Selesai satu lagu untuk berdansa, Diora mencari Hiraya. Lantas saja gadis itu langsung melepaskan tangan Alaric dan menarik Diora menuju halaman belakang kediaman earl.
Diora tertawa, tangannya menggenggam temannya. Dia menghela nafas ketika menjatuhkan diri ke atas sebuah ayunan, gaun birunya bersinar menyaingi kerlip bintang.
Hiraya di sampingnya, duduk dengan hati-hati dan membiarkan sepatunya terlepas. Keduanya menanggalkan topeng mereka masing-masing, dan Hiraya menyentuh wajahnya, tersenyum ketika mengenalinya sekali lagi.
“Aku melihatmu berdansa,” dia berkomentar, mengayunkan ayunan ke kiri dan kanan. “Siapa dia? Apa kalian berkenalan?”
Gadis itu menghela nafas. “Aku... Aku tak yakin soal itu.”
Temannya mengernyitkan dahi, tubuh menegak. “Bagaimana bisa kau tak yakin? Apa kalian menyebutkan nama asli kalian? Aya, ini bisa menjadi kesempatanmu untuk melarikan diri. Kau seharusnya menggunakannya!”
Tentu saja. Pertemuannya dengan Alaric bisa saja menjadi kesempatannya. Namun dia menyadari bahwa tak ada jaminan dimana Alaric bahkan mengatakan yang sebenarnya. Mungkin namanya bukanlah Alaric — bukan nama yang terlampau mirip dengan pangeran kerajaan mereka, bahkan bukan juga seorang Fernthier.
Mungkin saja, bahkan orang dengan nama itu tak pernah ada di dunia.
Dia menoleh pada temannya. “Apa kau mengetahui seseorang dengan nama Alaric Fernthier?”
Diora mengerutkan dahi, namun dia menyadari bahwa temannya mengkerut ketika mendengar marga tersebut. Matanya teralih, menelan ludah.
“Tidak,” bisiknya. “Tapi Fernthier adalah keluarga sang Duke dari Flarevana."
“Dan Alaric?”
Gadis itu menggeleng. “Mereka hanya memiliki seorang putra dan penerus — Dimitri Fernthier. Aku,” dia menghela nafas. “Aku sudah lama tak bertemu dengannya.”
Dia seharusnya menanyakan bagaimana Diora, putri seorang marquess, berkenalan dengan putra seorang duke di masa kecilnya. Namun tak ada yang masuk ke dalam pikirannya kecuali fakta bahwa benar-benar tak ada seorang bernama Alaric Fernthier. Dia telah dibohongi.
“Aya?” panggilnya, menyentuh pundak. “Dia berbohong padamu dengan marga sang duke?”
Dia menghela nafas. “Aku tak terkecoh soal itu,” bisiknya. “Jika dia menipuku, aku telah menipunya terlebih dahulu.”
Dari sudut matanya, dia dapat melihat Diora yang mengalihkan pandangan, menunduk. Dia tahu bahwa tak ada yang bisa membuatnya menghiburnya.
Bahkan dengan ketidak mahirannya di dalam pesta-pesta dan keamatirannya, keduanya memahami bahwa mereka telah melarikan diri dengan berada disini tanpa pendamping. Dan ketika seseorang berbohong, tak ada yang bisa menyalahkan siapapun.
“Kau harus pulang,” tegurnya. “Julian menjemputmu ‘kan?”
Gadis itu mengangguk. “Kau yakin kau tak membutuhkan tumpangan?”
Hiraya menggeleng, tersenyum kecil. “Aku akan tetap disini,” dia meyakinkan. “Aku akan baik-baik saja. Aku mahir bersembunyi. Akan kukembalikan gaun dan sepatumu besok.”
“Simpanlah,” dia menenangkan, mencium kepalanya perlahan. “Mungkin kita akan bisa bersembunyi seperti ini lagi.”
Gadis itu tertawa kecil, melambaikan tangan pada temannya yang berjalan pergi, menuju kereta dimana kakaknya yang penuh belas kasih berada, menyembunyikan fakta dan memberikan izin pada adiknya untuk bermain di luar sana. Sayang sekali bahwa dia tak memiliki kemewahan seperti itu.
Hiraya menghela nafas kembali, mendongak untuk melihat cahaya bulan dan bintang. Dia merasakan bulu di tengkuknya berdiri, tepat ketika ingatan membawanya pada saat laki-laki itu menyentuhkan tangan ke punggungnya. Hiraya memahami bahwa apa yang dia rasakan akan berbahaya.
Gadis itu melepas sarung tangannya, membiarkan hawa dingin malam menerpa sementara kaki menyentuh rumput. Hiruk pikuk pesta membuatnya sedikit melupakan bahwa dia tengah berpura-pura. Dan setiap angin dan tanah yang menyentuh kulitnya seolah menamparnya kembali akan fakta bahwa dia akan berubah secepat pagi datang.
Dia menyentuh dedaunan di taman, tersenyum kecil setiap kali melihat bebungaan kecil yang merekah.
“Nona Violetta.”
Panggilan itu membuatnya menoleh. Alaric tengah berdiri di belakangnya, jasnya terlepas hingga hanya kemeja yang ikatannya longgar di dada, sementara tangannya tersimpan di saku. “Aku tak menyadari bahwa kau menyukai taman di malam hari.”
“Aku tak menyadari bahwa akan ada seseorang berada disini,” dia menarik nafas. “Aku minta maaf jika aku mengganggumu, Tuan Fernthier.”
“Alaric.”
“Apa itu penting bagiku untuk menyebutkan yang mana untukmu?” semprotnya, menatapnya tepat di mata. “Itu bukan namamu yang sebenarnya, kau seharusnya tak peduli.”
“Dan apakah Lucy Violetta nama aslimu? Atau aku sedang bersikap tak adil?” Hiraya terdiam, mengalihkan pandangan. “Kau tak bisa menjawabnya,” bisik Alaric. “Karena kita berdua tahu, Nona Violetta — Lucy, bahwa kau sedang berbohong.”
“Takkan ada jaminan bahwa kau akan mengatakan nama aslimu.”
“Kita berdua tak mengenakan topeng saat ini, Lucy,” ucapnya. “Aku sudah melihat wajahmu dan aku bisa mengetuk setiap pintu di Crimsonrealm. Mereka akan menerimaku dengan lapang dada sebelum aku pergi setelah memastikan bahwa kau bukanlah salah satu dari putri mereka.”
“Kau takkan menemukanku,” dia meyakinkan. “Tidak dengan cara itu.”
“Lalu aku sarankan padamu untuk mengatakan padaku,” paksanya. “Aku harap kau tahu bahwa yang kukatakan bukanlah ancaman. Aku akan melakukannya.”
“Lalu akan kukatakan padamu bahwa aku takkan memberitahumu namaku hanya karena kau berdansa denganmu satu kali,” bisiknya. “Berdansa adalah hal yang berbahaya, dan aku rasa kita berdua tahu itu.”
Alaric mendekat, dan Hiraya merasakan dirinya mundur, tepat sebelum tangan laki-laki itu menahan pinggangnya. “Apa yang harus kulakukan agar kau memberiku namamu?”
Dia dapat merasakan jemari di pipi, membuatnya menarik nafas dan menutup mata kembali. Tangannya begitu hangat ketika menyentuhnya dan dia merasakan godaan untuk menjatuhkan diri padanya, meremas kuat lengannya.
“Alaric,” bisiknya. “Namaku Alaric — hanya itu yang bisa kukatakan padamu.”
Hiraya menghela nafas. Mungkin dia mengaku. Mungkin hanya marganya yang berbeda. Mungkin dia berasal dari Fernthier yang lain dan bukan dari keluarga sang duke. Entahlah. Mungkin sentuhan yang mengalir ke lehernya membuat pikirannya sedikit kacau.
“Lucy–”
“Aya,” ralatnya. “Namaku Aya.”
Dia dapat melihat sudut bibir Alaric naik, dan entah kenapa, dia ingin laki-laki itu mengulanginya kembali. Namun kedua tangannya menyentuh lehernya.
“Baiklah,” bisiknya. “Aya.”
Dan ketika Hiraya merasakan bibirnya di atasnya, dia menarik nafas, terengah ketika mendorongnya menjauh. Alaric memperhatikannya, rasa bersalah kentara di wajahnya. Namun ada sebuah perasaan di dalam dirinya dimana dia tak ingin melepaskannya. Dan mungkin itu akan menjadi titik baliknya. Karena gadis itu meraih kepalanya, menariknya menunduk.
Dia menyadari tangan Alaric yang meraba punggungnya, namun dia tak bisa mengatakan apapun, begitu terpaku dengan bibir mereka yang terus saling mengulum. Mungkin Alaric menyelipkan candu ke dalamnya. Mungkin itu karena bara api dimana dia adalah ciuman pertama yang dia miliki.
Ketika Alaric menariknya lebih mendekat, memaksa mereka berdua terjatuh ke atas tanah, dia dapat merasakan roknya ditarik ke atas, dan tangan Alaric pasti telah memindahkan semua kerlap-kerlip dari rambut ke pahanya.
“Tak bisa,” bisiknya. “Tidak disini.”
Terserah.
Hiraya ingin membiarkannya. Namun laki-laki itu melingkarkan kakinya ke pinggang, memaksa untuk membawanya pergi. Mungkin akan ada yang mengawasi mereka dari hiruk pikuk pesta.
Mungkin ada yang tidak. Dia tak peduli. Dia juga takkan kembali kesana untuk pesta berikutnya. Earl Greyhound hanya perlu membiarkan mereka berdua.
Ketika Alaric menjatuhkannya ke atas kursi di dalam keretanya, tangan Hiraya di rambutnya, keduanya harus menahan diri untuk sementara.
Enam tahun kemudianBloomingflame adalah sebuah pedesaan yang sangat sunyi. Begitu sunyi hingga bahkan teriakan Hiraya dapat terdengar malam itu.Sang putri mahkota telah memutuskan untuk menghabiskan masa kehamilannya yang kedua di rumah ibunya, mengulang apa yang Viscountess Clearwing alami selama dia memilikinya.Sang putra mahkota berada di luar, menggendong putra mereka yang dalam diam mengkhawatirkan ibunya.“Dia akan baik-baik saja,” Alaric meyakinkan. “Ibumu adalah orang yang kuat. Dia akan melahirkan adikmu dan segera kembali pada kita.”Vien menganggukkan kepala, namun terus mengeratkan pelukannya pada sang ayah, meneteskan air mata ketika mendengar ibunya berteriak kembali.
Pesta dansa terakhir berada di Flarevana, tepat di kediaman putra sang duke dan istrinya — Dimitri dan Diora Fernthier.Itu berarti bahwa mereka yang diundang akan pergi dan diberikan penginapan selama mereka tinggal untuk pesta dansa tersebut. Termasuk pada putra dan putri mahkota kerajaan mereka.Hiraya mengintip dari jendela kereta mereka, sementara Alaric berada di depannya. Gadis itu tersenyum kecil, sementara suaminya menyentuh tangannya, menggenggamnya erat.“Ini adalah kali pertamamu datang kemari, benar ‘kan?”Dia menganggukkan kepala, tersenyum. “Kau sudah sering kemari?”“Tentu saja,” ucapnya. “Keluarga Fernthier adalah sepupu kita — aku telah menghabiskan
Hiraya dapat merasakan seluruh pasang mata menghadap ke arahnya. Ruang singgasana begitu luas, dan mereka memberikan jalan padanya melalui jalur karpet merah menuju Alaric, bersama dengan sang raja dan ratu yang menunggu di depannya.Tidak.Dia berusaha untuk tidak menyentuh tangannya yang bergetar, sementara sepatu yang membawanya ke arah mereka teredam, menutup gema yang seharusnya ada ketika dia menapaki lantai marmernya.Akan sangat aneh jika dia mundur dan melarikan diri. Namun Hiraya dapat merasakan sesak di dadanya, dia terlalu gugup untuk ini.Berjalan menuju mereka terasa begitu mudah, namun sulit di saat yang sama. Takkan ada kesempatan untuk berbalik ketika dia sudah sampai di ujung sana.Dia akan benar-benar menja
Sepanjang hidupnya, Hiraya tak pernah mengira bahwa dia akan menjadi salah satu dari daftar yang langsung diterima sang ratu ketika dia mengundangnya untuk datang dan minum teh di serambinya.Sang ratu duduk di depannya, menyeruput teh yang disediakan, bersamaan dengan kue yang telah dengan hati-hati Eloise susun di atas meja.“Aku yakin kau memiliki alasan untuk memanggilku kemari, Lady Clearwing,” ucapnya. “Kau takkan mengundangku kemari tanpa alasan.”Hiraya meletakkan cangkirnya, menghela nafas.Dia dan Alaric telah meninggalkan pesta pernikahan Fernthier lebih cepat, tepat setelah mereka menerima dokumen-dokumen dari Sir Phillips. Dan Hiraya telah menghabiskan malam dengan memilah dokumen yang akan diinginkan sang ratu, bersama dengan menyusu
Kediaman keluarga Mistwatcher dipenuhi hiruk pikuk orang-orang, makanan disediakan di meja-meja bertaplak putih, sementara minuman berada di ujungnya.Diora berkeliling dengan gaun pengantinnya, putih bersih dengan pita mengelilingi rambutnya. Gadis itu tersenyum, menerima ucapan selamat dan memberikan terima kasihnya pada tamu-tamu yang datang.Hiraya mengawasinya dari salah satu meja, tersenyum kecil hingga temannya itu mendatanginya, minuman masih berada di tangan.“Lady Fernthier,” sapanya, membuat Diora tertawa, memeluk lengannya erat. “Kau benar-benar sangat bahagia ya?”“Tentu saja,” ucapnya. “Menurutmu dia akan segera melakukannya?”Hiraya merasakan jantungnya berdetak.
Hiraya memperhatikan dirinya di depan cermin, rambutnya telah tersisir dan terlepas dari ikat dan jepit — Eloise telah mundur dari ruangannya dan kembali sementara malam semakin larut.Dia menundukkan kepala, memainkan kalung yang ada di lehernya dan melepasnya, meletakkannya di atas meja riasnya. Bahkan saat itu, dia dapat melihat wajah Alaric yang tersenyum memperhatikannya dari cermin.“Apa apa?” sahutnya, mengetahui bahwa pangeran itu tengah duduk di ranjangnya. “Berhenti memperhatikanku.”Alaric tertawa, berbaring disana walaupun mengalihkan sisi tubuhnya hingga dia masih dapat terus memperhatikannya. “Kau sadar akan pandanganku?”“Setelah terlalu lama, aku akhirnya bisa menyadarinya bahkan ketika aku tak dapat melihat kehadiranmu.”
Diora terdiam sepanjang Hiraya menjelaskan padanya.Keduanya tengah duduk di sebuah bangku, sementara temannya mengusir dua laki-laki yang mengikuti mereka untuk tidak terlalu dekat sebelum duduk bersamanya.Mungkin ini karena mereka dekat. Diora merasa bahwa Hiraya tidak memiliki kekakuan ketika menjelaskan padanya.Penjelasannya hati-hati — namun tidak seperti ibunya yang terlalu berputar dan membuatnya kebingungan. Tapi tetap saja, Diora merasakan panas menjalar di pipinya ketika dia terus melanjutkan penjelasannya.Dan gadis itu pasti menyadari kegundahannya, menghela nafas. “Kita seharusnya tidak membicarakan ini disini,” ucapnya. “Aku seharusnya mengatakan ini di lain tempat.”Ketika dia he
Hiraya telah menduga bahwa Julian telah merubah pikirannya, namun dia tak pernah menduga bahwa Dimitri Fernthier cukup berdedikasi untuk segera meminang gadis itu.Dia dan Alaric tengah memutuskan untuk pergi bersama. Dengan musim yang akan berakhir, begitulah dengan acara-acara sosial mereka. Ini akan menjadi promenade terakhir sebelum semuanya mengucapkan selamat tinggal pada musim ini.Hiraya tengah terduduk di tenda mereka, mengibaskan kipas di hari yang panas ketika dia melihat putra sang duke berjalan ke arah tenda para Mistwatcher. sang marquess dan Julian berdiri untuk menyambutnya.Alaric menundukkan kepala untuk membisikkan sesuatu padanya. “Menurutmu apa yang akan terjadi?”
"Kau benar-benar akan menikah dengan Tuan Fernthier?”Dia memperhatikan Diora yang menundukkan kepala, mengangguk. Dia memahami bahwa gadis itu telah bersama Dimitri Fernthier sepanjang musim ini, dan dengan sedikitnya bangsawan yang mendekatinya, putra sang duke dapat dengan mudah mendapatkan perhatiannya.“Aku menyukainya,” dia mengakui. “Dan aku tahu bahwa dia memiliki perasaan yang sama denganku.”Tentu saja. Semua orang yang mengenal mereka bisa melihat itu. Dan dia merasa bahwa Diora tak perlu tahu tentang apa yang dikatakan oleh Julian — bahkan dia memiliki keraguan seperti itu pada Alaric di hari-hari pertama dia mengenalnya.“Menurutmu,” mulainya lagi. “Kakakku sudah merubah pikirannya?”