.“Aku rasa aku bisa merubah namanya,” ucap sang ratu kembali. “Jika kau tidak bersikap seperti dia yang senang berlari tanpa mendengarkanku. Faktanya, anjingku yang ini adalah yang paling tidak bisa dikendalikan.”“Ibu,” dia berdeham. “Ibu menyakanku dengan anjing milik Ibu?”Sekali lagi, Alaric mendengar tawa teredam dari sepupunya, cangkir teh yang dia genggam bergetar karena menahan setiap hembusan nafas yang ingin di keluarkan keras-keras. Alar
Alaric tak tahu menahu tentang apa yang ingin dibicarakan oleh ibunya dengan sepupunya. Sejujurnya, dia juga tak ingin tahu. Dimitri memiliki sedikit kebebasan sebagai putra sang duke, membiarkan dirinya sendiri berada di dalam gemerlap pesta-pesta dan minuman.Sang pangeran tak memiliki kemewahan itu.Tapi itu memberinya sedikit rasa bersyukur bahwa dia takkan mendapatkan masalah soal itu. Walaupun sebentar lagi dia akan terjerat masalah jika dia tak menemukan Aya.Dia tengah berjalan-jalan di kota, memperhatikan orang-orang lalu lalang. Beberapa gadis dan ibu mereka menuju toko pakaian, beberapa debutante dan peminang mereka berada di kedai teh, bercengkrama ditemani para pendamping.Dia ingin tahu jika ada seorang bangsawan yang mengetuk rumah Aya dan memperkenalkan diri, memberikannya bunga dan pujian demi memenangkan hatinya.Jika dia berada disana, mereka semua akan kalah. Alaric akan memberikannya hadiah gaun dan perhiasan yang lebih berharga dari yang mereka persembahkan. Dia
Diora membuka pintu rumah Hiraya, menghela nafas ketika menyadari bahwa itu tak terkunci. Temannya memiliki sebuah kebiasaan dimana dia lupa untuk menutup pintu rapat-rapat sebelum dia pergi. Gadis itu sangat yakin bahwa dia tengah berada di rumah pamannya, membantu pekerjaan rumah.Atau dia harus mengatakan bahwa Hiraya adalah salah satu pembantu di dalam rumah tersebut. Temannya itu akan kembali ketika sore tiba. Satu-satunya saat dimana dia tak berada disana adalah ketika makan pagi. Dimana yang lain mengambil alih. Namun Hiraya harus tetap berada disana hingga sebelum makan malam nanti.Diora membenci keluarga paman temannya dengan sepenuh hatinya.Waktu telah mencapai pukul lima ketika gadis itu kembali, membuka pintu tanpa mempertanyakan banyak hal, bahkan ketika dia melihat temannya merebahkan diri di tempat
Hiraya memperhatikan Diora yang kini terbaring di ranjangnya, matanya kosong penuh rasa sedih dan penasaran. Dia merasa gagal berempati dengan temannya sendiri, namun dia tak bisa memaksakan dirinya untuk mengatakan bahwa dia mengetahui perasaannya.“Bagaimana kau bisa melakukan itu?” tanya Diora, membuatnya menoleh kembali padanya, bergumam penuh pertanyaan. “Bersikap seolah tak terjadi apapun.”Dia tidak.Sudah semenjak pagi tadi dia menyesali apa yang terjadi bersama Alaric — mencoba menghapusnya dari ingatan dan mengalihkan perhatiannya. Walaupun dia merasa bahwa laki-laki itu menemukannya tepat ketika dia berjalan menuju rumah pamannya.Dia memberikan selamat pada dirinya sendiri ketika berhasil menghindar. Ketika dia tak menggubris pan
Ketika dia membuka mata, Hiraya mendapati dirinya kembali ke taman, lampu-lampu yang temaram menyala di sekitarnya, sementara gemerisik dedaunan berbisik ketika dia berjalan melewatinya.Taman memiliki jalur setapak yang sedikit sempit, namun tak mustahil baginya untuk berjalan sementara dia berada di dalam gaunnya. Dia tak memahami apa yang membawanya kemari, mengernyitkan dahi sementara matanya berusaha melihat melalui lampu temaram.Dia dapat menyadari sebuah ruang terbuka di ujung lorong dedaunan, memperhatikan seorang laki-laki yang berdiri di tengahnya. Pakaiannya hitam, lebih gelap dari rambutnya yang kecoklatan.Ketika dia berbalik, Alaric tersenyum padanya, mengulurkan tangan.Dan Entah kenapa, Hiraya mendapati dirinya menerima uluran itu, membalas senyumannya s
Hiraya tak mengharapkan apapun bahkan hingga esok harinya, dimana dia berjalan kembali ke rumah pamannya, membawa keranjang makanan seperti biasa. Dia berpikir untuk mengenakan tudung hanya agar tak dikenali, namun justru mengurungkan niat.Untuk apa dia menyembunyikan identitasnya?Seharusnya seperti itu, kecuali dia melihat seorang asing berdiri di dekat gerbang, tangannya menggenggam kekang kuda seolah tengah menunggu. Dan Hiraya berdoa bahwa yang ditunggu bukanlah dia.Laki-laki itu menoleh, binar mata berseri ketika melihatnya. “Aya.”Gadis tersebut berjengit, mengingat jelas suara yang memanggilnya tersebut. Dia menoleh pada Alaric, yang menatapnya penuh harap. Dia seharusnya tak menggubrisnya — tepat seperti kemarin. Namun entah kenapa, Hiraya me
Hiraya memperhatikan gaun di depannya. Dengan datangnya undangan itu, dia telah menganggap bahwa baik Julian dan Diora mengharapkan kedatangannya. Namun yang datang adalah seorang kurir — membawakan sebuah kotak berisi gaun dan sepatu, memastikan bahwa dia akan mengenakan pakaian yang setidaknya layak.Dia menoleh pada jendela, menatap matahari yang semakin turun.Sebentar lagi, dia akan diharapkan untuk berada di kediaman Mistwatcher, datang dengan pakaiannya yang sekali lagi dipinjamkan untuknya. Ada sedikit rasa malu di dalam diri, menjalar hingga tangan yang meremas erat gaun tersebut.Kepala keluarga Mistwatcher adalah seorang marquess. Jika dia pergi, Alaric mungkin akan berada disana. Tapi jika dia tidak, gaun yang dikirimkan padanya akan terasa sia-sia. Dia juga harus menghadapi rasa kecewa dari temann
Selalu ramai setiap kali sang ibu mengadakan pesta di rumahnya. Ada sebuah rasa sesak ketika dia melihat begitu banyak orang-orang, namun dia terus tersenyum pada mereka, membiarkan para debutante yang mengarah padanya, berusaha menarik hati, melayangkan kipas mereka.Diora berdiri di sampingnya, tersenyum pada para bangsawan yang memperhatikan mereka. Adiknya masih menggenggam minuman yang dia ambil, setengah penuh karena sedikit dia teguk.“Kau harus mengajak salah satu dari mereka berdansa,” dia menyarankan. “Aku yakin Ibu sedang mengawasimu, dia akan ingin kau setidaknya berdansa dengan satu orang.”“Aku tak tahu apa yang kau bicarakan.”“Kau menghindari mereka, Kakak,” sahutnya, masih tersenyum ketika beberapa memperha