Alaric tak tahu menahu tentang apa yang ingin dibicarakan oleh ibunya dengan sepupunya. Sejujurnya, dia juga tak ingin tahu. Dimitri memiliki sedikit kebebasan sebagai putra sang duke, membiarkan dirinya sendiri berada di dalam gemerlap pesta-pesta dan minuman.
Sang pangeran tak memiliki kemewahan itu.
Tapi itu memberinya sedikit rasa bersyukur bahwa dia takkan mendapatkan masalah soal itu. Walaupun sebentar lagi dia akan terjerat masalah jika dia tak menemukan Aya.
Dia tengah berjalan-jalan di kota, memperhatikan orang-orang lalu lalang. Beberapa gadis dan ibu mereka menuju toko pakaian, beberapa debutante dan peminang mereka berada di kedai teh, bercengkrama ditemani para pendamping.
Dia ingin tahu jika ada seorang bangsawan yang mengetuk rumah Aya dan memperkenalkan diri, memberikannya bunga dan pujian demi memenangkan hatinya.
Jika dia berada disana, mereka semua akan kalah. Alaric akan memberikannya hadiah gaun dan perhiasan yang lebih berharga dari yang mereka persembahkan. Dia akan membawanya pergi melihat keindahan Firedale.
Jika dia berada disana.
Jika dia menemukannya.
“Hiraya!” seru seseorang, dan dia menoleh pada toko bunga. Seorang gadis tengah berdiri tak jauh, rambut hitam menutupi wajahnya, tangannya mengenggam sebuah keranjang penuh belanja. “Aku kira aku takkan melihatmu hari ini.”
“Aku sedikit lelah hari ini, Nyonya Thompson,” gadis itu beralasan. Suara itu– “Aku kira aku takkan sempat mampir menemuimu. Aku akan membeli bakung ini.”
“Apa kau akan membawa itu ke rumah pamanmu atau kau akan menyimpannya di rumahmu sendiri?” Alaric memperhatikan gadis itu tertawa. “Kau terlalu murah hati pada mereka, Sayangku. Mereka memanfaatkanmu.”
“Aku tahu,” ucapnya, dan pangeran itu mengerutkan dahi. “Tapi aku harus tetap kuat hingga aku bisa mengambil kembali rumahku. Benar ‘kan?”
“Tentu saja,” balas sang penjual bunga. “Semoga kediaman Clearwing jatuh pada pemilik yang sesungguhnya.”
Gadis itu, Hiraya, tersenyum, mengangguk sebelum meletakkan uang di atas mangkok, beranjak pergi. Alaric memperhatikannya, mengarahkan diri pada sang penjual bunga. Nama mereka terlalu mirip. Jika itu bukan dia dan dia hanya salah mengenali suaranya, setidaknya dia telah mencoba.
Wanita tua itu menoleh padanya, membungkukkan kepala. “Tuan ingin membeli bunga?”
“Gadis itu,” mulai Alaric, menoleh padanya yang telah tak terlihat lagi. “Apa dia adalah seorang pelanggan?”
“Tuan,” mulainya. “Aku rasa aku tak bisa mengatakan apapun tentang identitas seorang gadis. Aku bukan pendampingnya. Takkan baik bagi kita berdua, bahkan untuknya, jika aku mengatakan semuanya padamu.”
“Kumohon,” dia berbisik. “Aku sedang mencari seseorang.”
Nyonya Thompson menggeleng kembali, menolak.
Untuk sesaat, Alaric mengerti. Sangat berbahaya bagi seseorang jika orang lain membocorkan siapa dia, atau apapun tentang identitasnya. Dia takkan menyalahkan wanita itu jika ingin melindungi Hiraya. Namun dia harus menemukannya.
Dia harus mencoba.
Mungkin dia hanya berpegang teguh pada suaranya, walaupun sedikit buram karena kabut nafsu yang menutupi mereka malam itu. Alaric harus menemukannya. Dia menoleh ke arah dimana gadis itu pergi, menarik sebuah mawar dan menyelipkan koin ke dalam mangkoknya.
“Terima kasih,” ucapnya, sebelum berlari pergi.
Hiraya seharusnya belum jauh, dia pasti tengah melihat-lihat penjual-penjual lainnya sementara dia mencoba mengikuti. Namun belokan terlalu banyak dan dia tak yakin jika dia mengarahkan diri pada tempat yang benar.
Mungkin dia harus menyerah, menunduk pada seorang anak kecil yang melewatinya, menyerahkan mawar itu. Gadis kecil itu berbinar, tersenyum sebelum berlari pergi.
Alaric menaikkan sudut bibirnya. Batinnya menyerah tepat ketika dia melihat seorang gadis di kerumunan, birunya sama dengan yang Hiraya kenakan, membuatnya kembali menembus desakan orang-orang.
Mungkin dia sedikit tidak terbiasa dengan orang-orang yang tak mengenalinya. Namun dia seharusnya tahu bahwa itu akan terjadi ketika dia berkeliaran sendirian tanpa pakaian formalnya. Mereka hanya akan mengira dia adalah seorang bangsawan yang berjalan-jalan.
Hiraya semakin tak terlihat dari pandangan dan Alaric merasa bahwa dia harus menyerah sekali lagi.
Tidak.
Dia tak bisa menyerah.
Jika dia melakukan kesalahan, dan Hiraya bukanlah siapa yang dia duga, dia takkan menyesal karena mencoba. Gadis itu semakin menjauh dan dia berdoa bahwa dia akan dapat menemuinya sebelum itu terjadi.
Alaric mundur dari kerumunan, bersandar di sebuah dinding, menarik nafas. Tangannya menyentuh dadanya sendiri, menggelengkan kepala. Orang-orang terlalu ramai, dan mungkin hanya dia yang terlalu lemah.
Dia menyandarkan kepala pada dinding, menutup mata.
Mungkin dia takkan pernah menemukannya. Mungkin dia dan Aya tidak ditakdirkan untuk bertemu. Dia seharusnya mengakui itu ketika gadis itu melarikan diri dari ranjangnya ketika pagi menjelang.
Sebaiknya dia menerima apa yang akan ibunya lakukan padanya untuk musim ini.
Tidak.
Dia tak bisa menyerah.
Alaric mendongak pada kerumunan dimana Hiraya pergi.
Dia akan berada di jalan ujung setelah itu, di jalanan besar dimana orang-orang bepergian, namun tidak lebih sesak dari ini — jika dia bisa mengejar sampai kesana, Alaric akan menemukan lebih banyak kesempatan.
Jadi dia mengangguk pada dirinya sendiri, menjauh dari kerumunan dan tetap berada di sisi dinding, menghindar. Dia menarik nafas ketika berada di ujung jalan, hiruk pikuk orang-orang masih sama, namun jalanan menjadi lebih luas.
Dia dapat melihat Hiraya, tersenyum pada seorang penjual roti dan membayar dengan uangnya sebelum berjalan pergi. Jika dia bertanya pada tukang roti tersebut, akan ada kemungkinan dimana dia takkan menjawabnya.
Jadi Alaric memilih untuk berjalan lurus mengikutinya, tak berhenti sama sekali.
Dia menarik nafas ketika melihat rambut hitamnya. Jika dia memiliki sedikit hiasan kerlip, dia akan sangat yakin bahwa itu adalah Aya. Sayang sekali bahwa dia tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Mengikuti dan memanggilnya adalah satu-satunya cara.
Namun bahkan jika dia memanggilnya, akan ada kemungkinan bahwa dia takkan mengenalinya.
Dia berhenti ketika melihatnya terdiam, sedikit menoleh ke belakang, seolah menyadari bahwa ada yang mengikutinya. Tidak, pikirnya. Dia bukan orang yang jahat, berusaha mengarah padanya tepat ketika dia berjalan lebih cepat.
“A–” dia menghela nafas. Sulit untuk memanggilnya, namun dia mencoba. “Aya!”
Mungkin dia salah. Tentu saja takkan semudah itu menemukannya. Mungkin itu hanya suara dan rambutnya yang mirip dengannya. Namun gadis itu menghentikan langkahnya, seolah menyadari bahwa dia tengah dipanggil.
Pangeran itu mengernyitkan dahi. “Aya!”
Hiraya melanjutkan jalannya, kini jauh lebih cepat hingga dia tak yakin bisa mengejarnya, jadi dia memperhatikannya masuk ke sebuah gerbang, tangannya erat menggenggam keranjang belanjanya.
Alaric mendekat, memperhatikan lambang yang ada di depan gerbang tersebut. Sebuah sayap kupu-kupu transparan, merekah dalam terbangnya. Dia tersenyum kecil. Hiraya. Aya. Pangeran itu mendongak pada gerbang.
“Hiraya Clearwing,” bisiknya, tersenyum.
Dia akhirnya menemukan putri mahkotanya.
Enam tahun kemudianBloomingflame adalah sebuah pedesaan yang sangat sunyi. Begitu sunyi hingga bahkan teriakan Hiraya dapat terdengar malam itu.Sang putri mahkota telah memutuskan untuk menghabiskan masa kehamilannya yang kedua di rumah ibunya, mengulang apa yang Viscountess Clearwing alami selama dia memilikinya.Sang putra mahkota berada di luar, menggendong putra mereka yang dalam diam mengkhawatirkan ibunya.“Dia akan baik-baik saja,” Alaric meyakinkan. “Ibumu adalah orang yang kuat. Dia akan melahirkan adikmu dan segera kembali pada kita.”Vien menganggukkan kepala, namun terus mengeratkan pelukannya pada sang ayah, meneteskan air mata ketika mendengar ibunya berteriak kembali.
Pesta dansa terakhir berada di Flarevana, tepat di kediaman putra sang duke dan istrinya — Dimitri dan Diora Fernthier.Itu berarti bahwa mereka yang diundang akan pergi dan diberikan penginapan selama mereka tinggal untuk pesta dansa tersebut. Termasuk pada putra dan putri mahkota kerajaan mereka.Hiraya mengintip dari jendela kereta mereka, sementara Alaric berada di depannya. Gadis itu tersenyum kecil, sementara suaminya menyentuh tangannya, menggenggamnya erat.“Ini adalah kali pertamamu datang kemari, benar ‘kan?”Dia menganggukkan kepala, tersenyum. “Kau sudah sering kemari?”“Tentu saja,” ucapnya. “Keluarga Fernthier adalah sepupu kita — aku telah menghabiskan
Hiraya dapat merasakan seluruh pasang mata menghadap ke arahnya. Ruang singgasana begitu luas, dan mereka memberikan jalan padanya melalui jalur karpet merah menuju Alaric, bersama dengan sang raja dan ratu yang menunggu di depannya.Tidak.Dia berusaha untuk tidak menyentuh tangannya yang bergetar, sementara sepatu yang membawanya ke arah mereka teredam, menutup gema yang seharusnya ada ketika dia menapaki lantai marmernya.Akan sangat aneh jika dia mundur dan melarikan diri. Namun Hiraya dapat merasakan sesak di dadanya, dia terlalu gugup untuk ini.Berjalan menuju mereka terasa begitu mudah, namun sulit di saat yang sama. Takkan ada kesempatan untuk berbalik ketika dia sudah sampai di ujung sana.Dia akan benar-benar menja
Sepanjang hidupnya, Hiraya tak pernah mengira bahwa dia akan menjadi salah satu dari daftar yang langsung diterima sang ratu ketika dia mengundangnya untuk datang dan minum teh di serambinya.Sang ratu duduk di depannya, menyeruput teh yang disediakan, bersamaan dengan kue yang telah dengan hati-hati Eloise susun di atas meja.“Aku yakin kau memiliki alasan untuk memanggilku kemari, Lady Clearwing,” ucapnya. “Kau takkan mengundangku kemari tanpa alasan.”Hiraya meletakkan cangkirnya, menghela nafas.Dia dan Alaric telah meninggalkan pesta pernikahan Fernthier lebih cepat, tepat setelah mereka menerima dokumen-dokumen dari Sir Phillips. Dan Hiraya telah menghabiskan malam dengan memilah dokumen yang akan diinginkan sang ratu, bersama dengan menyusu
Kediaman keluarga Mistwatcher dipenuhi hiruk pikuk orang-orang, makanan disediakan di meja-meja bertaplak putih, sementara minuman berada di ujungnya.Diora berkeliling dengan gaun pengantinnya, putih bersih dengan pita mengelilingi rambutnya. Gadis itu tersenyum, menerima ucapan selamat dan memberikan terima kasihnya pada tamu-tamu yang datang.Hiraya mengawasinya dari salah satu meja, tersenyum kecil hingga temannya itu mendatanginya, minuman masih berada di tangan.“Lady Fernthier,” sapanya, membuat Diora tertawa, memeluk lengannya erat. “Kau benar-benar sangat bahagia ya?”“Tentu saja,” ucapnya. “Menurutmu dia akan segera melakukannya?”Hiraya merasakan jantungnya berdetak.
Hiraya memperhatikan dirinya di depan cermin, rambutnya telah tersisir dan terlepas dari ikat dan jepit — Eloise telah mundur dari ruangannya dan kembali sementara malam semakin larut.Dia menundukkan kepala, memainkan kalung yang ada di lehernya dan melepasnya, meletakkannya di atas meja riasnya. Bahkan saat itu, dia dapat melihat wajah Alaric yang tersenyum memperhatikannya dari cermin.“Apa apa?” sahutnya, mengetahui bahwa pangeran itu tengah duduk di ranjangnya. “Berhenti memperhatikanku.”Alaric tertawa, berbaring disana walaupun mengalihkan sisi tubuhnya hingga dia masih dapat terus memperhatikannya. “Kau sadar akan pandanganku?”“Setelah terlalu lama, aku akhirnya bisa menyadarinya bahkan ketika aku tak dapat melihat kehadiranmu.”