Hiraya memperhatikan Diora yang kini terbaring di ranjangnya, matanya kosong penuh rasa sedih dan penasaran. Dia merasa gagal berempati dengan temannya sendiri, namun dia tak bisa memaksakan dirinya untuk mengatakan bahwa dia mengetahui perasaannya.
“Bagaimana kau bisa melakukan itu?” tanya Diora, membuatnya menoleh kembali padanya, bergumam penuh pertanyaan. “Bersikap seolah tak terjadi apapun.”
Dia tidak.
Sudah semenjak pagi tadi dia menyesali apa yang terjadi bersama Alaric — mencoba menghapusnya dari ingatan dan mengalihkan perhatiannya. Walaupun dia merasa bahwa laki-laki itu menemukannya tepat ketika dia berjalan menuju rumah pamannya.
Dia memberikan selamat pada dirinya sendiri ketika berhasil menghindar. Ketika dia tak menggubris pan
Ketika dia membuka mata, Hiraya mendapati dirinya kembali ke taman, lampu-lampu yang temaram menyala di sekitarnya, sementara gemerisik dedaunan berbisik ketika dia berjalan melewatinya.Taman memiliki jalur setapak yang sedikit sempit, namun tak mustahil baginya untuk berjalan sementara dia berada di dalam gaunnya. Dia tak memahami apa yang membawanya kemari, mengernyitkan dahi sementara matanya berusaha melihat melalui lampu temaram.Dia dapat menyadari sebuah ruang terbuka di ujung lorong dedaunan, memperhatikan seorang laki-laki yang berdiri di tengahnya. Pakaiannya hitam, lebih gelap dari rambutnya yang kecoklatan.Ketika dia berbalik, Alaric tersenyum padanya, mengulurkan tangan.Dan Entah kenapa, Hiraya mendapati dirinya menerima uluran itu, membalas senyumannya s
Hiraya tak mengharapkan apapun bahkan hingga esok harinya, dimana dia berjalan kembali ke rumah pamannya, membawa keranjang makanan seperti biasa. Dia berpikir untuk mengenakan tudung hanya agar tak dikenali, namun justru mengurungkan niat.Untuk apa dia menyembunyikan identitasnya?Seharusnya seperti itu, kecuali dia melihat seorang asing berdiri di dekat gerbang, tangannya menggenggam kekang kuda seolah tengah menunggu. Dan Hiraya berdoa bahwa yang ditunggu bukanlah dia.Laki-laki itu menoleh, binar mata berseri ketika melihatnya. “Aya.”Gadis tersebut berjengit, mengingat jelas suara yang memanggilnya tersebut. Dia menoleh pada Alaric, yang menatapnya penuh harap. Dia seharusnya tak menggubrisnya — tepat seperti kemarin. Namun entah kenapa, Hiraya me
Hiraya memperhatikan gaun di depannya. Dengan datangnya undangan itu, dia telah menganggap bahwa baik Julian dan Diora mengharapkan kedatangannya. Namun yang datang adalah seorang kurir — membawakan sebuah kotak berisi gaun dan sepatu, memastikan bahwa dia akan mengenakan pakaian yang setidaknya layak.Dia menoleh pada jendela, menatap matahari yang semakin turun.Sebentar lagi, dia akan diharapkan untuk berada di kediaman Mistwatcher, datang dengan pakaiannya yang sekali lagi dipinjamkan untuknya. Ada sedikit rasa malu di dalam diri, menjalar hingga tangan yang meremas erat gaun tersebut.Kepala keluarga Mistwatcher adalah seorang marquess. Jika dia pergi, Alaric mungkin akan berada disana. Tapi jika dia tidak, gaun yang dikirimkan padanya akan terasa sia-sia. Dia juga harus menghadapi rasa kecewa dari temann
Selalu ramai setiap kali sang ibu mengadakan pesta di rumahnya. Ada sebuah rasa sesak ketika dia melihat begitu banyak orang-orang, namun dia terus tersenyum pada mereka, membiarkan para debutante yang mengarah padanya, berusaha menarik hati, melayangkan kipas mereka.Diora berdiri di sampingnya, tersenyum pada para bangsawan yang memperhatikan mereka. Adiknya masih menggenggam minuman yang dia ambil, setengah penuh karena sedikit dia teguk.“Kau harus mengajak salah satu dari mereka berdansa,” dia menyarankan. “Aku yakin Ibu sedang mengawasimu, dia akan ingin kau setidaknya berdansa dengan satu orang.”“Aku tak tahu apa yang kau bicarakan.”“Kau menghindari mereka, Kakak,” sahutnya, masih tersenyum ketika beberapa memperha
Hiraya membawa dirinya sendiri berjalan-jalan di taman, berusaha untuk tidak berada terlalu jauh dari balkon atau orang-orang yang berdiri dan berkumpul di sekitar. Dia tak menginginkan kejadian yang sama dengan yang dia alami dengan Alaric beberapa hari sebelumnya.Alaric.Dia merasakan sesuatu yang lain setelah mereka berdua bertemu — bahwa hidupnya seolah terpatri padanya. Apapun yang Hiraya lakukan, dia akan selalu terpikir akan dia. Bayang-bayang tentang bagaimana jika menghantui setiap langkahnya.Bagaimana jika dia mengatakan yang sebenarnya?Bagaimana jika dia tak mengelak?Bagaimana jika dia mengenali Alaric?
Diora terduduk di bangku teras, sementara musik baru saja berhenti mengalun, dan dia merasakan sebuah pergerakan di belakangnya. Dia menoleh pada temannya, tersenyum kecil.“Kau terlihat menikmati pesta ini,” ucapnya. “Apa kau tak lagi takut jika paman atau bibimu menyadari bahwa kau ada disini.”“Sejujurnya,” ucap Hiraya, duduk di sampingnya. “Aku sedikit takut.”“Oh?” temannya menaikkan alis, memperhatikannya. “Tapi kau terlihat sangat menikmati pesta ini,” dia bersikeras. “Kau berdansa dengan dua orang.”Hiraya menghela nafas. Dia memikirkan Abraham Rosemeijer yang tadi baru saja berdansa dengannya. Dan bagaimana, bahkan dalam waktu singkat mereka, dia merasa bahwa tak ada yang bisa me
Alaric tengah berada di dekat jendela, tangannya menggenggam sebuah gelas berisi minuman penuh yang belum dia teguk. Dia dapat melihat Hiraya berdansa dengan seseorang tadi malam, dan tentu saja dia akan mengenali Tuan Rosemeijer dimana pun dia berada.Dia mengenalinya ketika dia datang ke Firedale untuk pertama kali, mencoba peruntungan bisnis dan membawa banyak sekali orang-orang di klub menuju jalannya. Entah berhasil atau tidak, pangeran itu tak tahu.Namun jika Hiraya ingin berurusan dengannya, dia merasa bahwa dia tak bisa mencegahnya — rela atau tidak.Atau mungkin dia harus menampakkan diri dan mengambilnya kembali. Abraham Rosemeijer tidak memiliki kesempatan apapun jika itu adalah sang putra mahkota. Dia bisa saja melakukan itu jika dia adalah seseorang yang egois, atau dia bisa saja melakukannya jik
Dimitri takkan pernah melupakan warna rambut tersebut, yang hitam legam panjang hingga ke pinggang begitu berbeda dengan dirinya yang pirang. Dia selalu mengingat bahwa gadis itu mengungkapkan rasa irinya karena rambutnya yang emas.“Aku selalu menginginkan rambut pirang,” dia memprotes, kentara di ingatannya. “Tak adil jika hanya kau yang memilikinya.”“Kau seharusnya meminta ibumu untuk memberikanmu ini,” tawanya saat itu.Putra sang duke berjalan menembus kerumunan, mata tak lepas darinya sementara gadis itu tengah tersenyum pada seseorang, membungkuk setelah menyerahkan kartu dansanya.Dia pasti akan menari dengan seseorang lagi.Tak masalah.Dimitri akan mengambil kartu dansa itu dan menuliskan setiap bagian kosong dengan namanya. Hingga tak ada lagi yang tersisa darinya dan debutante itu akan menjadi miliknya seorang. Atau mungkin dia harus bersiap untuk beberapa strategi dimana dia bisa meminangnya.Dia teringat perkataan sang ratu pada saat setelah Alaric meninggalkan mereka.