Share

Satu Malam Saat Itu (Bagian 2)

Selesai satu lagu untuk berdansa, Diora mencari Hiraya. Lantas saja gadis itu langsung melepaskan tangan Alaric dan menarik Diora menuju halaman belakang kediaman earl.

Diora tertawa, tangannya menggenggam temannya. Dia menghela nafas ketika menjatuhkan diri ke atas sebuah ayunan, gaun birunya bersinar menyaingi kerlip bintang.

Hiraya di sampingnya, duduk dengan hati-hati dan membiarkan sepatunya terlepas. Keduanya menanggalkan topeng mereka masing-masing, dan Hiraya menyentuh wajahnya, tersenyum ketika mengenalinya sekali lagi.

“Aku melihatmu berdansa,” dia berkomentar, mengayunkan ayunan ke kiri dan kanan. “Siapa dia? Apa kalian berkenalan?”

Gadis itu menghela nafas. “Aku... Aku tak yakin soal itu.”

Temannya mengernyitkan dahi, tubuh menegak. “Bagaimana bisa kau tak yakin? Apa kalian menyebutkan nama asli kalian? Aya, ini bisa menjadi kesempatanmu untuk melarikan diri. Kau seharusnya menggunakannya!”

Tentu saja. Pertemuannya dengan Alaric bisa saja menjadi kesempatannya. Namun dia menyadari bahwa tak ada jaminan dimana Alaric bahkan mengatakan yang sebenarnya. Mungkin namanya bukanlah Alaric — bukan nama yang terlampau mirip dengan pangeran kerajaan mereka, bahkan bukan juga seorang Fernthier.

Mungkin saja, bahkan orang dengan nama itu tak pernah ada di dunia.

Dia menoleh pada temannya. “Apa kau mengetahui seseorang dengan nama Alaric Fernthier?”

Diora mengerutkan dahi, namun dia menyadari bahwa temannya mengkerut ketika mendengar marga tersebut. Matanya teralih, menelan ludah.

“Tidak,” bisiknya. “Tapi Fernthier adalah keluarga sang Duke dari Flarevana."

“Dan Alaric?”

Gadis itu menggeleng. “Mereka hanya memiliki seorang putra dan penerus — Dimitri Fernthier. Aku,” dia menghela nafas. “Aku sudah lama tak bertemu dengannya.”

Dia seharusnya menanyakan bagaimana Diora, putri seorang marquess, berkenalan dengan putra seorang duke di masa kecilnya. Namun tak ada yang masuk ke dalam pikirannya kecuali fakta bahwa benar-benar tak ada seorang bernama Alaric Fernthier. Dia telah dibohongi.

“Aya?” panggilnya, menyentuh pundak. “Dia berbohong padamu dengan marga sang duke?”

Dia menghela nafas. “Aku tak terkecoh soal itu,” bisiknya. “Jika dia menipuku, aku telah menipunya terlebih dahulu.”

Dari sudut matanya, dia dapat melihat Diora yang mengalihkan pandangan, menunduk. Dia tahu bahwa tak ada yang bisa membuatnya menghiburnya.

Bahkan dengan ketidak mahirannya di dalam pesta-pesta dan keamatirannya, keduanya memahami bahwa mereka telah melarikan diri dengan berada disini tanpa pendamping. Dan ketika seseorang berbohong, tak ada yang bisa menyalahkan siapapun.

“Kau harus pulang,” tegurnya. “Julian menjemputmu ‘kan?”

Gadis itu mengangguk. “Kau yakin kau tak membutuhkan tumpangan?”

Hiraya menggeleng, tersenyum kecil. “Aku akan tetap disini,” dia meyakinkan. “Aku akan baik-baik saja. Aku mahir bersembunyi. Akan kukembalikan gaun dan sepatumu besok.”

“Simpanlah,” dia menenangkan, mencium kepalanya perlahan. “Mungkin kita akan bisa bersembunyi seperti ini lagi.”

Gadis itu tertawa kecil, melambaikan tangan pada temannya yang berjalan pergi, menuju kereta dimana kakaknya yang penuh belas kasih berada, menyembunyikan fakta dan memberikan izin pada adiknya untuk bermain di luar sana. Sayang sekali bahwa dia tak memiliki kemewahan seperti itu.

Hiraya menghela nafas kembali, mendongak untuk melihat cahaya bulan dan bintang. Dia merasakan bulu di tengkuknya berdiri, tepat ketika ingatan membawanya pada saat laki-laki itu menyentuhkan tangan ke punggungnya. Hiraya memahami bahwa apa yang dia rasakan akan berbahaya.

Gadis itu melepas sarung tangannya, membiarkan hawa dingin malam menerpa sementara kaki menyentuh rumput. Hiruk pikuk pesta membuatnya sedikit melupakan bahwa dia tengah berpura-pura. Dan setiap angin dan tanah yang menyentuh kulitnya seolah menamparnya kembali akan fakta bahwa dia akan berubah secepat pagi datang.

Dia menyentuh dedaunan di taman, tersenyum kecil setiap kali melihat bebungaan kecil yang merekah.

“Nona Violetta.”

Panggilan itu membuatnya menoleh. Alaric tengah berdiri di belakangnya, jasnya terlepas hingga hanya kemeja yang ikatannya longgar di dada, sementara tangannya tersimpan di saku. “Aku tak menyadari bahwa kau menyukai taman di malam hari.”

“Aku tak menyadari bahwa akan ada seseorang berada disini,” dia menarik nafas. “Aku minta maaf jika aku mengganggumu, Tuan Fernthier.”

“Alaric.”

“Apa itu penting bagiku untuk menyebutkan yang mana untukmu?” semprotnya, menatapnya tepat di mata. “Itu bukan namamu yang sebenarnya, kau seharusnya tak peduli.”

“Dan apakah Lucy Violetta nama aslimu? Atau aku sedang bersikap tak adil?” Hiraya terdiam, mengalihkan pandangan. “Kau tak bisa menjawabnya,” bisik Alaric. “Karena kita berdua tahu, Nona Violetta — Lucy, bahwa kau sedang berbohong.”

“Takkan ada jaminan bahwa kau akan mengatakan nama aslimu.”

“Kita berdua tak mengenakan topeng saat ini, Lucy,” ucapnya. “Aku sudah melihat wajahmu dan aku bisa mengetuk setiap pintu di Crimsonrealm. Mereka akan menerimaku dengan lapang dada sebelum aku pergi setelah memastikan bahwa kau bukanlah salah satu dari putri mereka.”

“Kau takkan menemukanku,” dia meyakinkan. “Tidak dengan cara itu.”

“Lalu aku sarankan padamu untuk mengatakan padaku,” paksanya. “Aku harap kau tahu bahwa yang kukatakan bukanlah ancaman. Aku akan melakukannya.”

“Lalu akan kukatakan padamu bahwa aku takkan memberitahumu namaku hanya karena kau berdansa denganmu satu kali,” bisiknya. “Berdansa adalah hal yang berbahaya, dan aku rasa kita berdua tahu itu.”

Alaric mendekat, dan Hiraya merasakan dirinya mundur, tepat sebelum tangan laki-laki itu menahan pinggangnya. “Apa yang harus kulakukan agar kau memberiku namamu?”

Dia dapat merasakan jemari di pipi, membuatnya menarik nafas dan menutup mata kembali. Tangannya begitu hangat ketika menyentuhnya dan dia merasakan godaan untuk menjatuhkan diri padanya, meremas kuat lengannya.

“Alaric,” bisiknya. “Namaku Alaric — hanya itu yang bisa kukatakan padamu.”

Hiraya menghela nafas. Mungkin dia mengaku. Mungkin hanya marganya yang berbeda. Mungkin dia berasal dari Fernthier yang lain dan bukan dari keluarga sang duke. Entahlah. Mungkin sentuhan yang mengalir ke lehernya membuat pikirannya sedikit kacau.

“Lucy–”

“Aya,” ralatnya. “Namaku Aya.”

Dia dapat melihat sudut bibir Alaric naik, dan entah kenapa, dia ingin laki-laki itu mengulanginya kembali. Namun kedua tangannya menyentuh lehernya.

“Baiklah,” bisiknya. “Aya.”

Dan ketika Hiraya merasakan bibirnya di atasnya, dia menarik nafas, terengah ketika mendorongnya menjauh. Alaric memperhatikannya, rasa bersalah kentara di wajahnya. Namun ada sebuah perasaan di dalam dirinya dimana dia tak ingin melepaskannya. Dan mungkin itu akan menjadi titik baliknya. Karena gadis itu meraih kepalanya, menariknya menunduk.

Dia menyadari tangan Alaric yang meraba punggungnya, namun dia tak bisa mengatakan apapun, begitu terpaku dengan bibir mereka yang terus saling mengulum. Mungkin Alaric menyelipkan candu ke dalamnya. Mungkin itu karena bara api dimana dia adalah ciuman pertama yang dia miliki.

Ketika Alaric menariknya lebih mendekat, memaksa mereka berdua terjatuh ke atas tanah, dia dapat merasakan roknya ditarik ke atas, dan tangan Alaric pasti telah memindahkan semua kerlap-kerlip dari rambut ke pahanya.

“Tak bisa,” bisiknya. “Tidak disini.”

Terserah.

Hiraya ingin membiarkannya. Namun laki-laki itu melingkarkan kakinya ke pinggang, memaksa untuk membawanya pergi. Mungkin akan ada yang mengawasi mereka dari hiruk pikuk pesta.

Mungkin ada yang tidak. Dia tak peduli. Dia juga takkan kembali kesana untuk pesta berikutnya. Earl Greyhound hanya perlu membiarkan mereka berdua.

Ketika Alaric menjatuhkannya ke atas kursi di dalam keretanya, tangan Hiraya di rambutnya, keduanya harus menahan diri untuk sementara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status