Share

Dia yang Tak Terlupakan (Bagian 3)

Sang ratu adalah seorang dengan kesukaan terhadap musik dan anjing, membuat baik Alaric maupun Dimitri duduk di depannya dengan kaku, sementara pangeran itu memperhatikan seekor yang tengah digendong ibunya.

“Alaric,” panggilnya, mengusap anjingnya.

“Ya, Ibu.”

“Bukan kau, Sayangku,” dia meralat. “Aku menamai ini Alaric, lucu bukan?”

Dia mendengar kekehan dari Dimitri, yang berusaha meredam tawa di balik cangkir tehnya. Dan untuk sejenak, Alaric tergoda untuk menendang sepupunya tepat di tulang kering. Mungkin itu akan memuaskan kekesalannya.

“Aku rasa aku bisa merubah namanya,” ucap sang ratu kembali. “Jika kau tidak bersikap seperti dia yang senang berlari tanpa mendengarkanku. Faktanya, anjingku yang ini adalah yang paling tidak bisa dikendalikan.”

“Ibu,” dia berdeham. “Ibu menyakanku dengan anjing milik Ibu?”

Sekali lagi, Alaric mendengar tawa teredam dari sepupunya, cangkir teh yang dia genggam bergetar karena menahan setiap hembusan nafas yang ingin di keluarkan keras-keras. Alaric menginjak kakinya, membuatnya menggigit bibir.

“Oh,” gumam ibunya. “Apa kau ingin memiliki nama yang sama seperti anjing tak karuan ini atau kau akan menurutiku?”

Pangeran itu menghela nafas. Dia mulai memahami kemana pembicaraan ini akan berada. Ibunya pasti sudah mengetahui petualangannya di klub. Atau ketika dia dan Dimitri menyelinap ke dalam pesta pribadi sang ratu. Mungkin karena–

“Kenapa aku harus mendengar dari Earl Greyhound bahwa kau pergi bersama seorang gadis di malam pestanya?”

Dimitri gagal menimbun teh di mulutnya, menyemburkannya menuju pakaiannya sendiri, meraih sapu tangan dengan sedikit tergesa.

Alaric menelan ludah. “Aku tak tahu apa yang Ibu maksud.”

Tangan sang ratu yang tengah mengelus anjingnya turun ke meja, dan justru Alaric yang merasakan kekecewaannya. “Earl Greyhound,” ulangnya. “Pesta.”

“Yang Mulia Ratu,” mulai sepupunya, berusaha menyelamatkan. “Pesta itu adalah untuk mereka yang tak memiliki pendamping. Mungkin Tuan Greyhound sendiri sedang tak terlalu sadar dan melihat seseorang yang mirip dengannya–”

“Aku tak mengundangmu untuk menjadi pembelanya, Fernthier,” potongnya. “Urusanmu denganku adalah nanti.”

Nanti atau tidak, Alaric merasa ingin sekali menyerahkan sepupunya pada sang ibu sebagai samsak dan membenamkan diri di kebun bunga sang ratu. Mungkin itu akan memberinya sedikit pencerahan tentang bagaimana menghadapinya.

Namun sepertinya dia tak bisa melakukan itu, karena pandangan sang ratu berpindah padanya, tajam.

“Apa kau ingat apa yang aku katakan padamu di awal musim ini, Alaric?”

Pangeran itu menoleh sang anjing, yang balas menatapnya. “Apa itu aku atau anjingnya?”

“Alaric Fireheart.”

“Ya,” dia berbisik. “Aku harus menemukan putri mahkota tahun ini atau Ibu akan mengirimku keluar dari Firedale.”

“Nah,” lanjut sang ratu. “Aku tak bisa mengirim putra mahkota keluar dari kotanya ‘kan?” kedua anak itu menggeleng. “Lalu dimana putri mahkotaku, Alaric? Atau kau justru puas jika bersama seorang gadis yang tak ingin kau kenalkan padaku?”

Pangeran itu mengangkat kepalanya. “Aku tak bermaksud, Ibu,” janjinya.

Ada perasaan yang mengatakan bahwa dia sebaiknya memberitahu sang ratu tentang Aya. Tentang bagaimana dia terpikat pada gadis itu dan tengah berusaha menemukannya sekarang. Namun dia menahan diri. Dia belum menemukannya. Dia harus mencarinya terlebih dahulu.

“Apa alasanmu, Pangeran?”

“Aku akan menemukan putri mahkotamu,” ucapnya pada akhirnya. “Tapi Ibu harus berjanji untuk memberiku waktu.”

Sang ibu mengernyitkan dahi, dan untuk sejenak, dia berpikir bahwa mungkin dia gagal untuk meyakinkannya. Namun sang ratu menghela nafas, mengusap anjingnya dan menyeruput teh. Bahkan Dimitri sedikit kaku dan ingin tahu akan jawabannya.

Alaric mulai berpikir bahwa itu adalah ide yang buruk.

Mungkin dia harus menggedor setiap pintu yang ada di Firedale dan meminta semua orang untuk menunjukkan diri mereka. Dengan begitu, mungkin dia dapat menemukan Aya.

Ya. Mungkin dia sebaiknya melakukan itu.

Namun ibunya mengangguk. “Baiklah,” sahutnya. Dan dia dapat mendengar Dimitri menarik nafas, ikut lega, menyentuh dadanya sendiri. “Dua minggu, Alaric.”

“Dua minggu?” ulangnya, mata membulat. “Ibu–”

“Aku sudah bertoleransi.”

“Lalu apa yang akan terjadi setelah dua minggu?” dia bertanya, rasa takut terasa di dalam tubuhnya. “Apa Ibu akan mengenalkan salah satu teman kenalan Ibu? Membawaku ke semua pesta hingga ada debutante yang menarik perhatianku?”

“Aku akan melakukan itu bahkan sebelum kau memberikan ide padaku soal itu,” ucap sang ratu, mengalihkan pandangan. “Tapi tidak.”

Dia mengangkat kepala, mendengarkan.

“Aku masih akan membawamu pergi dari Firedale. Berada jauh dari ibukota mungkin akan membuat pemikiranmu lebih jernih. Aku yakin kau akan kembali dengan lebih dewasa jika aku tak terlalu memanjakanmu.”

Dimitri menoleh padanya. “Yang Mulia, dengan segala hormat. Anda tak pernah memanjakannya.” Pandangan tajam sang ratu beralih padanya, membuatnya terdiam. “Saya akan menganggap diri saya sendiri tak ada sampai anda memanggil saya.”

Alaric menghela nafas. “Aku takkan bisa menemukannya dalam dua minggu.”

Dia ingin mengumpat dalam kesadarannya. Menemukan Aya dalam waktu yang diberikan terasa begitu mustahil. Bahkan mungkin dia akan gagal walaupun ibunya memberikan waktu hingga musim ini berakhir.

“Ada banyak debutante pada musim ini,” ucap sang ratu. “Tentu saja, salah satu akan menarik perhatianmu. Putri dari marquess Mistwatcher, mungkin.”

“Tidak,” sahut Dimitri, sedikit terlalu cepat. “Maaf, Yang Mulia.”

Ibunya memicingkan mata, namun rautnya melunak ketika memahaminya. “Atau mungkin Nona van Rose, dia sedikit terpaku padamu sejak debut. Ini akan menjadi tahun keduanya, dia akan cocok berbaur ketika menjadi seorang putri.”

Alaric menghela nafas, meraih cangkirnya. Membicarakan tentang kemungkinan siapa yang akan menjadi putri mahkota lebih menyesakkan dibandingkan ketika ibunya mencoba membuatnya segera memilih calonnya.

“Akan kutemukan calon istriku,” janjinya. “Dua minggu, aku akan menyanggupinya.”

Dimitri menoleh padanya, sedikit ragu. “Kau yakin?”

Tidak.

Sejujurnya, dia benar-benar tak yakin.

Namun itu akan menjadi satu-satunya kesempatan yang dia miliki. Bahkan jika Aya tak ingin ditemukan, dia akan mencarinya di sepenjuru kota.

Aku akan memporak porandakan Crimsonrealm untuk mencarimu.

Alaric mengangguk, mengiyakan. “Dua minggu,” ulangnya lagi. “Ini akan menjadi dua minggu yang panjang. Aku harap Ibu bersabar.”

Sang ratu menaikkan alis sebelum mengangguk. “Akan kutunggu, Putraku.” Dia menoleh pada anjingnya. “Rufus, turunlah, jangan duduk di meja.”

Pangeran itu menahan tawa, menyadari nama anjing itu telah berubah. 

“Sekarang kau pergilah,” perintahnya. “Aku memiliki sedikit pembicaraan dengan ponakanku.”

Dimitri tertawa, kegugupan begitu kentara di bibirnya. “Saya?” gumamnya. “Yang Mulia–”

“Alaric,” tegasnya, membuatnya bangkit dari kursinya, membungkukkan tubuh.

Dia dapat melihat pandangan penuh permohonan dari sepupunya, mencegahnya pergi. Namun itu adalah perintah ibunya, dan dia yakin sekali bahwa sang ratu takkan menyakitinya. Jadi dia menepuk pundaknya, berjalan pergi, meninggalkan mereka sendirian disana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status