Share

Dia yang Tak Terlupakan (Bagian 4)

Alaric tak tahu menahu tentang apa yang ingin dibicarakan oleh ibunya dengan sepupunya. Sejujurnya, dia juga tak ingin tahu. Dimitri memiliki sedikit kebebasan sebagai putra sang duke, membiarkan dirinya sendiri berada di dalam gemerlap pesta-pesta dan minuman.

Sang pangeran tak memiliki kemewahan itu.

Tapi itu memberinya sedikit rasa bersyukur bahwa dia takkan mendapatkan masalah soal itu. Walaupun sebentar lagi dia akan terjerat masalah jika dia tak menemukan Aya.

Dia tengah berjalan-jalan di kota, memperhatikan orang-orang lalu lalang. Beberapa gadis dan ibu mereka menuju toko pakaian, beberapa debutante dan peminang mereka berada di kedai teh, bercengkrama ditemani para pendamping.

Dia ingin tahu jika ada seorang bangsawan yang mengetuk rumah Aya dan memperkenalkan diri, memberikannya bunga dan pujian demi memenangkan hatinya.

Jika dia berada disana, mereka semua akan kalah. Alaric akan memberikannya hadiah gaun dan perhiasan yang lebih berharga dari yang mereka persembahkan. Dia akan membawanya pergi melihat keindahan Firedale.

Jika dia berada disana.

Jika dia menemukannya.

“Hiraya!” seru seseorang, dan dia menoleh pada toko bunga. Seorang gadis tengah berdiri tak jauh, rambut hitam menutupi wajahnya, tangannya mengenggam sebuah keranjang penuh belanja. “Aku kira aku takkan melihatmu hari ini.”

“Aku sedikit lelah hari ini, Nyonya Thompson,” gadis itu beralasan. Suara itu– “Aku kira aku takkan sempat mampir menemuimu. Aku akan membeli bakung ini.”

“Apa kau akan membawa itu ke rumah pamanmu atau kau akan menyimpannya di rumahmu sendiri?” Alaric memperhatikan gadis itu tertawa. “Kau terlalu murah hati pada mereka, Sayangku. Mereka memanfaatkanmu.”

“Aku tahu,” ucapnya, dan pangeran itu mengerutkan dahi. “Tapi aku harus tetap kuat hingga aku bisa mengambil kembali rumahku. Benar ‘kan?”

“Tentu saja,” balas sang penjual bunga. “Semoga kediaman Clearwing jatuh pada pemilik yang sesungguhnya.”

Gadis itu, Hiraya, tersenyum, mengangguk sebelum meletakkan uang di atas mangkok, beranjak pergi. Alaric memperhatikannya, mengarahkan diri pada sang penjual bunga. Nama mereka terlalu mirip. Jika itu bukan dia dan dia hanya salah mengenali suaranya, setidaknya dia telah mencoba.

Wanita tua itu menoleh padanya, membungkukkan kepala. “Tuan ingin membeli bunga?”

“Gadis itu,” mulai Alaric, menoleh padanya yang telah tak terlihat lagi. “Apa dia adalah seorang pelanggan?”

“Tuan,” mulainya. “Aku rasa aku tak bisa mengatakan apapun tentang identitas seorang gadis. Aku bukan pendampingnya. Takkan baik bagi kita berdua, bahkan untuknya, jika aku mengatakan semuanya padamu.”

“Kumohon,” dia berbisik. “Aku sedang mencari seseorang.”

Nyonya Thompson menggeleng kembali, menolak.

Untuk sesaat, Alaric mengerti. Sangat berbahaya bagi seseorang jika orang lain membocorkan siapa dia, atau apapun tentang identitasnya. Dia takkan menyalahkan wanita itu jika ingin melindungi Hiraya. Namun dia harus menemukannya.

Dia harus mencoba.

Mungkin dia hanya berpegang teguh pada suaranya, walaupun sedikit buram karena kabut nafsu yang menutupi mereka malam itu. Alaric harus menemukannya. Dia menoleh ke arah dimana gadis itu pergi, menarik sebuah mawar dan menyelipkan koin ke dalam mangkoknya.

“Terima kasih,” ucapnya, sebelum berlari pergi.

Hiraya seharusnya belum jauh, dia pasti tengah melihat-lihat penjual-penjual lainnya sementara dia mencoba mengikuti. Namun belokan terlalu banyak dan dia tak yakin jika dia mengarahkan diri pada tempat yang benar.

Mungkin dia harus menyerah, menunduk pada seorang anak kecil yang melewatinya, menyerahkan mawar itu. Gadis kecil itu berbinar, tersenyum sebelum berlari pergi.

Alaric menaikkan sudut bibirnya. Batinnya menyerah tepat ketika dia melihat seorang gadis di kerumunan, birunya sama dengan yang Hiraya kenakan, membuatnya kembali menembus desakan orang-orang.

Mungkin dia sedikit tidak terbiasa dengan orang-orang yang tak mengenalinya. Namun dia seharusnya tahu bahwa itu akan terjadi ketika dia berkeliaran sendirian tanpa pakaian formalnya. Mereka hanya akan mengira dia adalah seorang bangsawan yang berjalan-jalan.

Hiraya semakin tak terlihat dari pandangan dan Alaric merasa bahwa dia harus menyerah sekali lagi.

Tidak.

Dia tak bisa menyerah.

Jika dia melakukan kesalahan, dan Hiraya bukanlah siapa yang dia duga, dia takkan menyesal karena mencoba. Gadis itu semakin menjauh dan dia berdoa bahwa dia akan dapat menemuinya sebelum itu terjadi.

Alaric mundur dari kerumunan, bersandar di sebuah dinding, menarik nafas. Tangannya menyentuh dadanya sendiri, menggelengkan kepala. Orang-orang terlalu ramai, dan mungkin hanya dia yang terlalu lemah.

Dia menyandarkan kepala pada dinding, menutup mata.

Mungkin dia takkan pernah menemukannya. Mungkin dia dan Aya tidak ditakdirkan untuk bertemu. Dia seharusnya mengakui itu ketika gadis itu melarikan diri dari ranjangnya ketika pagi menjelang.

Sebaiknya dia menerima apa yang akan ibunya lakukan padanya untuk musim ini.

Tidak.

Dia tak bisa menyerah.

Alaric mendongak pada kerumunan dimana Hiraya pergi.

Dia akan berada di jalan ujung setelah itu, di jalanan besar dimana orang-orang bepergian, namun tidak lebih sesak dari ini — jika dia bisa mengejar sampai kesana, Alaric akan menemukan lebih banyak kesempatan.

Jadi dia mengangguk pada dirinya sendiri, menjauh dari kerumunan dan tetap berada di sisi dinding, menghindar. Dia menarik nafas ketika berada di ujung jalan, hiruk pikuk orang-orang masih sama, namun jalanan menjadi lebih luas.

Dia dapat melihat Hiraya, tersenyum pada seorang penjual roti dan membayar dengan uangnya sebelum berjalan pergi. Jika dia bertanya pada tukang roti tersebut, akan ada kemungkinan dimana dia takkan menjawabnya.

Jadi Alaric memilih untuk berjalan lurus mengikutinya, tak berhenti sama sekali.

Dia menarik nafas ketika melihat rambut hitamnya. Jika dia memiliki sedikit hiasan kerlip, dia akan sangat yakin bahwa itu adalah Aya. Sayang sekali bahwa dia tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Mengikuti dan memanggilnya adalah satu-satunya cara.

Namun bahkan jika dia memanggilnya, akan ada kemungkinan bahwa dia takkan mengenalinya.

Dia berhenti ketika melihatnya terdiam, sedikit menoleh ke belakang, seolah menyadari bahwa ada yang mengikutinya. Tidak, pikirnya. Dia bukan orang yang jahat, berusaha mengarah padanya tepat ketika dia berjalan lebih cepat.

“A–” dia menghela nafas. Sulit untuk memanggilnya, namun dia mencoba. “Aya!”

Mungkin dia salah. Tentu saja takkan semudah itu menemukannya. Mungkin itu hanya suara dan rambutnya yang mirip dengannya. Namun gadis itu menghentikan langkahnya, seolah menyadari bahwa dia tengah dipanggil.

Pangeran itu mengernyitkan dahi. “Aya!”

Hiraya melanjutkan jalannya, kini jauh lebih cepat hingga dia tak yakin bisa mengejarnya, jadi dia memperhatikannya masuk ke sebuah gerbang, tangannya erat menggenggam keranjang belanjanya.

Alaric mendekat, memperhatikan lambang yang ada di depan gerbang tersebut. Sebuah sayap kupu-kupu transparan, merekah dalam terbangnya. Dia tersenyum kecil. Hiraya. Aya. Pangeran itu mendongak pada gerbang.

“Hiraya Clearwing,” bisiknya, tersenyum.

Dia akhirnya menemukan putri mahkotanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status