Share

Rumah Kecil Hiraya (Bagian 1)

Diora membuka pintu rumah Hiraya, menghela nafas ketika menyadari bahwa itu tak terkunci. Temannya memiliki sebuah kebiasaan dimana dia lupa untuk menutup pintu rapat-rapat sebelum dia pergi. Gadis itu sangat yakin bahwa dia tengah berada di rumah pamannya, membantu pekerjaan rumah.

Atau dia harus mengatakan bahwa Hiraya adalah salah satu pembantu di dalam rumah tersebut. Temannya itu akan kembali ketika sore tiba. Satu-satunya saat dimana dia tak berada disana adalah ketika makan pagi. Dimana yang lain mengambil alih. Namun Hiraya harus tetap berada disana hingga sebelum makan malam nanti.

Diora membenci keluarga paman temannya dengan sepenuh hatinya.

Waktu telah mencapai pukul lima ketika gadis itu kembali, membuka pintu tanpa mempertanyakan banyak hal, bahkan ketika dia melihat temannya merebahkan diri di tempat tidurnya.

“Kau lupa mengunci pintumu,” tegurnya.

Hiraya menoleh pada pintunya, kenop terbuka tanpa kunci. “Tak ada barang yang bisa diambil disini,” ujarnya. “Aku tak memiliki barang berharga sama sekali.”

“Tapi itu berbahaya, Aya,” dia bersikeras. “Setidaknya kau harus menguncinya jika tak ingin menggemboknya.”

Dia memperhatikannya, pikiran temannya tampak begitu berkecamuk ketika dia duduk dan memainkan kukunya. “Mungkin aku harus mulai menguncinya,” dia berbisik, menghela nafas.

Itu membuatnya sedikit lebih takut. “Apa?” sahutnya. “Seseorang mengancammu?”

“Bukan mengancam,” dia meyakinkan. “Ada sesuatu yang tak kuceritakan padaku,” ucapnya, mencoba mengakui sesuatu. “Tentang tadi malam.”

Diora mengernyitkan dahi, berpindah untuk duduk dan menegakkan punggungnya. Dia menatap gadis itu, menunggunya untuk mengatakan sesuatu. Dia tak tahu apa yang terjadi padanya setelah Julian membawanya pulang, sementara Hiraya mengatakan bahwa dia akan tetap berada disana.

Dia mengikuti ceritanya — ketika dia bertemu dengan seorang laki-laki asing bertopeng dan berdansa dengannya. Dan Diora dapat melihat dari pipi merahnya bahwa ada sebuah perasaan yang tak dia ceritakan. Bahkan hingga mereka tiba di saat ketika gadis itu telah sendirian dan bertemu lagi dengannya.

Hiraya berhenti ketika dia mengatakan bahwa laki-laki itu menciumnya.

“Lalu?” tuntutnya. “Lalu apa?”

Gadis itu menggelengkan kepala. “Kau tak perlu tahu untuk ini,” ucapnya. Diora menatapnya, tak percaya. “Aku serius. Aku yakin ibumu takkan menghargai bahwa aku mengatakan sesuatu yang tak pantas.”

“Sebuah ciuman?”

Dia melihatnya menutup mata, menghela nafas. “Sesuatu seperti itu.”

Mistwatcher itu memperhatikannya, mata memicing. “Aku tak mempercayaimu.”

“Kau harus,” ucapnya. “Karena aku takkan mengatakan apapun lagi.”

Dia menghela nafas, mengalihkan pandangan, menyerah. Jika Hiraya takkan mengatakan apapun padanya, dia takkan tahu apapun — temannya sangat mahir menghindar jika dia tak menginginkan sesuatu. 

“Dia ingin bertemu denganku lagi,” dia mengakui. “Aku seperti mendengarnya memanggilku tadi siang. Walaupun aku sedikit ragu, tapi aku yakin itu adalah dia.”

“Apa yang membuatmu yakin?”

“Karena aku tak menyebutkan nama lengkapku,” ujarnya. “Dan dia memanggilku dengan sebutan Aya — itu adalah yang kukatakan padanya.”

Diora mengernyitkan dahi. Dia begitu yakin bahwa jika Hiraya menjadi seorang debutante, akan ada banyak yang tertarik padanya. Paman dan bibinya tahu akan hal itu, jadi mereka menguncinya dari orang-orang.

Hiraya bisa saja memberikan laki-laki itu nama aslinya dan menggunakannya untuk membawanya pergi dari situasinya sendiri. Kenapa dia tak melakukan itu?

Namun dia yakin temannya itu memiliki alasannya sendiri, yang mungkin sedang dia sesali karena semakin membuat rumit permasalahannya.

“Aku tak mengira dia akan mencariku,” bisiknya. “Saat itu–”

Diora menunggunya melanjutkan. “Saat itu apa?”

Hiraya menoleh padanya, menghela nafas. “Kukira tak ada yang seharusnya terjadi setelah itu,” dia menangkup tangan ke kepala. “Kukira laki-laki juga tak menginginkan hal itu diingatkan pada mereka.”

Gadis itu merebahkan dirinya, menyerah. Dia takkan memahami rentetan Hiraya jika temannya itu tak menjelaskan lebih banyak. Namun dia hanya bisa mendengarkan. Lagipula, temannya itu seperti membutuhkan teman bicara lebih dibanding dia.

Dia memikirkan malamnya sendiri, ketika laki-laki bertopengnya berdansa dengannya. Samar-samar, dia merasa bahwa dia seharusnya mengenali taring kentara yang menjadi dua dari giginya. Dia merasa bahwa dia seharusnya mengenali tawanya.

Diora merasa bodoh karena terlalu memikirkan itu.

Mungkin benar kata Hiraya. Dia seharusnya tak memikirkan apapun soal malam itu. Dia tak ingin menjadi seperti orang yang mengejarnya. Tapi dia begitu merasa familiar dengan orang itu hingga dia merasa begitu penasaran.

“Kau tak mengalami apapun ‘kan?” tanya temannya. “Julian langsung menjemputmu ‘kan?”

Dia tertawa kecil, mengalihkan pandangan.

“Diora,” panggilnya. “Ada apa?”

“Tidak ada,” sahutnya, terlalu cepat hingga Hiraya menaikkan alis. “Tidak ada, tidak ada yang terjadi.”

“Diora, kau harus mengatakan pada seseorang jika ada yang terjadi,” dia menyaran. “Kau tahu bahwa kau akan membutuhkan perlindungan.”

“Dia tak melakukan apapun,” ucapnya, tanpa sadar membelanya. “Aku hanya menganggapnya familiar, itu saja. Sangat aneh karena aku tak mengingatnya dimanapun.”

“Mungkin kau mengenalinya dari suatu tempat?” dia menyarankan. “Dari kedai teh atau tempat yang pernah kau kunjungi?”

Gadis itu menggelengkan kepala. “Aku tak yakin,” bisiknya. “Seharusnya bukan disana. Kau tahu perasaan ketika kau bertemu dengan teman lamamu, namun kalian berdua sudah lama berubah dan tak mengenali satu sama lain?”

Hiraya menghela nafas. “Aku tak memiliki teman lama, Di,” ucapnya. “Aku hanya memiliki satu dan itu adalah kau. Aku tak bisa membayangkan perasaan itu bahkan ketika kau memintaku.”

Diora mengalihkan pandangan, menunduk. Topeng dan tangan yang menggenggamnya terasa asing malam itu. Namun dia dapat melihat matanya, binar senyum ada disana seolah tak pernah pergi. Dia berusaha memaksa dirinya untuk mengetahui darimana dia mengenalinya. Namun gagal.

Bahkan ketika dia berusaha keras untuk mengenali darimana rasa familiar itu berasal, dia akan terus gagal dan gagal. Kakinya bergoyang ketika dia duduk, sarat penuh rasa sedih.

Mungkin itu adalah wajah kecewanya.

Mungkin itu adalah kegalauannya yang terasa hingga ke Hiraya.

Temannya itu berjalan ke arahnya, duduk di sampingnya. Dia mengusap rambutnya dengan hati-hati. “Ceritakan padaku tentang laki-laki ini,” pintanya. “Mungkin itu akan memperbaiki hatimu.”

“Entahlah,” dia berbisik. “Aku tak tahu harus mulai darimana. Aku bahkan tak mengenalnya. Yang kutahu hanyalah dia berdansa denganku.” 

Dan matanya.

Dan senyumnya.

Diora menghela nafas kembali, menyandarkan kepala pada pundak temannya, yang kemudian mengusap lengannya, menenangkan.

“Tak apa,” ucapnya. “Kau akan menemukannya.”

“Apa yang membuatmu begitu yakin?”

Hiraya berkedip, mengalihkan pandangan. “Entahlah,” bisiknya. “Aku hanya tahu.”

Diora membaringkan tubuhnya sendiri, menatap langit-langit usang ruangan kecil temannya. “Aku tak ingin mencarinya,” bisiknya. “Dia terlalu tak pasti, terlalu–” dia menghela nafas. “Aku tak ingin mempertaruhan waktuku.”

Hiraya menatapnya, mengangguk. Dalam diam temannya, dia yakin sekali bahwa dia mengerti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status